Monday, October 27, 2008

KECIL TAPI BERARTI

Yohanes 6: 8-9

“Saya tidak dapat ke Sekolah Minggu,” kata si gadis kecil sambil menangis sesenggukan. Gadis kecil ini menangis karena tidak diperbolehkan masuk ke gereja kecil. Apa alasannya? Alasannya karena gereja itu sudah terlalu penuh. Tak lama kemudian seorang pastor lewat di dekatnya dan menanyakan kenapa si gadis kecil itu menangis. Setelah mendengarkan penjelasannya, sang pastor menuntun gadis kecil masuk ke ruangan Sekolah Minggu dan berusaha mencarikan tempat duduk yang masih kosong.

Malam sebelum tidur gadis kecil ini terus merenungkan peristiwa yang tadi terjadi. Ia memikirkan anak-anak lain yang senasib dengan dirinya yang tidak memiliki tempat untuk beribadah. Hari demi hari ia terus memikirkan bagaimana caranya memperluas tempat Sekolah Minggu sehingga semua anak bisa tertampung. Oleh karena orangtuanya bukan orang berada, maka ia hanya bisa melakukan semampunya. Ia menabung sedikit demi sedikit.

Dua tahun kemudian, entah mengapa, si gadis kecil ini meninggal di rumahnya yang kumuh. Kedua orangtuanya segera meminta bantuan dari pastor gereja yang pernah menolong gadisnya untuk mengadakan kebaktian pemakaman.

Dalam beberapa hari kemudian, saat ruang tidur si gadis dirapikan, tiba-tiba ditemukan sebuah dompet usang, kumal, dan sobek-sobek. Mungkin dompet itu ditemukan dari tempat sampah. Di dalamnya terdapat uang receh sejumlah 57 sen dan secarik kertas bertuliskan tangan sang gadis kecil. Bunyinya demikian: “Uang ini untuk membantu pembangunan gereja agar gereja bisa diperluas sehingga lebih banyak anak-anak bisa menghadiri ke Sekolah Minggu.” Selama dua tahun si gadis kecil ini mengumpulkan dan menabungkan uangnya sampai terkumpul 57 sen.

Ketika sang pastor membaca catatan kecil tersebut, matanya mengeluarkan air mata. Ia sadar apa yang harus diperbuatnya. Dengan berbekal dompet kumal, sang pastor segera memotivasi para pengurus dan jemaat gerejanya untuk meneruskan misi mulia si gadis kecil.

Para anggota jemaat pun dengan sukarela memberikan uang dan mengajak orang-orang yang lain untuk menyumbangkan uangnya. Bagaikan bola salju yang terus bergulir, makin lama makin membesar, dari 57 sen sekarang menjadi 250.000 dolar. Suatu jumlah yang sangat besar di mana waktu itu dengan jumlah uang sekian dapat membeli emas seberat 1 ton.

Jika kita berada di Philadelphia, Amerika Serikat, lihatlah Temple Baptist Church dengan kapasitas tempat duduk untuk 3300 orang. Tidak lupa pula, di sana terdapat bangunan khusus untuk Sekolah Minggu yang lengkap dengan ratusan pengajarnya. Semuanya itu untuk memastikan agar jangan sampai ada satu anakpun yang tidak mendapat tempat di Sekolah Minggu. Dan di dalam salah satu ruangan bangunan khusus itu, tampak terlihat foto si gadis kecil itu.

Inilah kisah yang menggugah hati. Kisah 57 sen yang telah mengukir sejarah.

Kisah nyata tadi mengingatkan saya pada peristiwa Yesus memberi makan lima ribu orang. Waktu itu banyak orang mengikut Yesus untuk mendengarkan pengajaran-Nya dan sekaligus melihat mukjizat-mukjizat. Lalu Yesus memandang mereka dan mengerti kebutuhan mereka, yaitu kebutuhan perut. Mereka kelaparan dan membutuhkan makanan saat itu juga. Ketika murid-murid berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan makanan, tiba-tiba Andreas, salah satu murid Yesus, berkata, “Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?”

Perhatikan perkataan Andreas ketika melihat jumlah roti dan ikan. Inilah yang sering dilakukan kebanyakan orang hari ini. Masyarakat terlalu sering memberi arti terhadap sesuatu atau seseorang dari segi jumlahnya. Berapa banyak yang ia lakukan? Berapa banyak yang ia miliki? Kalau jumlahnya banyak, maka masyarakat baru memandang kita. Kalau jumlah yang kita bisa lakukan atau miliki itu sedikit, maka mereka akan membuang kita. Sama seperti Andreas, mereka akan berkata, “Apakah artinya itu?”

Tapi Tuhan memandang lain. Tuhan tahu bahwa jumlah roti dan ikan yang sedikit itu tetap berarti ketika semuanya itu diserahkan ke dalam tangan Tuhan. Anak kecil tadi hanya memiliki 5 roti dan 2 ikan. Jumlah yang sangat sedikit. Jumlah yang katanya Andreas itu tidak berarti. Tapi ia berikan ke dalam tangan Tuhan. Dan hasilnya sangat menakjubkan. Manusia tidak pernah menduga bahwa apa yang tak berarti itu diubah menjadi hal yang berarti ketika berada di dalam tangan Tuhan.

Satu hal yang kita pelajari: Jangan meremehkan sumbangsih seseorang, sekecil apapun itu. Tidak jarang kita meniru masyarakat yang menghargai seseorang dari seberapa besar jumlah yang ia lakukan atau ia miliki. Akhirnya, kita lebih cenderung memerhatikan orang-orang yang tampak mata memberikan sumbangsih besar, kita lebih cenderung bergaul dengan orang-orang seperti demikian, kita anggap orang-orang seperti itu sangat berarti bagi gereja atau kehidupan pribadi kita.

Sekecil apapun sumbangsih seseorang, bagi Tuhan hal itu tetap berarti. Kita perlu menghargainya. Kita perlu mengakui bahwa tindakannya itu berarti. Coba berikan apresiasi atau penghargaan kepada orang-orang yang melakukan hal-hal kecil. Misalnya, jemaat yang membagikan snack setelah Kebaktian Umum, jemaat yang mengundang orang-orang untuk memakan makanan ramah tamah, jemaat yang merapikan Alkitab dan buku nyanyian, jemaat yang meringkaskan buku-buku nyanyian setelah kebaktian kedukaan, jemaat/pekerja yang mengatur pengeras suara untuk pengkhotbah atau para pemuji, dan seterusnya. Hampir dapat dipastikan orang-orang seperti ini lebih minim menerima penghargaan, ketimbang orang-orang yang memberikan sumbangsih besar di mata orang banyak. Mau bukti? Ketika ada seorang jemaat menyumbang dana yang besar, maka gereja segera melayangkan surat terima kasih kepada jemaat itu, plus hamba Tuhan juga menjabat tangannya erat-erat sebagai tanda terima kasihnya. Tapi bagaimana nasibnya jemaat yang seringkali merapikan buku nyanyian, atau yang menawarkan makanan ramah tamah kepada para jemaat? Wes hewes hewes bablas angine . . . kita lupa menghargainya.

Ingatlah, 57 sen dan 5 roti 2 ikan tidak pernah terlalu kecil buat Tuhan. Sekecil apapun sumbangsih seseorang bagi Tuhan, hal itu tetaplah berarti. Kalau Tuhan saja menghargainya, masakan kita tidak menghargainya pula?

Tuesday, October 21, 2008

SETIA TERUS, TERUS SETIA

2 Timotius 4: 9-10


Pendahuluan

Suatu hari seekor anjing kecil sedang berjalan-jalan di ladang tuannya. Ia mengamati ada begitu banyak binatang peliharaan di sana. Ketika ia mendekati seekor kuda, binatang besar itu memanggilnya dan berkata, “Kamu pasti masih baru di sini. Tak lama lagi kamu akan tahu bahwa pemilik ladang ini mencintai saya lebih dari binatang lainnya sebab saya telah mengangkut banyak barang untuknya. Dan kamu, ah saya kira seekor binatang sekecil kamu tidak ada gunanya.”

Anjing kecil itu menundukkan kepalanya dengan perasaan sangat sedih. Tak lama kemudian ia bertemu seekor sapi; ia berkata, “Saya adalah binatang terhormat sebab tuanku sering membuat keju dan mentega dari susu saya. Kamu tentu tidak berguna bagi keluarga di sini.” Satu per satu binatang yang ada di ladang mengejek kehadiran anjing kecil itu.

Setelah mendengarkan semua ejekan, si anjing kecil pergi ke tempat sepi dan mulai menangis. Ia meratapi dirinya. Tak lama kemudian seekor anjing tua yang mendengar tangisannya mendatangi anjing kecil itu. Setelah mendengarkan cerita anjing kecil, lalu si anjing tua berkata, “Memang benar bahwa kamu tidak bisa menarik pedati, atau memberi susu. Tapi kamu punya kesetiaan. Dengan kesetiaan itu, kamu akan selalu menyambut kedatangan sang tuan dan bermain bersamanya.”

Malam hari ketika pemilik ladang baru pulang dan tampak lelah karena perjalanan jauh, anjing kecil itu lari menghampirinya, menjilat kakinya, dan melompat ke pelukannya. Sambil menjatuhkan diri ke tanah, sang pemilik ladang memeluk dia erat-erat dan bermain dengannya. Lalu pemilik ladang tersebut berkata, “Kamu adalah binatang peliharaanku yang paling berharga. Karena setiap kali aku pulang, kamu selalu menunggu di depan pintu rumah untuk menyambutku.” Oleh karena kesetiaan anjing kecil, maka ia sekarang menjadi binatang peliharaan yang paling berharga bagi si pemilik ladang.

Tubuh Khotbah

Cerita tadi menghantar kita untuk merenungkan soal kesetiaan. Dalam hubungan antara kita dengan Tuhan, kesetiaan mengambil peranan yang maha penting. Kesetiaan adalah satu sikap yang tak dapat ditawar-tawar ketika kita berhubungan dengan Tuhan.

Hari ini kita melihat ada seorang tokoh yang bernama Demas. Rupanya ia memiliki masalah dengan kesetiaan. Siapakah Demas? Dibandingkan nama Musa, Elia, Petrus atau Paulus, Demas adalah nama yang jarang didengar dan dibicarakan. Tentu hal ini sangat wajar karena dalam Alkitab nama Demas hanya disebutkan 3 kali saja. Kitab Kolose, 2 Timotius, dan Filemon yang mencatat nama Demas; dan itupun hanya satu dua kalimat saja. Contohnya, Kolose 4: 14 yang hanya mencatat: “Salam kepadamu dari tabib Lukas yang kekasih dan dari Demas.” Filemon 23-24 hanya mencatat: “Salam kepadamu dari Epafras . . . dan dari Markus, Aristarkhus, Demas, dan Lukas, teman-teman sekerjaku.” Sedangkan 2 Timotius 4: 10 tiba-tiba sudah memberikan informasi bahwa Demas sudah tidak setia lagi. Itu saja. Informasi detail tentang siapa Demas sungguh sangat minim.

Namun dari ketiga kitab itu, kita masih dapat menemukan beberapa fakta penting yaitu: Fakta pertama, Demas adalah seorang pelayan Tuhan. Ia pernah dipakai Tuhan untuk memberitakan Injil dan membangun jemaat Tuhan bersama dengan Paulus. Fakta kedua, Demas adalah seorang yang terkenal di kalangan jemaat waktu itu. Setiap kali rasul Paulus menuliskan nama Demas, ia tidak memberi keterangan apapun tentang Demas. Rupanya Paulus yakin bahwa para jemaat telah mengenal nama Demas, sehingga ia tidak perlu menjelaskan identitas Demas. Jadi, Demas adalah orang yang terkenal. Fakta ketiga, Demas adalah seorang yang terpandang. Kenapa saya katakan demikian? Karena Paulus mengingat dan menulis nama Demas dalam suratnya. Setidaknya, ia adalah orang yang terpandang di mata rasul Paulus sendiri.

Mengetahui ketiga fakta ini, maka kita yakin bahwa Demas adalah seorang pengikut Kristus yang aktif, hebat, dan menakjubkan pelayanannya. Tapi apa yang terjadi sekarang? Apa yang terjadi pada orang ini? Tak diduga sama sekali, Demas ternyata jatuh dalam masalah ketidaksetiaan.

Teks 2 Timotius 4: 10 menjelaskan ketidaksetiaan Demas dengan sangat jelas, jauh lebih jelas daripada informasi tentang identitas Demas. Sangat jelas dan sangat tajam. Kata pertama yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaannya adalah: “mencintai dunia ini”. Dalam bahasa aslinya, kata “mencintai” menggunakan kata “agapao”. Kata ini dipakai untuk menggambarkan sebuah cinta yang sangat dalam, cinta yang tak terukur panjangnya, dan biasanya kata ini dipakai untuk menggambarkan cinta Tuhan pada manusia. Ketika Yohanes 3:16 mengatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini . . .”, kata “kasih” di sana menggunakan “agapao”. Sebuah cinta yang sangat dalam. Inilah tingkat kedalaman cinta Demas pada dunia, yang sekaligus menjelaskan seberapa jauhnya ia telah meninggalkan Tuhan.

Kata kedua yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaan Demas adalah: “dunia ini”. Dalam bahasa aslinya, kata ini seharusnya diterjemahkan menjadi, “dunia yang sekarang ini.” Ada keterangan waktu “sekarang” dalam kata itu. Keterangan waktu ini sangat penting. Kenapa penting? Karena, kita makin mengerti tentang orientasi atau tujuan hidup Demas. Ia memusatkan hidupnya pada kehidupan masa sekarang. Kehidupan yang sementara, kehidupan yang fana, kehidupan yang sia-sia. Tapi anehnya, kehidupan seperti inilah yang justru dicintai Demas.

Kata ketiga yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaan Demas adalah: “meninggalkan aku”. Dalam bahasa aslinya, kata “meninggalkan” sering dipakai untuk menggambarkan seorang prajurit yang lari mendadak dari tugas kemiliterannya. Bayangkan, bila seorang prajurit yang seharusnya berani mati demi sebuah tugas yang mulia, lalu ia kabur mendadak. Prajurit seperti apa itu? Tapi inilah yang dilakukan Demas. Ia lari mendadak dari tugas pelayanannya.

Mengapa ia meninggalkan pelayanannya? Bisa jadi karena ia memang terlena dengan kenikmatan dunia. Tapi bisa juga karena ia takut dengan penderitaan. Seperti kita ketahui, Demas adalah rekan kerjanya Paulus yang seringkali mengalami siksaan, penghinaan, ancaman, kemiskinan, dan hal-hal lain yang tidak disukai semua orang. Melihat hal itu semua, Demas mungkin baru menyadari bahwa pelayanan yang sejati selalu mengandung risiko. Dan akhirnya, Demas memilih untuk meninggalkan pelayanan daripada menghadapi risiko-risiko tadi.

Kata keempat yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaan Demas adalah: “Tesalonika”. Kalimat lengkapnya adalah, “Ia telah berangkat ke Tesalonika.” Mengapa Paulus menyebutkan bahwa Demas pergi ke Tesalonika? Apakah tidak cukup menggambarkan ketidaksetiaan Demas dengan mengatakan, “Ia telah mencintai dunia ini dan meninggalkan aku?” Ternyata kota Tesalonika turut memberikan arti berikutnya. Dilihat dari sudut geografis, kota Tesalonika merupakan kota perdagangan terbesar di Eropa tenggara. Sebuah kota yang makmur. Sebuah kota yang menawarkan pekerjaan dan kekayaan yang tinggi. Sebuah kota yang merayu banyak orang untuk datang ke kotanya untuk berdagang. Di kota inilah, Demas tergoda hingga ia tidak lagi setia kepada Tuhan yang sudah menebus dirinya.

Demikianlah keempat kata yang sangat jelas dan sangat tajam yang digunakan Paulus untuk menjelaskan ketidaksetiaan Demas.

Penerapan

Peristiwa yang dialami Demas membuat saya khawatir dengan diri saya sendiri. Khawatir apakah saya dapat setia mengikut Tuhan selamanya. Apakah Anda juga mengkhawatirkan hal yang sama dengan saya? Kekhawatiran ini tentu membuat saya bertanya, bagaimana caranya agar kita tetap setia mengikut Tuhan. Setelah merenungkannya, saya ingin membagikan dua hal yang membuat orang setia mengikut Tuhan:

1. Memusatkan diri pada dunia yang akan datang (sorga)

Perhatikan kegagalan Demas. Ia mencintai dunia yang sekarang ini, bukan dunia yang akan datang. Ia memusatkan diri pada dunia yang sekarang ini, bukan dunia yang akan datang. Ia memfokuskan hidupnya pada kenikmatan yang palsu yang ditawarkan oleh dunia yang kita tinggali saat ini. Ia terjebak di dalamnya.

Ada sebuah perumpamaan yang indah tentang hal ini. Satu ketika ada seekor burung yang sedang terbang balik ke Eropa Utara. Tapi dalam perjalanan terbangnya, ia melihat ke bawah dan melihat sebuah ladang yang bagus. Ia turun ke ladang itu sambil berkata, “Nah ladang ini sangat bagus. Setiap hari tuan ladang akan memberi aku jagung untuk dimakan dan air segar. Sangat menyenangkan.”

Sehari demi sehari ia tinggal di ladang yang gratis itu. Makan enak, tidur enak. Tak terasa burung ini sudah tinggal seminggu di ladang. Karena sudah tinggal seminggu, tentu tidak masalah untuk tinggal sebulan. Tanpa disadari musim pun berganti. Tiba-tiba kelihatanlah sekawanan keluarganya yang sedang terbang. Lalu burung ini berkata, “Aku mesti ikut mereka.” Ia pun mulai mengepak-ngepakkan sayapnya, tapi malangnya ia hanya dapat terbang sampai ke atas atap rumah sang tuan ladang.

Lalu ia berkata, “Ah baiklah, lebih baik aku tinggal di sini lagi.” Burung ini pun tinggal di ladang tadi dengan waktu yang semakin lama. Musim kembali berganti. Dan ia pun kembali melihat sekawanan keluarganya sedang terbang. Ia ingin mengikuti mereka. Tapi kini ia hanya dapat mengepak-ngepakkan sayapnya; ia sudah tidak dapat terbang lagi. Musim berganti musim dan tahun berganti tahun. Ia tidak pernah kembali Eropa Utara untuk selamanya karena ia mati di ladang itu.

Perumpamaan ini sangat tepat dikenakan untuk Demas. Ia bagaikan seekor burung yang seharusnya terbang ke arah dunia yang akan datang, namun malangnya ia terbujuk dan terjebak oleh indahnya tawaran dunia yang sekarang ini. Apa yang dialami Demas bukannya tidak mungkin dialami oleh kita. Berapa banyak orang Kristen yang percaya akan dunia yang akan datang? Tapi berapa banyak orang yang memusatkan hidupnya pada dunia yang akan datang? Mungkin sebagian kita ada yang meremehkan soal ini. Alasannya karena sorga itu tidak untuk kehidupan sekarang, tapi nanti sesudah mati. Namanya saja dunia yang akan datang, jadi itu nanti saja. Urusan sekarang ya sekarang. Nanti ya nanti. Nanti kalau sudah tua atau mendekati kematian, maka mari kita membicarakan soal dunia yang akan datang. Maka itu tidak heran bila topik mengenai sorga paling laku di panti jompo, rumah sakit, dan rumah duka.

Inilah sebuah pemikiran yang salah besar. Kualitas hidup yang kita jalani sekarang ini justru ditentukan dari seberapa besar kita telah memusatkan diri pada dunia yang akan datang. Ketika kita memusatkan diri pada dunia yang akan datang, maka hari ini kita hidup dengan hati-hati. Kenapa? Karena kita tahu bahwa kita akan mempertanggungjawabkan semua yang kita lakukan nanti. Ketika kita memusatkan diri pada dunia yang akan datang, maka hari ini kita tidak tergila-gila dan menjadi gila dengan kekayaan, rumah mewah, mobil mewah, warisan, dan segala kesenangan duniawi. Kenapa? Karena kita tahu bahwa itu semua adalah titipan Tuhan yang harus dikelola dan dipertanggungjawabkan di dunia yang akan datang. Ketika kita memusatkan diri pada dunia yang akan datang, maka kita pun tidak mudah goyah imannya di kala tubuh dihancurkan oleh sakit penyakit atau penganiayaan. Kenapa? Karena kita tahu bahwa penderitaan sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan kita terima di dunia yang akan datang.

Seorang penulis Kristen zaman dulu yang bernama Basil pernah menceritakan tentang bagaimana para martir berjuang untuk tetap setia. Satu ketika mereka dilempar keluar dalam keadaan telanjang di tengah malam musim dingin yang kemudian esok siangnya dibakar. Apa yang mereka lakukan? Mereka saling menghibur dan menguatkan dengan perkataan-perkataan demikian: “Dingin memang menyakitkan, namun sorga itu indah; kesusahan adalah cara hidup bagi Kristus, namun kesenangan yang sesungguhnya akan menjadi akhir perjalanan kita; marilah kita bertahan menahan dingin yang tidak seberapa ini, dan pangkuan Abraham akan segera menghangatkan kita; biarkan kaki kita terbakar sebentar oleh nyala api para penyembah berhala agar kita dapat menari-nari untuk selamanya bersama dengan para malaikat; biarkan tangan kita masuk ke dalam nyala api, agar tangan kita dapat menerima kehidupan abadi.” Ini sebuah contoh nyata tentang hidup yang berpusat pada dunia yang akan datang.

Jangan pernah kita remehkan soal ini. Memusatkan diri pada dunia yang akan datang justru bagaikan telaga yang menyejukkan dan memelihara kesetiaan kita pada Tuhan di kala suka maupun duka.

2. Menyandarkan diri pada pertolongan Tuhan

Perhatikan kehidupan Demas. Dulu ia adalah seorang pelayan yang aktif, terkenal, terpandang, rekan kerja seorang rasul yang hebat, tapi sekarang ia meninggalkan pelayanannya dan mencari kekayaan. Siapa yang pernah menduga? Itulah manusia. Hari ini ia bisa sangat baik, tapi esok belum tentu. Hari ini ia bisa mengalami kejayaan, tapi esok ia bisa mengalami kejatuhan. Tidak ada seorang pun yang dapat memastikannya. Ia sendiri pun tidak dapat memastikan kondisi dirinya di masa mendatang.

Tidak hanya tokoh Alkitab saja, tokoh-tokoh dunia Kristen lain pun ada yang mengalami kejatuhan dosa yang pasti tidak pernah diduga-duga oleh orang lain, bahkan termasuk dirinya. Jimmy Swagart adalah salah satunya. Dengan modal karunia berkhotbah yang luar biasa, namanya menjadi terkenal di gerejanya, bahkan di Amerika Serikat. Ia sering berkhotbah di siaran-siaran televisi. Banyak orang senang dan takjub mendengarkan khotbahnya. Tapi siapa yang pernah menduga bila ia jatuh dalam dosa perzinahan dengan seorang wanita tuna susila?

Jarak antara kejayaan dan kejatuhan itu sangatlah tipis. Hari ini kerohanian kita berjaya, besok belum tentu. Sama halnya dengan kesetiaan. Hari ini setia, esok belum tentu. Kita hanya bisa berjuang, tapi tidak ada seorang pun yang dapat memastikan kesetiaan kita di masa mendatang, termasuk diri kita. Terlalu sombong bila kita berkata bahwa saya sulit jatuh dalam dosa. Terlalu sombong bila kita berkata saya pasti akan setia mengikut Tuhan. Belajarlah dari kegagalan Petrus. Sewaktu Yesus memberitakan kematian-Nya, Petrus berkata dengan sombongnya, “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau! (Luk. 22: 33) Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!” (Yoh. 13: 37b) Perkataan yang hebat kedengarannya. Tapi kenyataannya, Petrus justru mengkhianati Yesus.

Ada begitu banyak godaan yang dapat menjegal kesetiaan kita. Kita sendirilah yang mengerti jenis godaan seperti apa yang seringkali menjatuhkan kita. Ada orang yang mudah tergoda dengan wanita dan seks, ada yang mudah tergoda dengan uang, ada yang tergoda dengan kekuasaan, ada yang tergoda dengan pujian orang, atau ada yang tergoda dengan bermain judi, dan seterusnya. Kita semua pasti memiliki titik-titik rawan yang menggoda kita untuk tidak setia terhadap Tuhan. Seberapa pun usia kita dan serohani apapun diri kita, kita tetap tidak kebal terhadap godaan dosa.

Tatkala kita berani mengakui bahwa kita tidak sekuat yang kita bayangkan, maka kita perlu benar-benar bersujud pada Tuhan dan mencari pertolongan-Nya. Bila hari ini kita masih setia mengikut Tuhan, itu bukan karena kekuatan atau kehebatan kita, tapi karena Tuhan masih berkenan menopang dan menolong kita. Jangan ada seorang pun yang memegahkan diri. Kita benar-benar perlu bersandar pada pertolongan Tuhan untuk menjaga dan melestarikan kesetiaan kita. Kita harus senantiasa mengatakan, “Ya Tuhan tiap jam, ku memerlukan-Mu. Engkaulah yang memb’ri sejahtera penuh. Reff: Setiap jam ya Tuhan, Dikau kuperlukan. Ku datang Jurus’lamat, berkatilah.”

Penutup

Yang terpenting dalam hidup kristiani adalah bukan pada bagaimana kita mengawalinya, melainkan bagaimana kita mengakhirinya. Apakah kita akan mengakhiri hidup ini dengan tetap setia pada Tuhan? Tuhan berfirman, “Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan” (Why. 2: 10c). Semoga kita setia terus dan terus setia!

Saturday, October 11, 2008

RISIKO SEORANG HAMBA TUHAN

http://www.cahayapengharapan.org/artikel/texts/resiko_seorang_hamba_tuhan.htm


oleh A.W.Tozer - Tulisan ini diterjemah dan diadaptasi dari tulisan A.W Tozer Perils of a Preacher

Beberapa pekerjaan seperti penambang, penyelam atau prajurit perang merupakan pekerjaan yang beresiko tinggi. Semua orang tahu bahwa orang yang mempunyai pekerjaan seperti ini sedang meresikokan nyawa mereka.

Dibandingkan dengan pekerjaan yang disebut di atas, pekerjaan melayani Tuhan kelihatannya sama sekali tidak mengundang resiko. Seorang aktuaris atau penaksir yang bekerja untuk syarikat asuransi akan menempatkan pekerjaan hamba Tuhan sebagai pekerjaan yang paling rendah tingkat bahayanya.

Namun pelayanan adalah pekerjaan yang paling berbahaya. Si Iblis sangat membenci pelayan yang dipenuhi Roh. Kebenciannya terhadap seorang hamba Tuhan tidak kalah dari kebenciannya terhadap Kristus sendiri. Sumber kebencian itu tidak sulit ditemukan. Seorang pelayan yang efektif, yang menyerupai Kristus adalah hal yang memalukan si Iblis, satu ancaman kepada kekuasaannya, satu tangkisan kuat bagi argumentasinya dan satu peringatan yang terus menerus akan kejatuhannya yang akan datang. Tidak heranlah ia sangat membenci mereka.

Iblis tahu bahwa kejatuhan seorang nabi Allah adalah kemenangan strategis bagi dia, jadi ia sama sekali tidak akan berhenti dari merencanakan jerat dan perangkap bagi para pelayan Tuhan. Iblis tidak terlalu berminat untuk langsung membunuh pelayan Tuhan, ia lebih memilih untuk menembakkan anak panah beracun yang hanya melumpuhkan sasarannya. Seorang pelayan yang tidak efektif dan loyo adalah iklan yang lebih baik bagi neraka ketimbang seorang baik yang telah mati. Jadi, bahaya seorang hamba Tuhan lebih bersifat rohani ketimbang jasmani, walaupun ada kalanya si musuh bekerja melalui kelemahan jasmaniah untuk menghancurkan jiwanya.

Memang terdapat beberapa bahaya besar yang harus diwaspadai oleh para hamba Tuhan, yaitu bahaya cinta pada uang dan perempuan; tetapi bahaya yang paling mematikan jauh lebih halus dari kedua hal ini. Jadi marilah kita memusatkan perhatian pada hal-hal itu.

Salah satu bahaya adalah seorang hamba Tuhan memikirkan dirinya sebagai anggota suatu kelas masyarakat elit yang memiliki hak-hak istimewa. Masyarakat "Kristen" condong meningkatkan bahaya ini dengan memberikan diskon dan perlakuan khusus kepada para hamba Tuhan. Gereja turut mempeparah situasi dengan memberikan berbagai macam sebutan kehormatan kepada para hamba Tuhan.

Sebagai orang yang menyandang nama Kristus sangatlah tidak pantas bagi seorang pelayan Kristus untuk secara tidak sadar menjadi anggota suatu kelas masyarakat yang diperlakukan dengan istimewa. Kristus datang untuk memberi, melayani, memberikan nyawa-Nya, dan Ia berkata kepada para murid-Nya, "Sebagaimana Bapa telah mengutus aku, aku mengutus engkau." Seorang hamba Tuhan adalah pelayan Tuhan dan pelayan umat-Nya. Ia berada dalam bahaya moral yang besar saat ia melupakan hal ini.

Satu lagi bahaya adalah saat melakukan pelayanan ia melakukannya dengan sikap acuh tidak acuh. Kebiasaan bisa saja membuat seseorang melakukan pelayanannya dengan tidak bersungguh-sungguh, sekalipun ia sedang melayani di altar Tuhan. Betapa mengerikan bagi seorang hamba Tuhan jika ia menjadi terbiasa dengan tugasnya, dan kehilangan rasa takjubnya. Saat ia terbiasa dengan hal-hal yang luar biasa, saat ia kehilangan rasa takut dan hormat waktu berada di hadirat Yang Maha Kudus. Dengan kata lain, sangatlah mengerikan saat ia menjadi sedikit bosan dengan Allah dan hal-hal surgawi.

Jika ada yang meragukan bahwa hal ini bisa saja terjadi, biarlah ia membaca di Perjanjian Lama dan melihat bagaimana imam-imam Yahweh ada kalanya kehilangan rasa takjub akan misteri ilahi dan menjadi najis bahkan di saat mereka sedang menjalankan tugas-tugas kudusnya. Dan sejarah gereja menyingkapkan bagi kita bahwa kecenderungan untuk melakukan pelayanan dengan sikap yang acuh tidak acuh tidak hanya terjadi di Perjanjian Lama. Imam-imam dan pendeta-pendeta sekuler yang bekerja di rumah Allah demi "roti" masih dapat ditemukan di antara kita. Iblis akan terus memastikan bahwa orang-orang seperti ini akan terus ada karena mereka akan mendatangkan lebih banyak kerusakan ketimbang satu pasukan besar kaum ateis.

Terdapat juga bahaya di mana seorang hamba Tuhan secara tanpa sadar mengasingkan diri dari orang umum. Hal ini timbul akibat terbentuknya institusi Kekristenan. Hamba Tuhan secara eksklusif hanya bertemu dengan orang-orang religius. Orang-orang yang di saat bersama hamba Tuhan selalunya menampilkan sisi terbaik mereka. Di hadapan hamba Tuhan mereka menampilkan diri sebagai orang yang saleh dan bukan siapa mereka sebenarnya. Ini menciptakan satu dunia yang tidak riil di mana setiap orang di dalam dunia ini tidak menunjukkan siapa diri mereka yang sebenarnya, akan tetapi para pelayan Tuhan sudah begitu lama hidup di dunia palsu ini sehingga mereka tidak lagi tahu bagaimana membedakannya.

Akibat dari hidup di dunia yang palsu ini sangat mematikan. Tidak ada lagi percakapan yang spontan dan terbuka, yang ada hanyalah "konsultasi", "rapat" atau "konferensi"; yang ada hanyalah "kasus" atau orang yang "bermasalah" yang harus ditangani. Relasi sederhana yang spontan dan rill hilang saat gereja diubah menjadi satu klinik religius. Roh Kudus tidak dapat bekerja di dalam lingkungan seperti itu, dan ini akan membawa kepada pengakhiran yang sangat berbahaya, karena tanpa Roh Kudus pekerjaan itu hanyalah bersifat kayu, jerami dan rumput.

Selalu eksis bahaya di mana hamba Tuhan tidak lagi mempunyai simpati dan sikapnya menjadi abstrak dan akademis, ia mengasihi umat manusia tanpa mengasihi manusia. Kristus adalah kebalikan dari ini. Ia mengasihi bayi, pemungut cukai, pelacur dan orang sakit, Ia mengasihi mereka secara spontan dan secara pribadi. Kita yang mengakui sebagai pengikut-Nya harus melakukan hal yang sama.

Satu lagi resiko yang dihadapi para pelayan Tuhan adalah ia secara tidak sadar mengasihi ide-ide religius dan filsafat dan bukan orang-orang kudus dan pendosa-pendosa. Adalah sangat mungkin bagi seorang hamba Tuhan untuk memiliki perasaan bagi manusia yang terhilang sama seperti dengan perasaan yang dimiliki oleh seorang penyelidik alam terhadap serangga maupun hewan lain yang sedang dipelajarinya. Obyek-obyek itu adalah sesuatu untuk dipelajari, mungkin juga dibantu, tetapi bukan untuk ditangisi maupun sesuatu yang akan membuat kita menyerahkan nyawa kita.

Saat hal ini terjadi maka khotbah yang disampaikan juga sulit dipahami dan lebih bersifat menonjolkan pengetahuan. Pengkhotbah itu akan berasumsi bahwa para pendengarnya sama seperti dia, sudah begitu akrab dengan sejarah, filsafat dan teologi. Ia akan berbicara mengenai buku-buku maupun penulis-penulis yang sama sekali tidak dikenal oleh para Jemaat. Dan saat Jemaat memperlihatkan wajah yang bingung ia mengira itu adalah wajah kekaguman mereka akan kecemerlangan pemikirannya.

Saya tidak mengerti mengapa orang-orang religius terus menerima, mendukung dan membayar orang-orang seperti ini. Hal ini hanya dapat saya masukkan ke dalam daftar panjang hal-hal yang tidak akan pernah saya pahami.

Satu lagi jerat yang bahaya bagi para hamba Tuhan adalah ia dengan begitu santai menjalani kehidupannya. Saya tahu dengan menyatakan hal ini tidak akan membuat saya populer tetapi saya harap dengan menuliskannya, setidaknya dapat mempengaruhi mereka ke arah yang benar. Sangatlah mudah bagi seorang hamba Tuhan untuk menjadi seorang pemalas yang berwibawa, seorang parasit sosial dengan tanga terbuka dan wajah yang mengharapkan sesuatu. Bosnya tidak kelihatan, ia seringkali tidak perlu masuk kantor dan pulang pada jam tertentu, jadi ia dapat menjalani satu pola hidup yang nyaman yang memberinya banyak waktu untuk bermalas-malasan, bersenang-senang, tidur-tiduran dan menikmati hidupnya.

Untuk menghindari hal ini, seorang hamba Tuhan harus secara sukarela memastikan ia bekerja keras sama seperti seorang petani, seorang mahasiswa atau seorang ilmuwan. Tidak ada hamba Tuhan yang mempunyai hak untuk hidup lebih santai dari pekerja-pekerja yang mendukung pelayanannya.

Sekali lagi, kegunaan seorang hamba Tuhan dapat dengan serius dihambat oleh dua dosa yang sifatnya saling berlawanan - terlalu fleksibel atau terlalu kaku. Di antara dua batu karang yang besar ini terdapat satu terusan yang dalam dan jernih, dan berbahagialah orang yang menemukannya.

Tunduk kepada keinginan Jemaat yang tidak rohani dalam hal-hal moral dan doktrin adalah satu kejahatan yang besar; mengubah khotbah untuk menyenangkan penatua yang bersifat kedagingan adalah satu dosa yang jahat; tetapi menolak untuk berkompromi dalam hal sepele menyingkapkan satu semangat yang sama sekali tidak sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Yakobus di pasal ketiga suratnya: "Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik."

Bahaya akibat terlalu kaku dicatat oleh Thomas a Kempis, "Memang setiap orang dengan rela akan melakukan apa yang ia senang, dan condong kepada orang yang sepikir dengannya...tetapi jika Allah ada di antara kita, kita harus demi perdamaian tidak berpegang kepada pendapat kita. Siapa yang begitu bijaksana di mana ia dapat mengetahui segala hal? Dengan demikian janganlah terlalu yakin dengan pendapat Anda sendiri, tetapi dengarkanlah pendapat orang lain."

Dua resiko lain bagi manusia Allah juga harus disebut, dan dua hal ini sekali lagi berlawanan dalam sifatnya. Satu adalah terlalu gembira karena keberhasilan dan yang satu lagi adalah terlalu murung karena kegagalan.

Hal ini mungkin kedengaran sepele, tetapi sejarah pelayanan Kristen menunjukkan bahwa ini bukan hal yang sepele. Kedua hal ini sangatlah kritis dan harus diawasi dengan ketat. Para murid kembali kepada Yesus dengan semangat yang berapi-api dan berkata, "Bahkan roh-roh jahat tunduk kepada kami demi nama-Mu," dan Dia dengan cepat memperingatkan mereka tentang makhluk yang telah mengijinkan keberhasilan untuk membuatnya sombong, "Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit." "Tapi bersukacitalah bukan karena roh-roh tunduk kepada kamu; tetapi bersukacitalah karena nama kamu tertulis di surga."

Bahaya yang satu lagi tidak perlu dibicarakan secara panjang lebar. Setiap pelayan Tuhan tahu betapa sulitnya untuk tetap rohani saat pekerjaannya sepertinya tidak berhasil. Namun ia disyaratkan untuk bersukacita di dalam Tuhan apakah ia menilai sudah gagal atau meraih keberhasilan yang besar pada tahun itu.

Bukanlah tujuan saya untuk menuduh atau menyepelekan siapa-siapa tetapi hanya menunjukkan bahaya-bahaya yang ada. Semua dari kita merupakan obyek kebencian si Iblis, dan kita hanya akan selamat jika kita rela merendahkan diri dan menerima bantuan dari sesama, bahkan dari seorang yang lemah dan yang setiap hari berdiri di tengah ancaman bahaya yang besar seperti penulis ini.

Thursday, October 09, 2008

DICARI: HATI YANG INDAH


Pada suatu hari, seorang pemuda menyatakan bahwa dialah pemilik hati yang terindah di kotanya. Banyak orang berkumpul dan mengagumi hatinya karena memang benar-benar sempurna. Tidak ada cacat atau goresan secuilpun di hati sang pemuda. Ia sangat bangga dan mulai menyombongkan hatinya. Tiba-tiba, seorang lelaki tua menyeruak dari kerumunan, tampil ke depan dan berkata, “Mengapa hatimu masih belum seindah hatiku?”

Semua yang hadir melihat hati pak tua itu sambil kebingungan dengan perkataannya tadi. Mengapa bingung? Karena hati pak tua terlihat penuh dengan bekas luka. Jelek kelihatannya. Ada bekas potongan hati yang diambil dan ada potongan yang lain ditempatkan di situ. Penempatan yang tidak benar-benar pas, sehingga tidak rata. Bahkan, ada bagian-bagian yang berlubang karena dicungkil dan tidak ditutup kembali. Orang-orang tercengang dan berpikir, bagaimana mungkin pak tua itu mengatakan bahwa hatinya lebih indah?

Sang pemuda melihat kepada pak tua, memerhatikan hati yang dimilikinya dan tertawa, “Anda pasti bercanda, pak tua,” katanya, “bandingkan hatimu dengan hatiku, hatiku sangatlah sempurna, sedangkan hatimu tak lebih dari kumpulan bekas luka dan cabikan.”

“Ya”, kata pak tua, “hatimu kelihatan sangat sempurna, meski demikian aku tak akan menukar hatiku dengan hatimu. Lihatlah, setiap bekas luka ini adalah tanda dari orang-orang yang kepadanya kuberikan kasihku, aku menyobek sebagian dari hatiku untuk kuberikan kepada mereka, dan seringkali mereka juga memberikan sesobek hati mereka untuk menutup kembali sobekan yang kuberikan. Setiap sobekan tidak sama. Ada bagian-bagian yang kasar yang sangat aku hargai karena mengingatkanku akan cinta kasih yang telah bersama-sama kami bagikan. Meskipun bekas cabikan itu menyakitkan, dan tetap terbuka, hal itu mengingatkanku akan cinta kasihku pada orang-orang, dan aku berharap, suatu ketika nanti mereka akan kembali dan mengisi lubang-lubang yang ada. “Sekarang, tahukah engkau keindahan hati yang sesungguhnya?” kata pak tua.

Sang pemuda berdiri membisu dan air mata mulai mengalir di pipinya. Ia berjalan ke arah pak tua, menggapai hatinya yang begitu muda dan indah, lalu merobeknya sepotong. Sang pemuda memberikan robekan hatinya kepada pak tua dengan tangan gemetar. Pak tua lalu menerima pemberiannya, menaruh di hatinya, dan kemudian mengambil sesobek dari hatinya yang sudah amat tua dan penuh luka. Ia lalu memberikannya untuk menutupi luka hati dari si pemuda. Mereka berbagi kasih.

Pelajaran: Keindahan hati kita terletak dari seberapa sering kita membagi kasih kepada orang lain. Yesus memiliki hati yang indah karena dalam hidup-Nya Ia membagikan kasih kepada semua orang. Maukah kita memiliki hati yang indah?