Showing posts with label Seri Keluarga Sehat. Show all posts
Showing posts with label Seri Keluarga Sehat. Show all posts

Saturday, February 26, 2011

Gambaran Percakapan Pasutri 6 Minggu, 6 Bulan, 6 Tahun

Sebelum Tidur:
6 minggu:selamat bobo sayang, mimpi indah ya, mmuach.
6 bulan : tolong matiin lampunya, silau nih.
6 tahun : Kesana-an doong ah... kamu kok tidur dempet2an kayak mikrolet gini sih?!

Pakai Toilet:
6 minggu : ngga apa-apa, kamu duluan deh, aku ngga buru2 koq.
6 bulan : masih lama ngga nih?
6 tahun : brug! brug! brug! (suara pintu digedor), kalo mau tapa di gunung kawi sono!

Ngajarin Nyetir:
6 minggu : hati-hati say, injek kopling dulu baru masukin perseneling ya
6 bulan : pelan-pelan dong lepas koplingnya.
6 tahun : KAMU KOK GAK NGERTI2 YA DAH BERIBU2 KALI AKU BILANGIN

Balesin SMS:
6 minggu : iya sayang, bentar lagi nyampe rumah koq, aku beli martabak kesukaanmu dulu ya
6 bulan : macet bgt di jln nih
6 tahun : ok.

Dating process:
6 minggu : I love U, I love U, I love U.
6 bulan : Of course I love U.
6 tahun : Ya iyalah!! kalau aku tidak cinta kamu, ngapain nikah sama kamu??

PULANG KERJA:
6 minggu : Honey, aku pulang!!! *langsung cium kening*
6 bulan : I am back *langsung duduk di sofa*
6 tahun : Oiii... mana aer minum!!! *sambil duduk di sofa*

Hadiah (ulang tahun):
6 minggu : Sayangku, kuharap kau menyukai cincin yang kubeli
6 bulan : Aku membeli lukisan, nampaknya cocok dengan suasana ruang tengah
6 tahun : Nih duitnya, loe beli sendiri deh yang loe mau

Telepon:
6 minggu : Baby, ada yang pengen bicara ama kamu ditelpon
6 bulan : Ini buat kamu nih
6 tahun : WOOIII TELPON BUNYI TUUUHHH.....ANGKAT DUOOONG!!!

Masakan:
6 minggu : Aduh... istriku pandai masak rupanya
6 bulan : Kita makan apa malam ini??
6 tahun : HAH? MAKANAN INI LAGI?

Kalo Jatuh
6 minggu : Kamu ga apa-apa sayang? ada yang luka ga?
6 bulan : Hati-hati! Nanti jatuh .
6 tahun : Makanya kalo jalan liatnya pake mata!!!

Baju baru:
6 minggu : Kamu cantik banget pake baju itu. Makin cinta aja akunya
6 bulan : Lho, kamu beli baju baru lagi?
6 tahun : BELI BAJU ITU HABIS BERAPA??

Rencana liburan:
6 minggu : Gimana kalau kita jalan-jalan ke Amerika atau ke tempat yg kamu mau honey?
6 bulan : Naik bis aja ya gak usah pakai pesawat
6 tahun : JALAN-JALAN? DIRUMAH AJA KENAPA SEH? NGABISIN UANG AJA!

TV:
6 minggu : Baby, apa yg pengen kita tonton malam ini ?
6 bulan : Sebentar ya, filmnya bagus banget nih.
6 tahun : JANGAN DIGANTI-GANTI DONG CHANNELNYA AH! GAK BISA LIAT ORANG SENENG DIKIT APA ?!

Thursday, July 22, 2010

PERTOLONGAN PERTAMA KORBAN KDRT


Apakah Anda adalah korban KDRT? Atau Anda melihat orang lain menjadi korbannya? Anda PERLU dan HARUS lakukan sesuatu. Buku saku ini COCOK untuk Anda. Harga normal: Rp. 15.000 (GRATIS ongkos kirim untuk wilayah Jawa). Tunggu apa lagi? DAPATKAN SEGERA 3 TIPS berharga sebagai pertolongan pertamanya! Hubungi Ibu Yulia di 081578460007 atau lewat email: mpublishing2010@gmail.com

Friday, July 16, 2010

SIKLUS KDRT

Banyak korban KDRT bingung mengapa si pelaku melakukan kekerasan lagi setelah meminta maaf atau menyesali perbuatannya. Bahkan, bukan saja menyesali, si pelaku juga melakukan kebaikan-kebaikan kepada si korban. Untuk menjawab kebingungan tersebut, kita perlu memahami siklus perilaku KDRT dari sudut pelakunya. Meski tidak semua pelaku pasti terjebak dalam siklus ini, namun kita setidaknya dapat melihat gambaran perilaku KDRT secara utuh. Berikut ini adalah siklus perilaku KDRT yang diambil dari teori Lenore Walker, psikolog yang menggeluti bidang ini:

1. Tahap ketegangan dimulai (Tension building phase)
Ini adalah tahap di mana perbedaan pendapat yang bercampur dengan ketegangan emosi dimulai. Di dalamnya terdapat adu mulut yang disertai dengan nada-nada marah, menekan, sekaligus mengancam. Oleh karena keterampilan komunikasi yang miskin antara kedua pihak, maka komunikasi yang terjadi bersifat saling menyakiti hati.

2. Tahap tindakan (Acting-out phase)
Ketika ketegangan tidak dapat diselesaikan dengan baik, maka pelaku akan melakukan kekerasan, khususnya fisik. Ia merasa bahwa dengan jalan ini maka ketegangan dapat berakhir dan situasi akan kembali terkendali. Dengan cara kekerasan, ia juga sedang menunjukkan siapa yang lebih kuat dan berkuasa.

3. Tahap penyesalan/bulan madu (Reconcilliation/honeymoon phase)
Setelah si pelaku melakukan kekerasan, ia dihantui dengan rasa bersalah dan penyesalan. Tapi penyesalan ini mungkin saja bersifat manipulatif. Maksudnya, ia menyesal bukan atas kesadaran pribadi, tapi karena takut mengalami konsekuensi lebih berat yang akan diterimanya, seperti perceraian atau dilaporkan ke pihak mertua, tokoh masyarakat, dan polisi. Tidaklah heran bila akhirnya ia menunjukkan penyesalannya dengan meminta maaf atau berbuat kebaikan terhadap pasangan. Pada tahap inilah hati pasangan akan luluh, merasa kasihan, dan memaafkannya kembali. Tentu dengan harapan bahwa si pelaku benar-benar bertobat dan tidak mau melakukan kekerasan lagi.

4. Tahap stabil (Calm phase)
Ini adalah tahap di mana rumah tangga kembali diliputi situasi yang relatif stabil. Pertengkaran apalagi kekerasan telah mereda. Kedua pihak bisa jadi telah mengalami kelelahan fisik dan emosi sehingga tidak ada lagi tenaga untuk bertengkar. Namun tidak berarti bahwa mereka telah berhasil menyelesaikan akar masalahnya. Satu ketika kestabilan situasi ini sangat mungkin akan kembali terkoyak bila titik rawan permasalahan muncul kembali dan tenaga kemarahan telah terkumpul. Artinya, satu ketika kedua pihak suami-istri akan kembali memasuki tahap pertamanya. Dan demikian selanjutnya.

(Cuplikan pembahasan ini diambil dari buku saya yang berjudul Pertolongan Pertama Korban KDRT [Surabaya: Metamorphosis Publishing, 2010]. ISBN: 978-602-97331-0-5)

Untuk pemesanan buku dapat dilayani lewat email: andrew_setiawan80@yahoo.com.sg atau menghubungi 085-850808284. Harga normal: Rp. 15.000 (GRATIS ongkos kirim untuk wilayah Jawa).

Saturday, January 10, 2009

Yang Diperlukan Anak agar Bermental Sehat

Sabtu, 10 Januari 2009 | 07:45 WIB

UNTUK bisa tumbuh secara sehat, anak-anak tidak cukup hanya mendapatkan makanan, olahraga, dan rumah yang baik. Mereka juga butuh cinta tanpa syarat dari orangtuanya.

“Ngapain coba bokap gue nyeramahin orang tiap hari? Dia itu kolektor film porno, selemari penuh...” ujar seorang remaja berusia 17 tahun yang positif mengidap HIV. Sebutlah namanya Boy, telah berhubungan seksual sejak usia 13 tahun. Sudah tak terhitung jumlah perempuan yang pernah berhubungan dengannya, tak terhitung pula sudah berapa kali ia melakukannya.

Mengapa Boy melakukannya? Ia mengaku bosan, muak, kecewa, dan marah dengan sikap orangtuanya yang menurutnya terlalu munafik. Sebagai ahli dakwah yang populer dan sering muncul di TV, ayahnya menanamkan peraturan agama secara kaku dan ketat kepada anak-anaknya sejak kecil.

Di sisi lain Boy melihat ayahnya di rumah tiap hari menonton film-film porno, sendirian. Sementara si ibu tipe perempuan yang lemah dan tunduk patuh sepenuhnya pada suami. Boy kecewa kepada ayah dan ibunya, yang dinilainya hanya bisa memerintah, memerintah, dan memerintah.

Ada lagi Ike, sebutlah begitu namanya. Sebagai anak keluarga berada, dia dengan mudah mendapatkan semua yang diinginkannya. Ke sekolah diantar sopir dengan mobil pribadi yang mewah, uang saku tak terbatas, apa pun bisa dibelinya.

Nyatanya Ike tumbuh sebagai anak yang gelisah, kesepian, dan sangat longgar dalam urusan moral. Orangtuanya hampir tak pernah berkomunikasi dari hati ke hati dengannya. Mereka sibuk, jarang di rumah, tetapi melimpahi anak dengan harta.

Mental dan Fisik
Boy dan Ike adalah contoh betapa sebagai anak mereka tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan untuk tumbuh sehat. Namun, boleh jadi ayah dan ibu mereka tidak menyadari bahwa apa yang terjadi pada anak-anak tersebut merupakan dampak dari ketidaktahuan atau keteledoran orangtua.

Sebetulnya banyak sekali kebutuhan anak-anak untuk bisa tumbuh sehat. Dari segi fisik anak-anak sejak dalam kandungan membutuhkan:
- nutrisi yang baik dan sesuai kebutuhan
- istirahat dan tidur yang cukup
- olahraga sesuai takaran
- imunisasi sesuai kebutuhan
- lingkungan tinggal yang sehat

Boleh jadi semua orangtua yang membeli tabloid gaya hidup sehat ini bisa memenuhi kebutuhan fisik seperti di atas. Meski demikian, dengan terpenuhinya kebutuhan fisik tersebut belum berarti anak-anak akan tumbuh sehat jika kebutuhan untuk memiliki mental yang sehat tidak terpenuhi.

Kebutuhan itu antara lain:
- cinta tanpa syarat dari ayah, ibu, dan keluarga
- memiliki kepercayaan diri dan rasa harga diri (self esteem) yang tinggi
- punya kesempatan bermain dengan anak-anak lain
- mendapat dorongan dan dukungan dari guru dan orang-orang yang mengasuhnya
- tinggal di lingkungan yang aman dan terlindung
- adanya pedoman dan disiplin yang jelas

Cinta Tanpa Syarat
Mengacu pada Asosiasi Kesehatan Mental Nasional, Amerika Serikat, cinta, rasa aman, dan penerimaan harus menjadi “jantung” bagi setiap keluarga. Anak-anak perlu tahu bahwa cinta orangtua tidak tergantung pada prestasi anak-anak. Kesalahan dan/atau kekalahan harus diterima. Dengan demikian, rasa percaya diri akan tumbuh di rumah yang penuh dengan cinta dan perhatian tanpa syarat.

Banyak orangtua tanpa sadar sering membuat anak merasa tidak diterima dan tidak disayang karena prestasi, sikap dan perilaku, atau kondisi fisiknya tidak sesuai harapan orangtua. Akibatnya, banyak anak yang kemudian lari mencari kompensasi atau melakukan tindakan penghukuman terhadap sikap orangtuanya.

Bagaimana dengan soal menumbuhkan kepercayaan diri dan self esteem yang tinggi pada anak-anak?

Sangat disarankan orangtua memberikan dorongan bagi anak untuk mengenal dan mempelajari hal-hal baru, serta menumbuhkan hasratnya untuk mengeksplorasi lingkungan. Keterlibatan, komunikasi aktif, dan perhatian orangtua akan menumbuhkan kepercayaan dan harga diri anak.
Orangtua pun perlu memahami bahwa anak butuh tujuan yang realistis, sesuai ambisi dan kemampuan masing-masing. Dengan bantuan orangtua, anak dapat memilih aktivitas yang bisa mengembangkan kemampuan dan kepercayaan dirinya.

Sikap jujur orangtua merupakan tonggak bagi anak. Karena itu, bersikaplah jujur pada anak, tidak perlu menyembunyikan kegagalan Anda dari mata mereka, sebab anak perlu belajar pula bahwa orangtua bukanlah manusia yang sempurna.

Sebaliknya, jika anak mengalami kegagalan, orangtua tidak diharapkan bersikap kasar, sinis, sarkastis, menghakimi, atau menyalahkan. Yang dibutuhkan anak adalah penerimaan dan dorongan yang mampu membesarkan hati mereka untuk bisa bangkit.

Pedomannya Jelas
Boy begitu kecewa dan marah kepada ayahnya, figur yang menanamkan nilai-nilai moral dan disiplin keras kepadanya. Ia kecewa karena ayahnya tidak konsekuen. Di satu sisi ia sosok yang menanamkan hal-hal baik, di sisi lain ia melakukan apa yang ditabukan kepada anaknya. Si anak jadi bingung, mana pedoman yang harus dipegangnya, omongan atau perbuatan ayahnya?

Anak-anak, sebagai anggota keluarga, perlu belajar tentang peraturan dan nilai-nilai yang berlaku di dalam keluarga. Peraturan dan nilai-nilai itu sendiri harus jelas, adil, konsisten, dan konsekuen dijalani oleh orangtua yang menegakkannya.

Anak-anak pun perlu tahu bahwa setiap anggota keluarga bertanggung jawab atas perbuatannya, dan apa konsekuensinya jika melanggar peraturan dan nilai-nilai yang diberlakukan itu.

Karena itu:

- Bersikaplah sabar dan realistis dengan harapan Anda, karena perkembangan anak tergantung pada cinta dan dukungan Anda.
- Perlihatkan contoh yang baik karena Anda tidak mungkin mengharapkan adanya pengendalian diri dan disiplin diri dari anak-anak jika Anda sendiri tidak melakukannya.
- Jika Anda harus mengkritik, kritiklah perbuatannya, bukan pribadi si anak. Lebih baik bilang, “Kelakuanmu jelek sekali,” bukan “Kamu memang anak yang jelek!”
- Berikan alasan yang jelas mengapa Anda menerapkan disiplin dan nilai-nilai tertentu, dan apa konsekuensinya jika tidak diterapkan.
- Sampaikan perasaan Anda karena kadang orangtua kehilangan kontrol, tetapi setelah itu meminta maaflah jika Anda melakukan kesalahan.

Bemain Bersama
Bagi anak-anak, bermain itu sangat menyenangkan. Dari aktivitas menyenangkan itulah anak belajar kreatif, mengenal dan memecahkan masalah, mengontrol diri, berempati, berbagi, dan sebagainya. Bermain itu penting bagi kesehatan fisik dan mental anak.

Anda perlu mengubahnya jika masih memiliki persepsi bahwa bermain itu hanya buang waktu. Beri kesempatan anak untuk bermain dengan teman sebaya. Bahkan, orangtua adalah teman bermain yang sangat baik karena hubungan emosional yang positif bisa terbangun.

Yang pasti, jangan menjadikan TV sebagai pengganti kehadiran Anda. Bagaimanapun, bermain yang sehat membutuhkan interaksi langsung dengan manusia lain. Anda tidak mau anak-anak “diasuh” oleh kotak bergambar itu, bukan?


Widya Saraswati
http://kompas.com/read/xml/2009/01/10/07450960/yang.diperlukan.anak.agar.bermental.sehat

Thursday, January 08, 2009

Pengaruh Keluarga Asal Terhadap Perkawinan

Oleh Jacinta F. Rini

Sebelum menikah, saya sudah pacaran cukup lama lho dengan suami/istri saya...Tapi kenapa, ya, kok setelah menikah sepertinya sikapnya berubah dan tuntutannya pun sulit dipahami. Sepertinya, apapun yang saya kerjakan selalu salah dan tidak sesuai dengan keinginannya. Saya bingung...bagaimana sih “standard” atau kriteria yang benar buat dia ?

Pertanyaan tersebut sering muncul dalam sebuah kehidupan perkawinan, tidak memandang usia perkawinan itu baru atau pun lama. Kenapa hal itu bisa terjadi sedangkan masa pacaran seakan dilewati tanpa masalah yang berarti?

Persatuan Dua Pribadi

Menikah dapat diartikan secara sederhana sebagai persatuan dua pribadi yang berbeda. Konsekuensinya, akan banyak terdapat perbedaan yang muncul. Mengapa saat pacaran hal itu tidak menjadi soal? Proses pacaran pada intinya adalah mekanisme untuk mempelajari dan menganalisis kepribadian pasangan serta belajar saling menyesuaikan diri dengan perbedaan tersebut. Dalam pacaran, akan dilihat, apakah perbedaan tersebut masih dapat ditolerir atau tidak. Namun masalahnya, selama masa pacaran orang sering mengabaikan realita sehingga kurang peka terhadap permasalahan atau perbedaan yang ada – bahkan seringkali mereka memasang harapan bahwa semua itu “akan berubah” setelah menikah. Yang sering terjadi, banyak pasangan yang kecewa karena harapan mereka tidak terwujud dan tidak ada perubahan yang terjadi, bahkan setelah bertahun-tahun menikah.

Satu hal yang sering kurang disadari oleh orang yang menikah adalah bahwa bersatunya dua pribadi bukanlah persoalan yang sederhana. Setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri dan punya latar belakang yang seringkali sangat jauh berbeda, entah itu latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal atau pun pengalaman pribadinya selama ini.

Pengaruh Keluarga Asal

Para ahli mengatakan bahwa pola asuh orang tua atau pun kualitas hubungan yang terjalin antara orang tua dengan anak, merupakan faktor penting yang kelak mempengaruhi kualitas perkawinan seseorang, menentukan pemilihan pasangan, mempengaruhi pola interaksi/komunikasi antara suami-istri dan dengan anak, mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap pasangan, dan mempengaruhi persepsi orang tersebut terhadap perannya sendiri. Intinya, hubungan orang tua-anak ikut mempengaruhi seseorang dalam mengarungi kehidupan perkawinan di masa mendatang.

1. Hubungan orang tua-anak

Menurut penelitian Henker (1983), segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Selanjutnya, apa yang sudah tertanam akan termanifestasi kelak dalam hubungan dengan keluarganya sendiri. Jika hubungan dengan orang tuanya dulu memuaskan dan membahagiakan, maka kesan emosi yang positif akan tertanam dalam memori dan terbawa pada kehidupan perkawinannya sendiri. Orang demikian, biasanya tidak mengalami masalah yang berarti dalam kehidupan perkawinannya sendiri. Sebaliknya, dari pengalaman emosional yang kurang menyenangkan bersama orang tua, akan terekam dalam memori dan menimbulkan stress (yang berkepanjangan, baik ringan maupun berat). Berarti, ada the unfinished business dari masa lalu yang terbawa hingga kehidupan berikutnya, termasuk kehidupan perkawinan. Segala emosi negatif dari masa lalu, terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsi/pola pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri, terhadap pasangan dan terhadap makna perkawinan itu sendiri.

2. Sikap penolakan orang tua

Kurangnya perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan perhatian. Anak harus bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan orang tua – namun seringkali orang tua tetap tidak memberikan respon seperti yang diharapkan. Sikap penolakan yang dialami seorang anak pada masa kecilnya, akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan, rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga. Perasaan itu akan terus terbawa hingga dewasa, sehingga mempengaruhi motivasi dan sikapnya dalam menjalin relasi dengan orang lain. Pada saat menikah, bisa jadi seorang istri menikahi suaminya karena merindukan figur ayah yang melindungi dan mencurahkan perhatian dan kasih sayang – seperti yang tidak pernah didapatnya dahulu. Atau, bisa jadi seorang pria mencari wanita yang dapat menjadi substitusi dari ibunya dahulu, yang sangat ia dambakan cinta dan perhatiannya.

Masalahnya, anak yang tumbuh dengan kondisi deprivasi emosional (kurang terpenuhinya kebutuhan emosional), di masa dewasanya, cenderung mentransferkan kebutuhan akan perhatian, cinta, penghargaan, penerimaan dan rasa aman kepada pasangannya. Mereka menuntut pasangannya untuk men-supply kebutuhan emosional mereka yang tidak terpenuhi waktu kecil. Biasanya, orang demikian menjadi sangat demanding, terlalu tergantung pada pasangannya, tidak mandiri, cari perhatian dan sangat manja.

3. Identifikasi figur orang tua

Seringkali tanpa sadar seseorang mencari pasangan yang seperti ibunya atau ayahnya. Mereka mengharapkan agar pasangannya memperlakukan dia seperti perlakuan ayah dan ibu terhadapnya. Harapan tersebut pada dasarnya tidaklah realistis dan sering mendatangkan persoalan yang besar. Ucapan “saya bukanlah ayahmu/ibumu, jadi berhentilah berharap saya akan menjadi seperti dia !”. Pernyataan ini merupakan cermin adanya tuntutan dan keinginan seseorang untuk menjadikan pasangannya seperti ayah/ibunya.

4. Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang tua

Kelekatan yang berlebihan dan tidak sehat terhadap salah satu orang tua (biasanya terhadap orang tua lawan jenis) di masa kanak-kanak, jika tidak berubah/mengalami perkembangan – dan jika setelah menikah masih tetap lengket dengan orang tuanya – maka hal ini akan menimbulkan persoalan besar dengan pasangan. Pasangan akan merasa diabaikan dan disingkirkan, sehingga timbul perasaan marah, kesal, iri, cemburu serta emosi negatif lainnya. Ketergantungan tersebut sering membuat pasangan jengkel karena hal-hal kecil sekali pun ditanyakan kepada orang tua dan tergantung pada respon atau pilihan orang tua. Tentu saja pasangan merasa tidak dihargai karena selalu berada di bawah bayang-bayang mertuanya. Pasangan merasa posisinya hanya sebagai pelengkap yang tidak signifikan dalam menentukan arah kehidupan keluarga.

Pada beberapa kasus, ketergantungan tersebut bersifat dua arah. Artinya, anak menjadi sumber sense of self dari orang tua (karena keberadaan anak membuat dirinya merasa berguna, dibutuhkan, berarti), sehingga orang tua ingin terus berperan sebagai orang tua yang menentukan kehidupan sang anak meskipun sang anak telah dewasa dan berkeluarga. Bisa jadi, orang tua itu pun sejak anaknya masih kecil, menanamkan pengertian dan sikap-sikap yang menstimulasi ketergantungan anak terhadap orang tua. Salah satunya, orang tua yang over-protective dan terlalu dominan, malah menimbulkan rasa kurang percaya diri dan kemandirian pada anak. Anak akan memandang bahwa dirinya tidak dapat berbuat apa-apa tanpa orang tua, dan anak bukan siapa-siapa tanpa orang tuanya.

Kenali Diri Sendiri

Melihat hal-hal di atas, maka amatlah disarankan bagi mereka yang akan menikah, untuk benar-benar mempelajari dinamika yang terjadi pada diri sendiri, kepribadian diri, sifat, karakter, kecenderungan positif maupun negatif, motivasi dalam mencari suami/istri, prioritas dan kebutuhan dalam hidup. Pelajarilah hubungan antara diri sendiri dengan orang tua, dan temukan – manakah dari hubungan dengan orang tua yang tidak ingin diulangi/terulang dalam kehidupan perkawinan di masa mendatang. Pelajari kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang tanpa sadar dilakukan orang tua di masa yang lalu, baik dalam memelihara kehidupan perkawinan, maupun dalam mengasuh dan membesarkan anak. Seringkali orang baru menyadari setelah bertahun-tahun, bahwa ternyata kehidupan perkawinannya hampir sama dengan kehidupan perkawinan orang tuanya. Dan, pasangan yang dipilih, mempunyai kesamaan karakteristik dengan salah satu figur orang tuanya. Jika hal ini berakibat positif – tentunya tidak menjadi masalah. Namun, yang lebih sering terjadi justru yang sebaliknya. Oleh sebab itu, orang merasa hidup dalam “kesusahan dan penderitaan” yang tiada akhir; padahal, semua itu dimulai oleh dirinya serta berdasarkan pilihan dan tindakan dirinya sendiri.

Bagi Anda yang akan maupun sudah menikah: mempelajari dan meneliti diri sendiri, memang lebih sulit dari meneliti orang lain. Namun, jika sudah mampu melihat kenyataan diri, maka orang akan lebih mampu bersikap bijaksana terhadap orang lain, termasuk pada pasangan. Ia akan melihat, mengapa dan bagaimana keadaan internal dalam dirinya bisa berpengaruh terhadap pasangan dan terhadap hubungan antara keduanya. Jadi, jika terjadi masalah, tidak langsung menyalahkan pasangan, melainkan introspeksi ke dalam dulu. Jika seseorang merasa pasangannya kurang memperhatikan, cobalah telaah, apakah keadaan itu riil atau kah cermin dari adanya kebutuhan dan kehausan akan perhatian? Apakah ada bentuk ketergantungan yang bersifat kekanak-kanakan, yang diharapkan dapat dipenuh oleh pasangan? Apakah tuntutan yang ada realistis, atau karena merasa ketakutan dan tidak aman terhadap hubungan itu sendiri (takut pasangan tidak setia, takut ditinggalkan, takut diabaikan, takut tidak diperhatikan). Melalui mekanisme tersebut, maka sebuah perkawinan dapat bertumbuh dengan lebih sehat – karena kedua belah pihak, mau melepaskan diri dari masa lalu dan belajar dari kesalahan untuk membangun kehidupan dan keluarga yang mandiri di masa sekarang ini.

Sebagai penutup, ada satu hal yang tidak kalah pentingnya, seperti yang dikatakan oleh Rice, penulis buku "Intimate Relationship, Marriages and Families" (1990):

After marriage, the primary loyalty of a husband and wife should be to one another, rather than to parents, or else the primary relationship is weakened by conflicting loyalties and by the interference of parents

http://www.e-psikologi.com/keluarga/070602.htm

Thursday, December 18, 2008

TANYA JAWAB DENGAN DR. JAMES DOBSON

Berikut intisari tanya jawab dari penanya (P) kepada Dr. James Dobson (JD), seorang yang ahli dalam pengembangan anak. Intisari tersebut diambil dari buku Berani Menerapkan Disiplin, karangan James Dobson sendiri.

P: Apakah ada umur-umur tertentu di mana kita boleh mulai menerapkan spanking (pemukulan bagian pantat atau paha) pada anak? Dan pada umur berapa kita harus berhenti?

JD: Tidak ada alasan apapun untuk memukul bayi atau anak kecil di bawah usia 15 bulan sampai 18 bulan. Bahkan mengguncang bayi keras-keras saja bisa mengakibatkan kerusakan pada otak, hingga kematian pada usia semuda itu. Tetapi menjelang usianya yang ke 2 tahun, seorang anak sudah mampu mengetahui apa yang Anda perintahkan untuk mereka lakukan atau tidak boleh dilakukan. Karena itu mereka sudah mulai diajar bertanggungjawab atas perilaku mereka. Andaikan seorang anak menjangkau stop kontak atau apapun yang dapat mencelakakan mereka. Anda sudah mengatakan "Tidak!" tetapi dia hanya menengok ke arah Anda dan melanjutkan tindakannya meraih stop kontak itu. Anda bisa melihat senyumnya yang sengaja menentang di wajahnya . . . aku menyarankan Anda untuk memencet jari-jarinya, cukup untuk membuatnya terkejut dan jera. Rasa sakit yang sedikit pada usia semuda itu akan selalu diingatnya dan mulai memperkenalkan kepada anak-anak realitas dunia serta pentingnya mendengarkan apa yang dikatakan oleh orangtuanya.

Sebagai petunjuk umum, saya menganjurkan bahwa sebagian besar hukuman badan dihentikan sebelum anak menginjak kelas satu (6 tahun). Sejak itu pendisiplinan melalui spanking sebaiknya makin berkurang dan berhenti sama sekali pada waktu anak itu berumur antara 10 dan 12 tahun.

P: Haruskah anak diberi tindakan disiplin karena mengompol saat tidur? Bagaimana kita bisa mengatasi masalah yang sulit ini?

JD: Kecuali kalau mengompol itu terjadi sebagai tindakan perlawanan yang disengaja pada saat dia terbangun, mengompol di tempat tidur sebenarnya adalah perbuatan yang tidak disengaja, dan karena itu anak tidak harus mempertanggungjawabkannya. Tindakan pendisiplinan di bawah kondisi seperti itu tidak bisa dimaafkan dan bahkan berbahaya. Anak itu sudah merasa malu sendiri karena dia terbangun dalam keadaan basah, dan semakin bertambah umurnya, semakin dia akan merasa malu. Anak-anak yang mengompol sewaktu tidur membutuhkan perhatian dan kesabaran yang cukup dari orangtuanya, dan mereka harus menyembunyikan masalah tersebut dari orang-orang yang menertawakan anak itu. Bahkan humor yang dilandaskan itikad baik di dalam rumah cukup menyakitkan kalau menyinggung perasaan anak itu.

Mengompol waktu tidur sudah sering menjadi subjek penelitian, dan ada beberapa penyebab yang berbeda-beda dalam kasus-kasus individu. Faktor pertama, bisa jadi masalahnya terletak pada masalah fisik. Mengompol diakibatkan oleh tekanan pada kandung kencingnya, atau masalah fisik lainnya. Seorang ahli kesehatan anak atau ahli urologi mungkin perlu diminta pendapatnya dalam diagnosa dan mengatasi masalah tersebut.

Faktor kedua, adalah masalah emosional. Perubahan-perubahan psikologis dalam lingkungan rumah tangga bisa menyebabkan kencing tak terasa di tengah malam. Atau faktor ketiga, faktor yang paling umum, masalah kebiasaan. Selama masa-masa balita, mereka mengompol semata-mata karena mereka belum mampu mengendalikan kandung kemih mereka pada malam hari. Karena itu beberapa orangtua mulai secara rutin membangunkan anak-anak pada malam hari untuk kencing di WC. Saat itu anak masih setengah tidur. Nah ketika balita itu makin besar dan kebutuhan untuk kencing pada malam hari makin meningkat, dia sering bermimpi disuruh kencing di WC. Karena kebiasaan di masa lalunya, dia merasa bahwa seolah-olah dia sedang dipaksa menuju ke WC.

Ada beberapa jalan keluar yang mungkin berhasil, seperti misalnya dengan memasang alat listrik yang akan membangunkan anak itu setiap kali kandung kemihnya sudah penuh. Bila masalahnya tetap tak terpecahkan, dokter ahli penyakit anak atau ahli psikologi anak dapat membantu Anda menemukan solusi. Sementara itu, penting sekali untuk membantu anak mempertahankan harga dirinya, meski dia memiliki masalah yang memalukan itu. Dan bagaimana pun juga jangan tunjukkan rasa tidak senang Anda kalau memang ada.


P: Berapa lama anak dibiarkan menangis setelah menerima tindakan disiplin atau spank? Perlukah ada batasnya?

JD: Ya, menurutku perlu dibatasi waktunya. Selama air mata masih mengalir, yang merupakan tanda pelepasan emosi yang murni, kita biarkan saja dulu. Tetapi menangis bisa berubah dari tangisan dari dalam, menjadi ungkapan protes yang bertujuan menghukum pihak lawannya. Menangis yang sesungguhnya biasanya berlangsung dua menit atau bahkan kurang, tetapi bisa berlanjut sampai lima menit. Sesudah itu, anak hanya komplain saja, dan perubahan tersebut bisa dideteksi dari nada dan intensitas suaranya. Aku akan menyuruhnya menghentikan tangisan protes tersebut, biasanya dengan memberinya apa yang telah membuatnya mengeluarkan air mata itu sedikit lagi. Dalam situasi yang tidak terlalu antagonistis, tangisan itu bisa dihentikan dengan mudah, dengan mengalihkan perhatian anak ke hal yang lain.

Saturday, June 21, 2008

MENGAJARI DENGAN TELADAN


Ajari aku untuk mencintai dan menyayangi diri sendiri

lewat keteladananmu yang positif.

Aku akan belajar dari semua tindakanmu

dan tumbuh dengan memiliki perhatian diri yang baik.


Ralph Waldo Emerson pernah mengatakan, "Kamu berteriak terlalu keras di telingaku, aku tidak bisa mendengar apa yang kamu katakan." Kata-kata tanpa tindakan hanya sedikit berpengaruh atau sama sekali tidak berpengaruh. Namun, ketika kata-kata didukung oleh teladan nyata, mereka punya kekuatan untuk membentuk keyakinan dan kebiasaan yang berumur panjang.

Mengucapkan, "Lakukan yang saya katakan, bukan yang saya lakukan" jarang memberi dampak. Seorang anak hampir selalu bertindak berdasarkan apa yang terlihat olehnya. Saya teringat ketika saya meminta putra saya untuk menonton televisi dalam jarak yang cukup. Tiap kali dia menonton televisi, apalagi dengan menatapkan wajahnya persis di depan layar kaca, maka saya selalu mengingatkan dan kadangkala mendisiplinnya. Suatu ketika saya menerima telepon yang letaknya di sebelah televisi yang sedang menayangkan sebuah film. Seusai menerima telepon, tak terasa saya menonton televisi terlalu dekat. Putra saya langsung berkata, "Papa dekat-dekat televisi." Spontan saja saya malu. Saya terkejut dan berkata, "Oh iya, Papa salah ya. Terima kasih ya sinyo (panggilan akrabnya)." Memang benar bahwa anak belajar banyak dari teladan, ketimbang perkataan orangtuanya. Ada satu fakta yang dicatat oleh kedua psikolog, Diana Loomans dan Julia Godoy, bahwa lebih dari 75% narapidana puya satu atau lebih anggota keluarga yang dipenjara. Saya tidak tahu survei tersebut diambil dari konteks mana, tapi fakta ini tentu memberikan indikasi tentang peran sebuah keteladanan.

Lantas, bagaimana caranya agar kita sebagai orangtua merasa lebih mudah untuk senantiasa memberikan teladan bagi anak-anak? Dengan baik Loomans dan Godoy menjelaskan bahwa cara pertama dan terpenting menjadi teladan bagi anak-anak terletak pada kasih sayang yang sehat dan konsisten dari kita sendiri. Maksudnya, kita perlu memerhatikan kondisi diri sendiri dahulu. Gambaran tentang mengenakan masker oksigen di pesawat sangat sesuai--hanya orang dewasa yang menghirup cukup oksigen terlebih dahululah yang dapat menolong anak kecil yang bergantung padanya agar bisa tetap hidup.

Orangtua kadang terperangkap dalam kebiasaan memenuhi semua kebutuhan anak sebelum memenuhi kebutuhannya sendiri, dengan keyakinan bahwa anak harus selalu didahulukan. Dalam lingkungan yang normal, sangatlah bermanfaat bagi orangtua untuk memberi perhatian yang berkualitas pada kehidupan mereka sendiri terlebih dahulu. Perhatian diri sehari-hari merupakan oksigen untuk jiwa. Atau dengan kata lain, sejumlah perhatian diri dapat membawa keseimbangan dan ketenangan yang luar biasa bagi orangtuanya.

Ada seabrek cara untuk memerhatikan diri sendiri. Ada yang melakukan meditasi pribadi. Ada yang memanjakan diri dengan pijatan. Ada yang melakukan hobi tertentu. Inilah yang salah satu saya lakukan. Hobi saya adalah bermain bulutangkis. Saya selalu meluangkan waktu untuk bermain bulutangkis setiap hari Senin. Dalam waktu itulah saya bisa melepaskan banyak ketegangan batin/stress. Setelah pulang, saya tidak langsung menyambut keluarga dengan hangat. Saya masih perlu menenangkan diri alias reorientasi, dari suasana lapangan masuk ke suasana rumah. Biasanya, untuk beberapa waktu saya menonton televisi, dan terkadang sambil menikmati french fries buatan istri. Setelah cooling down selesai, maka saya bergegas mandi dengan air hangat. Nah baru setelah itu, saya bermain bersama istri dan anak dengan perasaan yang lebih siap. Dari pengalaman ini, saya kira memang benar bahwa kita perlu memerhatikan diri dalam jumlah tertentu untuk menyehatkan suasana pikiran dan emosi. Bila suasana pikiran dan emosi telah sehat, maka tentunya kita sebagai orangtua lebih mudah memberikan keteladanan bagi anak-anak tercinta kita.

Selamat mencoba!

(Disarikan dari Loomans & Godoy, Positive Parenting, 1-13)

Tuesday, June 17, 2008

APA YANG ANAK-ANAK INGIN ORANGTUANYA TAHU


Ajari aku untuk mencintai dan menyayangi diri sendiri,
lewat keteladanan yang positif
Aku akan belajar dari semua tindakanmu,
dan tumbuh dengan memiliki perhatian diri yang baik.

Perhatikan aku selalu,
bergembiralah atas kehadiranku.
Aku akan tumbuh dengan mengetahui bahwa aku istimewa,
dan membantu orang lain merasakan hal yang sama.

Dengarkan aku dengan empati,
miliki hati yang terbuka dan penyayang.
Aku akan tahu bahwa aku dilihat dan didengar,
dan tumbuh menjadi pendengar yang baik.

Seringlah tertawa dan bergembira bersamaku,
jadilah penyayang setiap hari.
Aku akan bermain dan menikmati hidupku,
dan membawa lebih banyak kebahagiaan kepada sesama.

Akuilah diriku selalu,
dan katakan ketika kau menghargai aku.
Aku akan tahu bahwa aku berharga,
dan belajar untuk mengakui orang lain.

Ajari aku disiplin,
dan perbaiki aku dengan kelembutan.
Akan kujalani hidup dengan penuh martabat,
dengan rasa bangga terhadap harga diri.

Berilah aku ruang untuk tumbuh,
untuk melakukan kesalahan dan berpendapat.
Aku akan belajar mandiri,
dan mempercayai penilaianku sendiri.

(Diambil dari Diana Loomans dan Julia Godoy, Positive Parenting, XV)

Saturday, January 19, 2008

10 HUKUM PERNIKAHAN BAHAGIA

1. Jangan marah pada waktu yang sama (Efesus 5:1)

2. Jangan berteriak pada waktu yang sama, kecuali rumah kebakaran (Matius 5:5)

3. Kalau bertengkar cobalah mengalah untuk menang (Amsal 16:32)

4. Tegurlah pasangan Anda dengan kasih (Yohanes 13:34-35)

5. Lupakanlah kesalahan masa lalu (Yesaya 1:18, Amsal 16:6)

6. Boleh lupakan yang lain, tetapi jangan pasangan Anda (Kidung Agung 3:1-2)

7. Jangan menyimpan amarah sampai matahari terbenam (Efesus 4:26-27)

8. Seringlah memberikan pujian kepada pasangan Anda (Kidung Agung 4:1-5 ; 5:9-16)

9. Bersedia mengakui kesalahan (I Yohanes 1:9)

10. Dalam pertengkaran, yang paling banyak bicara dialah yang salah (Matius 5:9)

”Hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.” (Kolose 3:18)

” Hai suami-suami, kasihilah istrimu dan jangan kasar terhadap dia.” (Kolose 3:19)