Tuesday, December 25, 2007

TAKHTA-KU BUKAN TAKHTAMU

Yohanes 1: 10-11

John Lennon, seorang penyanyi terkenal dalam grup The Beattles berkata dalam sebuah majalah Amerika: “Kekristenan akan berakhir. Itu akan menghilang. Saya tidak perlu beradu argumentasi tentang ini. . . . Yesus memang okay, tetapi keberadaan-Nya terlalu sederhana. Saat ini, kami lebih terkenal dari Dia.” Lantas apa yang terjadi? Apakah kekristenan akan berakhir atau John Lennon yang akan berakhir terlebih dahulu? Tidak lama setelah mengatakan bahwa grupnya lebih terkenal dari Yesus, hidupnya berakhir duluan. Ia mati ditembak sebanyak 6 kali.

Tancredo Neves, seorang presiden Brasil, dalam kampanyenya ia berkata: “Jika aku mendapatkan 500.000 pemilih dalam pemilihan umum, maka Tuhan tidak akan dapat membatalkan diriku untuk menjadi presiden.” Lantas apa yang terjadi? Memang benar, ia memenangkan suara dalam pemilihan umum. Tapi ironisnya, sehari sebelum ia diangkat menjadi presiden pada tanggal 15 Maret 1985, ia menderita sakit berat yang menyerang bagian perutnya. Dan setelah melewati 7 kali operasi, maka pada tanggal 21 April 1985 ia meninggal. Secara teknis, ia belum menjalankan tugas kepresidenannya. Meski ia memenangkan suara pemilu, Tuhan ternyata masih dapat membatalkan dirinya untuk menjadi presiden yang sesungguhnya.

Satu lagi kisah nyata terakhir yang terjadi baru-baru ini, tahun 2005, dialami oleh seorang gadis bernama Campinas. Satu hari gadis ini dijemput oleh sekawanan temannya yang mabuk. Ibunya yang menemani Campinas sebelum berangkat bersama teman-temannya berkata demikian: “Anakku, ajaklah Tuhan besertamu dan Ia akan melindungimu.” Dengan sinis sang anak membalas: “Hanya jika Ia mau ikut dengan kami di dalam koper ini maka Tuhan bisa ikut. Semuanya telah penuh.” Lantas apa yang terjadi? Beberapa jam kemudian, datanglah kabar bahwa mereka mengalami kecelakaan berat. Semua orang mati. Mobilnya sudah tidak dapat dikenali. Tapi anehnya, koper yang dibawa Campinas utuh. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah sekeranjang telur yang berada di dalam koper itu tidak ada satu pun yang pecah. Seakan-akan Tuhan memang berada di dalam koper itu, dan koper itu selamat, tidak cacat sedikit pun; tetapi, gadis yang memiliki koper itu itu mati dengan tragis.

Tiga kasus di atas menunjukkan betapa manusia itu ingin menjadi Allah. Mereka ingin mengatur hidupnya sendiri, mereka ingin menguasai jalan hidupnya sendiri, dan mereka ingin mengeluarkan Allah dari kehidupan mereka. Seakan-akan mereka berkata, “Aku tidak membutuhkan Engkau. Aku sudah bisa berjalan sendirian.” Sesungguhnya, ketika mereka bersikap demikian, maka mereka menyangkal kekuasaan Allah atas hidupnya. Mereka menyangkal kepemimpinan Allah atas hidupnya. Mereka menyangkal Allah yang bertakhta atas hidupnya. Apakah kita yang sudah percaya dapat melakukan apa yang dilakukan mereka? Apakah kita juga dapat menyangkal kepemimpinan Allah atas hidup kita? Apakah kita juga dapat menyangkal Allah yang bertakhta atas hidup kita? Ternyata bisa.

Seorang penulis Kristen yang bernama Edward Welch pernah menulis sebuah buku berjudul Ketika Manusia Dianggap Besar dan Allah Dianggap Kecil. Dalam buku itu ia berkata bahwa perasaan takut ditolak orang lain adalah salah satu bentuk sikap yang membesarkan manusia dan mengecilkan Allah. Itu berarti bahwa ketika kita merasa takut ditolak manusia, maka saat itu kita telah menyangkal Allah yang bertakhta atas hidup kita. Perasaan takut ditolak manusia adalah bentuk usaha untuk menggeser Allah dari takhta-Nya, dan menempatkan manusia di takhta Allah.

Saya kira raja Saul merupakan tokoh Alkitab yang menjadi contoh yang tepat untuk menggambarkan tentang takut penolakan. Dalam 1 Samuel 15 tercatat bahwa Saul diperintahkan untuk menumpas orang Amalek serta semua yang ada pada mereka. Singkat cerita, Allah menganugerahkan kemenangan kepada tentara Israel. Tetapi sayangnya, Saul tidak menuruti perintah Allah secara total. Saul bersama rakyatnya menyelamatkan raja orang Amalek dan mengambil sebagian hewan ternaknya. Nabi Samuel pun menegur ketidaktaatan Saul. Saul lantas berkata, “Aku telah berdosa, sebab telah kulangkahi titah Tuhan dan perkataanmu; tetapi aku takut kepada rakyat, karena itu aku mengabulkan permintaan mereka.” Di sinilah letak masalahnya mengapa Saul tidak menuruti semua perintah Allah. Saul takut ditolak oleh rakyatnya.

Apakah kita juga memiliki perasaan takut ditolak oleh manusia? Coba kita evaluasi segala kebiasaan yang kita lakukan: (1) Kebiasaan menyenangkan semua orang. Mungkin kita berusaha menyenangkan semua orang. Kita mengucapkan kata-kata yang disukai orang lain. Kita berbuat sesuatu karena orang lain menyukainya. Sebab itu, kalau ada satu orang yang tidak menyukai kita, maka kita akan menjadi sangat terganggu dan merasa gagal menjadi orang yang baik. Selain itu, kita cenderung menyimpan kemarahan dan selalu berkata, “Oh saya nggak apa-apa kok.” Bila ini kebiasaan kita, maka kita perlu bertanya: Apa yang membuat saya ingin menyenangkan orang sebanyak mungkin? Apakah karena saya takut ditolak oleh mereka? (2) Kebiasaan sulit mengambil keputusan. Mungkin kita sering dianggap tidak punya pendirian oleh orang lain. Mungkin kita merasa sulit dan takut untuk mengambil keputusan, kita cenderung berpikir, “Nanti kalau begini aku salah, nanti kalau begitu aku menyakiti dia, dan seterusnya.” Bila ini kebiasaan kita, maka kita perlu bertanya: Apa yang membuat saya sulit mengambil keputusan? Apakah karena saya takut ditolak oleh manusia? (3) Kebiasaan untuk menjadi sempurna. Mungkin kita melakukan sesuatu hal di rumah tangga, mendidik anak, melayani di gereja, atau bekerja dengan satu semboyan, “Saya harus mengerjakannya dengan sempurna.” Akhirnya, kita menuntut diri secara luar biasa agar tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun. Nah sebab itu, ketika satu ketika kita ternyata melakukan kesalahan, maka kita langsung stress, merasa gagal, dan menyalahkan diri sendiri. Bila ini kebiasaan kita, bertanyalah: Apa yang membuat saya berpikir bahwa saya harus sempurna? Apakah karena saya takut ditolak oleh orang-orang tertentu?

Sebagai penutup, mari kita mengarahkan pandangan pada bayi Yesus. Injil Yohanes berkata, “Ia (Yesus) datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh. 1: 11). Apakah Yesus tahu diri-Nya bakal ditolak? Sebagai Allah, Dia sangat tahu bahwa manusia akan menolak-Nya. Dia sangat tahu bahwa manusia akan menyalibkan Dia. Tapi apa yang membuat Yesus tetap datang ke dunia dan tidak takut ditolak manusia? Karena Ia tidak melihat manusianya. Ia melihat Allah yang mengutus-Nya. Ia tahu siapa yang menjadi Allah-Nya. Di sini kita melihat satu teladan yang sempurna tentang bagaimana memperlakukan Allah tepat berada di takhta-Nya. Ia tahu bahwa sebagai manusia Ia tidak mungkin dan tidak boleh menggeser takhta Allah dan menempatkan manusia pada takhta Allah. Sebagai pengikut Yesus, apakah kita juga mau meneladani hal yang sama? Biarlah Allah tetap menjadi Allah dalam kehidupan kita. Selamat merayakan hari Natal 2007!

Monday, December 24, 2007


HAVE A NICE AND BLESSED CHRISTMAS TO ALL!!!





GOD BLESS YOU ALWAYS


COUNSELLING: A PROBLEM-SOLVING APPROACH (2)

3. Berorientasi pada kesehatan

PSA berusaha untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan (resources) dan mencari apa yang baik di dalam apa yang buruk di dalam kehidupan klien. Di tengah-tengah pesimisme dan pandangan negatif klien terhadap masalahnya, konselor dapat terjebak pada perhatian yang terlalu berlebihan pada ketidakberdayaan klien. Yeo berkata, “This can overwhelm both client and counsellors as it can be depressing to talk excessively of things that we cannot change.”[1]

Kadangkala seorang konselor terlalu sibuk dengan memerhatikan diagnosa yang tepat dan melabelkan hasil diagnosa itu kepada klien, seperti skizofrenia, neurosis kompulsif-obsesif, dan seterusnya. Bahkan, menurut Yeo, ada banyak biro konseling yang menghabiskan banyak waktu untuk membicarakan dan memperdebatkan diagnosa tersebut. Hasil diagnosa itu nantinya akan menjadi bahan presentasi dalam pertemuan-pertemuan tahunan. “However, it is not helpful to pay too much attention to diagnostic labels as there is minimal evidence that labelling helps a person solve his problems. In fact, the opposite is probably true. By not labelling a person, it is often easier for change to occur,” demikian komentar Yeo.[2] Hal yang sama pernah diungkapkan oleh Jay Haley, “Any treatment which defines the person as abnormal tends to perpetuate the problem.”[3]

Sebagai seorang konselor, ia harus meyakini bahwa ia dapat membantu seseorang yang sedang membawa permasalahan. Sebab itu, dengan mengadopsi orientasi kesehatan adalah satu langkah maju dalam konseling. Ia akan lebih bersemangat untuk membantu klien bila ia melihat resources dalam setiap permasalahan kliennya. Yeo meyakini bahwa, “There is always health in any kind of “sickness”. The counsellors should try to touch this part.”[4]

4. Menormalisasi situasi yang abnormal

PSA meyakini bahwa semua masalah dapat dinormalisasikan. Atau dengan kata lain, situasi yang abnormal bagi klien dapat dinormalisasikan. Maksudnya, konselor dapat melihat masalah itu sebagai reaksi yang normal pada situasi yang abnormal. Ketika seseorang kehilangan pasangan hidupnya, adalah hal yang normal bila ia marah, stress, depresi, dan mungkin kehilangan arah hidup. Ketika seseorang kehilangan uang dalam jumlah besar, maka adalah hal yang normal bila ia marah, pola makan menjadi terganggu, sulit mengampuni orang yang menghilangkan uangnya, dan seterusnya. Menormalisasikan situasi yang abnormal seharusnya merupakan orientasi seorang konselor. Ia harus belajar untuk menafsirkan masalah klien sebagai reaksi yang wajar. Yeo lalu menyimpulkan bahwa, “Normalising problems in no way minimises their gravity. We take problem seriously. But they are accepted and viewed realistically and positively.”[5]




[1] Counselling, 11-12.

[2] Ibid., 12.

[3] Dikutip oleh Yeo, Counselling, 12.

[4] Ibid., 13.

[5] Ibid., 14.

Saturday, December 22, 2007

COUNSELLING: A PROBLEM-SOLVING APPROACH

Dalam kesempatan ini, saya akan membagikan hasil interaksi saya dengan buku Counselling: A Problem-Solving Approach, buah tangan dari Anthony Yeo. Beliau adalah seorang konsultan terapis yang bekerja di Counselling and Care Centre, Singapore, sejak tahun 1972.

Chapter 1: The Problem-Solving Approach (PSA)
Dalam bab ini, Yeo memberikan penjelasan mengenai beberapa karakteristik pendekatan masalah-solusi (problem-solving approach) dalam konseling. Karakteristik-karakteristik itu, antara lain:

1. Berfokus pada klien

PSA tidak berfokus pada pemecahan masalah secara mekanis, melainkan berfokus pada perhatian yang diberikan kepada klien. Pendekatakan yang berfokus pada masalah akan cenderung mengabaikan kebutuhan untuk membangun relasi dengan klien. Bila yang terjadi demikian, maka konselor hanya akan menjadi seorang ahli pemecah masalah dengan keterlibatan minimal di pihak klien.

PSA tidaklah demikian. Dalam PSA, konselor justru secara aktif terlibat dalam proses membantu klien memusatkan perhatian pada masalah-masalahnya dan mencari pemecahan untuk masalah yang dipresentasikannya.

2. Menghindari perhatian yang tidak perlu terhadap masa lalu

Selain terlibat aktif dalam membantu permasalahan klien, PSA juga menghindari perhatian yang tidak diperlukan terhadap masa lalunya klien. Telah cukup lama pelatihan dan sekolah konseling dipengaruhi oleh pendekatan psikodinamik di mana penyelidikan masa lalu dipakai untuk menemukan akar masalah yang dipresentasikan klien. PSA menganggap bahwa pendekatan seperti demikian mungkin sudah tidak lagi berguna baik bagi klien maupun konselornya. Apa sebabnya? Karena masa lalu tidak mungkin dapat diubah dan mengetahui masa lalu tidak secara otomatis dapat dipakai untuk mengubah masalah klien saat ini. Bila perhatian masa lalu terlalu dititikberatkan, maka efek yang mungkin terjadi adalah si klien dapat menyalahkan masa lalunya, seperti orang tuanya, pengalaman traumatik masa kecilnya, dan seterusnya. Yeo berkata, “They [klien] end up with a lot of hostility and spend their time in wishful thinking. . . . [The client] can spend a lot of unproductive time wishing the past had never been, yet he still has to live for today.”[1] Sebab itu, seorang konselor tidak seharusnya memberikan wawasan mengenai masa lalu klien sambil mengharapkan hal itu akan membantu memecahkan masalah kekiniannya. Milton Erickson yang dikutip Yeo mengatakan, “Insight into the past may be somewhat educational, but insight into the past isn’t going to change the past.”

Untuk menyempurnakan penjelasan itu, Yeo memberikan satu kasus: Satu ketika sepasang suami-istri yang sedang konflik datang ke konseling dan berusaha untuk menggali keluhan-keluhan masa lalunya yang sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Usia pernikahan mereka adalah 35 tahun. Mereka ingin menceritakan pada Yeo tentang segala sesuatu yang sudah terjadi sejak mereka berpacaran. Maksud mereka adalah supaya Yeo memahami masalah mereka. Apa yang dilakukan Yeo kemudian? Yeo lalu membimbing mereka untuk kembali berfokus pada masalah kekiniannya mereka. Jika mereka dibiarkan menggali luka-luka masa lalunya, maka hal ini akan semakin menyakitkan, dan itu tidak membantu klien maupun proses konseling. Di sinilah Yeo menghindari perhatian yang tidak perlu terhadap masa lalu klien. Inilah salah satu karakteristik PSA.



[1] Anthony Yeo, Counselling: A Problem-Solving Approach (Singapore: Armour, 1993), 10.

Thursday, December 20, 2007

COUNSELING CENTER IN THE MAKING

PUSAT KONSELING (COUNSELING CENTER)

GEREJA KRISTEN KALAM KUDUS SURAKARTA


Latar Belakang:

Setiap manusia yang hidup pasti memiliki corak masalahnya masing-masing. Bila masalah yang dialami itu tidak dapat ditangani dengan baik, maka ia dapat mengalami kehidupan yang stress dan bahkan traumatis. Selain itu, sebagai orang Kristen, ia perlu mengenali dan mengembangkan karunia yang ada pada dirinya semaksimal mungkin. Melihat dua tantangan itu, maka gereja perlu mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

Tujuan:

  1. Tindakan pencegahan (preventive action)
  2. Tindakan penyembuhan (restorative action)
  3. Tindakan pemeliharaan (preservative action)

Strategi-strategi:

  1. Pengadaan seminar atau kelas pembinaan mengenai isu-isu yang relevan
  2. Penerbitan atau penerjemahan buku dan booklet mengenai isu-isu psikologis
  3. Pengembangan terapi pribadi dan terapi kelompok
  4. Pengadaan pastorium
  5. Pengadaan kerjasama antar lembaga konseling atau konselor profesional

Isu-isu penanganan:

  1. Masalah karir
  2. Masalah luka-luka batin
  3. Masalah pra-nikah
  4. Masalah pernikahan
  5. Masalah keluarga
  6. Masalah kaum muda
  7. Masalah anak
  8. Masalah traumatik
  9. Masalah pengenalan kepribadian
  10. Masalah pengenalan karunia

Sasaran aplikasi:

  1. Komisi
  2. Katekisasi calon baptisan
  3. Katekisasi pra-nikah
  4. Pembesukan kasus khusus
  5. SKKK
  6. Orang yang pro-aktif datang

Langkah-langkah persiapan:

  1. Membentuk tim yang memiliki beban konseling
  2. Membentuk kelompok belajar (study group) reguler dari tim terpilih
  3. Merancang kurikulum yang diperlukan bagi kelompok belajar konseling
  4. Mengundang konselor profesional untuk mengembangkan ketrampilan konseling yang dibutuhkan oleh para anggota kelompok belajar
  5. Mengutus anggota kelompok belajar untuk mengikuti seminar atau kursus singkat dalam rangka mengembangkan ketrampilan konseling.
  6. Merancang topik-topik tertentu untuk kelas pembinaan jemaat

Wednesday, November 28, 2007

DOA YANG INDAH

Aku mohon kepada Tuhan untuk menghilangkan kebiasaanku,
Tuhan berkata, "Tidak."
Itu bukan hak-Ku untuk menghilangkannya,
tetapi hakmu untuk mengusahakannya.

Aku mohon kepada Tuhan untuk menyembuhkan kecacatanku,
Tuhan berkata, "Tidak."
Jiwa adalah segalanya, tubuh hanyalah sementara.

Aku mohon kepada Tuhan untuk memberiku kesabaran,
Tuhan berkata, "Tidak."
Kesabaran adalah hasil dari kesengsaraan, bukan diberikan, tetapi dipelajari.

Aku mohon kepada Tuhan untuk kebahagiaan,
Tuhan berkata, "Tidak."
Aku memberimu berkah, kebahagiaan terserah padamu.
Aku mohon kepada Tuhan untuk menghilangkan rasa sakitku,

Tuhan berkata, "Tidak."
Penderitaanmu membuatmu peduli dan membawamu semakin dekat dengan-Ku.

Aku mohon kepada Tuhan supaya jiwaku tumbuh,
Tuhan berkata, "Tidak."
Kamu harus tumbuh dengan caramu sendiri,
tetapi Aku akan memangkasmu supaya kamu dapat berhasil.

Aku mohon kepada Tuhan akan segala sesuatu yang membuatku dapat menikmati hidup,
Tuhan berkata, "Tidak."
Aku memberimu kehidupan supaya kamu dapat menikmati segala hal.

Aku mohon kepada Tuhan untuk membuatku MENCINTAI orang lain, seperti Dia mencintaiku,
Tuhan berkata, "Aha . . . akhirnya kamu mengerti maksud-Ku."

Monday, November 26, 2007

Serupa Inikah Doa Kita?

Ya Tuhan, kalau dia memang jodohku, dekatkanlah
Tapi kalau bukan jodohku, jodohkanlah. ...
Jika dia tidak berjodoh denganku, maka jadikanlah
kami jodoh...
Kalau dia bukan jodohku, jangan sampai dia dapat
jodoh yang lain, selain aku...
Kalau dia tidak bisa di jodohkan denganku, jangan
sampai dia dapat jodoh yang lain,
biarkan dia tidak berjodoh sama
seperti diriku...
Dan saat dia telah tidak memiliki jodoh, jodohkanlah
kami kembali...
Kalau dia jodoh orang lain, putuskanlah! Jodohkanlah
denganku....
Jika dia tetap menjadi jodoh orang lain, biar orang
itu ketemu jodoh dengan yang lain
dan kemudian jodohkan kembali dia dengan ku .....

Wednesday, November 21, 2007

HIDUP YANG MENGUCAP SYUKUR

1 Tesalonika 5: 18

Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus, bagi kamu


Apa untungnya kalau orang itu sering mengucap syukur dalam hidupnya? Pdt. Ayub Yahya dalam bukunya yang berjudul Bersyukur itu Indah mengatakan bahwa hidup yang penuh syukur akan mendatangkan kesehatan, baik batiniah maupun lahiriah. Betapa tepatnya perkataan itu. Orang yang hidupnya penuh dengan ungkapan syukur berarti orang tersebut akan hidup dalam kelegaan. Meski persoalan datang, orang ini tetap tidak kehilangan kelegaan. Meski persoalan datang, orang ini akan tetap semangat dalam menjalani hidupnya. Jadi, meski ada persoalan atau tidak, orang seperti ini akan gembira selalu.

Konon, pernah dilakukan survei terhadap para lansia, baik yang tinggal di panti jompo maupun yang tinggal di rumah bersama keluarga mereka. Menurut survei itu, para lansia yang hidupnya penuh dengan rasa syukur ternyata memiliki kondisi tubuh yang lebih sehat dibandingkan lansia yang suka mengeluh. Selain itu, kehadiran mereka yang hidupnya penuh dengan rasa syukur ternyata membawa kegembiraan bagi orang-orang di sekitarnya. Betapa mengagumkannya hasil dari hidup yang penuh rasa syukur.

Tapi mengucap syukur itu tidaklah gampang. Ketika rasul Paulus berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal,” maka saya berkata bahwa hal itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan kita. Sebab itu, tidak heran kalau kita sering menaikkan doa permohonan kepada Tuhan ketimbang doa syukur. Kita lebih sering menggerutu ketimbang bersyukur. Apalagi, bila kita sedang memiliki masalah, maka omelan demi omelan akan lebih mudah terlontarkan dari lidah bibir kita. Bukankah semuanya ini menunjukkan bahwa mengucap syukur itu tidaklah gampang?

Mungkin kita mulai merasa stress atau merasa putus asa karena merasa diri gagal menjadi orang Kristen yang baik. Kita merasa jengkel dengan diri sendiri, bahkan kita merasa benci dengan diri kita sendiri. Kita merasa mengapa saya kok tidak bisa hidup yang penuh dengan ungkapan syukur. Hari ini saya mau mengatakan bahwa Tuhan itu tidak sekejam orang dunia yang tahunya hanya menuntut hasil. Tuhan itu tidak sekejam orang dunia yang mudah marah bila hasil yang didapat tidak memuaskan. Sebaliknya, seperti kata Mazmur Daud, Tuhan itu tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu yang penuh dengan keterbatasan. Tuhan masih memberikan kesempatan untuk kita mencobanya kembali.

Nah sekarang bagaimana caranya agar kita dapat mengucap syukur dengan lebih mudah, terlebih khusus ketika kita sedang menghadapi masalah? Pertama, tariklah pelajarannya. Sebagai orang Kristen, kita memercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi pada kita pasti ada hikmahnya. Roma 8: 28 jelas-jelas mengatakan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. Sebab itulah, dalam segala sesuatu yang kita alami, cobalah untuk menemukan pelajaran yang diberikan Tuhan bagi kita.

Waktu saya pergi ke retret di SAAT baru-baru ini, saya sempat mengalami masuk angin yang menghantam leher saya. Gara-gara masuk angin, leher saya menjadi tegang dan terasa sakit sekali bila saya menoleh ke kiri. Dengan leher yang tegang itu, saya harus mengendarai mobil bersama dengan rekan-rekan hamba Tuhan. Dalam perjalanan, kalau mobilnya terguncang keras, maka leher saya akan terasa sakit. Sesampainya di kota Solo, saya tiba-tiba merenungkan tentang orang yang terkena stroke di bagian lehernya. Saya membayangkan bahwa leher orang itu sangat tegang dan sulit untuk menoleh kiri atau kanan. Dan kalaupun menoleh, maka ia akan terlihat seperti sebuah robot. Dari perenungan itu, saya belajar berempati kepada orang yang terkena stroke. Saya belajar merasakan penderitaan orang-orang yang terkena stroke di bagian lehernya. Setelah menarik pelajaran tersebut, lalu saya segera menuliskan pelajaran yang indah itu di internet. Kesaksian itu saya beri judul, “Terima Kasih karena Saya Sakit.” Tentu itu tidak berarti bahwa saya senang dengan masalah, tetapi artinya adalah saya berhasil menarik pelajarannya melalui masalah itu. Untuk pelajaran itulah, saya bersyukur kepada Tuhan.

Pada awal krisis moneter yang lalu, seorang bapak menceritakan pengalamannya. Ia berkata, “Selama ini saya sangat sibuk dengan tugas kantor. Boleh dikata, hampir tidak punya waktu buat keluarga. Setiap hari, bahkan kalau lagi ada masalah di kantor, maka terpaksa hari Minggu saya pergi ke kantor pagi-pagi dan pulang larut malam. Sering kalau di rumah pun, saya harus membawa pekerjaan kantor. Nah sekarang ketika krisis moneter terjadi, aktivitas kerja berkurang. Jam kerja saya dipotong. Tetapi justru karena begitu saya jadi punya banyak waktu buat keluarga. Selain itu, kami juga diajar untuk hidup hemat.” Melalui kesaksian bapak tersebut, kita melihat bahwa ia juga telah berhasil menarik pelajaran yang diberikan Tuhan melalui masalah hidupnya. Saya kira inilah kuncinya untuk bersyukur kepada Tuhan.

Apakah Anda sedang berada dalam masalah? Masalah apapun itu, entah masalah keluarga, masalah pekerjaan, masalah sakit-penyakit, dan seterusnya. Cobalah untuk menarik pelajarannya supaya kita lebih mudah untuk bersyukur kepada Tuhan.

Kedua, carilah yang masih ada. Apa yang menyebabkan seseorang mengeluh? Karena ia melihat apa yang tidak ada pada dirinya. Dalam perkunjungan, seorang bapak bercerita panjang lebar tentang keburukan istrinya. Intinya, ia merasa bahwa sang istri sudah tidak menghargai dirinya lagi. Ia mengeluhkan hal itu selama kurang lebih setengah jam. Setelah selesai bercerita, saya lantas bertanya, “Pak, coba Bapak ceritakan tentang hal-hal yang baik dari istri Bapak?” Ia diam sejenak, lalu menjawab, “Wah kebaikannya ya juga banyak sih.” Lantas ia mulai menceritakan kebaikan-kebaikan istrinya. Apa yang saya lakukan terhadap Bapak tadi? Saya mengajaknya untuk melihat hal-hal yang masih ada di dalam kehidupan rumah tangganya. Saya mengajaknya untuk beralih fokus, dari melihat apa yang tidak ada pada dirinya kepada apa yang masih ada pada dirinya.

Masalahnya, kita cenderung seperti bapak tadi. Ketika toko kita sepi, kita terlalu berfokus pada masalah sepi itu. Kita terlalu berfokus pada apa yang tidak ada pada toko kita. Akhirnya, kita dikuasai oleh masalahnya. Ketika kita sakit, kita terlalu berfokus pada penyakit itu sendiri. Kita terlalu berfokus pada ketidakberdayaan kita. Akibatnya, kita dibuat menjadi benar-benar tak berdaya oleh fokus kita sendiri. Bukankah cara pikir kita cenderung seperti demikian?

Dalam surat kepada jemaat di Filipi, rasul Paulus pernah menulis, “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita” (Fil. 1: 3-4). Ungkapan syukur ini lahir bukan dari situasi yang enak bagi Paulus. Sebaliknya, ungkapan syukur ini lahir ketika rasul Paulus sedang berada dalam penjara Romawi. Ia berada dalam situasi yang tidak aman dan tidak nyaman. Tapi apa yang membuat ia dapat mengucapkan syukur? Karena, ia tidak melihat apa yang tidak ada pada dirinya. Ia tidak melihat dirinya yang tidak bisa bergerak bebas, tidak bisa memberitakan injil lagi, tidak bisa makan dengan enak, tidak bisa tidur di ranjang yang empuk, dan seterusnya. Sebaliknya, ia melihat apa yang masih ada dalam kehidupannya. Yaitu, ia melihat pertumbuhan iman dari jemaat Filipi yang pernah ia layani. Pertumbuhan iman mereka itulah yang membuat rasul Paulus bergembira dan bersyukur.

Resep Paulus masih dapat kita pakai sampai hari ini. Kita sama-sama tahu bahwa masalah tidak selalu dapat diatasi dengan selesainya masalah itu sendiri. Adakalanya masalah itu terlalu kompleks dan membutuhkan waktu yang lama untuk diselesaikan, bahkan kadang masalah tersebut harus diterima sebagai duri dalam daging seumur hidupnya. Sebab itu, mengatasi masalah memerlukan cara pikir yang berbeda untuk melihat masalah itu sendiri. Cobalah untuk mencari yang masih ada pada diri kita ketimbang melihat yang tidak ada pada kita.

Tatkala Pdt. Ayub Yahya menuliskan bahwa bersyukur itu indah, maka saya mengamininya. Karena selain gaya hidup yang mengucap syukur itu menjaga kesehatan jasmani dan batin kita, mengucap syukur ternyata merupakan gaya hidup yang dikehendaki Allah kita. Firman Tuhan yang diungkapkan dalam 1 Tesalonika tadi jelas-jelas mengatakan, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah . . .” Jadi, kalau kita berhasil mengucap syukur dalam segala hal, maka kita sehat dan Allah pun senang.

Thursday, November 15, 2007

SIAO-MEI: SI MARTIR KECIL

Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya kerajaan sorga (Mat. 5: 10)

Masa kecil seharusnya menjadi masa yang menyenangkan. Masa yang indah untuk dikenang. Tapi hal itu tidak berlaku bagi si kecil Siao-Mei. Ia baru berusia 5 tahun. Ia belum tahu banyak tentang risiko menjadi seorang Kristen di negeri Tiongkok. Ia tidak tahu mengapa mereka harus berhati-hati jika mau bertemu teman-teman Kristennya. Ia juga tak terlalu paham mengapa ia dan ibunya harus membaca sobekan Alkitab dengan sembunyi-sembunyi. Hingga suatu saat, ia juga masih tidak tahu mengapa ia dan ibunya digelandang ke sebuah ruang jeruji besi.

Di sana mereka dikurung tak diberi makan. Ia bertanya pada ibunya, tapi ibunya diam seribu bahasa. Yang ia tahu saat itu hanyalah ia sangat kelaparan. Siao-Mei tidak tahan. Ia menangis sesenggukan. Kepala penjara berkata dengan sinis pada ibu Siao-Mei, “Tidakkah engkau kasihan kepada anakmu? Apa susahnya mengatakan kamu bukan orang Kristen lagi? Kalau kamu melakukan hal itu, maka kamu dan anakmu akan bebas.” Karena putus asa, maka ibunya pun setuju menyangkal imannya. Syaratnya, ibu Siao-Mei harus menyangkal Yesus dengan berteriak di hadapan 10.000 orang. “Saya tidak mau lagi menjadi orang Kristen!” demikian teriaknya. Akhirnya, mereka pun menghirup udara bebas.

Sesampainya di rumah, Siao-Mei berkata, “Mama, hari ini Yesus tidak senang dengan perbuatanmu.” Sang ibu berusaha menjelaskan bahwa ia terpaksa melakukan itu demi Siao-Mei yang menangis kelaparan. Mendengar penjelasannya, Siao-Mei langsung berkata, “Mama, saya berjanji jika kita kembali ke penjara karena Yesus, saya tidak akan menangis lagi.” Setelah Siao-Mei berkata demikian, ibunya kembali bersemangat menginjil. Tak lama kemudian, mereka pun kembali ditangkap dan dipenjara. Namun kali ini, Siao-Mei tidak mau menangis. Ia ingat janjinya. Entah sampai kapan mereka dipenjara, tapi yang pasti tangisan Siao-Mei tidak pernah lagi terdengar di sana. Siao-Mei hanyalah salah satu orang Kristen yang teraniaya karena kesetiaannya pada Yesus.

(Disarikan dari Bahana, volume 199, November 2007, halaman 41)

Wednesday, November 14, 2007

KUE PERKAWINAN

Bahan:
  • 1 pria sehat
  • 1 wanita sehat
  • 100% komitmen
  • 2 pasang restu orang tua
  • 1 botol kasih sayang murni
Bumbu:
  • 1 balok besar humor
  • 25 grm rekreasi
  • 1 bungkus doa
  • 2 sendok teh telpon-telponan
  • Semuanya diaduk hingga merata dan mengembang
Cara memasak:
  1. Pria dan wanita dicuci bersih, buang semua masa lalunya sehingga tersisa niat yang murni.
  2. Siapkan loyang yang telah diolesi dengan komitmen dan restu orang tua secara merata.
  3. Masukkan niat yang murni ke dalam loyang dan panggang dengan api merata sekitar 30 menit di depan penghulu.
  4. Biarkan di dalam loyang tadi dan sirami dengan bumbunya.
  5. Kue siap dinikmati.
Catatan:
Kue ini dapat dinikmati oleh pembuatnya seumur hidup dan paling enak dinikmati dalam keadaan hangat. Tapi kalau sudah agak dingin, tambahkan lagi humor segar secukupnya, rekreasi sesuai selera, serta beberapa potong doa kemudian dihangatkan lagi di oven bermerek "Tempat Ibadah". Setelah mulai hangat, jangan lupa telpon-telponan bila berjauhan. Selamat mencoba, dijamin semuanya halal kok!

Thursday, November 08, 2007

TERTAWA


Sekali tertawa, pusing kepala hilang
Dua kali tertawa, benci pun sirna
Tiga kali tertawa, persoalan lari
Empat kali tertawa, penyakit sembuh
Lima kali tertawa, jadi awet muda
Enam kali tertawa, hati penuh sukacita
Seringkali tertawa sendirian, calon penghuni rumah sakit jiwa

Wednesday, November 07, 2007

MENGURANGI RASA TAKUT

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa rasa takut tidak mungkin dihilangkan selama manusia masih hidup. Lagipula, saya kira rasa takut dalam level tertentu masih diperlukan. Misalnya, ada seorang ibu yang takut untuk menyebrang jalan, apakah rasa takut ini perlu? Bayangkan saya kalau ia tidak memiliki rasa takut sama sekali. Ia tiba-tiba menyebrang dengan penuh kenekadan dan tanpa menoleh kiri-kanan. Apakah tindakan ini dapat dibenarkan? Jelas tidak! Bila ia tidak memiliki rasa takut sama sekali, maka ia dapat menyebabkan dirinya dan orang lain celaka. Nah sebab itu, rasa takut juga tidak boleh dihilangkan sama sekali. Yang perlu kita lakukan adalah hanya mengurangi rasa takut sehingga ketakutan itu tidak lagi mengganggu pola hidup kita.

Nah bagaimana caranya mengurangi rasa takut itu? Mari kita perhatikan satu bagian firman Tuhan dari Keluaran 14: 13, 14 yang mengatakan: "Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari Tuhan, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya. Tuhan akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja." Kalimat ini diucapkan oleh Musa kepada bangsa Israel yang sedang ketakutan. Apa yang bangsa Israel takutkan? Mereka takut mati. Sewaktu mereka berhasil keluar dari kerajaan Firaun, mereka ternyata tidak dibiarkan bebas begitu saja. Para tentara Firaun mengejar bangsa Israel hingga pada posisi yang terjepit. Ini jelas satu peristiwa yang tidak dapat terkuasai dan akan memberikan dampak yang serius bagi kehidupan bangsa Israel. Sebab itulah, mereka merasa takut.

Tapi apa yang Musa berikan ketika bangsa Israel ketakutan? Perhatikan kalimatnya. Musa memberikan satu hal kepada mereka, yaitu harapan. Harapan apa yang Musa tawarkan pada bangsa Israel? Harapan bahwa Tuhan akan memberikan keselamatan pada hari itu juga. Sebuah harapan bahwa Tuhan pasti akan melakukan tindakan bagi umat yang dikasihi-Nya. Sebuah harapan bahwa Tuhan pasti akan menyertai kehidupan umat-Nya. Harapan inilah yang diperlukan ketika bangsa Israel sedang kehilangan harapan karena dikuasai oleh rasa takutnya. Dan kita sama-sama tahu bahwa harapan di dalam Tuhan bukanlah sebuah harapan kosong, tapi harapan yang pasti digenapi. Lalu apa yang bangsa Israel harus lakukan kemudian? Musa mengatakan dengan jelas, "Tuhan akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja." "Diam" adalah bentuk penyerahan diri kepada Tuhan yang memberikan harapan. Kalau mereka tahu bahwa harapan di dalam Tuhan pasti tidak akan mengecewakan, maka mereka harus mempercayakan dirinya kepada Tuhan. Mereka harus percaya bahwa Tuhan pasti akan mengatur kehidupan mereka. Jadi intinya, semakin berserah, semakin rasa takutnya hilang.

Ini adalah sebuah pelajaran indah yang bisa kita lakukan ketika kita mengalami ketakutan. Semakin berserah pada Tuhan, maka rasa takut kita akan semakin hilang. Ketika anak saya belajar memanjat pagar rumah, ia sangat ketakutan. Ia ingin memanjat, tapi ia juga merasa takut. Sebab itu, ia selalu menggandeng orang dewasa (entah pembantu atau mamanya) untuk menemani dan menjagainya kalau-kalau ia terjatuh. Kadang kami menggodanya, ketika ia sudah memanjat pagar lalu kami berpura-pura pergi meninggalkannya. Apa yang terjadi ketika kami akan pergi? Ia langsung menangis ketakutan. Tapi tatkala kami mendekat, ia kembali mendapatkan keberanian untuk memanjat pagar. Dari pengalaman ini kita belajar bahwa anak kecil ini berserah pada orang dewasa. Ia percaya bahwa orang dewasa yang ada di dekatnya akan menjaganya.

Bisakah kita menjadi seperti seorang anak kecil di hadapan Tuhan? Bisakah kita berserah kepada Tuhan dengan polosnya? Kadangkala rasa takut itu diperlukan untuk mengasah tingkat penyerahan kita pada Tuhan. Kita yakin bahwa Tuhan itu mahakuasa, Tuhan itu mahakasih, Tuhan itu pasti menyertai kita, dan seterusnya. Tapi apakah keyakinan itu telah membuat kita semakin berserah kepada Tuhan? Kawan seperjuanganku, ingatlah pelajaran hari ini, semakin kita berserah kepada Tuhan, maka rasa takut kita akan semakin berkurang. DIJAMIN!

Tuesday, November 06, 2007

SIAPA TAKUT?

Siapakah di antara manusia dalam dunia ini yang tidak pernah mengalami ketakutan? Seorang pahlawan yang ditakuti banyak orang pun juga bisa mengalami ketakutan. Troy adalah sebuah film yang mengisahkan seorang pendekar terhebat dalam bangsa Yunani pada zaman tertentu. Pendekar itu bernama Achilles. Para prajurit Yunani, sampai rajanya, sangat percaya pada kemampuan bertarungnya. Tapi apakah Achilles tidak memiliki rasa takut? Ternyata ada! Achilles takut bila saudara sepupunya meninggal. Karena ketakutannya itu, Achilles selalu berusaha melindungi saudaranya. Kita melihat bahwa seorang pendekar hebat pun memiliki ketakutan.

Lantas apakah seorang pendeta bisa mengalami ketakutan? Ternyata juga bisa. Ada seorang pendeta yang takut untuk naik kereta api. Rupanya, dia mengalami trauma karena kereta yang pernah ditumpanginya mengalami kecelakaan. Keretanya pernah terguling karena suatu hal. Sebab itu, hingga sekarang pendeta itu hampir selalu naik pesawat atau naik mobil. Ia tidak mau naik kereta lagi. Kita melihat bahwa seorang pendeta juga bisa takut.

Anda sendiri pernah mengalami ketakutan? Saya pernah mengalami ketakutan. Saya pernah takut tidak naik kelas, saya pernah takut bila pernikahan saya pada akhirnya gagal, saya takut bila anak saya mengalami penyakit yang tidak diketahui, saya takut bila saya lupa akan jadwal khotbah, dan seterusnya. Ternyata saya juga bisa takut. Coba pikirkan sesaat satu ketakutan yang Anda miliki saat ini. Hmmm . . . saya kira semua orang pasti memiliki ketakutan pada satu-dua hal. Bahkan, Yesus pun juga memiliki rasa takut ketika ia dihadapkan pada penyaliban-Nya. Dus, kalau ditanya "siapa takut?" maka kita semua pasti memiliki rasa takut. Bukankah itu sangat manusiawi?

Nah sekarang coba pikirkan, apa yang membuat kita merasa takut? Di antara sekian banyak alasan, saya kira setidaknya ada dua alasan yang membuat kita merasa takut: Pertama, karena apa yang kita takutkan adalah sesuatu hal yang uncontrollable (tak dapat terkuasai). Hal ini biasanya berkaitan dengan ketakutan di masa yang akan datang. Kita sudah membayangkan bagaimana jadinya kalau saya mengalami hal ini dan hal itu. Ketika anak saya sakit demam setahun yang lalu, saat itu saya merasa ketakutan. Yang terjadi waktu itu adalah kalau pagi sampai sore anak saya sehat dan suhu tubuhnya tidak panas. Tapi menjelang malam hingga tengah malam, suhu tubuhnya tiba-tiba panas secara cepat. Ini satu hal yang uncontrollable. Satu hal yang tidak bisa terbayang apa jadinya nanti, bagaimana mengatasinya, apa penyakit yang sebenarnya. Semuanya gelap. Selain peristiwa masa lalu, saya juga memiliki peristiwa ketakutan masa kini. Saya masih merasa takut terjadi gempa bumi. Apa sebabnya? Karena gempa bumi adalah peristiwa yang tidak bisa saya kuasai, peristiwa yang uncontrollable.

Alasan kedua adalah karena apa yang kita takutkan itu dapat memberikan dampak yang serius bagi sistem kehidupan kita. Kita pasti merasa tidak takut bila penyakit tertentu mewabah di negara tertentu, bukan di Indonesia, apalagi di kota kita. Kita pasti merasa tidak takut bila penyakit tertentu jarang menyerang pada usia-usia kita. Contohnya, kita mungkin tidak merasa takut dengan penyakit jantung koroner bila usia kita masih relatif muda. Kita juga merasa tidak takut bila bencana alam itu terjadi di wilayah yang jauh dari kita. Kenapa demikian? Karena, semuanya itu tidak berkaitan dengan diri kita. Semua peristiwa itu, dengan kata lain, tidak memberikan dampak serius bagi sistem kehidupan kita.

Nah sekarang coba bayangkan apabila yang terserang kanker itu adalah pasangan hidup kita, atau orang tua kita. Coba bayangkan apabila kita sedang divonis gagal ginjal oleh semua dokter. Coba bayangkan bila kita dipastikan tidak lulus ujian. Coba bayangkan bila pekerjaan kita diprediksi bakal bangkrut dalam waktu yang sangat dekat. Bila kita mengalami hal itu, maka barulah kita merasa takut. Apa sebabnya? Karena, semuanya itu memiliki dampak yang serius bagi sistem kehidupan kita. Misalnya, ketika kita dipastikan tidak naik kelas, maka dampak serius yang mungkin terjadi adalah kita akan dimarahi oleh orang tua, kita akan merasa malu dengan teman-teman sebaya, dan seterusnya. Nah dampak itulah yang kita anggap serius dan akhirnya kita takuti. Tentunya, dalam hal ini kita tidak boleh menyamakan ukuran keseriusan kita dengan orang lain. Semua orang memiliki penilaian yang berbeda-beda akan seberapa seriusnya peristiwa yang menimpa dirinya. Tapi satu hal yang mau ditekankan di sini adalah kita bisa merasa takut apabila peristiwa itu memiliki dampak yang serius bagi sistem kehidupan kita.

Jadi, apakah kita dapat menghilangkan semua rasa takut? Tidak bisa! Selama kita masih menjadi manusia yang bisa bernapas, maka kita masih bisa memiliki rasa takut. Sebab itu, pertanyaan tadi perlu diganti menjadi: Bagaimana caranya mengurangi rasa takut? Yang bisa kita lakukan saat ini adalah mengurangi rasa takut, bukan menghilangkannya sama sekali. Nah itu masih realistis untuk dilakukan. Terus caranya? Tunggu pembahasan berikutnya.

Monday, November 05, 2007

LAMPU MERAH

Seorang pemuda mengendarai sepeda motor dengan terburu-buru. Ia melanggar lampu merah di perempatan. Polisi menghentikannya. "Kamu tidak melihat lampu merah?" tanyanya. "Saya melihat, Pak," jawab pemuda itu. "Lalu, kenapa kamu tidak berhenti? Apa kamu tidak tahu artinya merah?" Pemuda itu menjawab yakin, "Tahu, Pak. Merah artinya berani."

(Diambil dari Ayub Yahya, Ngakak sampai Merangkak)

Saturday, November 03, 2007

GANGGUAN JARINGAN INTERNET

Sudah nyaris satu minggu jaringan internet di gereja terganggu. Pesan elektronik mengalami trouble, saya kesulitan untuk sending message. Selain itu, saya juga kesulitan untuk browsing internet. Kadang bisa tapi banyak tidak bisanya. Ini sungguh menyebalkan! Menyebalkan karena bahan-bahan khotbah ataupun pembinaan yang biasanya dapat dicari melalui internet jadi sulit didapat. Saya akhirnya harus menggunakan resources yang ada di rak buku. Rekan-rekan sepelayanan juga complaint karena selain mencari bahan-bahan menjadi sulit, perputaran kinerja di gereja yang kadangkala menggunakan internet menjadi terganggu. Rupanya, semua jadi jengkel dengan gangguan jaringan internet.

Dari peristiwa ini saya merenung bahwa seringkali gangguan jaringan internet jauh membuat hati kita lebih kesal ketimbang kita mengalami gangguan jaringan dengan Tuhan. Ketika kita mengalami gangguan jaringan dengan Tuhan, kita justru merasa tidak terganggu, merasa biasa saja, dan bahkan mungkin merasa nyaman. Misalnya saja, bila kita mungkin sudah tidak lagi bersaat teduh sekian lama, atau sudah kehilangan makna ketika beribadah, maka apakah kita merasa jengkel dengan gangguan jaringan seperti demikian? Hmmm . . . mari kita sama-sama khawatir karena mungkin gangguan jaringan internet telah membuat hati kita lebih kesal ketimbang kita mengalami gangguan jaringan dengan Tuhan.

Tuesday, October 30, 2007

ANTARA OLAHRAGA DAN KESEHATAN JIWA

Saya penggemar olahraga bulutangkis. Setiap hari Senin saya hampir selalu bermain bulutangkis bersama dengan rekan-rekan hamba Tuhan, karyawan gereja, jemaat, dan kenalan-kenalan di luar gereja. Setiap hari Minggu malam saya senantiasa menanti-nantikan dengan tidak sabar untuk ingin segera memasuki hari Senin.

Melalui aktivitas itu, saya bisa memuaskan apa yang menjadi kegemaran saya. Sejak SMP saya telah menyadari bahwa hobi saya adalah bermain bulutangkis. Mengikuti les bulutangkis adalah salah satu cara untuk saya bisa memaksimalkan hobi ini. Akhir-akhir ini saya sering prihatin dengan para siswa-siswi yang sibuk dengan segala tetek-bengek rutinitas sekolah yang masih ditambah dengan les sana-sini. Dampaknya, mereka sulit untuk menikmati atau bahkan mengembangkan hobinya. Bukankah dampak ini akan merembet pada dampak yang buruk pada psikologi orang tersebut? Stress, depresi, kejenuhan, merasa kesepian adalah beberapa dampak buruk pada psikologi orang yang terperangkap dalam rutinitas kerja/sekolah.

Selain memuaskan apa yang menjadi hobi saya, olahraga yang satu ini ternyata mampu membuat jiwa saya terasa lebih segar dan sehat. Tahukah kenapa? Karena melalui badminton, saya menemukan sarana untuk mengekspresikan diri apa adanya. Di sana saya bisa melepaskan perasaan tegang, stress, ingin marah, dan emosi-emosi lainnya. Berteriak di lapangan bulutangkis seringkali menjadi satu "pelepasan" emosi yang mungkin selama seminggu sudah terpendam. Yah, puji Tuhan, saya masih memiliki sarana untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam hati saya.

Pernah satu ketika seorang rekan bercerita tentang permasalahan hidupnya. Setelah hampir setengah jam kami berbincang-bincang, saya mengusulkan agar ia datang ke tempat bulutangkis untuk bermain dan berteriak. Dia pun setuju karena ia menyadari bahwa bermain bulutangkis bisa menjadi sarana untuk melepaskan apa yang menjadi beban dalam hatinya. Kawan, bila Anda sedang memiliki masalah dan rasanya ingin diekspresikan dengan sebebas mungkin, maka pergilah berolahraga. Rasakan nikmatnya!

Dan manfaat terakhir yang saya bisa rasakan adalah olahraga dapat membantu stamina tubuh. Mungkin hal ini sudah lumrah untuk didengar. Olahraga memang dianggap sebagai aktivitas yang menyehatkan tubuh. Tapi yang saya mau tekankan adalah bahwa dengan stamina tubuh yang prima maka saya lebih mampu mengendalikan emosi. Ketika saya sedang sakit, maka saya cenderung ingin marah. Tetapi ketika saya sehat dan stamina sedang fit, maka saya menjadi tidak mudah marah. Bukankah ini adalah manfaat yang baik bagi kehidupan manusia?

Jadi, saya share hal ini agar para pembaca dapat segera berolahraga. Dan bagi Anda yang memang sudah berolahraga, coba nikmati dan perhatikan bagaimana olahraga itu dapat memengaruhi kesehatan jiwa Anda. Dengan memerhatikan hal ini, maka Anda makin dapat mengembangkan kesehatan jiwa melalui sarana olahraga.

Thursday, October 25, 2007

RADIO

Radio adalah sebuah judul film yang baru saja saya lihat dan perlu Anda tonton. Absolutely! Apa inti cerita dari film tersebut? Film yang diangkat berdasarkan true story ini mengisahkan mengenai seorang pelatih futbol Amerika yang menerima pemuda idiot apa adanya. "Radio" bukanlah nama si pemuda atau si pelatih tersebut. "Radio" adalah satu kata yang untuk pertama kalinya diucapkan pemuda idiot itu kepada Jones, pelatih futbol di SMU Hannah, Amerika. Ketika sebagian siswa SMU Hannah menganggap rendah "Radio", Jones tetap memandangnya seperti orang normal.

Apakah mudah bagi sang pelatih untuk menerima kehadiran "Radio" apa adanya? Sangat tidak mudah! Ada tantangan, ada hambatan. Dikisahkan di sana bahwa ia sempat mendapatkan tekanan dari orangtua, siswa, dan termasuk anggota yayasan/dewan sekolahnya. Tapi visi Jones tetap jelas, yaitu menerima "Radio" apa adanya.

Lalu apa hasilnya? Lambat laun para siswa SMU Hannah mencintai "Radio" dan menerima keberadaannya. Dalam kelas, meski ia berperangai seperti siswa pada umumnya, namun teman-teman kelasnya bisa menerima pemuda ini. Para orangtua pun menerima "Radio" apa adanya. Ada perubahan yang terjadi dalam komunitas SMU tersebut. Mereka belajar bagaimana menerima orang apa adanya. Belajar mengasihi orang bukan karena apa yang dia lakukan, tetapi karena siapa dia-nya; bukan karena fungsinya, tetapi karena pribadinya.

"Radio" akhirnya lulus dari SMU. Tapi siapa yang menyangka bila 26 tahun kemudian "Radio" menjadi pelatih futbol yang paling dicintai di SMU Hannah. Jones benar ketika ia sempat berkata di depan para orangtua murid demi memperjuangkan keberadaan "Radio" di sekolah: "Dia tidak belajar dari kita, tetapi kita belajar dari dia." Bagi Jones, "Radio" adalah seorang pemuda yang sama dengan pemuda-pemuda lainnya, butuh dikasihi dan diterima apa adanya. Apa yang ditabur Jones akhirnya dituai pula. Jones boleh berbesar hati ketika ia melihat "Radio", yang nama aslinya adalah James Robert Kennedy, menjadi pelatih futbol di SMU Hannah.

Coba bayangkan, apabila di komunitas Anda, entah di gereja, di sekolah, atau bahkan di rumah, ada orang yang berperilaku tidak seperti orang lain pada umumnya, maka apa yang akan Anda lakukan? Ketika orang pada umumnya menilai bahwa ia tidak berguna, maka apakah kita juga turut dalam penilaian tersebut? Saya jadi teringat pada apa yang dilakukan Yesus. Bila Ia melihat pada nilai guna atau fungsi kita, maka Ia tidak akan mau turun ke dunia untuk menyelamatkan kita. Tapi oleh karena Ia melihat nilai dalam pribadi kita, maka Ia mau mati bagi kita. Ia melihat kita sebagai biji mata-Nya. Pertanyaannya, mata siapakah yang akan kita pakai untuk melihat orang-orang yang seringkali dianggap tidak berguna oleh masyarakat?

Wednesday, October 24, 2007

BETAPA LUCU TETAPI KENYATAAN

  • Betapa besarnya nilai uang kertas senilai Rp. 100.000 apabila dibawa ke gereja untuk disumbangkan; tetapi betapa kecilnya kalau dibawa ke Mall untuk dibelanjakan.
  • Betapa lamanya melayani Allah selama satu jam; namun betapa singkatnya kalau kita melihat film.
  • Betapa sulitnya untuk mencari kata-kata ketika berdoa (spontan); namun betapa mudahnya kalau mengobrol atau bergosip dengan teman tanpa harus berpikir panjang-panjang.
  • Betapa asyiknya apabila pertandingan basketball diperpanjang waktunya ekstra; namun kita mengeluh ketika khotbah di gereja lebih lama sedikit daripada biasanya.
  • Betapa sulitnya untuk membaca satu perikop dari Kitab Suci; namun betapa mudahnya membaca 100 halaman dari novel yang laris.
  • Betapa getolnya orang untuk duduk di depan dalam pertandingan atau konser namun lebih senang duduk di bangku paling belakang di gereja.
  • Betapa sulitnya untuk menyesuaikan jadwal waktu kita, 2 atau 3 minggu sebelumnya untuk acara gerejawi; namun betapa mudahnya menyesuaikan waktu dalam sekejap pada saat terakhir untuk event yang menyenangkan.
  • Betapa sulitnya untuk mempelajari suatu bab sederhana dari Injil untuk dibagikan dengan orang lain; namun betapa mudahnya untuk mengulang-ngulangi gosip yang sama kepada orang lain itu.
  • Betapa mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran; namun betapa kita meragukan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci.

Monday, October 22, 2007

MELEPASKAN APA YANG KITA KASIHI

1 Samuel 1: 11, 27-28

Kehilangan apa yang kita kasihi adalah satu hal yang sangat menakutkan dan memukul hati kita. Seorang teman SMA saya pernah menangis sejadi-jadinya gara-gara anjing kesayangannya tertabrak kereta api sehingga tubuhnya terbelah menjadi tiga bagian. Istri saya, sewaktu di SAAT, juga pernah menangisi anjing kesayangannya yang raib dan sampai sekarang tidak pernah diketahui keberadaannya. Orang tidak bisa berkata, “Walah, wong anjing saja kok nangis.” Orang itu bisa berkata demikian karena kemungkinan besar binatang anjing yang ditangisi itu bukanlah apa yang dia kasihi. Coba kalau dia kehilangan apa yang dia kasihi, dia juga pasti menangisinya. Jadi, kalau kita kehilangan apa yang kita kasihi tentu akan sangat menyakitkan hati kita. Bukankah ini sangat manusiawi sekali?

Sekarang cobalah untuk diam sejenak. Saya izinkan Anda untuk merenungkan kehilangan apa saja yang Anda takuti selama satu menit. Kita semua pasti punya ketakutan akan kehilangan-kehilangan tertentu. Bisa jadi kehilangan materi, kehilangan binatang kesayangan, kehilangan kesehatan, kehilangan orang, dan seterusnya. Silakan menderet kehilangan-kehilangan yang Anda takuti.

Nah setelah kita menderet kehilangan-kehilangan itu, sekarang coba pikirkan, bila Tuhan bertanya, “Hai _________ (nama Anda), maukah engkau melepaskan satu per satu hal-hal yang ada dalam deretan itu demi Aku?” Bila Tuhan menginginkan agar kita melepaskan apa yang kita kasihi itu, maka apa reaksi atau respons kita?

Hana yang ada dalam kisah 1 Samuel melakukan hal ini. Ia melepaskan apa yang dia kasihi. Apa yang dia kasihi? Yang dia kasihi adalah putera pertama dari anak pertama yang dinamakan Samuel. Hana pasti sangat mengasihi Samuel karena ia adalah anak yang sangat diharap-harapkan sekian lama. Anak yang lahir di tengah-tengah caci maki masyarakat, dan bahkan oleh Penina, istri kedua dari suaminya. Anak yang lahir dengan penuh cucuran air mata dan doa. Sebab itu, saya yakin, ketika Tuhan mengaruniakan Samuel, Hana pasti akan sangat bergembira, hatinya melonjak-lonjak kegirangan, dan ia pasti sangat mengasihi Samuel.

Tapi saya kagum terhadap Hana. Ia tidak lupa akan janjinya kepada Tuhan. Ia pernah berjanji, “Tuhan, kalau Engkau mengaruniakan seorang anak laki-laki, maka aku akan mempersembahkan dia kepada Engkau untuk seumur hidupnya.” Yang saya kagumi di sini adalah bukan karena ia menepati janjinya, tetapi karena ia berani melepaskan apa yang ia kasihi. Hana berkata, “Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku, apa yang kuminta dari pada-Nya. Maka aku pun menyerahkannya kepada Tuhan; seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada Tuhan” (ay. 27-28). Kata-kata “terserahlah ia kiranya kepada Tuhan” jelas-jelas menunjukkan keberaniannya untuk melepaskan apa yang ia kasihi. Keberaniannya untuk melepas apa yang ia kasihi inilah yang membuat saya mengaguminya.

Bila Tuhan menantang kita untuk melepaskan apa yang kita kasihi demi kemuliaan-Nya, maukah kita melepaskannya? Apa yang membuat kita mengalami kesulitan untuk melepaskan apa yang kita kasihi bagi Tuhan? (1) Bisa jadi karena kita berpikir bahwa hal-hal yang kita kasihi itu berasal dari perjuangan kita. Satu ketika ada seorang ayah dikabarkan meninggal secara mendadak. Tahukah penyebabnya? Karena ia baru saja mendengar bahwa perusahaan yang dijalankan anaknya mengalami kebangkrutan sehingga perusahaan itu harus ditutup. Ayah ini mungkin merasa sangat kecewa karena perusahaan yang selama ini dirintis selama masa mudanya akhirnya harus berakhir di tangan anaknya. Bukankah kita bisa menjadi seperti seorang ayah tadi? Mungkin kita pikir bahwa hal-hal yang kita genggam dan kita kasihi itu berasal dari kita. Sebab itu, kita tidak rela melepaskannya untuk Tuhan. (2) Bisa jadi karena pengaruh budaya. Budaya memuaskan pelanggan misalnya. Ketika kita, sebagai pelanggan tidak dipuaskan, maka kita mudah complaint, mudah marah, mudah kecewa. Kita lebih senang untuk mendapatkan servis yang memuaskan. Memang hal ini ada baiknya. Tapi ada pula sisi buruknya. Apa itu? Budaya memuaskan pelanggan akhirnya mengajarkan bahwa kita adalah raja yang perlu dilayani dan mendapatkan banyak hal. Nah itulah sebabnya, ketika Tuhan meminta kita untuk melepaskan apa yang kita kasihi, maka kita akan merasa tidak puas dan akhirnya kita tidak mau melepaskannya. Bukankah budaya-budaya di sekitar kita seringkali memengaruhi hubungan kita dengan Tuhan?

Tapi puji Tuhan, hari ini kita kembali disegarkan agar kita bisa menjadi seperti Hana yang berani melepaskan apa yang ia kasihi. Sering kita mendengar khotbah-khotbah yang mengatakan “persembahkanlah hidupmu”. Ketika kita ingin belajar untuk melakukan persembahan hidup, Tuhan bisa saja berbisik kepada kita, “Anakku, coba lepaskan satu hal yang engkau kasihi itu kepada-Ku?” Mampukah kita berkata, “Ya Tuhan, Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang mengambil?”

Friday, October 19, 2007

MENGATASI KONFLIK RUMAH TANGGA 3

Lantas kalau sudah terjadi konflik, apa yang perlu kita lakukan?
  1. Latihan sadar diri. Menyelesaikan konflik tidak mungkin terlepas dari yang namanya sadar diri. Dengan tingkat kesadaran tinggi yang baik, maka niscaya kita dapat menyelesaikan konflik dengan win-win solution. Latihan sadar diri yang dimaksud di sini adalah kita memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif, seperti: Hal apa yang membuat saya dan pasangan marah, apa yang membuat saya dan pasangan bereaksi sedemikian rupa, darimanakah pola menghadapi konflik selama ini, dan seterusnya.
  2. Cek, apakah harapan kita telah berubah menjadi tuntutan bagi pasangan. Paul Gunadi mengajak kita untuk mempelajari atau menyadari anatomi konflik itu sendiri. Konflik mulai muncul tatkala harapan berubah menjadi tuntutan. Kalau dulu kita berkata, "Saya berharap kamu lakukan ini atau saya pikir kamu perlu melakukan itu." Tapi apabila harapan itu telah berubah menjadi tuntutan, maka kita mulai berkata, "Kamu harus lakukan ini."
  3. Carilah waktu dan situasi yang tepat untuk membicarakan konflik. Seringkali ada dua cara ekstrem yang terjadi dalam menyelesaikan konflik rumah tangga: Pertama, kita langsung "menyerbu" pasangan dengan berondongan pernyataan atau pertanyaan yang mendesaknya sehingga konflik makin memanas. Atau, kedua, kita tidak pernah membahasnya kembali karena takut konflik itu makin memanas. Kedua cara ekstrem itu sama-sama tidak konstruktif dan tidak menyelesaikan akar masalahnya. Kita perlu cara yang lebih bijaksana lagi, yaitu mencari waktu dan situasi yang tepat. Mencari waktu yang tepat artinya bila emosi dari kita dan pasangan sudah mulai reda. Waktu inilah yang dikatakan waktu yang tepat untuk membicarakan dan menyelesaikan konflik. Mencari situasi yang tepat artinya kita perlu mencari tempat atau suasana yang kondusif untuk menyelesaikan konflik. Misalnya, kita dan pasangan dapat pergi ke kamar tidur berdua dan tidak membiarkan pihak ketiga (seperti anak-anak) masuk dalam ruangan itu. Atau kita juga dapat pergi berdua ke suatu tempat favorit dan menyelesaikan konflik itu di sana.

Demikianlah ketiga cara yang dapat dipakai untuk mengatasi konflik-konflik dalam rumah tangga. Semoga sharing ini dapat berguna bagi Anda. Tuhan memberkati.

Monday, October 15, 2007

PENDETA NAIK HAJI, PAK HAJI MEMBAPTIS PENDETA?

Seorang haji bertetangga baik dengan seorang pendeta. Rumah mereka berada di sebuah lembah dan pada musim penghujan sering kebanjiran. Suatu ketika, hujannya cukup deras, sehingga air cukup tinggi. Karena Pak Haji badannya tinggi besar, dalam perjalanan menuju tempat pengungsian, ia menggendong Pak Pendeta agar tidak tenggelam. "Apakah Pak Haji pernah mendengar seorang pendeta naik haji?" tanya Pak Pendeta. "Ah yang benar saja Pak Pendeta, mana ada?" jawab Pak Haji. "Lah yang saya lakukan ini, apa?" kata Pak Pendeta lagi. "Wah kalau berita tentang seorang haji membaptis pendeta, apakah Pak Pendeta sudah pernah melihat?" balas Pak Haji. "Ah yang benar saja, Pak Haji!" "Pak Pendeta tidak percaya? Coba lihat ini!" jawab Pak Haji seraya melepaskan gendongannya.

(Diambil dari Edy Sumartono, Pak Pendeta Buatlah Jemaat Stress!)

Wednesday, October 10, 2007

MENGATASI KONFLIK DALAM RUMAH TANGGA 2

Sebagaimana telah dikatakan pada artikel sebelumnya bahwa setiap calon pasangan nikah membawa kantung-kantung harapan, maka kita perlu bertanya darimanakah datangnya kantung-kantung itu. Paul Gunadi berpendapat bahwa kantung harapan itu muncul dari pembentukan masa lalu yang dipengaruhi oleh orangtuanya. Maksdunya, ia melihat cara hidup orangtuanya. Misalnya, mama begitu sopan dan hormat kepada papa, kalau papa sedang marah mama tidak pernah menjawab. Dari pengalaman melihat hal itu, maka calon pasangan bisa jadi akan membawa pengalamannya dalam pernikahan sebagai sebuah harapan. Harapan-harapan itulah yang akan membuat dirinya berkata, "Seorang suami seharusnya berlaku ini atau seorang istri seharusnya berlaku itu, dan seterusnya."

Untuk istri, saya berharap agar ia sebisa mungkin menemani makan dan mengambilkan nasi beserta lauk-pauknya ke piring saya. Harapan ini berakar dari pengalaman melihat mama yang menemani dan mengambilkan makanan untuk papa. Setiap kali kami makan bersama, kebanyakan mama mengambilkan sendok, garpu, serta nasi untuk suami dan anak-anaknya. Kemungkinan besar dari penglihatan seperti demikianlah akhirnya saya berharap agar istri bisa melakukan hal yang sama dengan mama saya. Dan jujur, ketika istri melakukan itu, maka puaslah hati saya.

Selain dari orangtua, pengaruh media massa juga dapat memengaruhi calon pasangan. Paul Gunadi berpandangan bahwa tayangan-tayangan televisi atau film, tanpa disadari sangat berpengaruh. Misalnya, di dalam film itu peran si pria sangat dominan, semuanya tunduk pada kata-kata si ayah atau suami. Nah dalam pernikahan, si calon pasangan dapat meneruskan pengaruh film itu sebagai harapan dalam pernikahannya. Hal ini memang dapat terjadi. Satu ketika seorang istri berkata pada saya bahwa ia ingin agar pernikahannya seindah seperti film Korea. Dari sini kita melihat bahwa pengaruh media massa dapat membentuk kantung harapan kita.

Saturday, October 06, 2007

Friday, October 05, 2007

MENGATASI KONFLIK DALAM RUMAH TANGGA 1

Siapa sih yang tidak pernah mengalami konflik? Saya kira semua orang yang hidup di dunia ini pasti pernah mengalami konflik. Berbicara tentang mengatasi konflik dalam rumah tangga, sebenarnya bukanlah satu hal yang baru bagi orang yang sudah menikah. Sebelum ia menikah, ia tentu pernah mengalami konflik, entah dengan rekan kantornya, orang tuanya, saudaranya, teman olahraganya, dan yang lain-lain. Tapi bukankah seringkali kita yang sudah menikah merasa konflik rumah tangga lebih menyakitkan dan melelahkan ketimbang konflik di luar rumah tangga?

Melalui Mengatasi Konflik dalam Rumah Tangga yang merupakan buah tangan dari Dr. Paul Gunadi, kita akan melihat apa yang menjadi sumber umum dari konflik rumah tangga. Menurutnya, sumber yang paling umum dari konflik rumah tangga adalah terletak pada masalah harapan. Kita mengalami konflik dengan pasangan kita karena dia tidak memenuhi apa yang kita harapkan. Demikian pula sebaliknya, pasangan kita juga merasa bahwa kita tidak memenuhi harapannya.

Paul Gunadi mempercayai bahwa sewaktu seorang menikah dengan pasangannya, ia sebenarnya sudah membawa suatu kantung yang berisi harapan. Harapan-harapan itulah yang akhirnya ia embankan kepada pasangannya. Sama halnya dengan pasangan lawannya. Nah dari sinilah kita melihat akan pentingnya untuk mengomunikasikan harapan-harapan pasangan sebelum pernikahan itu terjadi sebagai usaha untuk mengurangi tingkat konflik. Sebab itu, Paul Gunadi dengan tepat mengatakan: "Yang berbahaya ialah jika harapan ini tidak pernah dibicarakan, karena ada anggapan ini tidak penting atau itu akan beres dengan sendirinya, kemudian melangsungkan pernikahan."

Tapi darimanakah munculnya kantung harapan itu? Tunggu pembahasan berikutnya!

Thursday, October 04, 2007

KOMIT (KELOMPOK INTI)

Kemarin komit (kelompok inti) dimulai. Sebenarnya program ini bukan barang baru karena sebelumnya gereja telah mengadakan kelompok 40 DOP (Days of Purpose) selama enam kali berturut-turut. Oleh karena kami melihat keefektifan pembinaan dan persekutuan melalui kelompok-kelompok kecil, maka kami sepakat untuk meneruskan kelompok sel menjadi salah satu basis gereja, selain kebaktian mingguan.

By the way, saya pribadi sangat senang dengan adanya komit ini. Banyak keuntungan pribadi yang saya petik dari komit, misalnya: (1) Saya, sebagai hamba Tuhan, dapat lebih mengenali pergumulan jemaat. Di sana saya lebih memahami seluk-beluk jatuh bangunnya jemaat. Pendekatan personal bisa terasa sekali dalam kelompok itu; (2) Saya melihat bahwa menciptakan community of healing (komunitas penyembuh) dapat lebih terealisasikan. Menciptakan komunitas penyembuh akan tampak mustahil bila kita hanya mengkhotbahkannya di mimbar setiap minggu. Itu jelas tidak cukup! Tapi dengan adanya komit, kita dapat perlahan-lahan membentuk komunitas yang saling menyembuhkan; (3) Saya sendiri pun belajar lebih transparan dengan jemaat. Kelompok kecil mendesak saya untuk berbagi pergumulan pribadi. Nah dari situlah saya belajar untuk lebih transparan kepada jemaat. Ada baiknya bila jemaat juga mengenali apa yang menjadi pergumulan seorang hamba Tuhannya sebagai manusia biasa.

Finally, thank to the Lord for giving me a community to heal and to be healed.

Tuesday, October 02, 2007

Rekreasi dengan Karyawan


Senin, tanggal 1 Oktober, kami para hamba Tuhan mengadakan rekreasi bersama dengan para karyawan gereja. Kami pergi ke Yogyakarta dan pantai Kukup di Wonosari. Wah senang sekali rasanya bisa pergi bersama dengan mereka. Gereja kadang lupa bahwa para karyawan memiliki peran yang sangat besar. Mereka adalah orang-orang yang seringkali kurang diakui dan dihargai jemaat karena posisi mereka yang "tak kelihatan" atau kalaupun kelihatan, mereka tampak seperti seorang yang rendah statusnya. Tapi pandangan ini jelas salah. Hamba Tuhan justru membutuhkan mereka. Tanpa mereka, program-program gereja tidak akan berjalan dengan baik. Lagipula, dalam pandangan Tuhan mereka dan para hamba Tuhan adalah sama-sama pelayan-Nya. Tidak kurang dan tidak lebih. Nah melalui rekreasi bersama dengan hamba Tuhan inilah, kami belajar menghargai mereka. Terima kasih atas pelayanan kalian selama ini!

Friday, September 28, 2007

PERJUANGAN PROSES MENEMANI

Menolong orang tidak identik dengan yang namanya memberikan solusi pada orang tersebut. Pada umumnya, orang yang datang pada kita dan rela menceritakan keluh kesahnya adalah orang-orang yang mengerti solusinya. Satu ketika ada seorang bercerita betapa kesalnya dia terhadap rekan-rekan kantornya. Lalu apa yang dia butuhkan waktu itu? Ternyata bukan solusi, tapi butuh ada seorang teman yang bersedia menyediakan telinga. Ia sebenarnya tahu bahwa ia seharusnya mengasihi, bahkan mengampuni mereka. Apalagi memang ia adalah orang Kristen. Tapi sekali lagi, memberikan solusi bukanlah hal yang diharapkannya.

Satu lagi kasus yang serupa terjadi ketika saya selesai kebaktian ketiga, pukul 10.00 pagi. Waktu itu, seorang pemuda mendatangi saya, "Ko, bisakah aku bicara sebentar?" "Ya, mari kita bicara di dalam ruang ibadah," demikian jawab saya. Dalam ruangan itulah, sang pemuda itu mencurahkan kekesalannya terhadap orangtua. Ia baru saja bertengkar hebat dengan mamanya. Setelah ia menceritakan kasusnya, ia bertanya, "Ko, aku ini dosa ya karena telah berkata kasar dan kotor terhadap mamaku?" Apa yang dapat kita petik dari pertanyaan ini? Saya kembali diteguhkan bahwa pada umumnya orang yang membawa permasalahan tidak memerlukan ceramah atau khotbah tentang solusinya. Tidak! Tapi mereka butuh ditemani dalam proses menuju solusinya. Jadi, proses menemani adalah hal vital dari menolong orang lain.

Tapi dalam kenyataannya, proses menemani adalah proses yang sangat sulit. Banyak orang ingin segera menyelesaikan masalah orang lain, banyak orang ingin menjadi pemecah masalah, banyak orang ingin memberikan jawaban-jawaban. Nah di sinilah tantangan untuk melakukan proses menemani. Kita perlu ekstra kesabaran untuk melakukan hal ini. Inilah sebuah perjuangan. Perjuangan proses menemani. Selamat berjuang!

Wednesday, September 26, 2007

Golongan Darah Yesus?

Dalam sebuah konferensi Para Ahli Purbakala Kitab Suci seluruh Dunia, kontingen Indonesia mengemukakan penemuannya tentang golongan darah yesus. Dalam sebuah diskusi mereka mengatakan, "Ternyata, golongan darah Yesus adalah O." Peserta lain tercengang. "Bagaimana itu bisa terjadi dan alat apa yang dipakai untuk menelitinya?" desak peserta lain penuh kagum. ". . . O, darah Tuhanku . . ." peserta dari Indonesia menyanyikan Kidung Jemaat no. 36.

(Diambil dari Edy Sumartono, Pak Pendeta, Buatlah Jemaat Stress)

Monday, September 24, 2007

Masihkah Anda Merasa Berhutang?

Pernahkah Anda berhutang sejumlah uang hingga Anda merasa tercekik karena tidak bisa membayarnya? Saya pernah. Pengalaman berhutang sewaktu saya duduk di SMU adalah pengalaman yang telah menoreh lubuk hati saya. Rasanya, saya tidak mungkin lupa akan peristiwa waktu itu. Saat itu, karena kesalahan saya, saya akhirnya berhutang dengan seorang teman baik. Hutang itu cukup besar buat seorang anak SMU. Singkatnya, saya kesulitan membayar hutang itu.

Apa rasanya ketika saya tidak mampu membayar hutang itu? Dada saya terasa sesak, leher saya terasa dicekik, dan hidup saya serba tidak nyaman. Di sekolah saya selalu kepikiran, di rumah saya kembali memikirkan hal itu. Betul-betul tidak enak rasanya. Wah kapok deh!

Tetapi ketika merenungkan perkataan rasul Paulus, ". . . kita adalah orang-orang berhutang" (Rm. 8: 12), maka saya mau tidak mau teringat kembali akan pengalaman buruk sewaktu di SMU itu. Kemudian, saya bertanya dalam hati apakah perasaan berhutang kepada Tuhan itu sama persis dengan perasaan berhutang saya kepada seorang teman. Ternyata, mirip tapi tidak sama! Maksudnya?

Tidak sama, karena hutang kepada Tuhan tidak akan pernah terlunasi sehingga perasaan berhutang tidak mungkin sirna. Sedangkan, hutang kepada seorang teman masih mungkin terlunasi sehingga perasaan berhutang pun bisa sirna. Tapi bisa dikatakan mirip, karena berhutang kepada siapa pun akan sama-sama menimbulkan perasaan untuk ingin mengembalikannya. (Ini orang yang normal lho ya).

Nah Roma 8:12 tadi sebenarnya mengajak kita untuk mengingat bahwa kita ini adalah orang yang berhutang kepada Tuhan. Kalau kita sudah percaya Kristus, kalau kita sudah ditebus oleh darah Kristus yang mahal, maka mau tidak mau dan suka atau tidak suka, kita adalah orang-orang yang berhutang kepada Tuhan. Berhutang apa saja? Jelas sangat banyak! Tuhan memberikan kesehatan, kehidupan, pengalaman-pengalaman hidup, keluarga, rezeki, teman-teman, dan seterusnya. Apalagi ada satu lagi yang tidak boleh kita lupakan, yaitu: KESELAMATAN! Dan justru hal keselamatan inilah yang menjadi tekanan rasul Paulus.

Namun masalahnya, kita kadang tidak merasa berhutang kepada Tuhan. Kita kadang seperti seorang anak kecil dalam kisah berikut ini: Satu ketika seorang anak pergi bersama ayahnya ke Mc Donald. Setelah sang ayah memesan paha ayam goreng, lalu ia bertanya kepada anaknya agar ia memesan sesuatu. Anak itu pun ternyata memesan makanan yang sama, yaitu paha ayam goreng. Lalu mereka berdua segera duduk dan makan. Ketika mereka makan, sang ayah menggoda anaknya dengan pura-pura mau mengambil ayamnya. Spontan anak itu berusaha melindungi ayamnya, lantas berkata, "Ayah, ini kan milik saya!" Bukankah kita seperti anak kecil itu? Kita tidak merasa bahwa Tuhanlah yang memberikan semua hal dalam kehidupan kita. Akhirnya, kita pun tidak merasa berhutang apapun kepada Tuhan. Aneh bin ajaib kan?

Semoga melalui perenungan dari Roma 8 tadi mengingatkan akan siapa diri kita. Kita ini adalah orang-orang yang berhutang kepada Tuhan. Ketika kita menyadari hal ini, maka pastilah kita akan merasa ingin segera mengembalikan hutang itu. Dan ketika perasaan ingin mengembalikan hutang itu ada, maka kita akan lebih mudah untuk mempersembahkan waktu, uang, tenaga, talenta, dan hidup kita kepada Tuhan. So, masihkah Anda merasa berhutang?

Saturday, September 22, 2007

Terima Kasih karena Saya Sakit

Kemarin waktu ada acara retret alumni, saya terserang penyakit masuk angin. Akibatnya, leher saya menjadi tegang dan kepala menjadi susah untuk digerakkan ke kiri ke kanan. Untung, saya punya teman yang rela ngerokin leher dan punggung. Wah merah sampai hitam warnanya. Agak lega sih, tapi masih sakit lehernya.

Tapi herannya, dalam keadaan itu saya jadi teringat dengan orang-orang yang kena stroke sehingga lehernya menjadi sangat kaku. Dari ingatan seperti demikian, Tuhan sepertinya mengingatkan saya akan dua hal: Pertama, supaya saya tidak banyak menggerutu. Terus terang, sakit ini membuat saya sulit menoleh kiri kanan. Ketika bangun pun, saya harus menggunakan kedua tangan untuk mengangkat kepala karena leher yang sakit itu. Lucu kan? Nah hal itu terjadi dari tiga hari yang lalu sampai sekarang. Hati rasanya kesal. Tapi ya itu tadi, Tuhan ingatkan saya bahwa sakit leher yang kayak gituan masih ringan bila dibandingkan dengan orang yang kena stroke. Langsung saat itu, saya merasa malu karena banyak menggerutu.

Hal kedua, supaya saya bisa berempati dengan orang yang kena stroke. Sakit masuk angin yang menyerang di bagian leher pasti bukan kebetulan. Ada satu maksud dari Tuhan yang perlu saya pelajari. Nah salah satunya adalah saya akan lebih bisa berempati kepada orang yang kena stroke yang mengakibatkan leher susah digerakkan. Kalau saya saja yang baru beberapa hari menderita, lalu bagaimanakah perasaan menderitanya orang yang kena stroke ya? Dari sini saya belajar lebih berempati kepada orang-orang yang menderita penyakit itu.

So kesimpulannya, terima kasih karena saya sakit. Eitt jangan salah! Saya bukan pecinta penyakit sehingga saya berdoa agar Tuhan memberikan penyakit. Tapi saya berterima kasih kepada Tuhan yang mengizinkan saya belajar dua hal penting melalui sakit yang simple ini. Terima kasih Tuhan, Engkau sangat baik!

Friday, September 14, 2007

SOLI DEO GLORIA!

Ayub 1-2

Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan?” (Ayb. 1:21)

2 S—sukses dan sehat—itulah yang didambakan oleh kebanyakan orang. Sebab itu, tidak heran bila sampai hari ini terdapat banyak sekali seminar dan buku yang mengajarkan mengenai kesuksesan. Banyak orang, baik tua atau muda, tertarik untuk mengikuti ajarannya. Ah kita memang tidak perlu munafik; siapa toh yang tidak ingin meraih kesuksesan? Sama halnya dengan kesehatan. Seminar, buku, olahraga, ilmu pengobatan modern dan tradisional yang mempromosikan kesehatan hingga hari ini sangat menjamur di mana-mana. Ah siapa sih yang tidak ingin sehat selalu?

Namun bagaimana bila 2 S itu tidak dapat kita genggam hari ini? Nah inilah yang menjadi masalahnya. Banyak orang tidak siap untuk kehilangan 2 S. Padahal, bukankah 2 S memiliki “sayap” yang dapat terbang dan meninggalkan kita? Ayub adalah salah satu contoh orang yang kehilangan 2 S. Dulu ia sukses dan sehat. Ia terkenal sebagai orang yang kaya raya di negerinya. Segala ternak dan budak menggemakan segala kekayaannya. Sampai-sampai Alkitab mencatat, “. . . orang itu adalah yang terkaya dari semua orang di sebelah timur” (Ayb. 1:3). Tapi itu dulu!

Sekarang apa jadinya? Kesuksesan yang telah ia nikmati hilang begitu saja. Banyak aset kekayaannya sirna dalam sekejap. Bukan kekayaan saja, kesehatan pun lepas dari genggamannya. Karena sedemikian parahnya, sampai-sampai ketiga sahabat Ayub tidak mengenalnya lagi (Ayb. 2:12). Namun apa respons Ayub ketika ia kehilangan 2 S? “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” demikian responsnya. Ayub menyadari bahwa 2 S dapat datang dan pergi begitu saja. 2 S memang bukan dalam genggamannya, melainkan dalam genggaman-Nya, Sang Khalik itu.

Sukses dan sehat memang adalah mimpi setiap orang. Mimpi itu tidak salah. Tapi kita tidak boleh takabur. Kita tidak mungkin hidup dalam mimpi tersebut sepanjang hidup. Ada waktu untuk berada di puncak kejayaan, tapi ada pula waktu untuk berada di lembah penderitaan. Semua hal ini menunjukkan bahwa 2 S berada dalam genggaman Tuhan. Lantas apa tugas kita bila 2 S itu ada dalam kuasa Tuhan? Perhatikan bagian akhir dari perkataan Ayub tadi, “. . . terpujilah nama Tuhan.” Nah inilah tugas kita! Baik sukses atau bangkrut, baik sehat atau sakit, kita tetap memuliakan nama Tuhan. Soli Deo gloria.

Apa yang menyebabkan kita sulit memuliakan Tuhan ketika 2 S meninggalkan kita?

Saturday, September 08, 2007

HAI AYUB, APA KABAR?

PENGANTAR KITAB AYUB


Penulis Kitab

Siapakah penulis kitab Ayub? Apakah Ayub sendiri? Bukan. Meski kitab Ayub mencatat sangat banyak mengenai diri Ayub, namun ia sendiri bukanlah penulis kitab ini. Penulis yang tak diketahui namanya ini kemungkinan memiliki sumber-sumber oral atau tertulis yang mana di bawah inspirasi Tuhan ia menyusun sumber-sumber tersebut menjadi kitab yang sekarang ini kita miliki. Mengenai sumber-sumber tersebut, seorang sarjana PL David Atkinson menjelaskan bahwa kemungkinan penulis kitab memakai suatu cerita rakyat yang sejak dahulu diceritakan turun-temurun.

Struktur Kitab

Kitab Ayub dapat dibagi menjadi tiga bagian besar. Bagian pertama, pasal 1-2, berisi prolog yang ditulis dalam bentuk prosa. Kedua pasal ini menggambarkan latar belakang mengenai peristiwa Ayub. Bagian kedua, pasal 3:1-42:6, ditulis dalam bentuk sajak yang sangat panjang. Bagian ini menceritakan mengenai bagaimana Ayub dan sahabat-sahabatnya berdebat untuk mengerti pergumulan Ayub. Bagian ketiga, pasal 42:7-14, berisi epilog yang ditulis dalam bentuk prosa. Bagian ini mengakhir cerita peristiwa Ayub dengan makna khusus.

Tujuan Penulisan

Tujuan kitab Ayub adalah menyelidiki kebijakan perlakuan Allah terhadap orang benar. Iblis menyatakan bahwa kebijakan Allah dalam memberkati orang benar justru telah mengaburkan kebenaran yang sejati. Berkatlah yang menyebabkan orang-orang mau hidup benar. Sebab itu, Iblis menantang Allah agar berkat yang diberikan kepada Ayub dapat dihentikan demi mengetahui kebenaran yang sejati itu. Iblis rupanya meyakini bahwa tidak ada orang yang mau hidup benar tanpa pamrih. Dalam kasus ini, kebijakan Allahlah yang diuji, bukan Ayub.

Tema-tema Utama

1. Hukum Tabur-Tuai

Hukum tabur-tuai yang seringkali digemakan oleh sahabat-sahabat Ayub sangat mendominasi kitab Ayub. Hukum ini berkata bahwa: Jika seorang hidup benar, dia akan makmur. Jika seorang hidup jahat, dia akan menderita. Hukum ini rupanya cukup terkenal pada zaman Ayub. Oleh karena itu, sahabat-sahabat Ayub mempercayai bahwa Ayub yang sedang bernasib malang itu disebabkan karena ia berbuat jahat.

Meski hukum ini sangat populer pada waktu itu, namun hukum tersebut hanyalah salah satu dari kebenaran. Maksudnya, hukum tabur-tuai tidak selalu dapat dipakai untuk menilai kemakmuran atau penderitaan yang dialami seseorang. Tapi meski demikian, ada satu kebenaran yang paling pasti, yakni bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini bergantung pada kedaulatan Allah. Kita seringkali tidak dapat mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan sebuah penderitaan itu terjadi, namun kita dapat terhibur oleh keyakinan bahwa segala sesuatu berada dalam tangan Allah yang berdaulat dan tidak terbatas hikmat-Nya.

2. Kedaulatan Allah

Sifat kedaulatan Allah adalah tema penting yang terdapat dalam kitab Ayub. Dimulai dari pasal 1 dan 2, kedaulatan Allah tampak jelas ketika Iblis mengadakan perundingan dengan Allah mengenai Ayub. Dari kedua pasal tersebut, kita dapat melihat bahwa kekuasaan Iblis dibatasi oleh kedaulatan Allah sehingga ia harus meminta izin kepada Allah untuk mencobai Ayub. Selain itu, kedaulatan Allah kembali dinyatakan pada pasal 38-42. Atas kedaulatan Allah, Ayub dipulihkan dari penderitaannya. Bahkan, ia diberkati oleh Allah dengan berkat yang berkali-kali lipat dari keadaan sebelumnya. Jadi, atas kedaulatan Allahlah, Iblis tidak berhasil mengalahkan iman Ayub.

3. Perantara

Persoalan mengenai seorang perantara yang dapat menolong Ayub muncul beberapa kali dalam kitab ini (5:1; 9:33; 16:18-22; 19:25-27; 33:23). Ayub memohon agar ia dapat dibantu oleh seorang perantara. Ia yakin bahwa seorang perantara akan muncul (19:25-27). Siapakah perantara itu? Pertanyaan ini sulit dijawab dengan pasti. Banyak sarjana masih memperdebatkan setiap jawaban atas pertanyaan sulit ini. Namun yang pasti, Ayub mengharapkan agar perantara itu berperan sebagai pembela dalam “persidangan” antara Ayub dan Allah.

Disadur dari:

  • Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survei Perjanjian Lama.
  • The NIV Study Bible
  • David Atkinson, Ayub.