Ya benar, menyembah membutuhkan korban. Kok bisa? Coba lihat Kejadian 22:5 (kata "sembahyang" dapat diartikan "worship" atau "bow down"). Kita kan tahu apa yang menjadi konteks dari Kejadian 22:5. Kali itu, "tidak ada angin tidak ada hujan," tiba-tiba Abraham diminta Allah untuk mempersembahkan Ishak, anaknya yang tunggal itu. Ah mungkin permintaan ini adalah hal yang mudah bila Ishak adalah nama si doggy-nya Abraham. Ah mungkin mudah kalau Ishak adalah teman kampungnya. Atau mungkin mudah kalau Ishak adalah budaknya. Intinya, akan jauh lebih mudah untuk mempersembahkan Ishak bila ia bukan apa-apa dan siapa-siapa bagi Abraham.
But the case was totally and radically different. Ishak adalah anak kandungnya sendiri. Bukan cuma itu. Ishak adalah anak yang diharapkan pada masa tuanya. Artinya, sudah berpuluh-puluh tahun Abraham menanti kedatangan sang anak. Oh betapa ia akan eman-eman anak ini. Tapi itulah yang Allah mau. Abraham tidak salah dengar. Allah benar-benar serius dengan amanat-Nya, "persembahkanlah Ishak, anak yang engkau kasihi itu!"
Apa sih dapat kita pelajari soal penyembahan? Penyembahan membutuhkan korban, itu yang kita pelajari. Penyembahan itu membutuhkan korban dari apa yang kita eman-emani, dari apa yang paling kita sukai, dari apa yang paling berharga, dan seterusnya. Sekarang coba kita renungkan penyembahan kita, misalnya pada hari Minggu saja. Apakah kita datang menyembah Allah karena kita mau enak-enaknya saja atau kita siap mengorbankan apa yang enak? Apakah kita datang ke gereja karena pengkhotbahnya, karena tidak kepanasan, karena ketemu teman-teman, karena ketemu si doi, karena motif "to kill the time"? Bagaimana kalau hujan, apakah kita masih mau menyembah? Bagaimana kalau besoknya ujian, apakah kita membolos ke gereja? Bagaimana kalau dan kalau? Kita selalu menyodorkan penyembahkan yang membutuhkan korban dari Allah. Kita lebih senang bila Allah yang mengerti kondisi kita sehingga ada excuse kita tidak menyembah dengan benar. Pokoknya, Allah yang harus terus berkorban demi mengerti kita.
Cobalah kita berkaca dari Abraham. Abraham sadar bahwa menyembah Allah itu membutuhkan korban dari kita, bukan Allah. Kita mengorbankan segala kesenangan kita demi kesenangan Allah. Berani? Ah masak Allah sekejam itu, mungkin itulah kata-kata pemberontakan kita. Nah itulah natur orang berdosa, selalu saja minta yang enak dan yang tidak enak untuk Allah. Jangan lupa, Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa karena ia ingin yang enak-enak terus. So, marilah kita kembali menyadari bahwa menyembah itu membutuhkan korban. Hari Minggu akan datang lagi. Korban terindah apa yang dapat kita berikan untuk Allah yang sudah berkoban terlampau banyak untuk kita?
No comments:
Post a Comment