Thursday, June 04, 2009

Terjadi Pembiaran terhadap Penderita Gangguan Jiwa

Senin, 1 Juni 2009 | 19:15 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Di Indonesia hanya 3,5 persen penderita gangguan jiwa berat yang mendapatkan terapi oleh petugas kesehatan. Artinya 96,5 persen di antaranya tidak mendapatkan pengobatan yang semestinya. Tindakan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah ters ebut dinilai melanggar hak asasi manusia para penderita gangguan jiwa.

"96,5 persen penderita yang tidak mendapat pengobatan itu umumnya dikurung, dipasung, atau menggelandang," kata Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti saat audiensi dengan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, Senin (1/6).

Rombongan Perhimpunan Jiwa Sehat tersebut diterima oleh Ketua Komnas HAM Joni Simanjuntak dan Stanley Prasetyo Adi dari Sub Komisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM.

"Ada empat soal yang perlu didalami oleh Komnas HAM: tumpang tindih soal kewenangan, perlakuan medis, perhatian pemerintah, dan ketersediaan tenaga ahli atau dokter untuk menangani penderita gangguan jiwa," kata Joni Simanjuntak.

Hasil investigasi Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial DKI Jakarta didapat data jumlah Warga Binaan Sosial (WBS) atau pasien yang meninggal dunia di Panti Cengkareng sejak 2007-Mei 2009 sebanyak 253 pasien, Panti Cipayung sebanyak 70 orang, Panti Ceger sebanyak 7 orang, Panti Daan Mogot sebanyak 15 orang, dan di Rumah Sakit Duren Sawit sebanyak 172 pasien. Jadi total WBS atau pasien yang meninggal di lima tempat tersebut sejak tahun 2007-Mei 2009 sebanyak 517 pasien.

Penyebab WBS/pasien tersebut meninggal antara lain karena malnutrisi (kurang gizi). Anggaran untuk konsumsi hanya Rp 15.000 per orang per hari, diare, anemia, dan pada waktu masuk panti WBS hasil razia telah menderita berbagai penyakit fisik (sakit kulit, TBC, anemia, dan lain-lain).

Banyaknya WBS atau pasien di panti-panti tersebut yang meninggal tersebut menunjukkan tidak adanya perhatian pemerint ah terhadap penderita gangguan jiwa. Alokasi anggaran hanya 1,5 persen dari keseluruhan anggaran kesehatan di APBN.

Hervita Diatri, psikiater dari Psikiatri Universitas Indonesia yang bertugas paruh waktu ke panti mengatakan, banyak pasien yang tidak mendapatkan lanyanan meski sudah banyak mobile clinic. Kondisi di panti pun memprihatinkan, seperti tidak ada yang mengawasi WBS makan atau tidak, WBS yang gaduh gelisah dicampur dengan yang tenang, panti kekurangan tenaga yang mampu menangani WBS, bahkan ada kepala panti yang merupakan pekerja sosial yang sama sekali tidak tahu soal kesehatan jiwa.

Budiana Keliat PhD dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia menyatakan, tenaga perawat untuk mengurus para penderita gangguan jiwa di panti-panti juga masih sangat kurang.

"Dua atau tiga perawat harus mengurus 600 pasien itu tentu tugas yang sangat berat," kata Budianan Keliat.

Mengapa pemerintah tidak memberikan perhatian pada penderita gangguan jiwa, menurut psikiater dr Pandu Setiawan SpKJ, dari sudut pandang kesejarahan isu kesehatan dianggap tidak penting jika tidak mengarah kepada kematian.

"Jadi gangguan jiwa tidak dianggap penting karena tidak menyebabkan kematian, tapi terbukti sekarang justru gangguan jiwa menjadi beban yang lebih berat dibandingkan penyakit jantung, atau penyakit lainnya," kata Pandu Setiawan.

Selain persoalan gangguan jiwa berat, yang harus juga mendapatkan perhatian adalah 18,6 juta penduduk Indonesia (11.6 persen) yang berusia di atas 15 tahun mengalami masa lah mental emosional (di luar gangguan jiwa berat). Di DKI Jakarta saja jumlah orang yang mengalami masalah mental emosional di atas rata-rata nasional yaitu 14,1 persen atau 1.275.000 penduduk Jakarta yang berusia di atas 15 tahun.

http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/06/01/19150043/terjadi.pembiaran.terhadap.penderita.gangguan.jiwa.