Tuesday, December 25, 2007

TAKHTA-KU BUKAN TAKHTAMU

Yohanes 1: 10-11

John Lennon, seorang penyanyi terkenal dalam grup The Beattles berkata dalam sebuah majalah Amerika: “Kekristenan akan berakhir. Itu akan menghilang. Saya tidak perlu beradu argumentasi tentang ini. . . . Yesus memang okay, tetapi keberadaan-Nya terlalu sederhana. Saat ini, kami lebih terkenal dari Dia.” Lantas apa yang terjadi? Apakah kekristenan akan berakhir atau John Lennon yang akan berakhir terlebih dahulu? Tidak lama setelah mengatakan bahwa grupnya lebih terkenal dari Yesus, hidupnya berakhir duluan. Ia mati ditembak sebanyak 6 kali.

Tancredo Neves, seorang presiden Brasil, dalam kampanyenya ia berkata: “Jika aku mendapatkan 500.000 pemilih dalam pemilihan umum, maka Tuhan tidak akan dapat membatalkan diriku untuk menjadi presiden.” Lantas apa yang terjadi? Memang benar, ia memenangkan suara dalam pemilihan umum. Tapi ironisnya, sehari sebelum ia diangkat menjadi presiden pada tanggal 15 Maret 1985, ia menderita sakit berat yang menyerang bagian perutnya. Dan setelah melewati 7 kali operasi, maka pada tanggal 21 April 1985 ia meninggal. Secara teknis, ia belum menjalankan tugas kepresidenannya. Meski ia memenangkan suara pemilu, Tuhan ternyata masih dapat membatalkan dirinya untuk menjadi presiden yang sesungguhnya.

Satu lagi kisah nyata terakhir yang terjadi baru-baru ini, tahun 2005, dialami oleh seorang gadis bernama Campinas. Satu hari gadis ini dijemput oleh sekawanan temannya yang mabuk. Ibunya yang menemani Campinas sebelum berangkat bersama teman-temannya berkata demikian: “Anakku, ajaklah Tuhan besertamu dan Ia akan melindungimu.” Dengan sinis sang anak membalas: “Hanya jika Ia mau ikut dengan kami di dalam koper ini maka Tuhan bisa ikut. Semuanya telah penuh.” Lantas apa yang terjadi? Beberapa jam kemudian, datanglah kabar bahwa mereka mengalami kecelakaan berat. Semua orang mati. Mobilnya sudah tidak dapat dikenali. Tapi anehnya, koper yang dibawa Campinas utuh. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah sekeranjang telur yang berada di dalam koper itu tidak ada satu pun yang pecah. Seakan-akan Tuhan memang berada di dalam koper itu, dan koper itu selamat, tidak cacat sedikit pun; tetapi, gadis yang memiliki koper itu itu mati dengan tragis.

Tiga kasus di atas menunjukkan betapa manusia itu ingin menjadi Allah. Mereka ingin mengatur hidupnya sendiri, mereka ingin menguasai jalan hidupnya sendiri, dan mereka ingin mengeluarkan Allah dari kehidupan mereka. Seakan-akan mereka berkata, “Aku tidak membutuhkan Engkau. Aku sudah bisa berjalan sendirian.” Sesungguhnya, ketika mereka bersikap demikian, maka mereka menyangkal kekuasaan Allah atas hidupnya. Mereka menyangkal kepemimpinan Allah atas hidupnya. Mereka menyangkal Allah yang bertakhta atas hidupnya. Apakah kita yang sudah percaya dapat melakukan apa yang dilakukan mereka? Apakah kita juga dapat menyangkal kepemimpinan Allah atas hidup kita? Apakah kita juga dapat menyangkal Allah yang bertakhta atas hidup kita? Ternyata bisa.

Seorang penulis Kristen yang bernama Edward Welch pernah menulis sebuah buku berjudul Ketika Manusia Dianggap Besar dan Allah Dianggap Kecil. Dalam buku itu ia berkata bahwa perasaan takut ditolak orang lain adalah salah satu bentuk sikap yang membesarkan manusia dan mengecilkan Allah. Itu berarti bahwa ketika kita merasa takut ditolak manusia, maka saat itu kita telah menyangkal Allah yang bertakhta atas hidup kita. Perasaan takut ditolak manusia adalah bentuk usaha untuk menggeser Allah dari takhta-Nya, dan menempatkan manusia di takhta Allah.

Saya kira raja Saul merupakan tokoh Alkitab yang menjadi contoh yang tepat untuk menggambarkan tentang takut penolakan. Dalam 1 Samuel 15 tercatat bahwa Saul diperintahkan untuk menumpas orang Amalek serta semua yang ada pada mereka. Singkat cerita, Allah menganugerahkan kemenangan kepada tentara Israel. Tetapi sayangnya, Saul tidak menuruti perintah Allah secara total. Saul bersama rakyatnya menyelamatkan raja orang Amalek dan mengambil sebagian hewan ternaknya. Nabi Samuel pun menegur ketidaktaatan Saul. Saul lantas berkata, “Aku telah berdosa, sebab telah kulangkahi titah Tuhan dan perkataanmu; tetapi aku takut kepada rakyat, karena itu aku mengabulkan permintaan mereka.” Di sinilah letak masalahnya mengapa Saul tidak menuruti semua perintah Allah. Saul takut ditolak oleh rakyatnya.

Apakah kita juga memiliki perasaan takut ditolak oleh manusia? Coba kita evaluasi segala kebiasaan yang kita lakukan: (1) Kebiasaan menyenangkan semua orang. Mungkin kita berusaha menyenangkan semua orang. Kita mengucapkan kata-kata yang disukai orang lain. Kita berbuat sesuatu karena orang lain menyukainya. Sebab itu, kalau ada satu orang yang tidak menyukai kita, maka kita akan menjadi sangat terganggu dan merasa gagal menjadi orang yang baik. Selain itu, kita cenderung menyimpan kemarahan dan selalu berkata, “Oh saya nggak apa-apa kok.” Bila ini kebiasaan kita, maka kita perlu bertanya: Apa yang membuat saya ingin menyenangkan orang sebanyak mungkin? Apakah karena saya takut ditolak oleh mereka? (2) Kebiasaan sulit mengambil keputusan. Mungkin kita sering dianggap tidak punya pendirian oleh orang lain. Mungkin kita merasa sulit dan takut untuk mengambil keputusan, kita cenderung berpikir, “Nanti kalau begini aku salah, nanti kalau begitu aku menyakiti dia, dan seterusnya.” Bila ini kebiasaan kita, maka kita perlu bertanya: Apa yang membuat saya sulit mengambil keputusan? Apakah karena saya takut ditolak oleh manusia? (3) Kebiasaan untuk menjadi sempurna. Mungkin kita melakukan sesuatu hal di rumah tangga, mendidik anak, melayani di gereja, atau bekerja dengan satu semboyan, “Saya harus mengerjakannya dengan sempurna.” Akhirnya, kita menuntut diri secara luar biasa agar tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun. Nah sebab itu, ketika satu ketika kita ternyata melakukan kesalahan, maka kita langsung stress, merasa gagal, dan menyalahkan diri sendiri. Bila ini kebiasaan kita, bertanyalah: Apa yang membuat saya berpikir bahwa saya harus sempurna? Apakah karena saya takut ditolak oleh orang-orang tertentu?

Sebagai penutup, mari kita mengarahkan pandangan pada bayi Yesus. Injil Yohanes berkata, “Ia (Yesus) datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh. 1: 11). Apakah Yesus tahu diri-Nya bakal ditolak? Sebagai Allah, Dia sangat tahu bahwa manusia akan menolak-Nya. Dia sangat tahu bahwa manusia akan menyalibkan Dia. Tapi apa yang membuat Yesus tetap datang ke dunia dan tidak takut ditolak manusia? Karena Ia tidak melihat manusianya. Ia melihat Allah yang mengutus-Nya. Ia tahu siapa yang menjadi Allah-Nya. Di sini kita melihat satu teladan yang sempurna tentang bagaimana memperlakukan Allah tepat berada di takhta-Nya. Ia tahu bahwa sebagai manusia Ia tidak mungkin dan tidak boleh menggeser takhta Allah dan menempatkan manusia pada takhta Allah. Sebagai pengikut Yesus, apakah kita juga mau meneladani hal yang sama? Biarlah Allah tetap menjadi Allah dalam kehidupan kita. Selamat merayakan hari Natal 2007!

Monday, December 24, 2007


HAVE A NICE AND BLESSED CHRISTMAS TO ALL!!!





GOD BLESS YOU ALWAYS


COUNSELLING: A PROBLEM-SOLVING APPROACH (2)

3. Berorientasi pada kesehatan

PSA berusaha untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan (resources) dan mencari apa yang baik di dalam apa yang buruk di dalam kehidupan klien. Di tengah-tengah pesimisme dan pandangan negatif klien terhadap masalahnya, konselor dapat terjebak pada perhatian yang terlalu berlebihan pada ketidakberdayaan klien. Yeo berkata, “This can overwhelm both client and counsellors as it can be depressing to talk excessively of things that we cannot change.”[1]

Kadangkala seorang konselor terlalu sibuk dengan memerhatikan diagnosa yang tepat dan melabelkan hasil diagnosa itu kepada klien, seperti skizofrenia, neurosis kompulsif-obsesif, dan seterusnya. Bahkan, menurut Yeo, ada banyak biro konseling yang menghabiskan banyak waktu untuk membicarakan dan memperdebatkan diagnosa tersebut. Hasil diagnosa itu nantinya akan menjadi bahan presentasi dalam pertemuan-pertemuan tahunan. “However, it is not helpful to pay too much attention to diagnostic labels as there is minimal evidence that labelling helps a person solve his problems. In fact, the opposite is probably true. By not labelling a person, it is often easier for change to occur,” demikian komentar Yeo.[2] Hal yang sama pernah diungkapkan oleh Jay Haley, “Any treatment which defines the person as abnormal tends to perpetuate the problem.”[3]

Sebagai seorang konselor, ia harus meyakini bahwa ia dapat membantu seseorang yang sedang membawa permasalahan. Sebab itu, dengan mengadopsi orientasi kesehatan adalah satu langkah maju dalam konseling. Ia akan lebih bersemangat untuk membantu klien bila ia melihat resources dalam setiap permasalahan kliennya. Yeo meyakini bahwa, “There is always health in any kind of “sickness”. The counsellors should try to touch this part.”[4]

4. Menormalisasi situasi yang abnormal

PSA meyakini bahwa semua masalah dapat dinormalisasikan. Atau dengan kata lain, situasi yang abnormal bagi klien dapat dinormalisasikan. Maksudnya, konselor dapat melihat masalah itu sebagai reaksi yang normal pada situasi yang abnormal. Ketika seseorang kehilangan pasangan hidupnya, adalah hal yang normal bila ia marah, stress, depresi, dan mungkin kehilangan arah hidup. Ketika seseorang kehilangan uang dalam jumlah besar, maka adalah hal yang normal bila ia marah, pola makan menjadi terganggu, sulit mengampuni orang yang menghilangkan uangnya, dan seterusnya. Menormalisasikan situasi yang abnormal seharusnya merupakan orientasi seorang konselor. Ia harus belajar untuk menafsirkan masalah klien sebagai reaksi yang wajar. Yeo lalu menyimpulkan bahwa, “Normalising problems in no way minimises their gravity. We take problem seriously. But they are accepted and viewed realistically and positively.”[5]




[1] Counselling, 11-12.

[2] Ibid., 12.

[3] Dikutip oleh Yeo, Counselling, 12.

[4] Ibid., 13.

[5] Ibid., 14.

Saturday, December 22, 2007

COUNSELLING: A PROBLEM-SOLVING APPROACH

Dalam kesempatan ini, saya akan membagikan hasil interaksi saya dengan buku Counselling: A Problem-Solving Approach, buah tangan dari Anthony Yeo. Beliau adalah seorang konsultan terapis yang bekerja di Counselling and Care Centre, Singapore, sejak tahun 1972.

Chapter 1: The Problem-Solving Approach (PSA)
Dalam bab ini, Yeo memberikan penjelasan mengenai beberapa karakteristik pendekatan masalah-solusi (problem-solving approach) dalam konseling. Karakteristik-karakteristik itu, antara lain:

1. Berfokus pada klien

PSA tidak berfokus pada pemecahan masalah secara mekanis, melainkan berfokus pada perhatian yang diberikan kepada klien. Pendekatakan yang berfokus pada masalah akan cenderung mengabaikan kebutuhan untuk membangun relasi dengan klien. Bila yang terjadi demikian, maka konselor hanya akan menjadi seorang ahli pemecah masalah dengan keterlibatan minimal di pihak klien.

PSA tidaklah demikian. Dalam PSA, konselor justru secara aktif terlibat dalam proses membantu klien memusatkan perhatian pada masalah-masalahnya dan mencari pemecahan untuk masalah yang dipresentasikannya.

2. Menghindari perhatian yang tidak perlu terhadap masa lalu

Selain terlibat aktif dalam membantu permasalahan klien, PSA juga menghindari perhatian yang tidak diperlukan terhadap masa lalunya klien. Telah cukup lama pelatihan dan sekolah konseling dipengaruhi oleh pendekatan psikodinamik di mana penyelidikan masa lalu dipakai untuk menemukan akar masalah yang dipresentasikan klien. PSA menganggap bahwa pendekatan seperti demikian mungkin sudah tidak lagi berguna baik bagi klien maupun konselornya. Apa sebabnya? Karena masa lalu tidak mungkin dapat diubah dan mengetahui masa lalu tidak secara otomatis dapat dipakai untuk mengubah masalah klien saat ini. Bila perhatian masa lalu terlalu dititikberatkan, maka efek yang mungkin terjadi adalah si klien dapat menyalahkan masa lalunya, seperti orang tuanya, pengalaman traumatik masa kecilnya, dan seterusnya. Yeo berkata, “They [klien] end up with a lot of hostility and spend their time in wishful thinking. . . . [The client] can spend a lot of unproductive time wishing the past had never been, yet he still has to live for today.”[1] Sebab itu, seorang konselor tidak seharusnya memberikan wawasan mengenai masa lalu klien sambil mengharapkan hal itu akan membantu memecahkan masalah kekiniannya. Milton Erickson yang dikutip Yeo mengatakan, “Insight into the past may be somewhat educational, but insight into the past isn’t going to change the past.”

Untuk menyempurnakan penjelasan itu, Yeo memberikan satu kasus: Satu ketika sepasang suami-istri yang sedang konflik datang ke konseling dan berusaha untuk menggali keluhan-keluhan masa lalunya yang sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Usia pernikahan mereka adalah 35 tahun. Mereka ingin menceritakan pada Yeo tentang segala sesuatu yang sudah terjadi sejak mereka berpacaran. Maksud mereka adalah supaya Yeo memahami masalah mereka. Apa yang dilakukan Yeo kemudian? Yeo lalu membimbing mereka untuk kembali berfokus pada masalah kekiniannya mereka. Jika mereka dibiarkan menggali luka-luka masa lalunya, maka hal ini akan semakin menyakitkan, dan itu tidak membantu klien maupun proses konseling. Di sinilah Yeo menghindari perhatian yang tidak perlu terhadap masa lalu klien. Inilah salah satu karakteristik PSA.



[1] Anthony Yeo, Counselling: A Problem-Solving Approach (Singapore: Armour, 1993), 10.

Thursday, December 20, 2007

COUNSELING CENTER IN THE MAKING

PUSAT KONSELING (COUNSELING CENTER)

GEREJA KRISTEN KALAM KUDUS SURAKARTA


Latar Belakang:

Setiap manusia yang hidup pasti memiliki corak masalahnya masing-masing. Bila masalah yang dialami itu tidak dapat ditangani dengan baik, maka ia dapat mengalami kehidupan yang stress dan bahkan traumatis. Selain itu, sebagai orang Kristen, ia perlu mengenali dan mengembangkan karunia yang ada pada dirinya semaksimal mungkin. Melihat dua tantangan itu, maka gereja perlu mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

Tujuan:

  1. Tindakan pencegahan (preventive action)
  2. Tindakan penyembuhan (restorative action)
  3. Tindakan pemeliharaan (preservative action)

Strategi-strategi:

  1. Pengadaan seminar atau kelas pembinaan mengenai isu-isu yang relevan
  2. Penerbitan atau penerjemahan buku dan booklet mengenai isu-isu psikologis
  3. Pengembangan terapi pribadi dan terapi kelompok
  4. Pengadaan pastorium
  5. Pengadaan kerjasama antar lembaga konseling atau konselor profesional

Isu-isu penanganan:

  1. Masalah karir
  2. Masalah luka-luka batin
  3. Masalah pra-nikah
  4. Masalah pernikahan
  5. Masalah keluarga
  6. Masalah kaum muda
  7. Masalah anak
  8. Masalah traumatik
  9. Masalah pengenalan kepribadian
  10. Masalah pengenalan karunia

Sasaran aplikasi:

  1. Komisi
  2. Katekisasi calon baptisan
  3. Katekisasi pra-nikah
  4. Pembesukan kasus khusus
  5. SKKK
  6. Orang yang pro-aktif datang

Langkah-langkah persiapan:

  1. Membentuk tim yang memiliki beban konseling
  2. Membentuk kelompok belajar (study group) reguler dari tim terpilih
  3. Merancang kurikulum yang diperlukan bagi kelompok belajar konseling
  4. Mengundang konselor profesional untuk mengembangkan ketrampilan konseling yang dibutuhkan oleh para anggota kelompok belajar
  5. Mengutus anggota kelompok belajar untuk mengikuti seminar atau kursus singkat dalam rangka mengembangkan ketrampilan konseling.
  6. Merancang topik-topik tertentu untuk kelas pembinaan jemaat