Showing posts with label Seri Konseling. Show all posts
Showing posts with label Seri Konseling. Show all posts

Friday, February 27, 2009

Perbedaan antara Depresi Laki-laki dan Perempuan

Apa perbedaan perilaku pada depresi laki-laki dan perempuan?
Depresi laki-laki:
  • Menyalahkan orang lain atas depresinya
  • Menyembunyikan rasa galaunya
  • Perlu memelihara kontrol dengan segala usaha
  • Bermusuhan secara terbuka, mudah marah
  • Menyerang jika disakiti
  • Mencoba untuk memperbaiki depresi dengan penyelesaian masalah
  • Beralih ke olahraga, tv, seks, alkohol
  • Merasa malu karena depresi
  • Mudah memaksa, terburu-buru
  • Takut menghadapi kelemahan
  • Mencoba untuk mempertahankan gambaran lelaki yang kuat
  • Mencoba untuk menyembunyikan depresinya
Depresi perempuan:
  • Menyalahkan diri sendiri untuk depresinya
  • Memasukkan ke dalam benak sendiri
  • Sulit untuk memelihara kontrol
  • Selalu berusaha untuk bersikap baik
  • Menarik diri jika disakiti
  • Memperkuat depresi dengan berusaha lebih keras
  • Beralih ke makanan, teman, kebutuhan emosional
  • Merasa bersalah karena depresi
  • Mengulur-ulur, menunda-nunda batas waktu
  • Secara berlebihan terobsesi oleh kelemahan
  • Terpengaruh oleh kegagalan sekecil apapun
  • Mencoba untuk memikirkan penyelesaian depresinya
(Diambil dari: Archibald D. Hart, Unmasking Male Depression)

Tuesday, February 24, 2009

Ketika Perasaan Anda Tertuju Pada Sesama Pria

Kami sudah berbicara mengenai ketertarikan seksual kepada wanita-wanita. Namun, sementara Anda membaca Every Young Man’s Battle, Anda mungkin berpikir bagaimana temanya bisa diterapkan kalau Anda tertarik kepada pria. Jika dugaan kami benar, kami cukup percaya bahwa tidak banyak orang yang dapat Anda ajak bicara menyangkut ketertarikan kepada sesama jenis. Dan, ketakutan kalau-kalau diketahui atau ditolak tak ayal lagi membuat Anda membisu.

Namun ketertarikan itu memang ada. Anda tidak memilih untuk tertarik kepada pria, tapi Anda memang tertarik kepada mereka. Anda mungkin pernah dilecehkan ketika Anda masih kecil, dan peristiwa itu mulai menumbuhkan perasaan tertarik kepada sesama jenis. Kendati itu sebuah pelecehan, Anda tidak dapat membayangkan mengapa itu membuat Anda merasa tertarik kepada pelaku. Dan, manakala itu dikaitkan dengan gereja, barangkali yang Anda dengar hanyalah kutukan.

Banyak teori tentang mengapa timbul perasaan seperti yang Anda miliki. Ada yang masuk akal, dan ada yang tidak. Namun, izinkan kami memberitahukan apa yang kami percayai sebagai yang paling masuk akal. Kami ingin menolong Anda untuk memahami mengapa Anda merasa seperti yang Anda rasakan, dan kami akan menyodorkan sejumlah harapan bagi Anda.

KETIKA FONDASI ITU DILETAKKAN

Sejak Anda hadir di dunia ini, perkembangan pribadi Anda terbuka melalui hubungan Anda dengan ibu dan ayah Anda. Kendati salah satu di antara keduanya tidak hadir dalam kehidupan Anda, misalnya, fakta ini tetap merupakan bagian dari proses perkembangan Anda. Apabila perkembangan masa kanak-kanak terjadi di dalam keluarga yang sehat, di mana seorang anak laki-laki merasakan kasih yang seimbang mengalir dari seorang ayah dan seorang ibu, fondasi yang diletakkan dalam dirinya ialah heteroseksualitas. Jika ayah Anda hadir di dalam kehidupan Anda dan ia berperan sebagai tokoh panutan yang mencurahkan kasihnya bagi Anda, Anda akan mendapatkan suatu perasaan aman dan sebuah identitas yang utuh dalam memasuki masa dewasa.

Dengan demikian, sejauh menyangkut keberadaan Anda sebagai laki-laki, Anda merasa lengkap. Wilayah di mana Anda merasa tidak lengkap adalah segala sesuatu yang ada sangkut-pautnya dengan keberadaan seorang perempuan. Untuk mengalami perasaan lengkap, Anda akan tertarik kepada sesuatu yang tidak Anda miliki, sesuatu yang akan melengkapi Anda – dan itu adalah seorang lawan jenis. Tentu saja, ini merupakan penyederhanaan yang berlebihan, namun sebuah penjelasan yang akurat tentang ketertarikan laki-laki kepada perempuan.

Jika Anda dibesarkan oleh seorang ayah yang secara emosional jauh, atau seorang laki-laki yang kejam, suka menyiksa, atau tidak hadir di rumah, pengertian Anda mengenai diri Anda bisa berkembang berbeda. Anda mungkin tidak punya perasaan yang aman mengenai identitas Anda dan sifat-sifat Anda sebagai pria sejati. Jika tidak ada pria lain di dalam hidup Anda yang mampu memberikan semua itu, misalnya paman atau kakek, atau pelatih, maka Anda akan merasakan ketidaklengkapan yang tanpa Anda sadari sebetulnya ada di dalam diri Anda. Hasilnya, Anda tertarik kepada apa yang akan memberi Anda perasaan lengkap, dan itu adalah seorang pria lain.

Reaksi dari anak-anak lelaki lain bisa membuat pengertian “kurang” ini menjadi pelik di dalam hidup Anda. Misalnya, jika Anda tidak berminat pada olahraga yang kompetitif dan lebih menyukai seni dan drama, Anda bisa merasa seakan-akan Anda adalah orang yang terbuang. Anak-anak lelaki seusia Anda mungkin tidak ingin membina pertalian dengan Anda. Faktanya, bahkan, mereka menolak untuk bergaul dengan Anda karena mereka ingin menjamin bahwa mereka adalah pria sejati.

Ada anak-anak lelaki yang suka bermain dengan boneka ketimbang dengan tentara-tentaraan. Jika Anda termasuk yang seperti ini, maka itu adalah awal dari suatu kondisi di mana Anda akan ditolak oleh anak-anak lelaki lain dan kemudian oleh para pria. Jadi, adalah alami kalau Anda merindukan apa yang Anda tidak miliki, yaitu perasaan sebagai laki-laki dan pertalian dengan pria-pria lain. Jika ada orang yang homoseksual memperkosa Anda, maka Anda merasa, paling tidak, diterima dan mempunyai pertalian yang Anda rindukan.

Ketertarikan kepada pria dapat juga diperkuat kalau yang bersangkutan ditolak oleh wanita. Jika Anda dibesarkan atau diasuh oleh ibu atau perempuan yang tidak sehat jiwanya, yang memanjakan Anda atau bersikap kejam terhadap Anda oleh karena kebejatan moralnya, perkembangan ketertarikan Anda kepada wanita akan terganggu. Yang paling tidak ingin Anda miliki dalam suatu hubungan ialah hubungan dengan seseorang yang mirip wanita yang Anda tidak sukai itu. Anda merasa sangat tidak nyaman ketika bersama wanita tersebut. Landasan ini membuat Anda menjadi target empuk jika Anda didekati pria lain.

Jika Anda menemukan semua gambaran itu di dalam hidup Anda, Anda adalah salah satu dari ribuan pria-pria kebingungan yang sedang mencari-cari cinta dan ingin sekali mengetahui apa yang normal dan bagaimana mengalami yang normal itu. Di sini terpapar sejumlah pilihan bagi Anda, karena tersedia banyak harapan bagi Anda, jika Anda memilihnya.

PERUBAHAN ITU MUNGKIN

Dunia mengatakan kepada Anda bahwa Anda harus bertindak berdasarkan perasaan: Anda membayangkan Anda sedang bersanggama dengan gadis-gadis itu, baru saat itulah Anda merasa utuh. Mereka mengatakan bahwa sekalipun keluarga atau gereja Anda menolak Anda, perasaan lengkap itu akan Anda temukan di sebuah dunia di mana homoseksual dinilai baik dan perhatian yang Anda selalu dambakan itu tersedia. Anda dapat berpaling kepada bisikan dunia, atau kepada sebuah suara yang terdengar lebih lembut namun terdengar makin kuat setiap hari.

Gerakan pria homo yang berkembang di tahun 1970-an, bersamaan dengan terbentuknya psikiatri liberal, adalah bagian dari perubahan besar di dalam pola pikir mengenai homo seksualitas. Keduanya berhasil membuat homo seksualitas dihapuskan dari daftar kelainan mental yang dikeluarkan oleh American Psychological Society. Dr. Robert Spitzer berperan sebagai pemimpin kampanye itu, dan ini membuat dia menjadi pahlawan di dalam komunitas pria homo pada kurun waktu itu. Akan tetapi, baru-baru ini Spitzer menerbitkan hasil dari risetnya yang terakhir – hasil-hasil yang membuat dia kurang populer di kalangan mereka yang dulu memuji dia.

“Bertolak-belakang dengan hikmat konvensional,” tulisnya, “sejumlah individu yang sangat termotivasi, yang menggunakan aneka upaya untuk mengubah, dapat membuat perubahan yang substansial di dalam indikator-indikator ganda menyangkut orientasi seksual.” Pada hakikatnya, Spitzer menulis bahwa jika Anda merasa tertarik kepada sesama jenis, dan Anda sangat termotivasi untuk berubah, maka Anda betul-betul punya pilihan di dalam diri Anda yang sekarang, diri Anda setelah berubah, dan bagaimana perasaan Anda tentang diri Anda sendiri. Kesimpulan-kesimpulan yang ditarik Spitzer didasarkan pada wawancara dengan dua ratus orang pria dan wanita yang berubah, yang tadinya tertarik kepada sesama jenis, kemudian tertarik kepada lawan jenis dan tetap berada dalam kondisi terakhir sampai lima tahun berikutnya. Alasan mereka termotivasi untuk berubah ialah, mereka sudah penat dengan gaya hidup mereka yang sembrono secara seksual, hubungan-hubungan yang tidak stabil, keinginan untuk menikah, dan hal-hal yang menyangkut iman mereka. Setelah tidak lagi menjalani gaya hidup homo seksual atau lesbianisme, tiga perempat dari pria-pria dan setengah dari wanita-wanitanya menikah.

TINDAKAN APA YANG HARUS DIPILIH

Kalimat ini harus berarti : kendati Anda tidak memilih untuk merasa tertarik kepada sesama jenis, Anda dapat memilih apa yang Anda lakukan terhadap perasaan tertarik itu. Sekalipun banyak suara di dunia ini yang mengatakan bahwa tidak ada pilihan di dalam hal ini, ditemukan banyak bukti bahwa Anda sebetulnya punya pilihan dan Anda dapat membuat perubahan terhadap perasaan Anda mengenai diri Anda sendiri maupun tentang orang lain. Jadi, jika impian-impian Anda sendiri atas selingan seksual dengan pria, jika Anda mengkhayalkan hubungan seks dengan pria, dan jika Anda ingin sekali bersama pria dan menginginkan pria, Anda dapat mengubah semua keinginan itu, sama seperti pria yang menginginkan wanita dapat mengubah pikiran maupun hatinya. Ini tidak akan mudah, namun dapat dilakukan.

Setiap hari kami membaca e-mail dari banyak pria, pemuda, dan remaja yang sudah berjuang selama bertahun-tahun dan menemukan pengharapan untuk pertama kalinya – heteroseksual dan homo seksual. Para penganut homo seksual maupun heteroseksual tengah melakukan hal-hal yang kami sarankan, dan mereka menemukan kemenangan yang belum pernah mereka alami.

Anda dapat mempercayai kami apabila kami mengatakan bahwa ada jalan keluar. Anda memang punya pilihan, dan pilihan itu akan mengantar Anda kepada apa yang Tuhan inginkan bagi Anda dan kepada hubungan-hubungan yang sudah Ia persiapkan bagi Anda.

Jalur yang Anda pilih adalah keputusan Anda, dan kami berharap bahwa isi buku ini akan memotivasi Anda. Anda dapat melakukan apa yang dilakukan oleh banyak pria lain yang mempunyai perasaan seperti Anda. Anda dapat mengubah hidup Anda dan berhasil dalam mengembangkan sebuah hidup yang baru.

http://www.pancarananugerah.org/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=26

Wednesday, February 04, 2009

Memaafkan untuk Melapangkan

Senin, 2 Februari 2009 | 23:04 WIB

Konsultasi psikologi dengan psikolog Kristi Poerwandari

Seorang ibu, E (50), yang telah menikah lebih dari 30 tahun dan hidup rukun dengan suami, menulis surat setelah suami selingkuh dengan perempuan lain.

"...Wanita itu curhat masalah-masalah pribadi. Saya katakan kepada suami, 'Hati-hati! Karena awalnya dari curhat, simpati, iba lalu cinta'. Tetapi, suami bilang enggak mungkin terjadi, saya pun percaya 100%. Beberapa bulan kemudian saya menemukan billing tagihan HP suami, dengan nomor yang itu-itu saja. Saya mencoba menelepon. Ternyata nomor HP wanita itu dan suami ada di sana."

Setelah suami pulang, Ny E bertengkar hebat dengan suami,sampai anak-anak yang besar datang segera. "Seperti hilang pikiran dan nuraninya, Bu! Seakan-akan dibela wanita itu dan dijaga perasaannya, Bu! Saya dan anak-anak sangat terpukul. Hati dan perasaan saya hancur luluh, sakit, bagai mimpi buruk di siang bolong." Ny E sangat terluka karena dibohongi (dalam istilahnya) "habis-habisan" oleh suami yang dia banggakan dan cintai.

Akhirnya, "Suami menangis keras-keras sambil mencium ujung kaki saya dengan mengatakan sangat-sangat menyesal, rasa bersalah yang besar, dan minta-minta maaf dan ampunan dari saya dan anak-anak. Anak-anak yang besar meredakan hati saya agar memaafkan ayahnya dengan pertimbangan segala kebaikan dan kelebihan dari ayah mereka."

Menurut Ny E meski hubungan telah membaik, ia masih sulit menghilangkan bayangan perselingkuhan suami.

Yang dirasakan Ny E juga dirasakan I (36). I mengaku selama ini rela berperan lebih besar mencari nafkah karena suami sibuk dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Empat tahun lalu ia mendapati suami menjalin hubungan dekat dengan perempuan lain. Hingga saat ini hal tersebut menghantui, membuat dia curiga dan cepat marah, bahkan sering
berniat berpisah dari suami karena merasa terlalu terluka.

Kemarahan, sakit hati, dan luka yang dalam juga bisa terjadi dalam konteks lain, misalnya pada lembaga dan rekan-rekan kerja.

Berikut cuplikan surat T (29): "Mbak, saya sakit dan kehilangan pekerjaan. Bukan takdir sakit yang saya sesali, tetapi justru di- PHK/dikeluarkan dari kantor yang menyakiti hatiku.

Dulu saat saya masih di kursi roda, bicaraku belum lancar karena terganggu akibat sakit, dan leher belum bisa tegak, saya di-PHK secara lisan oleh wakil kantor tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Saya baru tahu keputusan itu belum diketahui petinggi di kantor.

Akhirnya pimpinan sangat intens menghubungi dan membujukku untuk menerima PHK, tetapi mereka tidak mau membayar uang pesangon. Saya tetap menuntut pesangon karena saya pegawai tetap bukan lagi pegawai kontrak. Akhirnya saya menggugat hukum.

Berapa lama perjuangan saya dari mulai dipecat sampai mendapat pesangon? 15 bulan. Selama proses itu aku sering menangis sendiri, selalu mimpi buruk, dan tidak bisa tidur nyenyak. Saya sangat tersiksa, Mbak. Semenjak itu saya jadi dendam, benci semua orang di sana. Kenapa mereka tega menyiksaku saat saya sakit begitu....

Kalau mereka punya niat baik, pastilah mereka mem-PHK dengan tidak langsung bicara denganku, tetapi bisa lewat keluargaku. Mereka kan tahu gimana kondisi psikologisku karena baru saja ditimpa musibah terserang penyakit berat."

Tahapan "memaafkan"
Semua bertanya, "bagaimana melupakan kebencian dan dapat memaafkan?" Mungkin kita belum mampu memaafkan karena masih merasa sangat terkejut dan terluka, khawatir bila perbuatan diulang, takut terlihat "lemah" dengan memaafkan, atau menganggap memaafkan akan melanggar prinsip keadilan yang selama ini diyakini.

T, misalnya, tak habis pikirmengapa tempat kerjanya yang dikira membawa visi kemanusiaan dan keadilan dapat berlaku sekejam itu kepada dirinya yang sakit parah dan sebelumnya bekerja sangat total. Kita juga lebih sulit memaafkan bila pihak lain tidak merasa bersalah dengan yang dilakukan, atau dirasa tidak tulus dalam menyatakan
penyesalan.

Enright (dalam Mullet dan Girard, 2000) melihat memaafkan sebagai fenomena sosial dalam enam tahapan, satu orang dan yang lainnya mungkin memahami dengan cara berbeda.

(1) "Pemaafan dengan pembalasan" (Saya bersedia memaafkan bila ia memperoleh hukuman yang setara dengan lukaku); (2) "pemaafan restitusional" (Bila saya memperoleh kembali yang diambil dari saya, saya bisa memaafkan); (3) "pemaafan karena
permohonan (Saya dapat memaafkan bila orang lain memohon saya melakukannya); (4) "pemaafan karena tuntutan norma/hukum" (Saya memaafkan karena agama saya menyuruh melakukannya); (5) "pemaafan untuk keselarasan sosial" (Saya memaafkan karena itu perlu untuk mengembangkan kedamaian hubungan); dan (6) "pemaafan sebagai bentuk kasih sayang" (Saya memaafkan karena itu esensi kasih sayang yang sesungguhnya, yang mencegah balas dendam dan membuka rekonsiliasi).

Memaafkan dari hati terdalam tidak dapat dipaksakan. Bila situasinya sangat menyakitkan, mungkin untuk sementara cukup kita melihat memaafkan sebagai murni fenomena internal diri.

Berbagai penelitian (McCullough et al, 2000) menunjukkan, memaafkan mengembangkan keseimbangan dan rasa nyaman, mengurangi tekanan, meningkatkan penerimaan diri, dan mengurangi keluhan kesehatan. Intinya, membantu kita lebih berbahagia.

Kita tidak perlu memaksa diri melakukan rekonsiliasi dengan pihak yang sangat menyakiti kita. Tetapi, bagaimana pun kedamaian diri sangat penting. Semoga pemahaman ini dapat membantu kita "let go" (melepaskan), tidak didera luka hati, dan tersenyum dalam menapaki tahun 2009.

http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/02/02/23042217/memaafkanuntukmelapangkan

Thursday, January 29, 2009

Healing Community atau Killing Community

Diterbitkan Solo Pos, Kamis, 29 Januari 2009, hal. 4

Pemilu 2009 kian dekat. Semua partai politik (Parpol) sedang sibuk untuk menyiapkan dan mengusung calon presiden dari partainya. Berbagai kritik pedas terhadap kinerja pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuk Kalla (SBY-JK) pun dialirkan dengan aneka motifnya. Misalnya, kinerja pemerintah yang hanya tebar pesona, atau mungkin yang lebih pedas adalah pemerintah hanya menjadikan rakyat seperti permainan yoyo.

Rakyat mungkin tidak pernah memahami apa motif sesungguhnya dari kritik-kritik tersebut. Tanpa bermaksud membela partai atau tokoh tertentu, kita kembali melihat budaya berpikir dan bertutur negatif kembali terjadi.

Memang telah lama kita hidup dalam budaya berpola pikir negatif. Sebuah pola pikir yang cenderung berfokus pada sisi-sisi buruk seseorang, termasuk diri sendiri. Pola pikir seperti demikianlah yang akhirnya menciptakan sebuah killing community. Anehnya, dari generasi demi generasi hal ini terus terlestarikan. Tidak perlu sulit-sulit mengumpulkan contoh konkretnya.

Dalam kehidupan sehari-hari saja sudah terlihat bagaimana killing community itu terjadi. Misalnya, ketika sang anak mendapatkan nilai baik, orangtua hanya mendiamkan saja. Sepatah kata pujian tidak diberikan. Paling-paling orangtua berkata, “Ah itu biasa, anak-anak lain pun juga mendapatkan nilai yang sama denganmu.”

Tapi bila si anak mendapatkan nilai buruk, orangtua langsung marah layaknya seekor singa yang melihat bayinya diganggu, sikapnya menjadi tidak proporsional bila dibandingkan ketika sang anak mendapatkan nilai baik.

Contoh lainnya, dalam kehidupan bertetangga, gosip sering kali menjadi masalah klasik. Mereka sering kali menggunakan semboyan terkenal dalam media massa: bad news is good news, good news is no news. Berita buruk justru menjadi berita yang menarik untuk disosialisasikan dibandingkan dengan berita baik. Jarang sekali kita mendengarkan gosip yang menceritakan kebaikan dan kesuksesan orang lain. Umumnya gosip berisi tentang berita kegagalan rumah tangga, kebangkrutan usaha, perilaku buruk dan hal-hal negatif lainnya.

Dua contoh di atas sudah cukup menggambarkan kehidupan killing community di sekitar kita. Kehidupan demikianlah yang sering kali mereduksi, bahkan meniadakan, sikap saling memaafkan, saling mengasihi, saling memberi, saling berkorban. Rasa tidak aman dan tidak nyaman terus menghantui.
Tak pelak lagi, kebahagiaan pun makin redup, tak lagi dirasakan oleh orang-orang yang hidup dalam komunitas seperti demikian. Selain itu, Menbudpar Jero Wacik juga pernah mengingatkan bahwa budaya berpikir negatif justru membuat semua orang menjadi tidak produktif, rentan terhadap penyakit dan lebih cepat mati. Sungguh sebuah ironi.

Berpikir positif

Karena itu, kita perlu mengampanyekan budaya berpikir dan bertutur positif. Membangun komunitas atau negara, tidak hanya memperbaiki dari segi ekonomi, keamanan, gizi, dan lainnya. Perbaikan pola pikir juga sangat dibutuhkan. Perbaikan pola pikir tersebut niscaya dapat membangun sebuah healing community yang mana orang-orang hidup di dalamnya dapat merasakan kebahagiaan dan kedamaian batiniah. Kepribadian dan potensi generasi demi generasi makin bertumbuh sehat dan dapat dinikmati semua orang.
Untunglah di dunia ini masih ada teladan-teladan dari orang yang berpola pikir dan bertutur positif. Salah satunya adalah ibu dari Hee Ah Lee. Anak Hee Ah Lee adalah penderita lobster claw syndrome di mana jumlah jarinya hanya empat dan kedua kakinya pun hanya sebatas lutut.

Ketika banyak orangtua di dunia ini menolak kehadiran anak cacat, baik penolakan secara psikologis ataupun dengan membunuh, ibu Hee Ah Lee justru melakukan hal yang berbeda. Ia malah berkata, “Saya melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Wajahnya mirip rembulan. Jemari tangannya yang hanya empat serupa kuncup bunga tulip.”

Oleh karena pola pikir dan tutur kata positif yang terus diberikan orangtuanya, potensi Hee Ah Lee kini berkembang sangat baik. Ia menjadi pemain piano yang terkenal dan pernah bermain dengan Richard Clayderman di Gedung Putih tahun 2005. Pertumbuhan yang sehat terjadi tatkala ada lingkungan positif baginya.

Kita perlu mengubah killing community menjadi healing community. Ini tugas siapa? Tugas kita bersama, apalagi pemimpin negara dan calon-calonnya. Sekali lagi, perbaikan material sangat diperlukan saat ini, khususnya di tengah-tengah krisis keuangan global. Calon-calon pemimpin negara harus berlomba-lomba memikirkan langkah-langkah konkret dan kreatif dalam memajukan bangsa dan negara Indonesia. Tapi jangan pernah lupa, di samping perbaikan material, perbaikan pola pikir (yang nonmaterial) dan tutur kata perlu masuk dalam agenda kerja. Sudah barang tentu hal tersebut harus dimulai dari diri sendiri yang nantinya terus menular pada orang-orang di bawahnya.

Masaru Emoto, seorang peneliti Jepang yang mendapatkan penghargaan dunia internasional, pernah mengadakan penelitian tentang pengaruh tutur kata terhadap formasi kristal air. Penelitian yang dituliskan dalam The Message from Water itu membuktikan dampak tutur kata positif yang dapat membentuk formasi kristal air yang sangat indah. Sebaliknya, jika kepada air diberikan tutur kata negatif, maka formasi kristal air yang terbentuk menjadi jelek. Adapun gambar kristal air yang paling indah terbentuk dari kata “cinta” dan “terima kasih”.

Apabila air saja dapat merespons tutur kata dari pelaku, apalagi manusia. Formasi healing community baru akan terbentuk dengan pola pikir dan tutur kata yang positif. Akhir kata, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Semoga membangun healing community menjadi visi kita bersama! - Oleh : Andrew Abdi Setiawan, Rohaniwan Gereja Kristen Kalam Kudus Solo

Monday, January 19, 2009

Jika Istri Terjebak Biseksual

Jumat, 16 Januari 2009 | 09:27 WIB

PERSOALAN hidup masa kini semakin kompleks. Kehidupan di rumah tangga ataupun tempat kerja diwarnai persoalan perilaku yang menyimpang dari ukuran normal. Salah satu penyimpangan yang makin banyak terjadi adalah penyimpangan seksual. Ibu rumah tangga yang mengalami perkawinan normal pun akhirnya jatuh ke pelukan sesama jenis.

Seorang ibu, sebutlah namanya Sari (41 tahun), mengeluh bingung dengan keadaan dirinya. Sudah hampir satu tahun ini ia terlibat hubungan intim (seksual) dengan teman sejenis, guru privat anaknya.

Suami dan dua anaknya tidak tahu bahwa ia memiliki hubungan khusus dengan perempuan lajang, sesama anggota organisasi sosial itu. Hanya, suaminya pernah mengingatkan agar tidak berlebihan berhubungan dengan temannya itu. “Sampai seperti orang pacaran,” komentar suami Sari.

Hubungan dengan suami selama ini normal, seperti tidak ada masalah, termasuk dalam hubungan seksual. Kalaupun ada soal yang mengganjal, yakni perbedaan agama. Persoalan lainnya, suami Sari sering bertugas di luar kota.

Setelah akhirnya terjebak dalam hubungan seksual dengan teman sejenis, kini Sari sangat gelisah dan bingung. Secara emosional ia merasa terpenuhi kebutuhannya dari hubungan sejenis ini. Namun, ia sekaligus merasa di persimpangan jalan, jauh dari kedamaian karena konflik.

Dua jenis kelamin
Perilaku seksual yang dijalani Sari tersebut lazim disebut biseksual atau seksualitas ganda. Biseksual merupakan perilaku atau orientasi seksual seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang tertarik secara seksual dan erotik pada dua jenis kelamin.

Tim psikolog dari Northwestern University, AS, yang dipimpin oleh Michael Bailey melakukan penelitian terhadap laki-laki dan perempuan dengan mempertontonkan kepada mereka blue film yang berisi adegan-adegan seks antara laki-laki dan laki-laki, perempuan dan perempuan, serta laki-laki dan perempuan.

Ternyata, respons mereka berbeda-beda dalam menanggapi tontonan adegan seks dalam blue film tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan selalu bergairah menonton adegan seks antara laki-laki dan laki-laki (homoseks), perempuan dan perempuan (lesbian), serta laki-laki dan perempuan (normal). Sebaliknya, laki-laki lebih bergairah menonton adegan seks antara perempuan dan perempuan (lesbian) serta antara laki-laki dan perempuan (normal).

Kesimpulan penelitian Bailey dan kawan-kawan tersebut adalah perempuan cenderung memiliki orientasi biseksual dibandingkan dengan laki-laki. Pengertian cenderung memiliki orientasi biseksual di sini lebih menunjuk kepada timbulnya gairah seksual perempuan pada saat menonton adegan seks dalam blue film, sedangkan dalam kehidupan seks mereka sehari-hari bisa jadi perilaku seksual mereka normal. Namun, banyak juga yang melampiaskan gairahnya dengan melakukan hubungan seksual dengan kedua jenis kelamin.

Faktor pendorong
Kecenderungan berorientasi biseksual akan mewujud menjadi tindakan atau perilaku biseksual didorong oleh beberapa keadaan:

1. Coba-coba
Perilaku coba-coba untuk memperoleh pengalaman seksual baru sering dilakukan antarsahabat. Laki-laki yang telah beristri mencoba pengalaman seksual baru dengan sahabat laki-lakinya. Demikian juga perempuan yang telah bersuami, mencoba pengalaman seksual baru dengan sahabat perempuannya. Perilaku biseksual ini dapat juga muncul dari hasil coba-coba antara laki-laki homoseksual dan sahabat perempuannya atau antara perempuan lesbian dan sahabat laki-lakinya. Jadi, fenomena orientasi seksual itu memang kompleks atau pelik dan tidak dapat dilihat hanya pada perilaku yang tampak di permukaan (overt behavior).

2. Seks bebas (free sex)
Para penganut seks bebas seringkali mengadakan pesta seks yang dihadiri banyak orang dengan berbagai ragam orientasi seksual. Dalam keadaan semacam ini sangat terbuka kemungkinan coba-coba melakukan hubungan biseksual. Bila dalam melakukan hubungan itu mengalami kenikmatan seperti diharapkan, perilaku tersebut cenderung diulang-ulang sehingga ia dapat berkembang menjadi orang yang memiliki perilaku biseksual.

3. Kebutuhan emosional yang tak terpenuhi
Hasil penelitian tentang seksualitas ganda menunjukkan bahwa para wanita biseksual mempunyai beberapa kebutuhan emosional yang hanya dapat dipenuhi oleh laki-laki, sementara beberapa kebutuhan emosional lainnya menurut mereka hanya dapat dipenuhi perempuan. Untuk memenuhi seluruh kebutuhan emosional tersebut mereka memiliki peran seksualitas ganda.

4. Kebutuhan akan variasi dan kreativitas
Hasil penelitian terhadap pria biseksual menunjukkan bahwa kebanyakan mereka menjadi biseksual karena ingin memenuhi kebutuhan akan adanya variasi dan kreativitas untuk mendapatkan kepuasan dan kenikmatan dalam melakukan hubungan seksual.
Dalam kasus di atas, Sari mampu menampilkan diri sebagai seorang yang setia dan penuh kasih sayang terhadap keluarganya, tetapi di balik itu ia berselingkuh dengan sesama jenisnya. Pertemuan dengan teman selingkuh ini dibangun mulai dari persahabatan dalam organisasi sosial yang diikutinya.

Dari relasi itu akhirnya beberapa kebutuhan emosional yang tidak dapat dipenuhi oleh suami (perhatian, kasih sayang, perasaan diterima, dan sebagainya) terpehuhi oleh orang lain. Kedekatan ini kemudian dilengkapi dengan ekspresi fisik, yang akhirnya mengarah pada kegiatan seksual.

Perilaku biseksual termasuk penyimpangan kegiatan seksual yang tidak sesuai dengan norma agama maupun masyarakat. Oleh karena itu, kaum biseksual menghadapi masalah yang sama dengan para gay dan lesbian. Mereka pada umumnya lebih tertekan daripada kaum gay atau lesbian karena identitas seksual mereka dianggap tidak jelas. Sana-sini mau atau AC/DC adalah cemoohan buat kaum biseksual.

Karena besarnya tekanan tersebut, kaum biseksual pada umumnya lebih mudah mengalami gangguan mental dibandingkan dengan mereka yang heteroseksual (normal) maupun homoseksual/lesbian. Sebuah penelitian di Australia yang dimuat dalam British Journal of Psychiatry menemukan bahwa orang-orang biseksual mempunyai perasaan yang sangat dalam terhadap kegelisahan, depresi, dan berbagai pikiran negatif lainnya.

Berkaitan dengan kasus di atas, dapat dipahami kalau ibu muda tersebut sangat tertekan, gelisah, bahkan depresi menghadapi kenyataan dirinya yang telah “telanjur” menjadi biseksual. Ia ingin keluar dari situasi yang menyesakkan dirinya itu.

Mungkinkah? Tentu saja mungkin.

http://kompas.com/read/xml/2009/01/16/0927151/jika.istri.terjebak.biseksual

Thursday, January 15, 2009

Ukur Kecerdasan Emosi Anda!

Jumat, 1 Agustus 2008 | 05:36 WIB

MUNGKIN Anda sudah membaca buku tentang kecerdasan emosi dan ingin tahu tentang seberapa tinggi kecerdasan emosi Anda? Kuis berikut ini dapat membantu mengukur tingkat gejolak emosi Anda.

Daniel Goleman, psikolog lulusan Harvard University dan penulis buku Emotional Intelligence pernah mengatakan, bahwa keberhasilan seseorang dalam hidupnya tidaklah terutama disebabkan oleh IQ-nya, tetapi lebih-lebih bagaimana emosionalitasnya dapat dimanajemeni dengan baik. Dengan kata lain, keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh kecerdasan emosinya.

Memang, tidak satu pun alat tes yang bisa dipakai untuk mengukur kecerdasan emosi seseorang secara tepat, tetapi ada banyak situasi dimana gejolak emosi yang Anda rasakan dapat diukur. Pertanyaan-pertanyaan berikut merupakan petunjuk kasar untuk mengukur kecerdasan emosi yang Anda miliki.

Ingin tahu? Jawablah dengan jujur pertanyaan yang ada. Jawaban yang Anda pilih harus merupakan kecenderungan sikap yang muncul spontan dari dalam batin Anda. Jangan berpikir dua kali atau bahkan mencoba menebak-nebak jawaban.

Pertanyaan
1. Anda berada dalam sebuah pesawat dan tiba-tiba goncangan sangat keras terasa di dalam pesawat dan mulai mengacaukan segala sesuatu yang ada dalam pesawat. Apa yang Anda lakukan?
a. Melanjutkan membaca buku/majalah, nonton film dan sedikit tidak peduli pada goncangan yang terjadi.
b. Waspada atas situasi darurat ini, dengan seksama memperhatikan petunjuk pramugari dan membaca buku panduan mengenai keadaan darurat.
c. Antara a dan b.
d. Tidak yakin, saya tidak pernah memperhatikannya.

2. Anda sedang menemani sekelompok anak berumur sekitar 4 tahunan ke sebuah taman. Lalu, salah satu dari mereka (anak gadis) mulai menangis karena anak-anak lain tidak mau bermain dengannya. Apa yang Anda lakukan?
a. Membiarkan anak-anak itu di kejauhan.
b. Bicara pada anak gadis itu dan menolong dia agar yang lainnya mau bermain dengannya.
c. Dengan lembut membujuk anak gadis itu agar tidak menangis.
d. Mencoba mengalihkan perhatian anak gadis itu dengan menunjukkan sesuatu yang lain yang bisa dia pakai untuk bermain.

3. Asumsikan bahwa Anda adalah seorang murid sekolah menengah yang mengharapkan mendapat nilai A dalam suatu kursus, tetapi ternyata Anda hanya mendapat nilai C untuk ujian tengah semester kali ini. Apa yang Anda lakukan?
a. Anda mulai membuat sebuah rancangan kasar untuk memperbaiki nilai dan berniat mengatasi masalah sesuai rencana Anda.
b. Berniat untuk melakukan yang lebih baik di kemudian hari.
c. Mengatakan pada diri sendiri bahwa hal itu bukanlah masalah, lalu Anda mulai berkonsentrasi pada mata palajaran lain dimana Anda mendapat nilai lebih tinggi.
d. Pergi menghadap dosen dan meminta kepadanya agar nilai Anda menjadi baik.

4. Bayangkan bahwa Anda seorang salesman dari sebuah perusahaan asuransi dan mendapat panggilan dari seorang klien yang memiliki prospek bagus buat perusahaan Anda. Namun ada 14 klien lain yang sedang ribut dan menunggu Anda, sehingga Anda menjadi patah semangat. Apa yang Anda lakukan?
a. Meneleponnya hari itu juga dan berharap hari esok akan lebih beruntung.
b. Menilai kualitas diri Anda; melihat kelemahan mana yang menghambat pekerjaan Anda
c. Mencoba sesuatu yang baru untuk panggilan selanjutnya dan tetap berusaha keras.
d. Memikirkan pekerjaan lain.

5. Anda adalah seorang manajer dalam sebuah organisasi dan Anda selalu mencoba untuk menghormati perbedaan ras dan etnik. Sementara itu, Anda mendengar seseorang mengucapkan canda yang menyinggung persoalan ras. Apa yang Anda lakukan?
a. Acuhkan saja, itu ‘kan hanya sekadar canda.
b. Memanggil orang tersebut, memintanya menghadap Anda untuk ditegur
c. Mengatakan langsung bahwa canda seperti itu tidak akan mendapat toleransi dalam organisasi Anda.
d. Meminta orang yang mengatakan canda itu untuk mengikuti pelatihan mengenai perbedaan/pluralitas.

6. Anda mencoba menenangkan teman yang hendak memukul seseorang, karena mobil yang dikendarainya hampir ditabrak dari depan. Apa yang Anda lakukan?
a. Mengatakan padanya agar melupakan saja, lalu dia tidak mempermasalahkan lagi dan tidak ada perjanjian apa pun yang dibuatnya.
b. Mencoba mengalihkan perhatian dengan memutar lagu kesayangannya.
c. Mencoba meredakan emosinya dan membujuk agar memperbaiki hubungan.
d. Mengatakan padanya seandainya yang akan menabrak itu dia, apa yang dirasakannya? Juga ketika melihat pengemudi itu dibawa ke UGD.

7. Anda dan pasangan sedang bertukar argumentasi (bertengkar), sampai suatu ketika kata-kata yang Anda ucapkan tidak enak didengar. Ucapan itu membuat Anda berdua kecewa dan masing-masing menjadi marah. Padahal Anda tidak menghendaki hal itu. Apa yang Anda lakukan?
a. Berhenti selama 20 menit , lalu melanjutkan diskusi.
b. Hentikan argumen Anda, diam, tidak peduli terhadap apa yang disampaikan pasangan Anda.
c. Minta maaf, dan meminta pasangan Anda untuk meminta maaf juga.
d. Berhenti sejenak, berpikir beberapa saat, lalu mencoba menjelaskan pernyataan Anda setepat mungkin.

8. Anda telah ditunjuk menjadi pemimpin sebuah tim kerja. Sebagai orang yang kreatif, Anda mencoba memulai perkerjaan. Apa yang pertama kali Anda lakukan?
a. Membuat agenda dan melakukan diskusi atas berbagai masalah. Anda menggunakan kesempatan ini sebagai sarana membangun kebersamaan.
b. Meminta anak buah Anda mengatur kesempatan agar mereka dapat mengenal satu sama lain.
c. Mumpung masih segar, Anda mulai dengan bertanya pada setiap orang; bagaimana menyelesaikan masalah.
d. Memulai dengan model brainstorming, memberi semangat dan kesempatan kepada setiap orang untuk memberikan ide seliar apa pun.

9. Anak laki-laki Anda yang berumur 3 tahun sangat pemalu, sensitif, dan sedikit takut dengan tempat dan orang baru sejak dia lahir. Apa yang Anda lakukan?
a. Menerima bahwa dia memang memiliki temperamen pemalu. Anda mencoba melindungi dia dari situasi-situasi yang mungkin bisa mengecewakannya.
b. Membawa dia ke psikiater anak untuk meminta bantuan.
c. Mencoba membuat dia terus menerus mengalami tempat-tempat baru dan bertemu dengan orang-orang, sehingga rasa takutnya hilang.
d. Mencoba mengatur secara baik/memberi kesempatan dia agar dapat belajar bertemu dengan orang-orang dan tempat baru.

10. Sudah sejak kecil Anda ingin belajar musik dan sekarang Anda mendapat kesempatan untuk memulainya, walau sekadar untuk senang-senang saja. Untuk itu, Anda ingin menggunakan waktu sebaik mungkin.
a. Secara teratur setiap hari Anda akan meluangkan waktu untuk belajar.
b. Memilih bagian yang sudah sedikit Anda kuasai dan dapat membuat kemampuan Anda berkembang
c. Melakukan latihan hanya kalau ada mood.
d. Memilih bagian yang sama sekali tidak Anda ketahui dan Anda berusaha keras mempelajarinya.

Penilaian
Berikan nilai pada setiap jawaban yang Anda pilih, sesuai dengan kotak di bawah ini. Jumlahkan.
200 = Nilai Tertinggi
175
150
125
100 = Rata-rata
75
50
25
0 = Anda lebih baik mencobanya lain waktu

a b c d
1
20 20 20 0
2 0 20 0 0
3 20 0 0 0
4 0 0 20 0
5 0 0 20 0
6 0 5 5 20
7 20 0 0 0
8 0 20 0 0
9 0 5 0 20
10 0 20 0 0

http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/01/05360036/ukur.kecerdasan.emosi.anda

Friday, January 09, 2009

Etika Konseling

Ev. Asriningrum, M.K.

Etika konseling berarti suatu aturan yang harus dilakukan oleh seorang konselor dan hak-hak klien yang harus dilindungi oleh seorang konselor.

Ada empat etika yang penting:

Etika pertama disebut: Profesional Responsibility. Selama proses konseling berlangsung, seorang konselor harus bertanggung jawab terhadap kliennya dan dirinya sendiri.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

    1. Responding fully, artinya konselor harus bertanggung jawab untuk memberi perhatian penuh terhadap klien selama proses konseling.

    Konselor tidak melakukan konseling ketika energi, atensi dan motivasinya dibuyarkan oleh skedul yang terlalu padat, masalah-masalah pribadi, dll. Mengapa demikian? Itu pertanggungjawaban kita sebagai seorang konselor. Kalau kita sedang letih atau bosan ataupun sedang sibuk mengerjakan sesuatu, kita sulit memberi perhatian kepada seseorang. Kecuali kalau mendesak, tiba-tiba orang yang mau konseling sudah datang.

Di dalam empathy dan listening, yang merupakan teknik dasar dari konseling, kita membutuhkan konsentrasi yang penuh. Jadi kalau kita sedang bosan, punya masalah banyak, bagaimana kita bisa berkonsentrasi secara penuh? Konseling adalah suatu pelayanan yang sangat menguras energi. Oleh karena itu pelayanan ini adalah sebuah pelayanan yang tidak mudah. Kita harus konsentrasi dari awal sampai akhir konseling. Apa yang dikatakan oleh klien, pikiran kita menganalisa, melihat sebetulnya apa yang sedang dirasakan oleh klien, apa yang ada dalam pikiran dan hati klien. Kalau kita tidak fully attentive, konseling tidak akan berlangsung. Itu berarti kita tidak bertanggung jawab. Biasanya saya kalau konseling harus ada appointment dulu supaya saya siap. Kalau kita keliru menghadapi seseorang, maka kita akan membuat orang tersebut sengsara. Itu tidak bertanggung jawab.

Konselor harus dapat mengukur kekuatannya supaya dapat melakukan konseling dengan baik. Mengukur kekuatan itu dalam arti bahwa seseorang tahu betul seberapa kuat dia mengkonseling. Kita tidak boleh terlalu memaksakan diri. Kalau hari ini saya hanya bisa mengkonseling tiga orang, ya jangan dipaksakan untuk mengkonseling lima orang. Tiap-tiap konselor punya kekuatan berbeda. Semakin ahli seseorang semakin mudah dia berkonsentrasi dalam konseling. Tetapi itupun dia harus tetap harus mengukur kekuatannya.

Konselor juga harus bertanggung jawab atas kesuksesan konseling. Oleh karena itu ia harus menyadari kompetensinya dan tidak melakukan konseling di luar kompetensinya meskipun ia sangat tertarik. Ini etika yang sangat penting. Misalnya, saya tidak akan mengkonseling anak-anak penyandang autisma, karena itu bukanlah keahlian saya. Sangat tidak bertanggung jawab kalau saya mengkonseling anak-anak itu. Jadi kita harus melihat keahlian kita itu sampai di mana.

Di dalam pelajaran empathy dan listening, kalau kita tidak bisa mengeksplorasi dan menganalisa permasalahan klien, kita bukan menolong, malah membuat masalah tambah rumit. Misalnya juga kalau dalam kepribadian klien ada yang tidak saya mengerti, saya tidak akan melakukan konseling. Itu professional, dan kita tidak perlu merasa bahwa seolah-olah kita tidak mampu. Dalam dunia konseling itu adalah hal yang biasa.

Konselor harus bersedia merujuk klien ke konselor lain apabila ia merasa tidak mampu menangani seorang klien yang datang padanya. Sebagai konselor kita harus mempunyai sikap demikian. Ada beberapa alasan seorang konselor tidak bisa menangani kasus konselenya. Misalnya karena kasusnya atau akibatnya bisa menimbulkan hal-hal yang tidak baik (pada kasus-kasus hysteria), atau kita merasa lebih baik ditangani konselor wanita, dana seterusnya. Dengan keahlian kita, kita bisa melihat bahwa klien ini harus kita refered ke orang lain. Itu tindakan professional. Misalnya juga kalau saya melihat klien ini tidak bisa maju-maju kalau konseling dengan saya (konseling juga cocok-cocokan) atau kesuksesan konseling itu kecil, saya harus refered ke konselor lain. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban dari seorang konselor. Walaupun kita begitu tertarik dengan kasusnya, kita jangan merasa kecewa kalau kita tidak bisa menangani. Mungkin dia tidak cocok dengan kita. Setiap konselor harus memprediksi kesuksesan konseling, sampai di mana bisa berhasil. Kita harus membangun sikap profesional kita, bukan atas dasar ingin membantu atau tertarik.

    2. Terminating appropriately. Kita harus bisa melakukan terminasi (menghentikan proses konseling) secara tepat.

Konselor harus menghentikan proses konseling tepat waktu. Tetapi bukan karena merasa bosan, frustasi, marah. Dalam konseling, biasanya konseling membutuhkan lebih dari satu waktu pertemuan. Kalau kita sungguh-sungguh mau menolong orang tersebut, maka ada jangka waktunya. Bisa setengah tahun, setahun, atau dua tahun. Kita bertanggung jawab penuh terhadap pemulihan orang tersebut. Itu akan sangat menguras energi. Kadang-kadang sebagai manusia kita bisa menjadi marah, misalnya pada kasus-kasus khusus seperti perselingkuhan, orang-orang yang berkanjang dalam dosa, hal ini bisa menjadikan konselor ingin marah. Tetapi itu tidak bisa menjadikan sebuah alasan untuk menghentikan proses konseling.

Kadang-kadang kita bertemu dengan klien yang mengulang-ulang masalah yang itu-itu saja. Kita harus meminta kepada agar Tuhan menganugerahkan kepada kita rasa cinta kasih kepada klien-klien kita. Tidak semua klien kita menyenangkan. Belum lagi kalau ketemu dengan klien yang marah kepada kita (namanya juga lagi sakit atau bermasalah)! Dalam kriteria seorang konselor, di antaranya adalah konselor harus siap dimarahi oleh klien, dibentak-bentak, kalau klien sedang resisten atau transference. Konselor harus bisa menghadapinya.

Konselor harus mampu menghadapi perasaan-perasaan tersebut baik secara intarpersonal maupun interpersonal supaya hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk proses konseling. Relasi antara konselor dan klien juga relasi dari dua orang manusia, berarti juga ada interpersonal relationship, apalagi kalau klien itu sudah kita dampingi lebih dari satu tahun, setengah tahun, tentunya kita membina relasi dengan klien kita.

Relasi itu bisa juga kadang-kadang kurang baik, karena mungkin klien kurang siap saat kita mengkonfrontasi dia. Tapi kita harus berdamai dengan perasaan-perasaaan tersebut. Karena itu seorang konselor harus mempunyai modal yang kuat, karena untuk menangani hal-hal seperti ini butuh juga tenaga yang besar. Misalnya ada masalah dengan hal-hal intrapersonal, contohnya klien salah mengerti dengan kita, kita harus memberi penjelasan. Itu juga bisa mempengaruhi intrapersonal kita. Kadang-kadang kita berpikir, "Emang gue yang perlu kamu? Saya kan mau menolong kamu, kok kamu merongrong saya terus!"

Kadang-kadang ada perasaan seperti itu. Tapi hal itu harus bisa diselesaikan dan dimanfaatkan untuk proses konseling. Hal-hal tersebut kita bisa pakai untuk kesembuhan klien. Misalnya klien marah kepada kita, jadwal konseling dibatalkan. Mungkin klien menganggap kita tidak mau menolong dia. Sebagai manusia, kadang kita bisa jengkel, tapi justru kita harus mengatasi hal itu. Misalnya setelah si klien marah-marah, kita bisa bertanya mengapa marah, apa perasaanmu? Ya, saya merasa tertolak kalau jadwal konseling cancelled. Nah, justru pada saat klien selesai mengungkapkan perasaannya, kemarahannya itu bisa kita tanggapi dengan baik karena bisa menjadi salah satu proses kesembuhan.

Konselor juga tidak seharusnya menahan klien terlalu lama, apalagi jika konselor merasa memperoleh keuntungan dari klien tersebut. Tidak tertutup kemungkinan dan banyak terdapat klien-klien yang sangat manis. Bahkan ada yang cenderung mendewakan kita, karena dia merasa kita mengerti dia. Kalau kita tidak membangun mentalitas seorang konselor, tanpa sadar kita bisa malah berusaha tidak menghentikan konselingnya, karena bisa mendapatkan keuntungan. Keuntungan itu bisa bermacam-macam, ada keuntungan emosional atau keuntungan secara material. Di Indonesia mungkin lebih dominan keuntungan emosional, perasaan bangga, perasaan tersanjung. Hal itu tidak boleh terjadi. Karena sesungguhnya pelayanan konseling itu jadi berbahaya kalau klien menyanjung. Konselor harus waspada dengan hal tersebut.

    3. Evaluating the relationship. Relasi antara konselor dan klien haruslah relasi yang terapeutik namun tidak menghilangkan yang personal.

Apa yang disebut dengan relasi yang terapeutik? Relasi terapeutik adalah relasi yang menyembuhkan. Kita harus bisa membedakan konseling yang sekedar curhat dan yang terapeutik. Hubungan konselor dan klien adalah hubungan yang menyembuhkan. Sekalipun profesional, kita tidak boleh menghilangkan relasi yang personal, misalnya kita melihat relasi itu sebagai teman. Kita harus tahu batasnya. Kalau relasi kita hanya personal, kita hanya menjadi pendengar curahan hati semata-mata. Relasi antara konselor dan klien tidak boleh terlalu personal sehingga klien menjadi overdependent, atau menjadi relasi yang saling memanfaatkan. Jika terjadi demikian maka konselor harus bertanggung jawab untuk menghentikan proses konseling.

Sering terjadi kalau terlalu personal, klien akan sangat tergantung pada kita. Maka kita harus menjaga jarak. Kita harus tahu kapan klien akan bergantung pada kita. Kalau itu terjadi, kita jadi tidak lagi objektif. Kemampuan kita melihat masalah, kemampuan kita merefleksikan apa yang menjadi perasaan klien, akan menjadi sulit kalau relasi kita terlalu personal. Maka relasi yang dibangun antara konselor dan klien itu harus relasi yang terapeutik.

Karena itu dalam pelajaran empathy dan listening, seorang konselor jangan mengeksplorasi hal-hal yang tidak terlalu perlu. Contoh: kita punya klien yang bekerja di bank. Karena kebetulan sedang membutuhkan kredit, kita memanfaatkan klien kita. ini tidak profesional dan bisa mengganggu proses konseling. Jika terjadi demikian maka konselor harus bertanggung jawab untuk menghentikan proses konseling. Kita bisa me-refer klien kita ke konselor yang lain. Godaan yang seperti ini dan besar sekali kemungkinannya. Oleh karena itu konselor harus bisa mengevaluasi hubungan seperti apa antara dia dengan kliennya.

Waktu saya menjadi konselor di sebuah sekolah, saya mengkonseling seorang anak kelas dua. Beberapa hari kemudian, walaupun tidak dijadwalkan, anak itu selalu datang sama saya, selalu kirim kartu. Saya mulai waspada, anak ini mulai menggantungkan dirinya kepada saya, sehingga saya tidak tanggapi.

Sebagai manusia biasa, saya ingin mengayomi, tapi itu tidak saya lakukan. Walaupun dia perempuan. Coba kalau saya lakukan, misalnya saya telepon dia menanyakan keberadaannya, dia nanti akan bergantung pada saya. Jadi setiap kali saya datang dan dia bertemu saya, saya tidak menolak dia, akan tetapi dia akan mempunyai pengertian bahwa saya tidak bisa maju lebih dalam relasi sebagai konselor dan klien. Tapi kalau sesudah proses konseling, saat saya tidak lagi di sekolah tersebut dan sekarang perempuan tersebut sudah berkeluarga, relasinya sudah menjadi relasi persahabatan, bukan antara konselor dan klien. Saya pernah melakukan satu kali melakukan kesalahan dan itu menjadi pelajaran yang berharga buat saya.

    4. Counselor's responsibility to themselves. Konselor harus dapat membangun kehidupannya sendiri secara sehat sehingga ia sehat secara spiritual, emosional dan fisikal.

Mengapa hal ini penting? Seorang konselor harus mempunyai spiritulitas yang sehat supaya dia bisa menolong kliennya bergumul bersama-sama kepada Tuhan. Karena banyak klien-klien itu seringkali mereka tidak tahu apa arti bergumul dengan Tuhan. Kalau kita sebagai konselor tidak memperhatikan kerohanian kita, kita akan sulit dalam mengkonseling.

    Dalam pengalaman konseling, saya belajar bahwa saya harus memperhatikan pertumbuhan rohani saya. Karena siapa sih yang bisa mengubah hati manusia? Tidak ada! Kita juga tidak bisa, sekalipun kita konselor. Yang bisa mengubah manusia hanya Tuhan. Jadi kita harus sangat memperhatikan pertumbuhan rohani kita. Saya sangat mengamini hal ini. Pilar dari pelayanan konseling adalah doa. Kadang-kadang kita menemui orang yang begitu sulit, masalah yang sangat rumit, tapi Tuhan memberi pencerahan kepada kita, bagaimana kita bisa menolong orang tersebut. Mungkin secara ilmu pengetahuan, analisa kita baik, tapi kadang-kadang orang itu membutuhkan faktor lain. Kalau kita tidak melihat pertumbuhan rohani kita, jangan kita mengkonseling. Itu tidak bertanggung jawab.

Kita juga perlu membangun kehidupan emosional yang sehat. Artinya, kita mempunyai relasi yang baik dengan orang lain, kita belajar untuk menyelesaikan masalah-masalah kita sendiri. Kalau emosi kita tidak sehat, bisa-bisa klien jadi sasaran kita. Klien yang tidak salah bisa kita marahi.

Bagaimana membangun emosi yang sehat? Syarat utamanya adalah seorang konselor sudah lebih dahulu dikonseling. Saya dikonseling selama bertahun-tahun, supaya saya siap. Kalau tidak sehat secara emosi, kita bisa collaps. Akhirnya proses konseling kita merupakan campur-adukan emosi, antara antara emosi klien dan emosi kita. Kita harus memilah antara emosi klien dan emosi kita. Kemarahan klien bisa-bisa menjadi kemarahan kita. Selain pernah dikonseling, konselor juga perlu membangun kebutuhan fisiknya. Hal ini perlu supaya kita bisa konsentrasi, tidak mengantuk.

Konselor harus tahu batasan dalam relasinya dengan klien. Konselor haruslah berperan sebagai konselor. Relasi yang profesional harus kita bangun karena relasi itu berperan dalam proses konseling. Kita tidak boleh menjadi orangtua klien. Itu bisa membuat klien tidak bertanggung jawab. Hati-hati, jangan berperan sebagai pasangan klien kita. Kalau klien itu sedang bermasalah dengan suaminya, istrinya, pacarnya, kita jangan terlibat terlalu dalam. Kalau kita berperan menjadi pasangan, kita bisa jatuh cinta pada klien. Relasi itu juga tidak bisa dalam bentuj atasan dan bawahan.

Walaupun tidak diajari, klien kita sebenarnya tahu batasan-batasan itu. Dia tidak akan menelepon. Kalau dia membutuhkan dia akan hubungi kita. Karena kita sudah membangun batasannya, kita bisa ajarin klien. Klienpun harus diajari bagaimana menjadi klien, kalau tidak kita bisa dirampok secara emosi. Kita harus bisa memulihkan energi kita.

Etika kedua disebut: Confidentiality. Konselor harus menjaga kerahasiaan klien.

Ada beberapa hal yang perlu penjelasan dalam etika ini, yaitu yang dinamakan previleged communication. Artinya konselor secara hukum tidak dapat dipaksa untuk membuka percakapannya dengan klien, namun untuk kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan, hal seperti ini bisa bertentangan aturan dari etika itu sendiri. Dengan demikian tidak ada kerahasiaan yang absolute.

Ketika seorang konselor ditunjuk oleh pengadilan untuk memeriksa seseorang, maka laporan hanya dikirim ke pengadilan, bukan yang lainnya. Kerahasiaan bisa dibuka jika konselor merasa ada indikasi yang akan membahayakan dirinya atau orang lain. Jika klien berumur di bawah 16 tahun dan konselor menemukan ada tanda-tanda bahwa anak tersebut menjadi korban kekerasan maka kerahasiaan bisa dibuka.

Jika konselor dituntut oleh klien dengan tuduhan malpraktek, maka konselor tidak bisa menolak untuk menceritakan isi percakapan dengan kliennya. Mungkin agak jarang terjadi, karena dalam konseling sulit dibuktikan adanya malpraktek, berbeda dengan bidang medis. Ini dikarenakan dalam konseling lebih banyak masalah emosinya saja. Tapi ini bisa saja terjadi.

Ketika konselor membuat report, rekaman, dan lain-lain, klien perlu diberi penjelasan tujuannya apa. Jika akan dipakai untuk keperluan konsultasi atau mengajar atau keperluan lain, konselor harus minta izin kepada klien.

Etika ketiga adalah Conveying Relevant Information to The Person In Counseling. Maksudnya klien berhak mendapatkan informasi mengenai konseling yang akan mereka jalani.

Informasi tersebut adalah:

Counselor qualifications: konselor harus memberikan informasi tentang kualifikasi atau keahlian yang ia miliki. Klien berhak bertanya tentang rujukan-rujukan kepada konselor apabila kualifikasi konselor kurang sesuai dengan apa yang ia butuhkan. Misalnya ada yang ingin konseling tentang masalah anaknya yang penyandang autisma. Kalau konselor tidak memiliki kualifikasi atau keahlian di bidang itu, konselor harus mengakuinya dan me-refer klien ke konselor lain yang mempunyai keahlian dalam masalah anak penyandang autisma. Konselor juga memberikan informasi tentang biaya yang diperlukan selama konseling.

Counseling consequences : konselor harus memberikan informasi tentang hasil yang dicapai dalam konseling dan efek samping dari konseling, misalnya: Perubahan dalam diri remaja dapat menimbulkan tension bagi orangtuanya. Kemungkinan bisa terjadi orangtua akan menciptakan tension baru bagai remaja sehingga keadaan menjadi lebih buruk dari sebelumnya, khususnya kasus masalah orangtua dan remaja. Perubahan-perubahan dalam diri klien bisa membuat perubahan keseimbangan dalam keluarga. Kalau terjadi perubahaan keadaan yang sepertinya lebih buruk dari sebelumnya, konselor harus memberitahu bahwa itu adalah merupakan sebuah proses dari konseling.

Perubahan dalam diri seseorang akan merobohkan pertahanan (defences) yang selama ini dibangun. Perubahan itu juga bisa membuat seseorang berani mengekspresikan hal-hal yang selama ini belum pernah ia lakukan karena membuat ia merasa kurang nyaman dengan diri sendiri. Ini sering terjadi dalam proses konseling. Klien merasa sudah bukan lagi dirinya sendiri. Hal ini bisa membuat klien terdorong untuk mundur dari konseling. Misalnya orang yang begitu penurut, tidak berani membantah, padahal ini membuat dia tertekan dan menyimpan kemarahan. Setelah konseling, kita ajarkan klien supaya lebih asertif. Setelah dia tahu, dia akan merasa bahwa dia bukan dirinya lagi, dia merasa tidak enak.

Klien diberitahu konsekuensi akan dia hadapi. Mungkin orangtua atau pasangan atau teman-temannya akan mengomentari perubahan yang terjadi. Reaksi yang ditimbulkan oleh orang-orang di sekitar klien biasaya tidak positif. Hal ini bisa membuat kegamangan pada diri klien dan sering ia ingin mundur dalam konseling.

Sebagian klien yang selama ini menekan emosinya (gelisah) setelah menjalani proses konseling, akan out of control. Emosi yang keluar sudah tidak terkontrol lagi, karena emosinya terlalu lama ditekan. Kalau klien merasa aneh, merasa dirinya menjadi jelek karena suka marah-marah, konselor harus menjelaskan pada klien bahwa itu adalah bagian dari proses penyembuhan. Tujuan konselor memberitahu kepada klien adalah supaya klien terus maju dalam proses konseling. Klien harus diberitahu bahwa setiap proses konseling akan terjadi dis-equilibrium, suatu perubahan dari pola lama ke pola baru. Karena orang sudah terbiasa nyaman dengan pola yang lama, ketika dia mencoba dengan cara yang baru, dia akan goncang, terjadi ketidakseimbangan. Konselor harus terus mendorong klien untuk maju, setelah dia belajar berekspresi, baru kita kelola ekspresinya menjadi ekspresi yang manis, pas buat dia. Dengan demikian pemulihan akan terjadi.

Perubahan dalam diri seseorang akan mempengaruhi respon figur-figur signifikan terhadap dirinya. Respon tersebut seringkali dirasakan kurang nyaman. Perubahan dalam diri satu pihak dalam pasangan menyebabkan ketidakseimbangan dalam pernikahan.

Time involved in counseling: konselor harus memberikan informasi kepada klien berapa lama proses konseling yang akan dijalani oleh klien. Konselor harus bisa memprediksikan setiap kasus membutuhkan berapa kali pertemuan. Misalnya konselor dank lien bertemu seminggu sekali selama 15 kali, kemudian sebulan sekali, dan setahun sekali.

Alternative to counseling: konselor harus memberikan informasi kepada klien bahwa konseling bukanlah satu-satunya jalan untuk sembuh, ada faktor lain yang berperan dalam penyembuhan, misalnya: motivasi klien, natur dari problem, dll. Jangan sampai klien menganggap konselor sebagai tukang reparasi, seperti reparasi elektronik. Jadi ketika klien datang, dia berharap kesembuhan menjadi tanggung jawab dari konselor. Kita harus ajarkan bahwa kesembuhan adalah tanggung jawab juga klien, termasuk motivasi, kerjasama klien dalam proses konseling. Konselor harus mampu melihat apakah klien memerlukan pertolongan lain, misalnya: self help programs, group therapy, marriage encounter, dll.

Etika keempat, yaitu The Counselor Influence. Konselor mempunyai pengaruh yang besar dalam relasi konseling, sehingga ada beberapa hal yang perlu konselor waspadai yang akan mempengaruhi proses konseling dan mengurangi efektifitas konseling.

Hal-hal tersebut adalah:

The counselor needs : kebutuhan-kebutuhan pribadi seorang konselor perlu dikenali dan diwaspadai supaya tidak mengganggu efektifitas konseling. Karena itu sebelum kita menolong orang lain, kita perlu tahu rasanya ditolong itu seperti apa. Dengan demikian kita tahu kebutuhan kita, mekanisme psikologis seperti apa.

Kebutuhan-kebutuhan yang berpengaruh antara lain:

    - konselor punya kepribadian controlling. Jika kita mempunyai kebutuhan untuk mengontrol orang lain, bisa jadi hal itu akan mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan. Ini tidak boleh, kita pasti tahu bahwa keputusan itu ada di tangan klien. Konselor hanya memberikan alternatif, klien yang mengambil keputusan.

    - Konselor yang punya kepribadian merasa benar. Kalau kita mempunyai kebutuhan bahwa kita selalu benar, kita cenderung mudah menyalahkan klien, baik dalam persepsi, intepretasi, nilai-nilai hidup. Kita akan cenderung merasa benar. Karenanya, semua persepsi kita sehubungan dengan masalah klien, harus diklarifikasikan dulu. Belum tentu persepsi kita benar.

    - Konselor yang punya kepribadian savior syndrom. Kalau kita mempunyai kepribadian seperti ini, kita akan cenderung mengambil tanggung jawab dari klien.

    - Konselor yang merasa penting, dihargai (to be important), bisa membuat kita cenderung menjadi suka sama klien, karena klien sudah menyanjung-nyanjung kita.

    - Konselor yang punya kebutuhan suatu kedekatan emosi dengan orang lain (to feel & receive afection). Kalau ini adalah kebutuhan kita, maka kita akan menekankan relasi kita dengan klien lebih dari proses konseling itu sendiri. Hubungannya menjadi lebih personal, bukan professional. Orang-orang yang pendiam sulit menjadi konselor karena dia bisa memanfaatkan klien untuk memenuhi kebutuhan emosinya. Konselor yang baik adalah konselor yang bisa membina relasinya dengan sehat.

    - Konselor yang punya kecenderungan menciptakan tension. Di dalam proses konseling tidak tertutup kemungkinan akan terjadi tension. Artinya kalau dalam proses konseling klien membantah atau bersikap negatif, maka kita cenderung akan menekan, berusaha untuk menang, maka proses konseling akan terganggu. Orang-orang yang terlalu otoriter, agresif, punya kemarahan yang banyak, akan berpotensi terjadinya tension.

    - Konselor yang punya motivasi to make money.

Konselor bertanggung jawab untuk memahami dan menyelesaikan konflik-konflik yang belum terselesaikan dalam diri supaya tidak mengganggu proses konseling. Karena kita ini juga manusia biasa, tentunya kita juga mempunyai masalah. Itu harus diselesaikan atau kita melatih kemampuan kita untuk memilah, meletakkan masalah kita sementara untuk bisa fokus pada proses konseling.

Misalnya kita masih menyimpan kemarahan pada figure otoritas (orangtua, dosen, polisi, dsb), dan ternyata klien juga memiliki kemarahan pada figure yang sama, ini bisa membuat kita bersekutu dengan klien. Perasaan kita dengan klien bisa membaur, seperti ketemu teman. Ini sangat mengganggu proses konseling. Kita tidak bisa menganalisis masalah klien dengan obyektif karena kita masih punya masalah kemarahan pada figur tsb. Oleh karena itu konselor harus terus berlatih untuk bisa memilah antara masalahnya dengan masalah klien.

Authority: pengalaman konselor dengan figur otoritas juga perlu diwaspadai karena akan mempengaruhi proses konseling jika kliennya juga figur otoritas.

Sexuality: konselor yang mempunyai masalah seksualitas yang belum terselesaikan akan mempengaruhi pemilihan klien, terjadinya bias dalam konseling, dan resistance atau negative transference. Misalnya ada konselor yang kurang nyaman dengan klien yang lawan jenis. Hal ini mungkin karena masih ada problem seksualitas yang belum terselesaikan. Terjadi bias. Kalau kita punya masalah dengan klien lawan jenis, mungkin kita akan berkata, "Dasar laki-laki!" atau "Wanita memang cengeng."

The counselor `s moral and religius values: nilai moral dan religius yang dimiliki konselor akan mempengaruhi persepsi konselor terhadap klien yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ia pegang. Konselor harus tahu menempatkan hal-hal tersebut secara tepat sehingga tidak merugikan klien dan tidak menganggu proses konseling. Konseling juga bukan penginjilan sehingga konselor tidak seharusnya memaksakan kepercayaannya kepada kliennya, meskipun tidak tertutup kemungkinan adanya jalan yang dibukakan oleh Tuhan untuk penginjilan.

Wednesday, December 03, 2008

Trauma Masa Kecil dan Masa Depan Anak

Senin, 17 November 2008 | 17:36 WIB

Oleh : Sawitri Supardi Sadarjoen, psikolog

BANYAK perempuan bertahan dan mempertahankan perkawinannya karena pertimbangan akan masa depan anak, walaupun dari perkawinan itu sendiri perempuan tidak memperoleh haknya akan kebahagiaan diri.

Sampai hari ini, setelah hidup bersama sebagai istri selama 27 tahun, saya tidak pernah merasakan apa arti hidup bahagia.

Memang dari segi materi dapat dikatakan cukup berlimpah, tetapi dari segi mental saya benar-benar terpuruk. Kecuali perlakuannya terhadap saya, suami saya pun tidak peduli akan kebutuhan kehangatan kasih yang saya dambakan. Kalaupun saya bertahan dalam perkawinan ini hanyalah karena ketiga anak saya.

Suami saya memang pengusaha yang berhasil, tetapi dia sangat egois dan kalau bicara atau berkomentar seenak sendiri, sama sekali tidak memerhatikan perasaan orang lain, apalagi terhadap saya dan anak-anak. Yang amat saya sesali adalah dia begitu kejam terhadap anak laki-laki nomor satu. Sejak sekitar usia dua tahun setengah kalau anak nakal (yang sebetulnya kenakalan biasa atau agak rewel saat tidak enak badan), maka tanpa segan anak disabet dengan lidi sampai badannya bilur-bilur. Saat anak itu sekitar usia tiga tahun, tiba-tiba anak itu menjerit menangis keras dengan suara ketakutan. Waktu itu saya sedang menyusui adiknya yang baru usia tiga minggu. Saya bergegas bangun untuk melihat apa yang terjadi, Bu.

Anak itu disiram air dan sedang diangkat akan dimasukkan ke bak mandi. Hal itu terjadi pada sekitar pukul tujuh malam. Ia rewel karena mengantuk dan suami saya terganggu konsentrasinya, sementara dia sedang menyelesaikan pembukuan perusahaan kami.

Anak itu langsung saya rebut dari tangannya. Saya sedih, Ibu, karena sejak saat itu anak pertama saya tersebut takut sekali bila didekati ayahnya.

Apalagi saat anak menjelang remaja, semakin kejam pula cara ayahnya menghukum. Anak disuruh berdiri menghadap tembok dan dipukul dengan ikat pinggang beberapa kali, sambil dicaci maki dengan kata-kata kasar, seperti anak bodoh, goblok, tolol.

Sedih saya, Bu, bila mengingat bagaimana anak saya dihukum ayahnya. Sebenarnya saat suami saya sedang tenang, saya sering menyarankan untuk tidak menghukum anak pertamanya dengan cara kejam seperti itu, tetapi dia selalu berdalih bahwa tanpa digembleng dengan keras dan kejam seperti itu, anak itu akan manja dan tidak bisa kerja.

Akibat hukuman tersebut, anak saya jadi pendiam, kurang berani, kurang inisiatif. Kecuali itu, rupanya diam-diam anak tersebut juga dendam terhadap ayahnya sehingga sampai saat ini (usia 26 tahun) selalu menghindarkan diri dari komunikasi dengan ayahnya.

Ia pun sama sekali tidak tertarik dengan perusahaan ayahnya. Saya khawatir, karena siapa lagi yang akan menggantikan ayahnya meneruskan perusahaan yang sudah sedemikian besar bila bukan anak itu. Saya bingung, tetapi tidak tahu mau berbuat apa, sementara semakin tua karakter suami saya semakin tidak menyenangkan.” Demikianlah keluhan Ny D (53).

Analisis

Dari ungkapan Ny D, sebenarnya ada dua masalah yang diutarakan. Yang pertama adalah masalah kehidupan perkawinannya yang sama sekali tidak membuat Ny D merasa bahagia karena cara suaminya berkomunikasi tidak membuatnya merasa nyaman, bahkan sering merasa terpojok dan terdiam seribu basa.

Persoalan kedua adalah masalah anak sulungnya yang sangat membenci ayahnya dan menghindari komunikasi dengan ayahnya, padahal dialah satu-satunya pewaris perusahaan keluarga di kemudian hari karena kedua anak lainnya perempuan.

Pola asuh yang diterapkan Tn D terhadap anaknya adalah dominan, otoriter, keras, dan kejam. Anak akan menderita pengalaman traumatis oleh perlakuan ayah dan menyisakan luka batin mendalam.

Ada dua kemungkinan sikap mental eksesif yang akan berkembang oleh pengalaman traumatis masa kecil anak:

(1). Bila pada dasarnya anak berwatak keras, ia pun kelak akan meniru dan menjadikan karakter ayahnya sebagai bagian dari dirinya. Ia akan menjadi orang yang berkepribadian dominan, keras, bahkan sadis-agresif dan tidak mampu berkompromi dengan lingkungan.

(2). Bila pada dasarnya dia berwatak lemah, ia akan menjadi berkepribadian submisif, cenderung menempatkan diri di bawah otoritas orang lain, tidak berani berkata ”tidak” (tidak asertif), terkesan menunggu inisiatif orang lain, bahkan tidak berani mengambil keputusan, baik bagi lingkungannya maupun bagi dirinya sendiri.

Apa pun reaksi eksesifnya, kedua peluang perkembangan kepribadian yang eksesif tersebut tetap akan menyisakan rasa dendam kesumat, kebencian yang intens terhadap ayahnya.

Perbedaannya, pada reaksi eksesif yang pertama, dendam kesumat dimunculkan dalam perilaku agresif-sadistis pada lingkungan. Anak akan dengan mudah terpicu mengungkap reaksi agresif yang terkadang destruktif.

Sementara reaksi eksesif yang kedua muncul dalam bentuk sikap tidak berani ambil inisiatif, tetapi bersifat pasif-agresif, yaitu sikap diam, tetapi bergeming, artinya bertahan pada sikap perlawanan tidak tergoyahkan, kaku, dan tidak fleksibel.

Makian, cercaan menyakitkan hati, dan merendahkan harga diri anak, apalagi disertai hukuman fisik yang berlebihan, hanya akan menyisakan dendam kesumat eksesif terebut di atas kemudian hari. Jadi, mengapa kita tidak mencari tahu tentang cara menghukum anak yang bersifat mendidik?

(Diambil dari: http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/17/17364487/trauma.masa.kecil.dan.masa.depan.anak)

Perilaku Agresi Ternyata Menular

Rabu, 26 November 2008 | 22:56 WIB

SETIAP HARI, media elektronika maupun cetak kerap memberitakan berbagai kisah tentang pembunuhan, penganiayaan dan penyiksaan. Kondisi korban yang diberitakan pun bervariasi. Ada yang meninggal dengan tubuh terpotong-potong, anggota tubuh yang hilang, dan cacat seumur hidup.

Hal ini menunjukkan bahwa perilaku agresif yang terjadi saat ini menunjukan adanya peningkatan kualitas, tak hanya sekedar menyakiti atau melukai tetapi juga menghilangkan nyawa korbannya. Sebab-sebab kejadianya pun kadang-kadang sangat sepele. Misal, gara-gara minta rokok tidak diberi seorang pemuda tega menganiaya temannya sampai meninggal.

Ryan seorang yang dituduh sebagai ‘Jagal manusia ‘ dari Jombang, kalau selintas kita simak, juga melakukan berbagai hal karena masalah yang sepele. Dia sampai tega dan berani membunuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya meski diselipi rasa cemburu berlebihan.

Kasus lainnya, berbagai tawuran antar pelajar atau mahasiswa yang sering kita lihat di TV yang bila disimak penyebabnya sangat sepele hingga seharusnya tidak pantas kalau sampai dibela dan mengorbankan nyawa sampai mati. Cerita lain menyebut, seorang remaja laki-laki yang cenderung melakukan tindak kekerasan seperti berkelahi karena takut dikatakan banci oleh teman-temannya. Ironisnya, hal ini banyak dilakukan meskipun secara normatif perilaku semacam itu tidak pantas dilakukan oleh seseorang yang disebut pelajar atau mahasiswa.

Banyak teori agresi yang mengatakan sebab utama yang menyebabkan munculnya perilaku agresi adalah frustrasi (Hanurawan,2005). Dijelaskan di sini, perilaku agresif muncul karena terhalangnya seseorang dalam mencapai tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu.

Watson, Kulik dan Brown ( dalam Soedardjo dan Helmi,1998) lebih jauh menyatakan bahwa frustrasi yang muncul disebabkan adanya faktor dari luar yang begitu kuat menekan sehingga muncul perilaku agresi. Bandura (dalam Baron dan Byrne. 1994) menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial melalui pengamatan terhadap dunia sosial.

Dari beberapa pandangan teoritik tersebut, dapat dikatakan misalnya bahwa perilaku agresif yang dituduhkan pada Ryan dapat disebabkan oleh frustasinya yang mendalam sebagai akibat kegagalannya dalam dunia kerja. Frustasinya menjadi semakin menekan karena dia sudah masuk dalam perangkap kehidupan teman-temanya yang serba ada dan berkecukupan. Suasana kompetitif dalam masyarakat pun sangat kuat sehingga bagi mereka yang tidak siap akan mengalami stres berat yang lama kelamaan akan menjadi frustasi.

Di samping itu, faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah peran media, entah cetak maupun elektronika yang juga sering menyajikan berita mengenai perilaku agresif ini. Belum lagi acara telivisi yang menyuguhkan adegan kekerasan seperti Smack Down, UFC atau sejenisnya. Tayangan ini akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan inidvidu yang melihatnya, terlebih mereka yang berusia muda, meniru model kekerasan seperti itu.

Situasi yang setiap hari menampilkan kekerasan yang beraneka ragam sedikit demi sedikit akan memberikan penguatan bahwa hal itu merupakan hal yang menyenangkan atau hal yang biasa dilakukan ( Davidof,1991). Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadilah proses belajar dari model yang melakukan kekerasan sehingga akan memunculkan perilaku agresi. Bila perilaku seseorang membuat orang lain marah dan kemarahan itu mempunyai intensitas yang tinggi, maka hal itu merupakan bibit munculnya tidak hanya perilaku agresi pada dirinya namun juga perilaku agresi orang lain.

Ada penularan perilaku ( Fisher dalam Sarlito,1992 ) yang disebabkan seringnya seseorang melihat tayangan perilaku agresi melalui televisi atau membaca surat kabar yang memuat hasil perilaku agresi, seperti pembunuhan, tawuran masal, dan penganiayaan.

Oleh karenanya, secara internal kita semestinya menjaga diri kita sendiri agar tidak melakukan periku agresif yang membahayakan. Yang pertama adalah melatih ketrampilan emosi sehingga mampu menerima tanpa frustasi terhalangnya beberapa tujuan yang kita inginkan dalam hidup kita. Selain itu, karena melihat perilaku agresi bisa membuat kita juga agresif, kita perlu menyeleksi apa yang akan kita tonton dan yang akan kita rekam dalam memori kita.

Drs. Hadrianus Wahyudi, M.Si, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

(Diambil dari: http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/26/22565170/perilaku.agresi.ternyata.menular)

Anak Muda Pacaran, Hanya Lihat Sisi Senangnya Saja

Sabtu, 29 November 2008 | 22:03 WIB

SEMARANG, SABTU - Seorang psikolog dari Semarang menyatakan, rata-rata anak muda di Indonesia dalam berpacaran hanya melihat sisi kesenangannya saja, dan tidak melihat sisi lainnya.

"Di kalangan anak muda, rata-rata mereka berpacaran sering tidak melihat sisi lainnya, yang dilihat hanya kesenangan semata. Selain itu banyak anak muda ketika berpacaran sering termakan oleh kata cinta, padahal pacaran yang sehat itu tidak hanya berdasar pada cinta semata," kata dr. Hastaning Sakti, psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang di Semarang, Sabtu.

Hasta, begitu panggilan akrabnya, mengatakan hal tersebut saat menjadi pembicara dalam Road Show Diponegoro Care Centre (DCC) di kampus Psikologi Undip. Pada kesempatan ini ia juga mengeluhkan dalam berpacaran anak muda saat ini sering menjurus pada hubungan seks di luar nikah yang berakibat pada kehamilan yang tidak diinginkan.

Selain itu, ia menambahkan, sebaiknya anak muda harus melihat dampak buruknya akibat melakukan hubungan seks bebas, seperti terjangkit HIV/AIDS, kehamilan, keguguran, dan dampak psikologi lainnya. "Jadi, kalau menilai pacar jangan hanya dari sisi baiknya saja, harus dilihat dari semua sisi, termasuk jangan melakukan hubungan hubungan seks di luar nikah," katanya mengingatkan.

"Saat ini banyak sekali kasus aborsi karena hamil di luar nikah. Hal ini, disebabkan karena hubungan pacaran yang tidak sehat," demikian Hasta. Road show yang diselenggarakan DCC ini juga mengangkat masalah kesehatan reproduksi serta kekerasan dalam pacaran.

Menurut Nuno, ketua panitia acara, kegiatan ini mengangkat masalah-masalah yang sering dihadapi oleh kalangan remaja seperti aborsi, kekerasan dalam pacaran, dan kehamilan yang tidak diinginkan, serta narkoba.

"Sebenarnya acara-acara sejenis sudah banyak diselenggarakan baik di sekolah, kampus, maupun masyarakat, tapi kami optimis acara ini akan berpengaruh besar bagi pesertanya karena dalam acara ini peserta diajak diskusi dan tukar pendapat," katanya.

Acara DCC di Fakultas Psikologi ini adalah putaran pertama dari keseluruhan acara yang rencananya juga diadakan di semua fakultas di Universitas Diponegoro. "Kami rencananya akan menggelar road show di semua fakultas di Undip, untuk kegiatan di luar bulan-bulan kemarin kami sudah mengadakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Banten, dan Jawa Barat," kata Nuno.

Banyaknya Mutilasi Jangan Salahkan Televisi

Senin, 1 Desember 2008 | 22:10 WIB

SEMARANG, SENIN - Banyaknya kasus pembunuhan dan mutilasi yang terjadi di Indonesia belakangan ini, tidak hanya disebabkan maraknya tayangan kriminal di televisi tetapi juga disebabkan oleh faktor pribadi, lingkungan masyarakat dan ekonomi, kata psikolog Undip Semarang, Hastaning Sakti.

"Menanggapi banyaknya kasus pembunuhan dan mutilasi yang akhir-akhir ini sering terjadi, sebaiknya masyarakat jangan menyalahkan televisi, banyak faktor lain yang sebenarnya juga menjadi pemicu terjadinya hal itu," katanya di Semarang, Senin.

Faktor lain yang juga menjadi penyebab seseorang melakukan pembunuhan juga mutilasi adalah kesalahan pola pikir, ekonomi, lingkungan sosial, dan keluarga.

Ia menjelaskan, rata-rata orang Indonesia tidak bisa mengatur tingkat emosional mereka, sehingga jalan keluar yang diambil ketika menghadapi masalah sering kali jauh dari kebiasaan orang normal.

Tingkat pendidikan yang rendah, menurut dia, sebagai salah satu faktor penyebab orang melakukan tindak kejahatan."Bisa kita lihat, rata-rata pelaku kejahatan, pembunuhan dan mutilasi pada kasus belakangan ini, dilakukan oleh orang yang tingkat pendidikannya rendah," kata dosen Fakultas Psikologi Undip ini.

Kasus mutilasi akhir-akhir ini banyak ditemukan di beberapa kota di Indonesia, seperti aksi yang dilakukan Ryan di Jakarta, penemuan potongan tubuh manusia di bus Mayasari Jakarta dan terakhir di kawasan wisata Kopeng Kabupaten Semarang.

Disinggung masalah televisi sebagai penyebab maraknya kasus pembunuhan dan mutilasi, ia mengatakan, televisi itu sebenarnya sangat penting untuk pengetahuan dan pendidikan, hanya saja masyarakat belum siap menerima itu, sehingga baik atau buruk apapun yang ada di televisi cenderung akan dicontoh.

Psikolog dari Universitas Katolik Soegiyopranoto, Kristiana Haryanti juga menyatakan hal serupa, banyak faktor lain yang mempengaruhi seseorang melakukan tindakan pembunuhan seperti faktor pribadi, tekanan lingkungan, dan pendidikan.

Ia mengatakan tiap orang mempunyai tingkat ambang stres yang berbeda. "Itu yang menyebabkan jenis penyelesaian tiap orang berbeda ketika menghadapi suatu masalah," katanya.

"Orang yang mempunyai masalah yang sama belum tentu sama dalam hal menyelesaikannya karena tingkat ambang stres tiap orang berbeda," katanya.

Ia mencontohkan, bila ada dua orang yang mengalami putus cinta, satu orang mungkin akan bunuh diri, dan orang lainnya mungkin akan bersikap acuh tak acuh dan segera mencari penggantinya.

Faktor yang menyebabkan perbedaan tingkat ambang stres, menurut Kristiana, adalah kepribadian dan lingkungan. "Faktor kepribadian dan lingkungan adalah hal yang membuat ketangguhan seseorang yang mengalami masalah menjadi berbeda," katanya.

Ia menilai saat ini memang televisi banyak menayangkan hal-hal yang negatif, tetapi perlu ada seleksi yang lebih ketat terhadap tayangan negatif oleh instansi terkait.

(Diambil dari: http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/01/22105621/banyaknya.mutilasi.jangan.salahkan.televisi)

Thursday, November 06, 2008

MENGAPA KEINTIMAN HILANG SETELAH PERNIKAHAN?

Kejadian 1: 26; 2: 24

Pertanyaan di atas sungguh sangat akrab di telinga kita. Tidak jarang pasangan nikah mengeluhkan hal demikian, bahkan mungkin kita pun juga. Seorang istri berkata, “Selama menikah dengan suamiku 10 tahun lamanya, aku merasa kalau aku ini tidak bersuami. Banyak hal aku kerjakan sendirian, tanpa suamiku. Kering rasanya. Tapi kalau untuk orang lain, ia sangat hebat.” Di kesempatan lain, seorang suami berkata, “Pak, saya ini sudah menikah lebih dari 20 tahun, tapi pernikahanku tidak pernah bahagia. Sejak awal menikah. Bayangkan, Pak!” Kemanakah keintiman itu terbang setelah menikah sekian lama?

Apa yang menyebabkan keintiman itu hilang? Hal-hal penyebabnya antara lain: Pertama, waktu bersama-sama yang terhilang. Dalam zaman yang makin sibuk, kita sering mengkambinghitamkan kesibukan sebagai alasan untuk tidak berduaan dengan pasangan kita. Kalau istri meminta waktu untuk bicara bersama-sama di kamar, maka suami berkata, “Sebentar, saya sedang sibuk. Saya lelah. Saya perlu tidur, bukan bicara-bicara, karena besok harus bangun dan kerja kembali.” Sebaliknya, bila suami mengajak istri untuk menemaninya ke suatu tempat, istri berkata, “Kamu pergi sendirian saja, kan di sana saya tidak ngapa-ngapain. Saya masih punya banyak urusan di rumah. Anak-anak sendirian. Kasihan.” Selalu saja ada alasan untuk tidak berduaan dengan pasangan kita. Inilah yang menyebabkan keintiman akan runtuh perlahan-lahan.

Tony dan Laura (nama-nama samaran) adalah pasangan suami-istri yang cerdas dan masih muda. Usia mereka menjelang 30 tahun. Keduanya lulusan perguruan tinggi dan memiliki karier yang bagus. Tony bekerja di sebuah firma hukum sedangkan Laura bekerja di departemen sumber daya manusia. Waktu berlalu, dan anak pertama mereka lahir. Laura pun memutuskan untuk berhenti bekerja demi merawat anaknya.

Karena masalah ekonomi yang terjadi, Tony bekerja keras. Ia sibuk memperjuangkan berbagai kasus dan belajar memenangkan kasus terus-menerus. Hidupnya banyak di kantor, dan kalaupun pulang ke rumah ia membawa pekerjaan kantor yang belum selesai. Sementara itu, Laura mengganti popok, kurang tidur, berusaha tetap ramping dan segar, pergi ke swalayan untuk membeli susu bayi, serta aktif pelayanan di gereja. Tidak kalah sibuknya dengan Tony.

Singkatnya, mereka akhir-akhir ini sering bertengkar. Mereka berkata bahwa mereka sudah tidak saling menyukai kepada konselornya. Tony menyalahkan Laura karena selalu kelelahan dan mengomel, Laura pun menyerang Tony karena tidak membantu pekerjaan rumah tangga. Apa penyebabnya? Setelah diselidiki, penyebabnya adalah karena mereka tidak pernah meluangkan waktu bersama-sama sejak anak pertamanya lahir. Mengetahui itu, maka konselornya meminta mereka untuk kembali menemukan waktu bersama-sama, yang tanpa ada gangguan dari pihak lain, termasuk dari anak-anak.

Kita perlu menemukan waktu bersama-sama dengan pasangan yang mungkin selama ini sudah terhilang sekian lama. Waktu bersama-sama tentu tidak harus artinya kita mengobrol di kamar, tapi bisa juga kita melakukan kegiatan bersama, seperti berenang, makan, menonton film/bioskop, dan sebagainya. Yang terpenting adalah kita meluangkan waktu, bukan menyisakan waktu. Ambillah kesepakatan dengan pasangan kita untuk menemukan dan menentukan waktu tertentu yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun.

Kedua, harapan yang tidak realistis. Setiap pasangan pasti membawa segudang harapan ke dalam pernikahannya. Dan biasanya, harapan-harapan itu berasal dari pembentukan di masa lalu serta segala pengalaman dalam hidupnya. Nah masalah baru akan terjadi bila kedua pasangan memiliki harapan-harapan yang tidak realistis. Harapan yang tidak realistis sudah tentu akan membuahkan tuntutan yang tidak realistis pula pada lawan pasangan. Sekali tidak tercapai, maka ia akan marah, kecewa, atau membencinya. Akhirnya, dampak seperti inilah yang meruntuhkan bangunan keintiman sebuah pernikahan.

Ada beberapa mitos seputar pernikahan yang seringkali membentuk harapan yang tidak realistis, misalnya: (1) Pernikahan akan mencukupi semua kebutuhanku. Tidak jarang orang berpikir bahwa hidupnya akan terasa sempurna atau terpuaskan dengan pernikahan. Akhrinya, pasangan yang termakan mitos ini akan menuntut lawan pasangannya untuk senantiasa memenuhi kebutuhan pribadinya. Jika tidak terpenuhi, maka ia akan marah dan kecewa. (2) Cinta romantis harus selalu ada setiap waktu dalam pernikahan. Mungkin kita berpikir bahwa setiap hari pasangan nikah seharusnya selalu mesra, selalu berkata “I love you”, sering memeluk, dan seterusnya. Padahal, cinta romantis itu bersifat tidak konstan, up and down. Apa sebabnya? Karena cinta romantis merupakan cinta emosional. (3) Pasangan nikah adalah sahabat satu-satunya. Sebagian pasangan nikah sering berpikir bahwa setelah menikah maka sahabat satu-satunya adalah sang suami atau sang istrinya. Meski secara teoritis orang tidak menyetujuinya, tapi toh saya beberapa kali menjumpai kasus yang demikian. Bila kita termakan mitos ini, maka tentunya tidak heran bila kita akan kecewa bila pasangan kita memiliki sahabat-sahabat yang lain. (4) Kepuasan seksual menjadi salah satu indikator penting dalam pernikahan yang bahagia. Banyak sekali literatur psikologi atau seputar pernikahan yang menyebutkan tentang berapa kali pasangan nikah perlu mengadakan hubungan seksual. Mereka berasumsi bahwa seks merupakan faktor esensial untuk memperkuat keintiman. Sebab itu, mereka menganjurkan para pasangan nikah untuk melakukan hubungan seks sesering mungkin. Seorang konselor Kristen asal Singapura, Anthony Yeo, mengatakan bahwa pendapat itu tidak selalu benar. Di dalam kenyataan ini, ada sebagian pasangan yang memiliki pernikahan bahagia meski tidak melakukan hubungan seksual yang sering. Sebaliknya, mungkin pula ada sebagian pasangan yang sering melakukan hubungan seksual di dalam pernikahan tidak bahagia.

Waspadalah terhadap beberapa mitos pernikahan tadi. Akhirnya, semua berpulang pada kita sendiri. Kitalah yang harus berpikir kritis terhadap segala pendapat di sekeliling kita.

Ketiga, kepercayaan yang terhilang. Mempercayai pasangan adalah salah satu penunjang bangunan keintiman pernikahan. Dalam kasus ekstrim, runtuhnya kepercayaan terhadap lawan pasangan biasanya terjadi ketika ia mengetahui bahwa pasangannya berselingkuh. Perlu diakui bahwa kasus ini seringkali membuat kepercayaan pasangannya runtuh dan hancur berkeping-keping. Akhirnya, tidak heran bila mereka akan mengalami kesulitan yang luar biasa untuk memulihkan keintiman pernikahannya.

Tapi dalam kasus yang biasa, keintiman pernikahan ternyata juga dapat terkikis oleh hal-hal yang tampaknya sederhana. Contohnya: (1) Ketakutan untuk menjadi diri yang apa adanya. Bila dalam pernikahan terdapat salah satu pasangan yang takut untuk menjadi dirinya sendiri, maka itu sudah cukup merobohkan keintiman pernikahan perlahan-lahan. Mengapa? Karena, sehari-hari orang itu akan hidup dalam bayang-bayang ketakutan dimarahi lawan pasangannya bila ia berkata atau berbuat salah. Ia tidak merasa bebas menjadi diri sendiri di hadapan pasangannya. Sudah tentu orang yang memiliki ketakutan seperti ini akan sulit membangun keintiman pernikahannya. (2) Ketakutan untuk “melepaskan” pasangannya. Seorang istri yang sudah menikah belasan tahun bercerita bahwa ia sudah muak dengan perilaku suaminya. Dengan panjang lebar ia menjelaskan bahwa suaminya terlalu posesif, seakan-akan apa yang ia lakukan selalu dimonitor oleh suaminya. Kalau ia pergi dengan teman-teman gereja, maka suami menunjukkan wajahnya yang muram di rumah. Mungkin suami itu memiliki hukum: semakin diikat, pasangannya semakin terikat padanya. Ia memiliki ketakutan untuk “melepaskan” pasangannya bergaul dengan teman-teman lainnya. Apa jadinya? Dalam kenyataannya yang terjadi adalah: semakin diikat, pasangannya justru semakin gerah dan ingin melepaskan diri. Inilah contoh-contoh bentuk kepercayaan yang hilang terhadap pasangan kita.

Untuk memulihkan kepercayaan kita terhadap pasangan atau pasangan terhadap kita, maka kedua pihak perlu membangun kepercayaan sedikit demi sedikit. Kita tidak dapat menumbuhkan kepercayaan dengan paksaan atau ancaman. Ini berarti kita tidak dapat memaksa pasangan untuk cepat mempercayai kita. Apalagi, hal ini akan semakin sulit terjadi bila kita pernah berselingkuh. Tugas kita adalah menabur benih-benih perbuatan yang dapat memulihkan kepercayaan, seperti: kalau sudah berjanji maka kita harus menepatinya, tidak menjadikan pasangan sebagai korban atas kesenangan pribadi, atau memberikan apa yang disukai pasangan (seperti kejutan-kejutan hadiah kecil). Ini bagian yang dapat kita kerjakan, selanjutnya biarkan Tuhan menumbuhkan kepercayaan sesuai dengan waktu-Nya.

Sebagai penutup, saya mau katakan, Allah itu tertarik dengan masalah keintiman. Mau bukti? Kejadian 1: 26 mencatat, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita . . .” Perhatikan kata “Kita”. Dunia teologi menggunakan kata “Kita” sebagai salah satu bukti ketritunggalan Allah. Tapi mestinya kita dapat melihat lebih jauh dari sekadar pembuktian rasional. Kata tersebut sesungguhnya menyiratkan soal keintiman. Ketiga pribadi Allah itu bekerja bersama-sama dalam penciptaan. Seolah-olah ketiga pribadi itu bisa menari dalam panggung ciptaan-Nya dengan begitu indahnya. Keintiman ketritunggalan Allah juga pernah digarisbawahi oleh Yesus ketika Ia berkata, “Aku dan Bapa adalah satu.”

Sebab itu, ketika Allah berkata, “. . . seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging,” maka artinya Allah memanggil pasangan suami-istri untuk memiliki keintiman dalam pernikahan. Dengan kata lain, keintiman adalah tanda sebuah pernikahan yang dimaksud dan diperkenan Allah. Intim tidak berarti kita kehilangan kepribadian yang unik. Intim tidak berarti kita kehilangan identitas. Sama seperti Allah Tritunggal, intim antar suami-istri berarti pribadi-pribadi unik yang sudah dipersatukan Allah itu menari di panggung keluarga dengan harmonis. Mereka tetap berbeda, tapi mereka bisa menari dengan harmonis. Itulah keintiman, dan itulah yang dikehendaki Allah dalam pernikahan kita.