Showing posts with label Khotbah. Show all posts
Showing posts with label Khotbah. Show all posts

Wednesday, January 07, 2009

Tuhan yang Memberi, Tuhan yang Mengambil, Terpujilah Nama Tuhan!

Ayub 1: 21b

Kehilangan adalah peristiwa yang sebenarnya kita alami selalu. Sejak kecil hingga tua kehilangan itu akan senantiasa ada dalam kehidupan kita. Mungkin kehilangan pertama kalinya dalam kehidupan ini terjadi pada saat kita lahir di dunia ini. Sebelumnya kita merasa aman, nyaman, dan bertumbuh dalam rahim Ibu. Setelah tiba waktunya, kita lahir dan harus kehilangan kenyamanan rahim Ibu. Kita menangis.

Beberapa tahun kemudian, kita memasuki sekolah yang pertama kalinya dalam kehidupan. Saat itu kita kembali mengalami dan merasa kehilangan orangtua untuk sesaat. Sekian jam harus berada di sekolah, terpisah dengan orangtua dan suasana rumah. Itulah sebabnya waktu kecil tidak jarang anak-anak menangis ingin pulang dari sekolah. Bukankah itu juga merupakan pengalaman kehilangan?

Setelah dewasa kita kembali mengalami kehilangan yaitu ketika anak-anak menikah. Selama ini mereka selalu bersama dengan kita, makan bersama, tidur bersama, menonton tv bersama setiap hari. Tapi setelah menikah, tentu mereka memiliki kehidupannya sendiri bersama dengan pasangannya. Mereka tidak bisa lagi memiliki waktu bersama-sama selama 7 hari berturut-turut. Tentu, sebagai orangtua, ini merupakan suatu kehilangan. Tidak heran apabila ada sebagian orangtua dan anak yang sama-sama menangis dalam upacara pernikahan. Mereka sama-sama merasa kehilangan.

Ada begitu banyak kehilangan yang senantiasa kita alami. Tapi tentunya ada satu kehilangan yang seringkali menimbulkan rasa duka yang dalam, yaitu kehilangan seseorang. Mengapa perasaan duka ini begitu dalam? Karena, kalau kehilangan barang atau uang, kita masih bisa menebusnya. Kalau kehilangan anak karena menikah, kita masih dapat sering-sering bermain ke rumahnya. Tapi kalau kehilangan orang yang dikasihi karena meninggal, tentu kita sudah tidak mungkin lagi menengoknya. Dunia kehidupannya sudah berbeda.

Di sinilah kita mengalami perasaan berduka. Apalagi bila orang yang meninggal itu sering melakukan kebajikan atau meninggalkan teladan bagi anggota keluarganya, maka hal itu akan semakin menambah perasaan berduka. Para anggota keluarga mungkin akan merasa eman-eman bila ia meninggal.

Di tengah perasaan berduka saat ini apa yang dapat kita lakukan sebagai orang Kristen? Berangkat dari Ayub 1: 21b, maka ada dua hal yang dapat kita lakukan: Pertama, kita menyadari bahwa orang yang kita kasihi adalah titipan dari Tuhan. Tatkala Ayub mengatakan, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil,” maka Ayub menyadari bahwa seluruh hartanya, pegawainya, dan bahkan anak-anaknya yang hilang itu adalah titipan Tuhan. Apa yang Ayub genggam selama ini bukanlah miliknya.

Pemikiran ini sangat penting untuk kita tanamkan, khususnya di saat kita berduka. Bila kita berpikir bahwa orang yang dikasihi itu adalah milik kita, maka tentu kita akan sangat sulit melepaskan almarhum/ah dengan rela. Tapi bila kita berpikir bahwa ia adalah titipan Tuhan yang pernah hidup bersama dalam satu keluarga, maka kita akan lebih rela melepaskannya. Memang kita merasa kehilangan karena bagaimanapun juga kita pernah saling berbagi hidup, tapi kita masih lebih rela untuk menyerahkannya pada Tuhan. Mari kita sama-sama menyadari bahwa orang yang dikasihi telah berada di tangan Sang Pemiliknya. Terpujilah nama Tuhan!

Hal kedua, kita menyadari bahwa orang yang kita kasihi berada di dalam kendali Tuhan. Renungkan kembali perkataan Ayub, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil.” Kalimatnya bukan berbunyi, “Tuhan yang memberi, Iblis yang mengambil. Atau, Tuhan yang memberi, orang lain yang mengambil.” Tapi dengan sangat jelas, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil.” Ini satu keyakinan bahwa dari awal hingga akhir kehidupan Tuhanlah yang memegang kendali kehidupan dan kematian umat-Nya.

Keyakinan seperti demikian perlu kita pegang erat-erat sampai selamanya. Kita meyakini bahwa almarhum/ah pergi bukan ke satu tempat yang tidak jelas. Ia pergi bukan dituntun oleh sesuatu yang tidak jelas atau sesuatu yang menakutkan. Ia justru pergi ke satu tempat yang jelas karena dituntun oleh tangan Tuhan yang jelas-jelas memegang kehidupan dan kematiannya. Selama alamarhum/ah hidup tangan Tuhan selalu memegang kehidupannya, dan sewaktu ia mati rohnya tetap berada dalam genggaman tangan Tuhan. Ia berada dalam tangan yang tepat, tangan yang memegang kendali umat-Nya. Mari kita sama-sama menyadari bahwa orang yang dikasihi hingga saat ini masih berada di dalam kendali Tuhan. Ia akan aman bersama Tuhan. Terpujilah nama Tuhan!

Tuesday, October 21, 2008

SETIA TERUS, TERUS SETIA

2 Timotius 4: 9-10


Pendahuluan

Suatu hari seekor anjing kecil sedang berjalan-jalan di ladang tuannya. Ia mengamati ada begitu banyak binatang peliharaan di sana. Ketika ia mendekati seekor kuda, binatang besar itu memanggilnya dan berkata, “Kamu pasti masih baru di sini. Tak lama lagi kamu akan tahu bahwa pemilik ladang ini mencintai saya lebih dari binatang lainnya sebab saya telah mengangkut banyak barang untuknya. Dan kamu, ah saya kira seekor binatang sekecil kamu tidak ada gunanya.”

Anjing kecil itu menundukkan kepalanya dengan perasaan sangat sedih. Tak lama kemudian ia bertemu seekor sapi; ia berkata, “Saya adalah binatang terhormat sebab tuanku sering membuat keju dan mentega dari susu saya. Kamu tentu tidak berguna bagi keluarga di sini.” Satu per satu binatang yang ada di ladang mengejek kehadiran anjing kecil itu.

Setelah mendengarkan semua ejekan, si anjing kecil pergi ke tempat sepi dan mulai menangis. Ia meratapi dirinya. Tak lama kemudian seekor anjing tua yang mendengar tangisannya mendatangi anjing kecil itu. Setelah mendengarkan cerita anjing kecil, lalu si anjing tua berkata, “Memang benar bahwa kamu tidak bisa menarik pedati, atau memberi susu. Tapi kamu punya kesetiaan. Dengan kesetiaan itu, kamu akan selalu menyambut kedatangan sang tuan dan bermain bersamanya.”

Malam hari ketika pemilik ladang baru pulang dan tampak lelah karena perjalanan jauh, anjing kecil itu lari menghampirinya, menjilat kakinya, dan melompat ke pelukannya. Sambil menjatuhkan diri ke tanah, sang pemilik ladang memeluk dia erat-erat dan bermain dengannya. Lalu pemilik ladang tersebut berkata, “Kamu adalah binatang peliharaanku yang paling berharga. Karena setiap kali aku pulang, kamu selalu menunggu di depan pintu rumah untuk menyambutku.” Oleh karena kesetiaan anjing kecil, maka ia sekarang menjadi binatang peliharaan yang paling berharga bagi si pemilik ladang.

Tubuh Khotbah

Cerita tadi menghantar kita untuk merenungkan soal kesetiaan. Dalam hubungan antara kita dengan Tuhan, kesetiaan mengambil peranan yang maha penting. Kesetiaan adalah satu sikap yang tak dapat ditawar-tawar ketika kita berhubungan dengan Tuhan.

Hari ini kita melihat ada seorang tokoh yang bernama Demas. Rupanya ia memiliki masalah dengan kesetiaan. Siapakah Demas? Dibandingkan nama Musa, Elia, Petrus atau Paulus, Demas adalah nama yang jarang didengar dan dibicarakan. Tentu hal ini sangat wajar karena dalam Alkitab nama Demas hanya disebutkan 3 kali saja. Kitab Kolose, 2 Timotius, dan Filemon yang mencatat nama Demas; dan itupun hanya satu dua kalimat saja. Contohnya, Kolose 4: 14 yang hanya mencatat: “Salam kepadamu dari tabib Lukas yang kekasih dan dari Demas.” Filemon 23-24 hanya mencatat: “Salam kepadamu dari Epafras . . . dan dari Markus, Aristarkhus, Demas, dan Lukas, teman-teman sekerjaku.” Sedangkan 2 Timotius 4: 10 tiba-tiba sudah memberikan informasi bahwa Demas sudah tidak setia lagi. Itu saja. Informasi detail tentang siapa Demas sungguh sangat minim.

Namun dari ketiga kitab itu, kita masih dapat menemukan beberapa fakta penting yaitu: Fakta pertama, Demas adalah seorang pelayan Tuhan. Ia pernah dipakai Tuhan untuk memberitakan Injil dan membangun jemaat Tuhan bersama dengan Paulus. Fakta kedua, Demas adalah seorang yang terkenal di kalangan jemaat waktu itu. Setiap kali rasul Paulus menuliskan nama Demas, ia tidak memberi keterangan apapun tentang Demas. Rupanya Paulus yakin bahwa para jemaat telah mengenal nama Demas, sehingga ia tidak perlu menjelaskan identitas Demas. Jadi, Demas adalah orang yang terkenal. Fakta ketiga, Demas adalah seorang yang terpandang. Kenapa saya katakan demikian? Karena Paulus mengingat dan menulis nama Demas dalam suratnya. Setidaknya, ia adalah orang yang terpandang di mata rasul Paulus sendiri.

Mengetahui ketiga fakta ini, maka kita yakin bahwa Demas adalah seorang pengikut Kristus yang aktif, hebat, dan menakjubkan pelayanannya. Tapi apa yang terjadi sekarang? Apa yang terjadi pada orang ini? Tak diduga sama sekali, Demas ternyata jatuh dalam masalah ketidaksetiaan.

Teks 2 Timotius 4: 10 menjelaskan ketidaksetiaan Demas dengan sangat jelas, jauh lebih jelas daripada informasi tentang identitas Demas. Sangat jelas dan sangat tajam. Kata pertama yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaannya adalah: “mencintai dunia ini”. Dalam bahasa aslinya, kata “mencintai” menggunakan kata “agapao”. Kata ini dipakai untuk menggambarkan sebuah cinta yang sangat dalam, cinta yang tak terukur panjangnya, dan biasanya kata ini dipakai untuk menggambarkan cinta Tuhan pada manusia. Ketika Yohanes 3:16 mengatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini . . .”, kata “kasih” di sana menggunakan “agapao”. Sebuah cinta yang sangat dalam. Inilah tingkat kedalaman cinta Demas pada dunia, yang sekaligus menjelaskan seberapa jauhnya ia telah meninggalkan Tuhan.

Kata kedua yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaan Demas adalah: “dunia ini”. Dalam bahasa aslinya, kata ini seharusnya diterjemahkan menjadi, “dunia yang sekarang ini.” Ada keterangan waktu “sekarang” dalam kata itu. Keterangan waktu ini sangat penting. Kenapa penting? Karena, kita makin mengerti tentang orientasi atau tujuan hidup Demas. Ia memusatkan hidupnya pada kehidupan masa sekarang. Kehidupan yang sementara, kehidupan yang fana, kehidupan yang sia-sia. Tapi anehnya, kehidupan seperti inilah yang justru dicintai Demas.

Kata ketiga yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaan Demas adalah: “meninggalkan aku”. Dalam bahasa aslinya, kata “meninggalkan” sering dipakai untuk menggambarkan seorang prajurit yang lari mendadak dari tugas kemiliterannya. Bayangkan, bila seorang prajurit yang seharusnya berani mati demi sebuah tugas yang mulia, lalu ia kabur mendadak. Prajurit seperti apa itu? Tapi inilah yang dilakukan Demas. Ia lari mendadak dari tugas pelayanannya.

Mengapa ia meninggalkan pelayanannya? Bisa jadi karena ia memang terlena dengan kenikmatan dunia. Tapi bisa juga karena ia takut dengan penderitaan. Seperti kita ketahui, Demas adalah rekan kerjanya Paulus yang seringkali mengalami siksaan, penghinaan, ancaman, kemiskinan, dan hal-hal lain yang tidak disukai semua orang. Melihat hal itu semua, Demas mungkin baru menyadari bahwa pelayanan yang sejati selalu mengandung risiko. Dan akhirnya, Demas memilih untuk meninggalkan pelayanan daripada menghadapi risiko-risiko tadi.

Kata keempat yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaan Demas adalah: “Tesalonika”. Kalimat lengkapnya adalah, “Ia telah berangkat ke Tesalonika.” Mengapa Paulus menyebutkan bahwa Demas pergi ke Tesalonika? Apakah tidak cukup menggambarkan ketidaksetiaan Demas dengan mengatakan, “Ia telah mencintai dunia ini dan meninggalkan aku?” Ternyata kota Tesalonika turut memberikan arti berikutnya. Dilihat dari sudut geografis, kota Tesalonika merupakan kota perdagangan terbesar di Eropa tenggara. Sebuah kota yang makmur. Sebuah kota yang menawarkan pekerjaan dan kekayaan yang tinggi. Sebuah kota yang merayu banyak orang untuk datang ke kotanya untuk berdagang. Di kota inilah, Demas tergoda hingga ia tidak lagi setia kepada Tuhan yang sudah menebus dirinya.

Demikianlah keempat kata yang sangat jelas dan sangat tajam yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaan Demas.

Penerapan

Peristiwa yang dialami Demas membuat saya khawatir dengan diri saya sendiri. Khawatir apakah saya dapat setia mengikut Tuhan selamanya. Apakah Anda juga mengkhawatirkan hal yang sama dengan saya? Kekhawatiran ini tentu membuat saya bertanya, bagaimana caranya agar kita tetap setia mengikut Tuhan. Setelah merenungkannya, saya ingin membagikan dua hal yang membuat orang setia mengikut Tuhan:

1. Memusatkan diri pada dunia yang akan datang (sorga)

Perhatikan kegagalan Demas. Ia mencintai dunia yang sekarang ini, bukan dunia yang akan datang. Ia memusatkan diri pada dunia yang sekarang ini, bukan dunia yang akan datang. Ia memfokuskan hidupnya pada kenikmatan yang palsu yang ditawarkan oleh dunia yang kita tinggali saat ini. Ia terjebak di dalamnya.

Ada sebuah perumpamaan yang indah tentang hal ini. Satu ketika ada seekor burung yang sedang terbang balik ke Eropa Utara. Tapi dalam perjalanan terbangnya, ia melihat ke bawah dan melihat sebuah ladang yang bagus. Ia turun ke ladang itu sambil berkata, “Nah ladang ini sangat bagus. Setiap hari tuan ladang akan memberi aku jagung untuk dimakan dan air segar. Sangat menyenangkan.”

Sehari demi sehari ia tinggal di ladang yang gratis itu. Makan enak, tidur enak. Tak terasa burung ini sudah tinggal seminggu di ladang. Karena sudah tinggal seminggu, tentu tidak masalah untuk tinggal sebulan. Tanpa disadari musim pun berganti. Tiba-tiba kelihatanlah sekawanan keluarganya yang sedang terbang. Lalu burung ini berkata, “Aku mesti ikut mereka.” Ia pun mulai mengepak-ngepakkan sayapnya, tapi malangnya ia hanya dapat terbang sampai ke atas atap rumah sang tuan ladang.

Lalu ia berkata, “Ah baiklah, lebih baik aku tinggal di sini lagi.” Burung ini pun tinggal di ladang tadi dengan waktu yang semakin lama. Musim kembali berganti. Dan ia pun kembali melihat sekawanan keluarganya sedang terbang. Ia ingin mengikuti mereka. Tapi kini ia hanya dapat mengepak-ngepakkan sayapnya; ia sudah tidak dapat terbang lagi. Musim berganti musim dan tahun berganti tahun. Ia tidak pernah kembali Eropa Utara untuk selamanya karena ia mati di ladang itu.

Perumpamaan ini sangat tepat dikenakan untuk Demas. Ia bagaikan seekor burung yang seharusnya terbang ke arah dunia yang akan datang, namun malangnya ia terbujuk dan terjebak oleh indahnya tawaran dunia yang sekarang ini. Apa yang dialami Demas bukannya tidak mungkin dialami oleh kita. Berapa banyak orang Kristen yang percaya akan dunia yang akan datang? Tapi berapa banyak orang yang memusatkan hidupnya pada dunia yang akan datang? Mungkin sebagian kita ada yang meremehkan soal ini. Alasannya karena sorga itu tidak untuk kehidupan sekarang, tapi nanti sesudah mati. Namanya saja dunia yang akan datang, jadi itu nanti saja. Urusan sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti. Nanti kalau sudah tua atau mendekati kematian, maka mari kita membicarakan soal dunia yang akan datang. Maka itu tidak heran bila topik mengenai sorga paling laku di panti jompo, rumah sakit, dan rumah duka.

Inilah sebuah pemikiran yang salah besar. Kualitas hidup yang kita jalani sekarang ini justru ditentukan dari seberapa besar kita telah memusatkan diri pada dunia yang akan datang. Ketika kita memusatkan diri pada dunia yang akan datang, maka hari ini kita hidup dengan hati-hati. Kenapa? Karena kita tahu bahwa kita akan mempertanggungjawabkan semua yang kita lakukan nanti. Ketika kita memusatkan diri pada dunia yang akan datang, maka hari ini kita tidak tergila-gila dan menjadi gila dengan kekayaan, rumah mewah, mobil mewah, warisan, dan segala kesenangan duniawi. Kenapa? Karena kita tahu bahwa itu semua adalah titipan Tuhan yang harus dikelola dan dipertanggungjawabkan di dunia yang akan datang. Ketika kita memusatkan diri pada dunia yang akan datang, maka kita pun tidak mudah goyah imannya di kala tubuh dihancurkan oleh sakit penyakit atau penganiayaan. Kenapa? Karena kita tahu bahwa penderitaan sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan kita terima di dunia yang akan datang.

Seorang penulis Kristen zaman dulu yang bernama Basil pernah menceritakan tentang bagaimana para martir berjuang untuk tetap setia. Satu ketika mereka dilempar keluar dalam keadaan telanjang di tengah malam musim dingin yang kemudian esok siangnya dibakar. Apa yang mereka lakukan? Mereka saling menghibur dan menguatkan dengan perkataan-perkataan demikian: “Dingin memang menyakitkan, namun sorga itu indah; kesusahan adalah cara hidup bagi Kristus, namun kesenangan yang sesungguhnya akan menjadi akhir perjalanan kita; marilah kita bertahan menahan dingin yang tidak seberapa ini, dan pangkuan Abraham akan segera menghangatkan kita; biarkan kaki kita terbakar sebentar oleh nyala api para penyembah berhala agar kita dapat menari-nari untuk selamanya bersama dengan para malaikat; biarkan tangan kita masuk ke dalam nyala api, agar tangan kita dapat menerima kehidupan abadi.” Ini sebuah contoh nyata tentang hidup yang berpusat pada dunia yang akan datang.

Jangan pernah kita remehkan soal ini. Memusatkan diri pada dunia yang akan datang justru bagaikan telaga yang menyejukkan dan memelihara kesetiaan kita pada Tuhan di kala suka maupun duka.

2. Menyandarkan diri pada pertolongan Tuhan

Perhatikan kehidupan Demas. Dulu ia adalah seorang pelayan yang aktif, terkenal, terpandang, rekan kerja seorang rasul yang hebat, tapi sekarang ia meninggalkan pelayanannya dan mencari kekayaan. Siapa yang pernah menduga? Itulah manusia. Hari ini ia bisa sangat baik, tapi esok belum tentu. Hari ini ia bisa mengalami kejayaan, tapi esok ia bisa mengalami kejatuhan. Tidak ada seorang pun yang dapat memastikannya. Ia sendiri pun tidak dapat memastikan kondisi dirinya di masa mendatang.

Tidak hanya tokoh Alkitab saja, tokoh-tokoh dunia Kristen lain pun ada yang mengalami kejatuhan dosa yang pasti tidak pernah diduga-duga oleh orang lain, bahkan termasuk dirinya. Jimmy Swagart adalah salah satunya. Dengan modal karunia berkhotbah yang luar biasa, namanya menjadi terkenal di gerejanya, bahkan di Amerika Serikat. Ia sering berkhotbah di siaran-siaran televisi. Banyak orang senang dan takjub mendengarkan khotbahnya. Tapi siapa yang pernah menduga bila ia jatuh dalam dosa perzinahan dengan seorang wanita tuna susila?

Jarak antara kejayaan dan kejatuhan itu sangatlah tipis. Hari ini kerohanian kita berjaya, besok belum tentu. Sama halnya dengan kesetiaan. Hari ini setia, esok belum tentu. Kita hanya bisa berjuang, tapi tidak ada seorang pun yang dapat memastikan kesetiaan kita di masa mendatang, termasuk diri kita. Terlalu sombong bila kita berkata bahwa saya sulit jatuh dalam dosa. Terlalu sombong bila kita berkata saya pasti akan setia mengikut Tuhan. Belajarlah dari kegagalan Petrus. Sewaktu Yesus memberitakan kematian-Nya, Petrus berkata dengan sombongnya, “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau! (Luk. 22: 33) Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!” (Yoh. 13: 37b) Perkataan yang hebat kedengarannya. Tapi kenyataannya, Petrus justru mengkhianati Yesus.

Ada begitu banyak godaan yang dapat menjegal kesetiaan kita. Kita sendirilah yang mengerti jenis godaan seperti apa yang seringkali menjatuhkan kita. Ada orang yang mudah tergoda dengan wanita dan seks, ada yang mudah tergoda dengan uang, ada yang tergoda dengan kekuasaan, ada yang tergoda dengan pujian orang, atau ada yang tergoda dengan bermain judi, dan seterusnya. Kita semua pasti memiliki titik-titik rawan yang menggoda kita untuk tidak setia terhadap Tuhan. Seberapa pun usia kita dan serohani apapun diri kita, kita tetap tidak kebal terhadap godaan dosa.

Tatkala kita berani mengakui bahwa kita tidak sekuat yang kita bayangkan, maka kita perlu benar-benar bersujud pada Tuhan dan mencari pertolongan-Nya. Bila hari ini kita masih setia mengikut Tuhan, itu bukan karena kekuatan atau kehebatan kita, tapi karena Tuhan masih berkenan menopang dan menolong kita. Jangan ada seorang pun yang memegahkan diri. Kita benar-benar perlu bersandar pada pertolongan Tuhan untuk menjaga dan melestarikan kesetiaan kita. Kita harus senantiasa mengatakan, “Ya Tuhan tiap jam, ku memerlukan-Mu. Engkaulah yang memb’ri sejahtera penuh. Reff: Setiap jam ya Tuhan, Dikau kuperlukan. Ku datang Jurus’lamat, berkatilah.”

Penutup

Yang terpenting dalam hidup kristiani adalah bukan pada bagaimana kita mengawalinya, melainkan bagaimana kita mengakhirinya. Apakah kita akan mengakhiri hidup ini dengan tetap setia pada Tuhan? Tuhan berfirman, “Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan” (Why. 2: 10c). Semoga kita setia terus dan terus setia!

Monday, July 21, 2008

BERSYUKUR ITU INDAH

1 Tesalonika 5: 18

Pendahuluan

Apakah mudah mengucap syukur dalam segala hal? Tentang kemahiran bersyukur ini seorang penulis Kristen bernama Andreas Harefa pernah melakukan sebuah penelitian selama sepuluh bulan dengan melibatkan 500 peserta. Dalam salah satu materi penelitiannya, ia meminta semua peserta berlomba membuat daftar “25 Hal yang Saya Syukuri dalam Hidup”. Hasilnya menunjukkan bahwa 5% peserta mampu menyelesaikan daftar syukur tersebut dalam waktu 4 menit atau kurang [rekor tercepat adalah 2,5 menit]. Sedangkan 95% peserta lainnya memerlukan waktu yang lebih lama. Andreas Harefa kemudian memberikan kesimpulan sementara bahwa tidak banyak orang yang mahir mengucap syukur.

Ternyata, mengucap syukur dalam segala hal itu sulit. Jangankan dalam kondisi susah, kondisi normal pun mungkin kita masih sulit mengucapkan syukur. Bila penelitian itu diadakan di gereja ini, maka termasuk kategori manakah kita? Apakah kita akan termasuk dalam kategori orang yang mahir bersyukur?

Berbicara soal bersyukur, kurang lebih ada sekitar 138 bagian Alkitab yang membahas tentang pengucapan syukur. Misalnya, Kitab Imamat berulangkali menyinggung soal ajakan dan peraturan menaikkan korban syukur. Apalagi Kitab Mazmur yang begitu banyak mengajarkan tentang pengucapan syukur kepada umat Allah. Misalnya, Mazmur 92: 2, “Adalah baik untuk menyanyikan syukur kepada Tuhan, dan untuk menyanyikan mazmur bagi nama-Mu, ya Yang Mahatinggi.” Atau, Mazmur 136 yang berisikan Mazmur Pengucapan Syukur, “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik!” Dalam Perjanjian Baru, ajaran dan ajakan untuk mengucap syukur juga masih menggema. Kolose 3: 17 mengatakan, “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu di dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” Berikutnya, 1 Tesalonika 5: 18 memberi penekanan yang lebih jelas, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”

Dari bukti-bukti ini kita sekarang melihat tentang panggilan untuk mengucap syukur kepada kita. Pengucapan syukur mengambil bagian penting dalam kehidupan umat Allah. Seakan-akan pengucapan syukur itu seperti nafas yang tak ada hentinya dan tak boleh berhenti dari kehidupan kita. Ia merupakan satu hal yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan umat Allah.

Khasiat Bersyukur

Sekarang mari kita melihat khasiat bersyukur bagi kita. Ketika Tuhan meminta kita untuk belajar bersyukur, itu sebenarnya bukan untuk kepentingan Tuhan semata, tapi juga untuk kepentingan kita pribadi. Ada sejumlah khasiat yang dapat kita alami ketika kita rajin-rajin mengucap syukur. Khasiat-khasiat itu, antara lain:

1. Mendatangkan kesehatan

Orang yang rajin mengucap syukur memang dapat mendatangkan kesehatan. Kenapa demikian? Karena, orang yang mengucap syukur adalah orang yang merasa dirinya cukup atau tidak dikuasai sifat ambisiusnya. Ia mampu berkata pada dirinya, “Aku tak selalu mendapatkan apa yang kusukai, oleh karena itu aku selalu menyukai apapun yang aku dapatkan.” Acapkali orang tidak bahagia karena dia selalu merasa kurang dan tidak pernah merasa puas dengan kondisinya. Ia berusaha tapi tidak pernah puas. Ia melakukan sesuatu tapi tidak pernah merasa cukup. Seperti kata kitab Pengkhotbah, orang ini berusaha menjaring angin (Pengkh. 1: 14). Akhirnya, ia akan kelelahan dan mudah jatuh sakit.

Tidak demikian dengan orang yang rajin mengucap syukur. Karena ia bisa merasa dirinya cukup, maka ia tidak lebih mudah jatuh sakit. Konon, pernah dilakukan survei terhadap para lansia, baik yang tinggal di panti jompo maupun yang tinggal di rumah bersama keluarga mereka. Menurut survei itu, para lansia yang hidupnya selalu bersyukur umumnya lebih sehat dibandingkan lansia yang suka mengeluh. Nah, bila Anda ingin hidup sehat, maka jangan suka mengeluh, tapi berlatihlah untuk mengucap syukur.

2. Menghindarkan dosa perzinahan

Perzinahan pada umumnya terjadi karena salah satu pasangannya tidak merasa puas dengan lawan pasangannya. Mungkin suami merasa tidak puas karena tiap kali pulang istri hampir selalu mengeluhkan kondisi rumah: yang tidak bersih, pipa bocor, air tidak menyala, bau kotoran anjing, anak belum mandi, dan seterusnya. Sedangkan, istri mungkin merasa tidak puas karena ia merasa tidak dibutuhkan oleh suaminya. Ia tidak merasa penting dalam kehidupan suaminya. Tiap kali diajak bicara, suami tidak memerhatikan, tetap saja nonton tv, menanggapi perkataan dengan tidak serius. Nah akhirnya yang terjadi adalah suami dan istri sama-sama merasa tidak puas dengan perlakuan pasangannya.

Perasaan tidak puas inilah yang kerapkali menjadi celah untuk berselingkuh atau berzinah dengan orang lain. Orang ini merasa bahwa rumput tetangga lebih hijau, lebih segar, dan lebih menjanjikan. Sebaliknya, bila kita bersyukur atas pasangan kita, maka dosa perzinahan tidak mudah merusak kesetiaan pernikahan. Bersyukurlah atas pasangan kita!

3. Menghindarkan dosa iri hati

Bersyukur atas apa yang kita punyai membuat kita tidak membandingkan dan mempertandingkan milik kita dengan orang lain, sehingga tidak menimbulkan iri hati. Tuhan Yesus memberikan perumpamaan yang menyinggung persoalan iri hati dalam Matius 20. Dikisahkan di sana ada seorang tuan yang menemukan beberapa orang pengangguran. Ketika bertemu mereka, tuan itu mempersilakan mereka bekerja di kebun anggurnya dengan gaji satu dinar sehari. Mereka sama-sama menyepakatinya.

Ada yang mulai bekerja dari jam 9 pagi, ada yang jam 12, jam 3, dan terakhir jam 5 sore. Seusai bekerja, mereka dibayar sesuai kesepakatan, yaitu satu dinar. Ketika menerima bayaran itu, orang-orang yang bekerja lebih dahulu dari orang yang bekerja jam 5 sore bersungut-sungut. Mereka protes, “Kenapa pekerja yang masuk terakhir dan hanya bekerja satu jam ini justru dibayar sama dengan kami?” Jelas ini pertanyaan dari orang yang iri hati. Mereka tidak bisa melihat bahwa mereka telah ditolong dari seorang pengangguran menjadi pekerja dan telah mendapatkan gaji.

Latihan mengucap syukur akan menghindarkan kita dari dosa iri hati. Pengucapan syukur membuat kita berkonsentrasi pada apa yang kita terima tanpa membandingkan dan menandingkan dengan apa yang orang lain terima.

Demikianlah khasiat-khasiat dari pengucapan syukur. Ternyata, bersyukur itu indah!

Tips Bersyukur

Sekarang, bagaimana caranya agar kita dapat mengucap syukur senantiasa?

1. Tingkatkan kepekaan

Apakah semua orang Kristen bisa bersyukur? Bisa. Apakah semua orang Kristen mahir bersyukur? Belum tentu. Saya kira mengucap syukur merupakan sebuah ketrampilan untuk peka terhadap karya Tuhan baik suka maupun duka, baik lancar ataupun tidak. Tidak jarang orang berpikir jika segala sesuatu berjalan sesuai keinginan atau lancar semuanya maka orang itu akan mudah mengucapkan syukur. Pada kenyataannya tidak semua orang demikian. Masih ada sebagian orang yang tidak mengucap syukur meski dalam keadaan lancar. Apa alasannya? Sederhana, karena kulino, sudah biasa mendapatkannya sehingga ia lupa bahwa kelancaran itu datangnya dari Tuhan yang diberikan setiap detik.

Contohnya, ketika sebagian kota Surakarta dilanda banjir pada bulan Desember 2007, ada orang yang berkata demikian: “Syukurlah rumah kita tidak kebanjiran.” Satu sisi ia memang mengucap syukur, tapi sisi yang lain hal ini menunjukkan ketidakpekaan terhadap karya Tuhan dalam waktu baik-baik saja. Rumah tidak kebanjiran itu sudah bertahun-tahun dialaminya, dan ia tidak mensyukurinya. Ketika kebanjiran itu melanda, maka barulah ia bersyukur. Sudah kulino tidak kebanjiranlah yang membuatnya lupa bersyukur.

Berapa banyak di antara kita yang mengucap syukur karena kesehatan hari ini? Ilmu kedokteran menjelaskan bahwa kita hidup bersama dengan begitu banyak virus di sekitar kita. Mulai dari virus yang tidak berbahaya hingga yang paling berbahaya. Mungkin virus yang membuat kita sakit flu dianggap tidak berbahaya. Berapa banyak di antara kita yang bersyukur kalau hari ini kita tidak sedang terserang flu? Jangan lupa pula, ada bakteri TBC yang melayang-layang di sekitar kita dan siap merusak fungsi paru-paru kita. Tapi berapa banyak di antara kita yang bersyukur kalau hari ini paru-paru masih berfungsi dengan baik?

Ketika saya menunggu papa yang sedang sakit di rumah sakit, saya seringkali bertanya banyak hal kepada dokter-dokter di situ. Salah satu yang ditanyakan saya adalah soal antibodi (senjata pertahanan tubuh) kita. Sebelumnya dokter berkata bahwa infeksi yang ada di dalam tubuh papa susah ditangani. Dengan polos saya berkata, “Lho katanya sudah diberikan antibiotik?” Dokter itu lalu menjelaskan, “Antibiotik tidak cukup kuat melawan infeksi dalam tubuh. Antibodilah yang memiliki peranan utama untuk melawan penyakit. Dan sayangnya, antibodi papa makin lemah.” Ketika dokter menjelaskan hal itu, saya berdecak kagum dengan ciptaan Tuhan yang bernama antibodi. Berapa banyak di antara kita yang mensyukuri kekuatan antibodi yang membuat kita tidak sakit hingga saat ini?

Belajar bersyukur tidak selamanya bergantung pada lancar atau tidaknya kehidupan kita. Kepekaan terhadap setiap detail berkat Tuhanlah yang dapat memampukan kita untuk mengucap syukur. Kepekaan adalah cara pertama agar kita dapat bersyukur baik dalam keadaan senang ataupun susah. Ada satu lagu yang sering dinyanyikan di GKI: “Bila hidupmu dilanda topan b’rat, engkau putus asa hatimu penat. Berkatmu kau hitung satu per satu, k’lak kau tercengang melihat jumlahnya.” Hitung berkatmu satu per satu. Lagu ini mengajar kita untuk waspada terhadap yang namanya kulino menerima berkat; lagu ini mengajar kita untuk meningkatkan kepekaan terhadap setiap detail berkat Tuhan.

2. Pikirkan yang masih ada

Sebagian kita mungkin sudah rajin bersyukur dalam kondisi lancar, senang, baik-baik. Kita masih mengingat bahwa semua yang baik-baik itu berasal dari Tuhan. Tapi kadangkala kita masih mengalami kesulitan untuk bersyukur apabila menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan kita. Kenapa demikian? Karena kita terlalu berfokus pada apa yang terhilang. Kita memikirkan hal yang sudah tidak ada lagi pada kita. Kita terlalu menghitung jumlah kehilangannya.

Ada seorang pemuda yang baru putus cinta dengan pacarnya di mana pada waktu bersamaan ia juga kena PHK. Ia sangat putus asa. Ia senantiasa menghitung jumlah kehilangannya. Ia senantiasa berpikir, “Aku sekarang tidak punya pacar dan pekerjaan.” Akhirnya, karena terlalu berfokus pada apa yang tidak ada lagi pada dirinya, maka ia pulang ke rumah dengan satu tekad: bunuh diri.

Bila kita sedang mengalami situasi abnormal entah karena kehilangan seseorang, kehilangan harapan, kehilangan kesehatan, atau kehilangan sesuatu yang berharga, maka mari kita pikirkan hal-hal yang masih ada pada kita, hal-hal yang masih dapat kita lakukan, hal-hal yang masih dapat kita nikmati. Jangan pikirkan pada hal-hal yang defisit dalam kehidupan kita karena masih ada begitu banyak hal lain yang dapat kita kerjakan.

Seorang Kristen yang bernama Andreas Harefa bersaksi demikian: “Bila kesusahan hidup mendera, saya mengambil selembar kertas dan memaksa pikiran saya untuk menemukan sejumlah hal yang pantas saya syukuri dalam hidup. Saya mendaftarkan sejumlah prestasi dan penghargaan yang pernah saya raih; menambahkan sejumlah hal yang berhasil saya miliki; menuliskan semua tempat rekreasi dan kota-kota yang pernah saya kunjungi; mencatat satu per satu anggota tubuh saya yang sehat; buku-buku yang sempat saya baca; nama-nama orang yang pernah menolong saya atau yang pernah saya tolong; bahkan juga kesusahan-kesusahan yang pernah saya lalui; dan seterusnya. Dan sejauh ini harus saya akui, saya akhirnya sering tercengang melihat jumlahnya. Biasanya saya berhenti ketika daftar syukur saya mencapai angka seratus. Itulah yang saya coba praktikkan selama berpuluh tahun. Lalu saya merenung dan bertanya pada diri saya sendiri: tidak cukup banyakkah berkat Tuhan yang nyata-nyata telah saya terima dan saya alami dalam hidup saya? Lalu adilkah saya bila karena sebuah penderitaan saja, semua berkat Tuhan itu saya anggap tidak bernilai?” Bila kita sedang dalam masalah, pikirkanlah berkat-berkat Tuhan yang masih ada pada kita.

Beberapa contoh penerapannya, antara lain: Saya bersyukur . . .

1. Untuk istri yang masak makanan yang sama dengan malam kemarin . . . karena istriku di rumah dan tidak bersama orang lain.

2. Untuk suami yang malas-malasan di sofa, nonton tv, dan membaca koran . . . karena ia bersamaku di rumah dan tidak bersama doi yang lain.

3. Untuk anakku yang suka protes tentang makanan . . . karena ia memiliki indera perasa yang baik.

4. Untuk pajak yang saya bayar . . . karena artinya saya masih bekerja.

5. Untuk rumah yang berantakan . . . karena saya punya kesempatan untuk melayani anggota keluargaku.

6. Untuk cucian yang banyak . . . karena saya masih memiliki baju.

7. Untuk dompet yang kosong . . . karena saya bisa belajar beriman.

8. Untuk sakit yang aku alami . . . karena waktunya istirahat buat saya.

9. Untuk orang yang melukai hatiku . . . karena aku punya kesempatan untuk belajar mengampuni.

10. Untuk kehilangan orang yang kukasihi . . . karena aku bisa belajar tentang kesementaraan hidup.

Inilah contoh-contoh memikirkan hal-hal yang masih ada di tengah-tengah kehilangan kita. Silakan Anda melanjutkan deretan syukur di tengah-tengah masalah yang kita hadapi. Bila kita sulit memikirkan apa yang masih ada pada kita, mari kita simak tayangan yang diperankan oleh Ma Li dan Zhai Xiaowei. Selamat menonton. (You Tube: She without arm, he without leg: http://www.youtube.com/watch?v=LnLVRQCjh8c).

Coba bayangkan apabila kedua pemain balet itu senantiasa mengeluhkan kehilangan tangan dan kakinya? Saya yakin bila mereka berfokus dan tenggelam pada apa yang terhilang, maka mereka justru tidak dapat mengembangkan apa yang masih ada dan yang masih dapat dikerjakan mereka. Hari ini kita memang tidak kehilangan tangan dan kaki seperti mereka. Tapi saat ini kita mungkin merasa kehilangan harapan dalam masalah pernikahan, kehilangan harapan dalam masalah anak, kehilangan harapan dalam masalah pekerjaan, kehilangan harta, kehilangan seseorang yang dikasihi, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu, kehilangan kesehatan. Apapun bentuk kehilangan itu, jangan fokuskan dan tenggelamkan diri pada apa yang terhilang. Tetapi temukan hal-hal indah lainnya, hal-hal yang masih dapat kita kerjakan, hal-hal yang masih ada pada kita.

Penutup

Sebagai penutup, saya ingin kembali menuturkan suatu kisah. Suatu pagi, kepala seorang anak terbentur sudut meja. Sakitnya bukan main. Ayahnya menghibur, “Syukur kepada Tuhan tidak sampai bocor. Lagipula itu bisa sembuh.” Anak itu menyahut, “Apakah jika bocor dan tidak dapat sembuh kita masih dapat bersyukur?” “Tentu,” jawab ayahnya. “Sekalipun kepalamu sampai bocor, dan engkau meninggal karena luka itu, kita masih bersyukur karena jiwamu selamat dalam Kristus.” Bila kita sudah berada di dalam Kristus, maka selalu saja ada alasan untuk dapat mengucap syukur. Baik suka maupun duka, baik sakit maupun sehat, baik kaya maupun miskin, selalu saja ada alasan untuk mengucap syukur. Sebab itu, tidak heran bila 1 Tesalonika 5: 18 berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal . . .” Amin.

Wednesday, May 07, 2008

JANGAN MENCURI

Keluaran 20: 15

Apa itu mencuri? Saya akan beri beberapa kasus lalu silakan Anda menilainya: (1) Bila kita pergi belanja ke Alfa lalu mengambil sebotol Shampoo Clear dan menyembunyikan di dalam kantong kita, maka apakah kita mencuri? (2) Bila kita pergi ke mall dan melihat ada selembar uang merah tak bertuan Rp. 100.000, lalu kita mengambil uang tersebut, apakah kita mencuri? (2) Bila kita di gereja melihat ada uang terjatuh dari kantung dari jemaat tertentu, lalu kita membiarkan uang tersebut, maka apakah kita mencuri?

Sebagai intermezzo, menurut berita Tempo Interaktif, 28 Maret 2008, tingkat kriminalitas di wilayah Surakarta, Jawa Tengah, kian meningkat. Bahkan, Kapolda Jawa Tengah Inspektur Jenderal F.X. Sunarno mengatakan wilayah Surakarta merupakan sentra kriminal kedua setelah ibu kota Jawa Tengah, Semarang. Berdasarkan data tiga bulan terakhir dari Polwil Surakarta, jumlah kasus pencurian motor mencapai 19 kasus, pencurian dengan pemberatan 20 kasus, pencurian dengan kekerasan 3 kasus . . .” Tepuk tangan buat kota Surakarta.

Jadi, apa itu mencuri? Saya kira semua orang mengerti artinya mencuri, bahkan orang yang tidak mengenal Alkitab pun juga mengerti apa artinya mencuri. Pada umumnya, mencuri diartikan sebagai tindakan mengambil sesuatu yang bukan miliknya tanpa sepengetahuan si pemiliknya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ketiga tahun 2005, mencuri adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi.

Bagaimana dengan pengertian Alkitab tentang mencuri itu sendiri? Alkitab sendiri tidak memberikan definisi secara eksplisit. Ketika kita melihat perintah “Jangan mencuri”, Alkitab tidak memberikan penjelasan apapun tentang hal itu. Tapi ada satu hal yang pasti, yaitu Alkitab seringkali mengulang-ulang perintah tersebut. Misalnya, Imamat 19: 11 dan Ulangan 5: 19. Dalam kesempatan lain, Tuhan justru membicarakan konsekuensi bila seseorang mencuri. Laknat Tuhan akan turun bila para pencuri dibiarkan leluasa melakukan kejahatannya. Menurut hukum Tuhan, bila pencuri-pencuri itu masih ingin hidup, maka mereka harus mengembalikan apa yang mereka ambil (Yeh. 33: 15). Berikutnya, Keluaran 22 menyebutkan bahwa bila seekor kambing atau sapi dicuri, maka pencurinya harus membayar kembali lima sapi dan empat kambing. Bagaimana kalau ia tidak mampu membayar? Maka, si pencuri itu harus dijual sampai hutangnya lunas. Amsal 6: 31 malah menyebutkan hukuman yang lebih berat, yaitu mengembalikan tujuh kali lipat. Dan bahkan, ada pencurian yang berujung pada hukuman mati. Intinya, sekali lagi, Alkitab sering mengulang-ulang perintah jangan mencuri. Tentunya, hal ini menandai betapa seriusnya Tuhan akan dosa yang satu ini.

Nah sekarang untuk memperjelas arti mencuri, mungkin kita perlu bagi pencurian menjadi dua golongan, yaitu: pencurian secara aktif dan pencurian secara pasif.

Pertama, pencurian secara aktif. Apa maksudnya? Pencurian secara aktif adalah tindakan mengambil hak milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik tersebut. Apa saja contohnya?

· Secara materi

Kita mengambil makanan, pakaian, handphone, uang, dan barang-barang tertentu milik orang lain tanpa seizin si pemilik tersebut. Saya kira, bentuk-bentuk pencurian materi sangat mudah disebutkan.

Satu ketika ada seorang ibu yang sedang hamil tua di sebuah pusat perbelanjaan. Entah apa alasannya, dia mengambil sebotol sirup dan menyembunyikan di dalam roknya. Rupanya, botol tersebut dijepit dengan kedua pahanya. Ketika ia antri di loket kasir untuk membayar barang-barang yang ia beli, tiba-tiba secara tidak sengaja ada seseorang berlari dan menabrak ibu itu. Nah gara-gara tabrakan yang cukup keras, botol yang disembunyikan tersebut akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Botol itu pecah. Dan gara-gara itu, maka petugas memergoki aksi pencuriannya. Nah inilah contoh pencurian materi yang bersifat aktif. Tapi selain pencurian materi, ada pula pencurian non-materi. Aneh?

· Secara non-materi

Dalam praktik sehari-hari, saya kira praktik pencurian non-materi jauh lebih banyak dilakukan dan jauh lebih banyak tidak disadari ketimbang pencurian materi. Contohnya: (1) Mengambil waktu orang lain. Kalau pergi bekerja, kita datang terlambat tetapi pulang lebih cepat. Itu merupakan pencurian waktu kerja. Atau kita senang dengan yang namanya “jam karet”. Ini adalah pencurian waktu dan sekaligus bentuk hukuman yang sewenang-wenang. Kenapa demikian? Sebab yang dihukum adalah orang yang disiplin, tertib, tepat waktu. Sementara yang terlambat berkata, “Ah jangan khawatir, tenang aja, pasti ditunggu kok.”

(2) Mengambil reputasi/nama baik seseorang. Yang saya maksud di sini adalah kita sengaja mengancurkan nama baik seseorang. Kita menebarkan gosip tentang seseorang. Kalau ada orang lain yang sukses dan dipuji banyak orang, kita akan menggosip: “Ah orang-orang belum tahu siapa dia. Dulu dia itu bejat, papa mamanya cerai, dan seterusnya.” Sebaliknya, kalau ada orang yang gagal, maka kita akan menggosip: “Ya ampun, masak orang Kristen kayak gitu. Masak hamba Tuhan seperti itu.” Jadi, seakan-akan nilai kegagalan seseorang itu semakin berat dan tak terampunkan.

Pdt. Eka Darmaputera menyebut pengambilan reputasi/nama baik seseorang sebagai pembunuhan karakter. Caranya bukan dengan menikamkan senjata tajam atau meletuskan senjata api, tapi cukup dengan kata-kata. Menurutnya, mencuri nama baik adalah secara tidak sah mengambil sesuatu yang paling berharga dari orang lain. Tindakan ini membuat sesama kita kehilangan segala-galanya.

(3) Mengambil kekayaan intelektual/ide orang lain. Bila kita menyontek waktu ujian, itu merupakan pengambilan kekayaan intelektual orang lain. Bila kita berpendapat lalu kita berkata, “Oh itu pendapatku,” padahal itu merupakan pendapat orang lain, maka saat itu kita sedang mengambil kekayaan intelektual/ide orang lain. Kadangkala hal ini terjadi di dalam sebuah rapat. Kita berkata, “Aku mengusulkan atau aku berpikir” padahal itu merupakan usulan atau pikiran orang lain, maka itulah sebuah pencurian. Kalau memang itu bukan pikiran kita, maka ada baiknya kita berkata, “Aku terinspirasi dari si anu, gimana kalau kita melakukan ini; kalau menurut si anu, kita seharusnya melakukan itu.”

Kedua, pencurian secara pasif. Apa maksudnya? Bila pencurian secara aktif berarti tindakan mengambil hak milik seseorang, maka pencurian secara pasif berarti tindakan menahan apa yang seharusnya menjadi miliknya orang lain. Apa misalnya?

(1) Bila di gereja kita menemukan Alkitab, tas, dompet, atau HP milik seseorang yang kita kenal namun kita tidak mengembalikannya, maka itulah pencurian secara pasif. (2) Bila dalam transaksi terdapat uang kembalian yang lebih namun kita tidak mengembalikan, maka itulah pencurian secara pasif. Kita menahan apa yang seharusnya menjadi miliknya orang lain. (3) Bila kita berhutang pada seseorang dan tidak segera dibayar sesuai waktunya, maka itu berarti kita sedang menahan uang yang seharusnya menjadi milik orang lain. Itulah pencurian secara pasif. (4) Bila kita menunda waktu pemberian gaji karyawan, maka itulah pencurian secara pasif. Mungkin karyawan itu berkata tidak berkeberatan, tapi itu semestinya tidak boleh dijadikan alasan. Meski ia tidak berkeberatan, namun kita sedang menahan gaji yang seharusnya menjadi miliknya.

Seorang sarjana Perjanjian Baru, William Barclay, mengategorikan perintah ini sebagai titah dasar. Artinya, seperti halnya pada sebuah bangunan, bila dasarnya hancur maka ambruk pulalah seluruh strukturnya. Dan kemudian, Pdt. Eka Darmaputera menjelaskan bahwa, perintah “Jangan mencuri” adalah syarat mutlak terselenggaranya kehidupan bersama dalam masyarakat. Saya yakin Tuhan memberikan perintah ini dengan tujuan agar kita dapat hidup bersama orang lain tanpa perasaan curiga, takut, dan rasa tidak aman. Bayangkan saja bila dunia ini dipenuhi para pencuri? Mari, jangan mencuri!

Friday, March 14, 2008

SEBELUM AYAM BERKOKOK

Lukas 22: 54-62

I. Selamat Datang Kasih Karunia!

Darimana datangnya lintah?

Dari sawah turun ke kali.

Darimana datangnya cinta?

Dari mata turun ke hati.

Pantun tadi mau mengatakan bahwa mata itu adalah penting. Mungkin saking pentingnya, banyak ungkapan muncul dengan menggunakan kata “mata”. Contohnya: sebuah benda kenangan disebut cindera mata. Pria yang senang melihat para wanita disebut mata keranjang. Orang yang berjalan-jalan di mall disebut cuci mata. Pak Polisi yang dengan mudahnya disuap disebut mata duitan. Orang yang suka mengintip rahasia orang lain disebut mata-mata. Dan seterusnya.

Mata itu sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan kita. Sampai-sampai saya mendengar ada orang yang mengatakan, “Lebih baik saya tuli daripada buta. Tidak enak kalau tidak bisa melihat apa-apa. Gelap semuanya.” Tapi saya kira, mata itu bukan hanya berfungsi untuk melihat; mata itu ternyata juga dapat mengisyaratkan sebuah arti. Mungkin ketika kita minder karena diajak bicara oleh orang yang kita segani, maka tatapan mata kita cenderung melemah, dan kadang tidak berani menatap matanya terlalu lama. Tapi bagaimana kalau kita marah? Mungkin tatapan mata kita menjadi tajam, tegas, berani menatap orang lain dengan lebih lama, dan seterusnya. Jadi, mata itu dapat memberikan arti tertentu.

Lalu apa artinya pandangan Yesus kepada Petrus dalam perikop yang kita baca? Apa arti tatapan mata Yesus saat itu? Arti tatapan mata Yesus pada waktu itu hanya satu, yaitu tatapan kasih karunia. Coba bayangkan situasinya. Waktu itu Yesus sedang berada di dekat kerumunan orang banyak. Mereka berkumpul karena ingin menyaksikan pengadilan Yesus yang dilakukan oleh Imam Besar. Mata mereka terus menatap dengan tajam dan kejam kepada Yesus, mereka ingin agar Yesus direndahkan di depan umum. Mata orang banyak itu terus menatap Yesus, dan wajah Yesus terus menunduk. Mata-Nya yang suci itu terus melihat ke bawah. Yesus hanya tertunduk dan terdiam di tengah-tengah kerumuman orang banyak.

Di tengah-tengah orang banyak itulah, Petrus menyangkal Yesus. Petrus kali itu lupa akan janji setianya kepada Yesus. Petrus lupa bahwa ia pernah berjanji kepada Yesus, “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau.” Sebab itu, pada saat ia harus membuktikan janjinya di tengah kerumunan orang banyak, Petrus gentar. Tiga kali ia ditanya, tiga kali pula ia berkata, “Aku tidak mengenal Yesus.” Dan pada saat Petrus menyangkal Yesus untuk yang ketiga kalinya, Yesus yang tadinya hanya menunduk dan menatap ke bawah, tiba-tiba Yesus menengadahkan kepala-Nya dan menatap Petrus. Tatkala banyak orang menatap Yesus, Yesus menerobos tatapan mereka demi menatap Petrus satu-satunya.

Tatapan kasih karunia itu menatap Petrus. Tatapan kasih karunia itu menggetarkan hati Petrus. Tatapan kasih karunia itu membuat Petrus menangis dan menyesali perbuatannya. Melalui tatapan kasih karunia itu, seakan-akan Yesus berkata Petrus, “Simon, Simon, meskipun engkau menyangkalku tiga kali, tetapi Aku tetap mengasihi-Mu.” Inilah sebuah tatapan kasih karunia Yesus.

Jadi, apa itu kasih karunia? Kasih karunia adalah kebaikan hati Allah yang tidak pantas diberikan kepada manusia. Kasih karunia merupakan sesuatu yang tidak kita peroleh melalui perbuatan dan tidak layak kita terima. Tidak ada cara untuk memperolehnya atau berhak untuk mendapatkannya atau mengadakannya. Jadi, kasih karunia adalah pemberian yang diberikan bukan karena si penerima telah melakukan sesuatu.

Di PMI ada satu peraturan yaitu jika kita menyumbangkan darah sebanyak 100 kali maka kita akan mendapatkan kesempatan untuk bersalaman dengan Presiden serta mendapatkan penghargaan langsung dari beliau. Bila kita akhirnya berjumpa dengan Presiden karena menyumbang darah 100 kali, maka itu bukan lagi kasih karunia. Itu karena kita memang layak mendapatkannya.

Bila UNS mensyaratkan seluruh pengajarnya harus memiliki S2 dan kita ternyata memenuhi persyaratan itu lalu mengajar, maka itu bukan lagi kasih karunia. Itu karena kita memang layak mendapatkannya.

Bila di perusahaan memiliki kesempatan untuk naik jabatan karena dapat menyelesaikan tugas tertentu dan kita ternyata memenuhi persyaratan tersebut lalu naik jabatan, maka itu bukan lagi kasih karunia. Itu karena kita memang layak mendapatkannya.

Kasih karunia itu berbeda. Kasih karunia itu seperti ini:

Kita diberikan udara tanpa membayar sepeser pun kepada Tuhan. Itulah kasih karunia. Kita diberikan sinar ultraviolet untuk menguatkan tulang tanpa membayar sepeser pun kepada Tuhan. Itulah kasih karunia. Bila kita berhutang sekian milyar kepada bank lalu bank itu membebaskan hutang tanpa kita melakukan sesuatu, maka itulah kasih karunia. Bila kita bisa masuk di universitas yang terkenal bukan karena kita kaya, melainkan karena ada orang yang mendanai, maka itulah kasih karunia. Dan, jangan pernah lupa yang satu ini, bila kita diselamatkan dari maut, itu juga adalah kasih karunia. Banyak orang dan agama mengajarkan tentang perbuatan baik agar kita dapat selamat dari maut. Tapi kekristenan mengajarkan bahwa tidak ada satu pun perbuatan baik yang layak untuk menyelamatkan kita dari maut. Hanya karena Allah mau mengutus Putera-Nya ke dalam dunia sajalah yang meluputkan kita dari kuasa maut. Itulah kasih karunia terbesar dari Allah. Jadi, sekali lagi, kasih karunia diberikan bukan atas dasar perhitungan kelayakan; melainkan karena si pemberi itu mau memberikannya. Sudahkah kita merasakan kasih karunia Allah? Bagaimana rasanya?

II. Apa Jadinya bila Dunia Tanpa Kasih Karunia?

Saya mengajak kita untuk merenungkan apa akibatnya bila kita hidup di dalam dunia yang tanpa kasih karunia? Kemungkinan-kemungkinan seperti apa yang akan terjadi dalam dunia ini?

· Menyuburkan tingkat kejahatan

Manusia kalau sudah dirasuki dendam biasanya berakhir dengan tindak pidana. Bisa saja ia menyakiti, melukai, atau bahkan membunuh. Gunawan Santoso, 40 tahun, tergolong orang yang memilih untuk membunuh demi memuaskan dendamnya. Namanya tiba-tiba melejit ke permukaan karena pembunuhan terhadap bos PT. Asaba yang juga merupakan mantan mertuanya. Gunawan Santoso balas dendam karena ia pernah dijebloskan ke penjara akibat penggelapan uang sebesar 40 miliar dari anak perusahaan Asaba. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Inilah potret nyata dari kehidupan tanpa kasih karunia.

Satu kisah lagi mengenai kehidupan yang tanpa kasih karunia. Heidi Murphy, seorang wanita Australia tewas dengan sangat mengenaskan di Bali. Ia mengalami luka tikam yang dilancarkan pembunuhnya berkali-kali. Setidaknya ada 16 luka tikam. Satu di leher, yang lainnya di punggung, di sekitar telinga, dan tangannya. Dalam peristiwa pembunuhan tersebut, barang-barang dari wanita yang berusia 34 tahun ini tidak hilang satu pun. Itulah sebabnya, Polisi menduga bahwa pembunuhan itu bermotifkan balas dendam. Salah satu saksi menerangkan bahwa ada pekerja yang sakit hati terhadap Murphy karena ia tidak membayarkan sejumlah uang pada pekerja tersebut. Dan karena sakit hati itulah, ia melakukan pembunuhan. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Inilah potret kehidupan tanpa kasih karunia.

Apa yang kita lihat dari kedua kasus nyata tadi? Para pembunuh mungkin berkata bahwa, “Aku membunuh atas nama keadilan. Perbuatannya harus dibalas.” Tapi apa jadinya? Ia justru menambah satu kejahatan yang berikutnya. Mahatma Gandhi pernah berkata, “Kalau semua orang mengikuti prinsip keadilan “mata ganti mata” maka akhirnya seluruh dunia akan buta.” Sebab itu, kehidupan yang tanpa kasih karunia justru akan menyuburkan tingkat kejahatan.

· Menyuburkan tingkat perceraian

Hari ini tingkat perceraian yang dilaporkan dari berbagai media massa terus meningkat. Kalau dulu perceraian adalah satu hal yang sangat dihindari dan sangat memalukan, tapi sekarang perceraian mungkin sudah nyaris menjadi hal yang lumrah. Apa alasan perceraian? Alasan-alasan yang umum adalah saya sudah tidak cocok dengan dia, saya sering konflik dengannya, saya sering dicacimaki dan dipukul, saya melihat dia bersama wanita/pria lain, saya sudah tidak percaya lagi padanya, dan seterusnya.

Bila kita adalah pasangan yang terluka, maka orang yang melukai kita harus bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya. Namun demikian, kita tetap bertanggungjawab atas kesembuhan kita. Andaikan kita berjalan di suatu tempat dan ada orang gila yang membabi buta memukuli kita, maka kita tentu bertanggungjawab untuk menyembuhkan dan memulihkan kondisi tubuh kita. Adalah hal yang lucu bila kita hanya menyalahkan orang gila itu sambil mendiamkan luka-luka di sekujur tubuh kita sendiri. Dalam pernikahan juga sama, kita pun juga bertanggungjawab untuk kesembuhan diri kita.

Tapi masalah umum yang sering terjadi adalah pasangan yang merasa menjadi korban itu terus menyalahkan lawan pasangannya. “Kamu yang membuat aku begini, kamu yang salah, kamu yang harus minta maaf, kamu yang harus bertanggungjawab, dan seterusnya.” Sebaliknya, lawan pasangannya pun menjadi terluka dan membalas: “Kamulah yang menyebabkan aku selingkuh, kamu selama ini tidak pernah mencukupi kebutuhan seksku, kamu selama ini tidak memperhatikanku, kamu tidak pernah mengerti aku, kamu hanya menuntut, dan seterusnya.” Inilah sebuah kehidupan rumah tangga yang tanpa kasih karunia. Apa jadinya bila kondisi pernikahan yang demikian diteruskan? Terjadilah perceraian, baik secara hukum, atau secara hubungan. Sebab itu, sebuah kehidupan rumah tangga tanpa kasih karunia justru akan menyuburkan tingkat perceraian.

· Menyuburkan tingkat penyakit depresi

Paul Tournier, seorang dokter Swiss, mengatakan, “Fakta tragis yang sangat jelas bahwa agama justru bisa menghancurkan dan bukannya membebaskan.” Apa maksudnya? Tournier menceritakan tentang pasien-pasien yang datang padanya. Apa yang sebenarnya dicari pasien-pasien ini adalah kasih karunia. Namun di beberapa gereja mereka menemukan rasa malu, ancaman, hukuman, perasaan dihakimi. Singkatnya, ketika mereka mencari kasih karunia di gereja, seringkali mereka menemukan ketiadaan kasih karunia. Lalu apa jadinya? Jadinya adalah depresi: suatu masalah psikologis yang menurunkan semangat hidup, mengganggu pola makan, pola tidur, dan bisa mengarah pada usaha untuk bunuh diri.

Mungkin kasus yang dialami oleh Horatio Gates Spafford dapat menjelaskan maksud saya. Spafford, orang Amerika ini adalah pengarang lagu “Nyamanlah Jiwaku”. Apa yang terjadi pada hidupnya? 8 Oktober 1871 keluarganya mengalami musibah kebakaran di kota Chicago. Ia kehilangan banyak sekali barang-barang investasi yang ia miliki. Hampir seluruhnya habis terbakar. Dan yang lebih menyedihkan adalah ia kehilangan putranya. Selanjutnya, 21 Nopember 1873, ia kembali mengalami musibah yang lebih memukulnya. Waktu itu istri dan keempat putrinya sedang berlayar ke Eropa untuk berlibur. Tapi apa yang terjadi? Dalam pelayarannya, kapal itu bertabrakan dengan kapal lainnya sehingga mengakibatkan 226 orang hilang di tengah lautan. Sang istri masih selamat, namun keempat putrinya meninggal. Setelah musibah itu, Spafford kembali memiliki dua anak, putra dan putri. Namun pada usia yang keempat, putranya meninggal dunia karena demam yang sangat tinggi. Spafford mengalami depresi. Ia sangat haus akan kasih karunia.

Tapi yang mungkin membuat dia lebih depresi adalah ia justru tidak mendapatkan kasih karunia dari gereja. Gereja menghakimi dia dengan mengklaim bahwa dia terkena kutukan dari Tuhan. Gereja “membuang” dia. Dunia mungkin kejam, tapi gereja juga tidak kalah kejamnya dengan dunia. Spafford makin depresi, hingga ia menganggap dirinya sebagai Mesias. Karena merasa dirinya Mesias, maka Spafford dan istrinya pergi ke Yerusalem hingga kematiannya. Inilah sebuah potret kehidupan tanpa kasih karunia. Ketiadaan kasih karunia justru menyuburkan jumlah orang yang terkena depresi.

Ketiga akibat-akibat yang dikemukakan di atas hanyalah contoh-contoh dari sekian banyak deretan akibat yang tidak akan cukup dikemukan dalam waktu ini. Bila Anda tertarik untuk melihat lebih banyak akibatnya, silakan membaca buku Keajaiban Kasih Karunia karangan Philip Yancey. Di sana ada satu bab berjudul “Dunia Tanpa Kasih Karunia” yang menderetkan akibat-akibatnya bila dunia hidup tanpa kasih karunia. Saya hanya menyebutkan tiga akibat untuk mengajak kita berpikir bahwa betapa mengerikannya sebuah kehidupan yang berjalan tanpa kasih karunia. Dan kita sebagai orang Kristen, apa yang dapat kita lakukan? Sebagai orang yang telah mendapatkan kasih karunia dari Allah, maka apa misi kita bagi dunia yang kita tinggali ini?

III. Dicari: Agen Kasih Karunia

Dengan sangat baik Philip Yancey mengatakan, “Kasih karunia adalah pemberian terbesar kekristenan bagi dunia, sinar rohani di tengah kita yang memiliki kekuatan lebih daripada kekerasan, lebih kuat dari rasisme, lebih kuat daripada kebencian.” Dunia membutuhkan agen-agen kasih karunia. Semakin banyak agen kasih karunia, maka dunia yang kita tinggali akan semakin lebih baik lagi. Dengan cara bagaimana kita dapat menjadi agen kasih karunia? Dengan memberikan pengampunan, itu cara paling utama agar kita dapat menjadi agen kasih karunia di dunia ini.

Tony Campolo, seorang pendeta dan sekaligus profesor Sosiologi di Amerika, pernah bertanya pada mahasiswa di universitas sekuler tentang apa yang mereka ketahui tentang Yesus. Apa saja tentang Yesus. Rata-rata mereka menjawab, “Kasihilah musuhmu.” Dibandingkan dengan pengajaran Kristus yang lain, yang satu itu rupanya paling menonjol bagi orang tidak percaya. Bagi orang-orang tidak percaya, tindakan mengampuni musuh bukan tindakan yang umum; itu bunuh diri. Mereka lebih senang menuntut pembalasan dengan mengatasnamakan keadilan. Dan bukankah semua orang berhak mendapatkan keadilan?

Apakah kita akan mengikuti pemikiran mereka? Sebelum menjawab, tolong pertimbangkan: Adakah keadilan yang bersifat adil yang sesungguhnya? Ketika bangunan WTC di Amerika diserang oleh teroris, maka pemerintah Amerika segera menabuh gendang perangnya. Armada militer yang gagah perkasa itu dikirimkan ke negara Afghanistan untuk memborbardir negara itu. Siapa yang diserang? Yang mana yang teroris? Siapa saja dan berapa banyak yang menjadi korban? Pemerintah Amerika sering menyebutkan penyerangan itu sebagai perang keadilan. Tapi apakah keadilan itu tercipta? Atau justru rakyat Afghanistanlah yang dibuatnya lebih menderita dari para korban WTC di Amerika?

Sampai-sampai Bunda Teresa pernah mengirim surat kepada Presiden A.S. George Bush: “Tolong pilihlah jalan perdamaian . . . dalam jangka pendek mungkin ada pemenang . . . tetapi tidak ada yang bisa menghitung rasa kehilangan, penderitaan, dan kehilangan nyaawa yang disebabkan oleh senjata kalian.” Bila rasa kehilangan, penderitaan, dan kehilangan nyawa tidak bisa dihitung, maka bagaimana pembalasan itu bisa diukur keadilannya?

Sebab itu, bila saat ini kita berencana untuk membalas sakit hati kepada orang yang tidak kita sukai, maka pikirkan apakah kita sedang berbuat adil? Ataukah sebenarnya, kita bermotifasi untuk membalas dendam? Bila balas dendam adalah motivasi kita, maka percayalah, kita tidak akan pernah berbuat adil.

Atau mungkin kita tidak mau menjadi orang Kristen yang seburuk tadi. Kita masih mau mengampuni orang yang menyakiti hati kita. Tapi ternyata, kita mau mengampuni, karena mau melihat dulu bagaimana orang itu. Sama seperti bangsa Armenia berkata pada bangsa Turki. “Akui kejahatan kalian pada kami, dan kami akan berhenti meledakkan pesawat terbang dan membunuhi diplomat kalian.” Di lain kesempatan, pemerintah Iran pernah berkata kepada pemerintah A.S.: “Kalau kalian meminta maaf atas kejahatan kalian, maka kami akan melepaskan semua sandera dengan selamat.” Kebanyakan orang secara sadar atau tidak sadar menyetujui pendapat filsuf Imanuel Kant yang mengatakan bahwa orang dapat dimaafkan kalau ia layak dimaafkan. Ini masalah harga diri, ini masalah kehormatan; dia yang lebih muda harus datang pada saya, dia yang salah harus datang pada saya, dan seterusnya.

Tapi, apakah ini sebuah kasih karunia bila orang baru dimaafkan kalau ia layak dimaafkan? Itu jelas bukan kasih karunia karena kita justru menjadikan pengampunan sebagai hukum timbal balik, hukum “mata ganti mata” dan “gigi ganti gigi”. Itu bukan pengampunan yang diminta dan dilakukan oleh Yesus. Pengampunan yang dimaksud Yesus adalah pengampunan yang tidak lagi memikirkan harga diri, kehormatan, keadilan, dan segala syarat-syaratnya. Pengampunan yang Yesus minta adalah pengampunan yang radikal, yang tanpa syarat, yang orang dunia tidak mampu lakukan.

Diectrich Bonhoeffer, orang yang pernah disiksa di bawah Nazi Jerman, pernah berkata hal yang indah, “Yesus tidak berjanji bahwa kalau kita memberkati musuh kita dan melakukan kebaikan pada mereka, lalu mereka tidak akan membenci atau menganiaya kita. Mereka pasti akan. Tapi sekalipun itu terjadi . . . bagi mereka, kita melakukan apa yang tidak bisa mereka lakukan.” Inilah pengampunan yang Yesus maksud. Pengampunan yang radikal, tanpa syarat, yang orang dunia tidak mampu lakukan.

Pengampunan seperti itulah yang dilakukan oleh Yesus kepada orang-orang yang menyalibkan Dia. Tatkala Yesus berada di atas kayu salib, Yesus menatap orang-orang yang menyalibkan Dia. Di situ ada prajurit Romawi, pemimpin agama, murid-murid-Nya yang meninggalkan diri dalam kegelapan, termasuk nama Anda dan nama kita yang turut menyalibkan Dia. Lalu Yesus menatap orang-orang itu dengan tatapan kasih karunia. Ia menatap orang-orang itu baik-baik, sambil berkata, “Ya Bapa ampunilah mereka.” Itulah tindakan seorang agen kasih karunia.

Hari ini kita mungkin terluka, marah, dendam, dengan orang-orang tertentu. Mungkin itu adalah orangtua, suami/istri, anak-menantu, mertua, saudara, saudara ipar, rekan kerja, rekan sepelayanan, hamba Tuhan, dan seterusnya. Kita tidak ingin lagi hidup satu rumah dengannya, kita tidak ingin menganggap dia ada di bumi ini, kita ingin dia celaka, dan seterusnya.

Bila itu adalah perasaan kita, maka bersyukurlah kepada Tuhan. Kenapa demikian? Karena, kita justru dapat menjadikan peristiwa itu sebagai laboratorium pengampunan kita. Kita tidak akan pernah tahu apakah kita termasuk orang yang bisa mengampuni atau tidak bila tidak ada peristiwa yang melukai hati kita. Dan tatkala kita berhasil mengampuni, rayakanlah prestasi rohani kita. Tuhan akan berkata, “Selamat, Anda telah menjadi agen kasih karunia-Ku.” Amin.

Monday, March 03, 2008

SUDAHKAH KITA "TERIKAT"?

Joan merasa sangat frustrasi dengan kehidupan ini. Putus asa, kehilangan harapan, depresi, bercampur aduk di dalam dirinya. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Yang ia tahu hanya satu, “Saya mau bunuh diri.” Dia bertarung, tetapi bukan untuk hidupnya. Dia bertarung untuk memperjuangkan kematiannya. Singkat cerita, usaha bunuh diri itu gagal. Polisi berhasil menghentikan aksi percobaan bunuh diri tersebut. Tentu tidak mudah menghentikan aksi tersebut karena Joan benar-benar bertekad untuk mengkhiri hidupnya. “Tinggalkan aku,” adalah ucapan yang selalu diulangi ketika orang lain berusaha menghentikannya.

Setelah Joan tiba di rumah sakit untuk pemeriksaan kesehatannya, rupanya ada seorang konselor mendatanginya. Ia turut menyaksikan usaha bunuh diri tersebut dan ia tertarik untuk menolong Joan. Lantas apa yang didapatkan dalam konseling tersebut? Dalam minggu-minggu konseling, konselor ini mendapati bahwa Joan ternyata adalah seorang Kristen, pemimpin yang giat di gerejanya, memiliki pekerjaan yang mapan, memiliki empat anak yang cantik-cantik. Tapi mengapa dia ingin mengakhiri hidupnya? Apa yang kurang dalam hidupnya?

Konselor ini mengatakan bahwa Joan gagal untuk belajar bagaimana mengikatkan diri dengan orang lain. Ia tampak punya banyak teman, banyak rekan kerja, namun ia tidak memiliki ikatan dengan mereka.

Apa yang dimaksud dengan ikatan di sini? Ikatan yang dimaksud di sini adalah sebuah kemampuan untuk berelasi dengan orang lain pada tingkatan yang dalam. Sebuah relasi yang bukan basa-basi, sebuah relasi yang bukan pura-pura, atau sebuah relasi yang hanya terlihat baik. Tapi sebaliknya, ikatan yang dimaksud di sini adalah sebuah relasi di mana dua orang atau lebih dapat berbagi pikiran, mimpi, perasaan tanpa ada rasa takut dihakimi atau ditolak oleh orang lain. Sebuah relasi di mana orang-orang di dalamnya dapat bercerita tentang pergumulan diri yang apa adanya. Inilah yang dimaksud dengan ikatan dalam pembahasan kita hari ini.

Tapi tunggu, mungkin di antara kita ada yang mempercayai satu mitos yang terkenal dalam dunia kekristenan. Mitos itu berkata: “Kamu harus bergantung pada Tuhan, jangan pada manusia. Kalau ada masalah, datanglah pada Tuhan, jangan pada manusia.” Sayangnya, mitos ini sering diajarkan oleh para pemimpin rohani. Padahal mitos ini justru akan mendatangkan malapetaka bagi orang-orang Kristen sendiri, dan khususnya bagi orang-orang yang sedang mengalami masalah.

Apakah benar kita ini harus bergantung pada Tuhan dan tidak boleh lagi memiliki ikatan dengan manusia? Apakah bergantung pada Tuhan itu diartikan dalam arti yang sempit sehingga ketika kita memiliki masalah lalu kita hanya boleh berdoa saja? Jelas tidak. Mitos itu benar-benar berbahaya. Apa dasarnya? Saya akan kemukakan dua dasar yang melawan mitos tersebut.

Pertama adalah dasar Alkitab. Siapakah Allah kita? Allah kita adalah Allah Tritunggal. Apa artinya? Artinya, Allah itu tidak sendirian. Allah itu adalah pribadi yang berelasi antar satu dengan lainnya. Allah adalah tiga pribadi dalam satu kesatuan. Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Berulangkali Allah menyatakan diri-Nya sebagai pribadi yang relasional. Contohnya: (1) Dalam konteks penciptaan di Kejadian 1: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” (2) Dalam doa syafaat, Yesus pernah berkata kepada Bapa-Nya, “. . . supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau.” (3) Ketika Yesus berbicara mengenai Gembala yang baik, ia berkata, “Aku dan Bapa adalah satu.” Semua bukti ini menunjukkan bahwa Allah itu adalah Allah yang berelasi antar satu pribadi dengan pribadi yang lainnya.

Nah Alkitab mengatakan bahwa kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Apa artinya? Sederhana. Artinya, bila Allah adalah pribadi yang relasional, maka kita pun pasti memiliki kebutuhan untuk berelasi antara kita dengan orang lain. Sebab itu, kita dikatakan sebagai makhluk sosial. Makhluk yang membutuhkan ikatan dengan orang-orang lain. Ini adalah sebuah kebutuhan yang diciptakan Allah sesuai dengan gambar dan rupa-Nya.

Ketika Yesus hidup sebagai seorang manusia, Ia pun hidup dalam kebutuhan ini. Ia pun membutuhkan relasi dengan manusia lainnya. Bukti yang paling jelas adalah ketika Ia sedang mengalami ketakutan yang luar biasa di Taman Getsemani. Apa yang Yesus lakukan? Ia mengajak Petrus, Yakobus, dan Yohanes untuk berdoa. Yesus masih membutuhkan ketiga sahabat-Nya itu. Artinya, Yesus memiliki ikatan dengan mereka.

Jadi, siapa bilang bahwa bergantung pada Tuhan itu lalu tidak boleh memiliki ikatan dengan orang lain? Itu hanyalah mitos yang mencelakakan kita.

Kedua adalah dasar psikologi. Lantas apa akibatnya bila kebutuhan akan ikatan itu diabaikan? Malapetaka seperti apa yang akan muncul di kemudian hari? Ilmu psikologi akan membantu kita untuk memprediksi malapetaka yang akan terjadi:

1. Depresi

Depresi tidak sama dengan stress, meski seringkali stress dapat menyebabkan depresi. Depresi adalah gangguan kejiwaan yang ditandai dengan kesedihan, kemalasan, kesulitan untuk berkonsentrasi, pola tidur dan pola makan yang serba ekstrim, putus asa, sulit menentukan agenda kerja, dan terkadang memiliki pikiran untuk bunuh diri. Orang yang depresi kehilangan warna dalam hidupnya. Seluruh dunia mereka terlihat kelabu. Sebab itu, banyak orang depresi lebih menyukai cuaca mendung karena hal itu menggambarkan dirinya. Apakah saat ini kita sedang atau hampir mengalami depresi dalam tingkat yang parah?

2. Perasaan tidak berarti

Orang yang terasing biasanya akan memiliki perasaan tidak berarti. Orang ini merasa berusaha/bekerja mati-matian tetapi dia bingung untuk siapa semuanya ini. Selama ini masyarakat selalu berpikir bahwa harta benda yang banyak akan membuat arti dalam hidup seseorang. Tapi itu keliru. Perasaan tidak berarti justru muncul karena ia bekerja tetapi tidak tahu kepada siapa ia dapat share hasil pekerjaannya.

3. Kecanduan

Oleh karena kebutuhan akan ikatan dengan orang lain terabaikan dalam waktu yang lama, maka ia akan merasa tersiksa dalam batinnya. Sebab itu, ia akan berusaha mencari kesibukan atau pelarian agar ia dapat mengurangi rasa siksa batiniah itu. Di sinilah kecanduan itu terjadi. Bisa jadi ia kecanduan minuman beralkohol, obat-obatan terlarang, makanan, seks, judi, pekerjaan, prestasi, aktivitas keagamaan, dan seterusnya. Ia berpikir bahwa dengan melakukan semua kecanduan tersebut maka ia akan memiliki “teman” dalam hidupnya.

4. Paranoia

Paranoia adalah satu gangguan mental yang ditandai oleh kecurigaan yang berlebihan, kecurigaan yang tidak masuk akal, ketidakpercayaan pada orang lain. Orang yang paranoid merasa takut jika orang lain mendekat padanya. Ia memiliki banyak pemikiran negatif tentang orang-orang di sekitarnya. Bila ada orang yang bertanya tentang kabarnya, ia bisa saja berpikir, “Mau apa dia dekat-dekat saya, mau uang saya, mau tubuh saya, mau menyakiti saya, ah dia hanya basa-basi, munafik, dan seterusnya.”

5. Fantasi

Fantasi adalah gambaran-gambaran mental yang tidak nyata. Kenapa bisa muncul fantasi? Oleh karena kebutuhan akan ikatan itu masih tetap ada di dalam orang yang terasing, maka ia tetap memerlukan sahabat. Siapakah sahabatnya? Kalau di dalam dunia nyata ia tidak menemukannya, maka ia akan mencari di dalam dunia yang tidak nyata. Sebab itu, orang seperti ini mudah berkata, “Saya bertemu Tuhan tadi pagi dan kami berbincang-bincang, saya memiliki seorang sahabat yang terbaik di dunia ini dan kami sering bercanda.” Dan sebab itulah, kadangkala orang ini tertawa sendiri, berbicara sendiri, tiba-tiba menangis, atau suka melamun.

Kedua dasar ini menunjukkan satu hal, yaitu kita sangat memerlukan ikatan dengan orang lain. Bergantung pada Tuhan tidak berarti kita tidak boleh terikat dengan orang lain. Bergantung pada Tuhan tidak berarti kita tidak boleh curhat pergumulan, pemikiran, mimpi, perasaan kepada orang lain. Jangan sampai kita termakan oleh mitos yang kelihatan rohani itu.

Nah yang terakhir, bagaimana kita membangun keterikatan? Ada beberapa latihan yang dapat kita lakukan:

  1. Sadari kebutuhan itu

Kita tidak mungkin memulai keterikatan dengan orang lain bila kita sendiri tidak menyadari kebutuhan itu. Mungkin kita dibesarkan di dalam satu keluarga yang kurang menghargai kedekatan, atau mungkin kita pernah dilukai karena sebuah kedekatan di masa lalu. Apakah ini yang menyebabkan kita tidak mau terikat lagi dengan orang lain? Sesulit apapun rasanya, kita perlu berkata dengan jujur kepada diri kita, “Saya masih membutuhkan ikatan. Tanpanya, hidup saya menjadi tidak sempurna.”

  1. Mengevaluasi apa yang kita yakini

Apa yang kita yakini selama ini seringkali menjadi penghambat untuk membangun keterikatan. Contohnya: (1) Kalau saya punya Tuhan, saya tidak memerlukan teman lagi; (2) saya adalah orang yang buruk, miskin, biang masalah, sebab itu saya pasti membuat siapa saja kewalahan dengan saya; (3) saya tidak percaya kepada siapa pun; (4) orang akan selalu meninggalkan saya; (5) orang itu jahat, pura-pura dan suka mengkritik, dan seterusnya. Coba evaluasi dan tantanglah keyakinan yang menghambat itu.

  1. Berani mengambil risiko

Salah satu penghambat untuk terikat dengan orang lain adalah karena kita takut bila orang itu membocorkan rahasia, atau bila orang itu justru menyerang titik lemah kita. Memang ini adalah satu risiko yang tidak nyaman. Tapi kita perlu berani mengambil risiko tersebut demi membangun keterikatan dengan orang lain. Bila kita tidak melakukan hal ini, maka risiko lebih besar yang sudah diungkapkan tadi justru akan menyerang kita.

  1. Berserah kepada Allah

Membangun sebuah ikatan itu bagaikan kita memiliki sebuah tanaman. Ia perlu dipelihara, disinari, dipupuk, disirami. Tapi siapakah yang menentukan pertumbuhan tanaman itu? Apakah kita mampu menumbuhkan tanaman itu? Tuhanlah yang menumbuhkan tanaman itu. Sama halnya dengan membangun ikatan. Kita perlu menyerahkan ikatan kita dengan orang lain di dalam tangan Allah. Bila satu ketika kita terluka karena keterikatan itu, maka kita tidak akan menyerah. Karena, kita tahu bahwa Allah sedang bekerja untuk menumbuhkan ikatan yang semakin dalam dengan orang-orang itu. Itulah bentuk penyerahan diri kepada Allah.

Joan akhirnya membuka diri. Sebelumnya, dia selalu menghindar dari usaha staf yang mencari tahu tentang dirinya, ia selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan kalapun ia keluar kamar ia tidak menceritakan masalahnya. Namun setelah dia mengetahui kegagalannya dalam mengikatkan diri dengan orang lain, maka Joan mulai membangun ikatan demi ikatan dengan orang lain.

Di rumah sakit itu, untuk pertama kalinya Joan mulai membuka kisah kehidupannya. Dia membagikan pergumulannya. Dia menangis. Dan dia heran ketika orang-orang mengasihi dia. Lambat laun Joan pun mengundang teman-teman lamanya untuk mengunjungi dia. Hubungan yang intim mulai terbangun. Depresi yang dialami Joan mulai terangkat. Joan mulai melihat tujuan hidupnya, melihat pengharapan yang timbul dari ikatan-ikatan dengan orang lain. Joan sekarang tidak kesepian. Keberaniannya untuk membangun ikatan dengan orang lain telah membuat hidupnya menjadi lebih baik. Apakah kita juga mau memiliki kehidupan yang lebih baik?