Friday, May 30, 2008

MENGUKUR ABNORMALITAS

"Oh dia ma abnormal orangnya," demikian orang menyebutnya untuk seseorang yang dirasa "aneh" kelihatannya. Mungkin istilah abnormal sudah sering kita dengar. Namun apakah kita tahu apa yang dimaksud dengan perilaku abnormal? Kapan sebuah perilaku itu dikatakan normal dan kapan ia dikatakan sebagai abnormal? Bila seseorang yang sedang menghadapi wawancara kerja lalu dia merasa cemas, apakah ini merupakan perilaku yang normal? Ketika seseorang kehilangan kerja lalu merasa depresi, apakah ini merupakan perilaku yang normal?

Mungkin kita lazim mendengar bahwa garis batas antara perilaku normal dan abnormal sesungguhnya sangatlah tipis. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki perilaku abnormal dalam hal-hal tertentu. Apakah benar demikian? Di sinilah kita perlu menyimak pendapat para ahli kesehatan jiwa dalam menentukan ukuran sebuah abnormalitas.

Menurut Jeffrey S. Nevid et al, Psikologi Abnormal, kriteria yang paling umum digunakan adalah: (1) Perilaku yang tidak biasa. Perilaku yang tidak biasa sering dikatakan abnormal. Contohnya, merasakan panik yang berlebihan ketika memasuki lift yang penuh sesak merupakan hal yang bisa dianggap sebagai abnormal. Atau, orang yang melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada dapat dikatakan abnormal bagi budaya yang tidak biasa dengan perilaku demikian.


Wednesday, May 21, 2008

AN ORDERED DISTANCE FOR A BETTER MARRIAGE

To some extent, it could be a refreshing one to a marriage when a couple makes a distance for a while. I experience this when I went out of the town without my wife and kid. Sometimes it happened due to my duty--to join a seminar in Jakarta or follow a grand meeting in somewhere. But sometimes it took place due to my vacation.

However, from the distance, I become more appreciate of my wife. I learn how to appreciate his existence. I realize that my wife is VIP (Very Important Person) to my life. And as a result, I become more love to her. Sort of feelings would happen because of an ordered distance. I mentioned an ordered distance since I and my wife have realized about the important of making a distance for a while in our marriage. I know that this method can't be generalized to all couples, yet I think it's worth examining.

Thursday, May 15, 2008

SIAPAKAH KLIEN ITU?

Bagi kita yang melayani konseling, baik sebagai konselor profesional atau non profesional, pernahkah kita bertanya, "Siapakah klien itu?" Tentu kita bisa menyetujui bahwa cara memandang kita terhadap klien akan memengaruhi dalam cara penanganannya. Bila klien dipandang sebagai orang keras kepala, maka kita mungkin akan menanganinya dengan tidak sabar. Selain itu, kita pun akan merasa frustrasi dan putus asa dalam menanganinya. Bila klien dipandang sebagai pembuat masalah (trouble maker), maka kita mungkin akan menanganinya dengan rasa pesimis dan skeptis. Kita menganggap bahwa klien itulah yang selalu membuat masalah pada orang lain.

Lalu bagaimana kita memandang klien secara tepat? Melalui perenungan dari buku Anthony Yeo, Counselling: A Problem-Solving Approach (bab 2), saya menyarikan beberapa tips penting tentang cara memandang klien. Pertama dan yang terutama, pandanglah klien sebagai person in need (PIN). Seringkali, klien dipandang sebagai orang yang bermasalah atau pribadi yang bermasalah (personality problem). Pandangan ini seringkali justru membuat klien merasa frustrasi, pesimis, membenci dirinya sendiri, dan tidak lagi mempercayai pada perubahan dirinya. Sebaliknya, bila kita memandang klien sebagai pribadi yang membutuhkan sesuatu, maka cara kita menanganinya akan menjadi lebih baik dan lebih berpengharapan. Kebutuhan klien tentunya sangat bermacam-macam: ada yang membutuhkan telinga untuk mendengar, ada yang membutuhkan nasihat praktis, ada yang membutuhkan teman diskusi untuk mematangkan pertimbangannya, ada yang membutuhkan pertolongan untuk mengatasi konflik pernikahannya, dan seterusnya. Sebab itu, marilah kita mengubah kata-kata: "Anak itu bermasalah, orang tua itu bermasalah, dia itu si pembuat masalah, dan seterusnya" menjadi "Orang itu sedang membutuhkan sesuatu." Atau ketika kita bertemu orang yang sedang berada dalam masalah, maka kita berlatih untuk bertanya secara pribadi, "Apakah yang dia butuhkan?"

Kedua, pribadi yang dinamis. Manusia itu dinamis. Itulah sebabnya ilmu sosial sebagai ilmu yang mempelajari manusia juga sangat cepat perkembangannya. Dalam konseling, memandang manusia sebagai makhluk yang dinamis akan sangat membantu kita dalam menolong klien. Klien tidak ditentukan oleh masa lalunya, peristiwa tertentu, pengalaman masa kecil, lingkungan, dan seterusnya. Ia bukanlah pribadi yang statis dalam kehidupan ini. Ia dapat berubah. Bila kita mempercayai hal ini, maka optimisme dengan sendirinya akan timbul. Dan bila sikap optimisme ini terpancar dari sikap kita, maka klien pun akan lebih mudah tertolong dari masalahnya.

Seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahun pernah menceritakan masalah yang berkaitan dengan relasinya dengan orang lain. Secara fenomena, banyak orang seringkali melihat dia menyendiri di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Beberapa orang menganggap dia sebagai orang yang aneh baik secara pemikiran maupun perbuatannya. Sebagian orang yang lain tidak mau mendekatinya. Apakah dia menyadari hal itu? Dia sangat menyadari hal itu. Dia tahu bahwa banyak orang seringkali menganggap dirinya aneh.

Dalam perbincangan saya dengannya, sebenarnya dia sangat ingin berubah. Dia ingin dipandang sebagai orang yang normal. Berangkat dari keinginannya untuk berubah, maka saya pun mengajaknya untuk mengikuti konseling secara teratur. Tak disangka, ia menolak. Apa dasarnya? Ia sudah tidak percaya lagi kalau dirinya masih bisa berubah. Pandangan yang ia pegang itu muncul sejak seorang pembicara retret berkata padanya, "Anda sudah terlambat [untuk berubah]." Kala itu ia berusia sekitar 15 tahun. Tapi kata-kata itu diingatnya sampai sekarang. Ia berkata, "Rasanya kata-kata itu baru saja diucapkan kemarin." Andai pembicara retret itu mempercayai bahwa manusia itu dinamis, maka kemungkinan besar ia tidak mengatakan "sudah terlambat."

Ketiga, pribadi yang unik. Pandangan ini mengajak kita untuk melihat klien sebagai seorang individu yang unik dan berbeda dengan individu yang lainnya. Sehingga, kita berkata, "Saya akan membantumu dengan cara yang paling tepat dan spesial untukmu." Sebagai seorang konselor, kita harus berusaha sekuat mungkin untuk menjadi kreatif dalam menolongnya. Sepengalaman saya, saya menemukan keunikan klien dalam menggambarkan masalahnya. Ada klien yang mengungkapkan perasaan melalui gambar, warna, tulisan, dan seterusnya. Berikutnya, dalam hal menyelesaikan kepahitan dengan seseorang, antara klien satu dengan lainnya juga memiliki caranya yang unik. Ada yang memerlukan figur lain sebagai pengganti peran orang yang dibencinya, ada yang menuliskan surat, ada yang perlu menjerit. Selain itu, soal waktu, setiap klien juga memiliki waktu yang unik untuk menyelesaikan kepahitannya. Ada yang perlu beberapa hari, beberapa bulan, bahkan beberapa tahun untuk menyelesaikannya.

Keempat, pribadi yang bertanggungjawab. Memandang klien sebagai seorang yang bertanggungjawab berarti: (1) Kita meyakini bahwa ia memiliki kontrol atas hidupnya. Kita perlu membantunya untuk mengeluarkan dirinya dari sikap fatalistik. Contohnya, bila klien sedang menghadapi penyakit terminal dan ia merasa dirinya tidak berguna, maka kita perlu mengajaknya untuk memotret hal-hal berguna yang pernah dan bisa ia lakukan dalam sisa hidupnya. (2) Klien memiliki hak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya. Seorang konselor tidak berhak untuk memilihkan hal yang menurut kita baik, apalagi mendesaknya. Hal ini bukan berarti seorang konselor tidak boleh memberikan usulan sama sekali; konselor boleh saja memberikan usulan, namun usulan itu harus bersifat tentatif dan terbuka untuk ditolak oleh klien. (3) Klien perlu mengembangkan kekuatannya (resources) untuk mengatasi masalah hidupnya. Di tengah-tengah masalahnya, kita meyakini bahwa klien masih dapat melakukan sesuatu meski terkadang hal itu tidak menyelesaikan masalahnya secara langsung. Misalnya, seorang klien pernah menceritakan kondisi penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan lagi. Dari beberapa dokter, ia sudah mengetahui bahwa kondisi penyakitnya lambat laun akan mengganggu fungsi organ tubuh yang lain hingga ia akan meninggal karena malfungsi tersebut. Apa yang dapat ia lakukan sekarang? Ia sudah berusaha mengobatinya dengan berbagai terapi, tapi toh tidak kunjung membaik. Saat ini ia sudah mulai belajar menerima kenyataan itu. Dan yang lebih menggembirakan adalah ia saat ini sedang mengaktualisasikan karunianya yang selama ini terpendam. Ia melakukan sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan orang lain. Apa yang dilakukannya memang tidak menyembuhkan masalah penyakitnya secara langsung, namun ia telah berhasil mengembangkan resources-nya. Hal seperti demikianlah yang perlu diperhatikan oleh konselor.

Tuesday, May 13, 2008

ISTIRAHATLAH!

Pelayanan di gereja, kadangkala, menjadi sumber stress bagi seorang hamba Tuhan. Tidak jarang saya mendengar keluhan mengenai hal ini dari hamba-hamba Tuhan. Seorang hamba Tuhan pernah bercerita tentang pelayanan gerejawinya di kota Manado. Katanya, "Menjadi hamba Tuhan di gereja itu harus siap bekerja dari hari Senin-Minggu." Hamba Tuhan ini menerangkan bahwa setiap harinya selalu saja ada yang diurusi sehingga para hamba Tuhan di sana hampir-hampir tidak pernah off bekerja. Lalu bagaimana dengan hari Senin, yang biasanya merupakan hari liburnya hamba Tuhan? Ia berkata, "Hari Senin memang hari libur. Tapi rasanya setiap hari Senin selalu saja ada yang dikerjakan."

Bila apa yang dikatakannya itu memang benar dan cukup universal, maka tidak heran bila stress terjadi justru karena pelayanan. Seorang hamba Tuhan jugalah seorang manusia biasa yang memerlukan istirahat. Seperti sebuah mesin, ia pun memerlukan istirahat sebagai waktu merawat diri. Bila setiap hari seorang hamba Tuhan terus dibombardir dengan pelayanan, maka kapankah waktu perawatan itu terjadi?

Ada beberapa mitos yang seringkali memengaruhi hamba Tuhan sehingga ia tidak mau beristirahat: (1) Istirahat berarti malas. (2) Istirahat berarti egois. (3) Kita harus bekerja "selama siang." (4) Selagi kuat, kita harus melayani Tuhan. (5) Atau seperti nyanyian berikut ini: Jangan lelah, bekerja di ladang-Nya Tuhan. Artinya, jangan pernah merasa atau mengeluh kelelahan dalam melayani Tuhan. Dan seterusnya.

Cukup menarik bila kita melihat kehidupan Yesus. Beberapa kali keempat Injil mencatat mengenai waktu-waktu istirahat Yesus. Bahkan, saya sering menjumpai Yesus beristirahat dalam waktu-waktu yang biasanya dianggap tidak tepat di kalangan kita. Contohnya: (1) Masih ingat peristiwa angin ribut yang hampir menjungkirbalikkan perahu para murid-Nya. Apa yang dilakukan Yesus waktu itu? Tidur alias istirahat. Saya heran pada-Nya. Di kala orang-orang sibuk mengeluarkan air dari perahu, Yesus bisa tidur. Di kala orang-orang berteriak kepanikan, Yesus bisa tidur dengan tenangnya. Di kala perahu bergoyang sangat kencang dan menakutkan banyak orang, Yesus masih bisa tidur. Mengapa sewaktu para murid sedang berteriak-teriak kepanikan dan sibuk luar biasa, Yesus masih tidur? Apakah Yesus egois? Apakah Yesus malas? Bukankah Yesus mestinya peka dan segera menolong mereka tanpa harus dibangunkan terlebih dahulu? Apa maksud semuanya ini? Saya yakin, Yesus sedang mengajarkan tentang pentingnya istirahat. Ada waktunya untuk beristirahat dan ada waktunya untuk bekerja.

(2) Satu lagi, masih ingat kisah Yesus mengajak para murid-Nya untuk menyendiri. Waktu itu para murid menginformasikan pada Yesus bahwa banyak orang datang dan ingin berjumpa dengan-Nya. Banyak orang datang dan butuh pelayanan-Nya. Saya bayangkan bahwa di tengah hamparan orang banyak itu terdapat orang yang sakit, putus asa, mengalami masalah hidup yang berat, ingin mendengarkan pengajaran-Nya, dan seterusnya. Intinya, mereka datang dengan suatu kebutuhan. Tapi apa reaksi Yesus? Yesus justru mengajak para murid-Nya untuk menyendiri, menghindari kerumunan orang banyak. Aneh? Kalau Yesus menjadi hamba Tuhan di zaman sekarang, pastilah Ia akan dipecat dan dihujat. Orang banyak akan menuduhnya egois. Tapi saya melihatnya berbeda. Saya melihat, sekali lagi, di sinilah Yesus mengajarkan tentang ada waktunya untuk beristirahat dan ada waktunya untuk bekerja/melayani.

Apalah artinya bila kita melayani dengan hati yang lelah dan semangat yang padam bercampur stress? Seorang hamba Tuhan acapkali terjebak dalam pelayanan yang bersifat ritual belaka. Secara kasat mata, ia rajin membesuk, berkhotbah, memimpin P.A., memimpin persekutuan doa, dan seterusnya. Tapi siapa yang tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya? Tuhan menginginkan hamba-Nya melayani dengan hati yang senang dan sukarela. Itulah a living sacrifice. Selamat beristirahat!

Wednesday, May 07, 2008

JANGAN MENCURI

Keluaran 20: 15

Apa itu mencuri? Saya akan beri beberapa kasus lalu silakan Anda menilainya: (1) Bila kita pergi belanja ke Alfa lalu mengambil sebotol Shampoo Clear dan menyembunyikan di dalam kantong kita, maka apakah kita mencuri? (2) Bila kita pergi ke mall dan melihat ada selembar uang merah tak bertuan Rp. 100.000, lalu kita mengambil uang tersebut, apakah kita mencuri? (2) Bila kita di gereja melihat ada uang terjatuh dari kantung dari jemaat tertentu, lalu kita membiarkan uang tersebut, maka apakah kita mencuri?

Sebagai intermezzo, menurut berita Tempo Interaktif, 28 Maret 2008, tingkat kriminalitas di wilayah Surakarta, Jawa Tengah, kian meningkat. Bahkan, Kapolda Jawa Tengah Inspektur Jenderal F.X. Sunarno mengatakan wilayah Surakarta merupakan sentra kriminal kedua setelah ibu kota Jawa Tengah, Semarang. Berdasarkan data tiga bulan terakhir dari Polwil Surakarta, jumlah kasus pencurian motor mencapai 19 kasus, pencurian dengan pemberatan 20 kasus, pencurian dengan kekerasan 3 kasus . . .” Tepuk tangan buat kota Surakarta.

Jadi, apa itu mencuri? Saya kira semua orang mengerti artinya mencuri, bahkan orang yang tidak mengenal Alkitab pun juga mengerti apa artinya mencuri. Pada umumnya, mencuri diartikan sebagai tindakan mengambil sesuatu yang bukan miliknya tanpa sepengetahuan si pemiliknya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ketiga tahun 2005, mencuri adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi.

Bagaimana dengan pengertian Alkitab tentang mencuri itu sendiri? Alkitab sendiri tidak memberikan definisi secara eksplisit. Ketika kita melihat perintah “Jangan mencuri”, Alkitab tidak memberikan penjelasan apapun tentang hal itu. Tapi ada satu hal yang pasti, yaitu Alkitab seringkali mengulang-ulang perintah tersebut. Misalnya, Imamat 19: 11 dan Ulangan 5: 19. Dalam kesempatan lain, Tuhan justru membicarakan konsekuensi bila seseorang mencuri. Laknat Tuhan akan turun bila para pencuri dibiarkan leluasa melakukan kejahatannya. Menurut hukum Tuhan, bila pencuri-pencuri itu masih ingin hidup, maka mereka harus mengembalikan apa yang mereka ambil (Yeh. 33: 15). Berikutnya, Keluaran 22 menyebutkan bahwa bila seekor kambing atau sapi dicuri, maka pencurinya harus membayar kembali lima sapi dan empat kambing. Bagaimana kalau ia tidak mampu membayar? Maka, si pencuri itu harus dijual sampai hutangnya lunas. Amsal 6: 31 malah menyebutkan hukuman yang lebih berat, yaitu mengembalikan tujuh kali lipat. Dan bahkan, ada pencurian yang berujung pada hukuman mati. Intinya, sekali lagi, Alkitab sering mengulang-ulang perintah jangan mencuri. Tentunya, hal ini menandai betapa seriusnya Tuhan akan dosa yang satu ini.

Nah sekarang untuk memperjelas arti mencuri, mungkin kita perlu bagi pencurian menjadi dua golongan, yaitu: pencurian secara aktif dan pencurian secara pasif.

Pertama, pencurian secara aktif. Apa maksudnya? Pencurian secara aktif adalah tindakan mengambil hak milik orang lain tanpa sepengetahuan si pemilik tersebut. Apa saja contohnya?

· Secara materi

Kita mengambil makanan, pakaian, handphone, uang, dan barang-barang tertentu milik orang lain tanpa seizin si pemilik tersebut. Saya kira, bentuk-bentuk pencurian materi sangat mudah disebutkan.

Satu ketika ada seorang ibu yang sedang hamil tua di sebuah pusat perbelanjaan. Entah apa alasannya, dia mengambil sebotol sirup dan menyembunyikan di dalam roknya. Rupanya, botol tersebut dijepit dengan kedua pahanya. Ketika ia antri di loket kasir untuk membayar barang-barang yang ia beli, tiba-tiba secara tidak sengaja ada seseorang berlari dan menabrak ibu itu. Nah gara-gara tabrakan yang cukup keras, botol yang disembunyikan tersebut akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Botol itu pecah. Dan gara-gara itu, maka petugas memergoki aksi pencuriannya. Nah inilah contoh pencurian materi yang bersifat aktif. Tapi selain pencurian materi, ada pula pencurian non-materi. Aneh?

· Secara non-materi

Dalam praktik sehari-hari, saya kira praktik pencurian non-materi jauh lebih banyak dilakukan dan jauh lebih banyak tidak disadari ketimbang pencurian materi. Contohnya: (1) Mengambil waktu orang lain. Kalau pergi bekerja, kita datang terlambat tetapi pulang lebih cepat. Itu merupakan pencurian waktu kerja. Atau kita senang dengan yang namanya “jam karet”. Ini adalah pencurian waktu dan sekaligus bentuk hukuman yang sewenang-wenang. Kenapa demikian? Sebab yang dihukum adalah orang yang disiplin, tertib, tepat waktu. Sementara yang terlambat berkata, “Ah jangan khawatir, tenang aja, pasti ditunggu kok.”

(2) Mengambil reputasi/nama baik seseorang. Yang saya maksud di sini adalah kita sengaja mengancurkan nama baik seseorang. Kita menebarkan gosip tentang seseorang. Kalau ada orang lain yang sukses dan dipuji banyak orang, kita akan menggosip: “Ah orang-orang belum tahu siapa dia. Dulu dia itu bejat, papa mamanya cerai, dan seterusnya.” Sebaliknya, kalau ada orang yang gagal, maka kita akan menggosip: “Ya ampun, masak orang Kristen kayak gitu. Masak hamba Tuhan seperti itu.” Jadi, seakan-akan nilai kegagalan seseorang itu semakin berat dan tak terampunkan.

Pdt. Eka Darmaputera menyebut pengambilan reputasi/nama baik seseorang sebagai pembunuhan karakter. Caranya bukan dengan menikamkan senjata tajam atau meletuskan senjata api, tapi cukup dengan kata-kata. Menurutnya, mencuri nama baik adalah secara tidak sah mengambil sesuatu yang paling berharga dari orang lain. Tindakan ini membuat sesama kita kehilangan segala-galanya.

(3) Mengambil kekayaan intelektual/ide orang lain. Bila kita menyontek waktu ujian, itu merupakan pengambilan kekayaan intelektual orang lain. Bila kita berpendapat lalu kita berkata, “Oh itu pendapatku,” padahal itu merupakan pendapat orang lain, maka saat itu kita sedang mengambil kekayaan intelektual/ide orang lain. Kadangkala hal ini terjadi di dalam sebuah rapat. Kita berkata, “Aku mengusulkan atau aku berpikir” padahal itu merupakan usulan atau pikiran orang lain, maka itulah sebuah pencurian. Kalau memang itu bukan pikiran kita, maka ada baiknya kita berkata, “Aku terinspirasi dari si anu, gimana kalau kita melakukan ini; kalau menurut si anu, kita seharusnya melakukan itu.”

Kedua, pencurian secara pasif. Apa maksudnya? Bila pencurian secara aktif berarti tindakan mengambil hak milik seseorang, maka pencurian secara pasif berarti tindakan menahan apa yang seharusnya menjadi miliknya orang lain. Apa misalnya?

(1) Bila di gereja kita menemukan Alkitab, tas, dompet, atau HP milik seseorang yang kita kenal namun kita tidak mengembalikannya, maka itulah pencurian secara pasif. (2) Bila dalam transaksi terdapat uang kembalian yang lebih namun kita tidak mengembalikan, maka itulah pencurian secara pasif. Kita menahan apa yang seharusnya menjadi miliknya orang lain. (3) Bila kita berhutang pada seseorang dan tidak segera dibayar sesuai waktunya, maka itu berarti kita sedang menahan uang yang seharusnya menjadi milik orang lain. Itulah pencurian secara pasif. (4) Bila kita menunda waktu pemberian gaji karyawan, maka itulah pencurian secara pasif. Mungkin karyawan itu berkata tidak berkeberatan, tapi itu semestinya tidak boleh dijadikan alasan. Meski ia tidak berkeberatan, namun kita sedang menahan gaji yang seharusnya menjadi miliknya.

Seorang sarjana Perjanjian Baru, William Barclay, mengategorikan perintah ini sebagai titah dasar. Artinya, seperti halnya pada sebuah bangunan, bila dasarnya hancur maka ambruk pulalah seluruh strukturnya. Dan kemudian, Pdt. Eka Darmaputera menjelaskan bahwa, perintah “Jangan mencuri” adalah syarat mutlak terselenggaranya kehidupan bersama dalam masyarakat. Saya yakin Tuhan memberikan perintah ini dengan tujuan agar kita dapat hidup bersama orang lain tanpa perasaan curiga, takut, dan rasa tidak aman. Bayangkan saja bila dunia ini dipenuhi para pencuri? Mari, jangan mencuri!