Friday, September 28, 2007

PERJUANGAN PROSES MENEMANI

Menolong orang tidak identik dengan yang namanya memberikan solusi pada orang tersebut. Pada umumnya, orang yang datang pada kita dan rela menceritakan keluh kesahnya adalah orang-orang yang mengerti solusinya. Satu ketika ada seorang bercerita betapa kesalnya dia terhadap rekan-rekan kantornya. Lalu apa yang dia butuhkan waktu itu? Ternyata bukan solusi, tapi butuh ada seorang teman yang bersedia menyediakan telinga. Ia sebenarnya tahu bahwa ia seharusnya mengasihi, bahkan mengampuni mereka. Apalagi memang ia adalah orang Kristen. Tapi sekali lagi, memberikan solusi bukanlah hal yang diharapkannya.

Satu lagi kasus yang serupa terjadi ketika saya selesai kebaktian ketiga, pukul 10.00 pagi. Waktu itu, seorang pemuda mendatangi saya, "Ko, bisakah aku bicara sebentar?" "Ya, mari kita bicara di dalam ruang ibadah," demikian jawab saya. Dalam ruangan itulah, sang pemuda itu mencurahkan kekesalannya terhadap orangtua. Ia baru saja bertengkar hebat dengan mamanya. Setelah ia menceritakan kasusnya, ia bertanya, "Ko, aku ini dosa ya karena telah berkata kasar dan kotor terhadap mamaku?" Apa yang dapat kita petik dari pertanyaan ini? Saya kembali diteguhkan bahwa pada umumnya orang yang membawa permasalahan tidak memerlukan ceramah atau khotbah tentang solusinya. Tidak! Tapi mereka butuh ditemani dalam proses menuju solusinya. Jadi, proses menemani adalah hal vital dari menolong orang lain.

Tapi dalam kenyataannya, proses menemani adalah proses yang sangat sulit. Banyak orang ingin segera menyelesaikan masalah orang lain, banyak orang ingin menjadi pemecah masalah, banyak orang ingin memberikan jawaban-jawaban. Nah di sinilah tantangan untuk melakukan proses menemani. Kita perlu ekstra kesabaran untuk melakukan hal ini. Inilah sebuah perjuangan. Perjuangan proses menemani. Selamat berjuang!

Wednesday, September 26, 2007

Golongan Darah Yesus?

Dalam sebuah konferensi Para Ahli Purbakala Kitab Suci seluruh Dunia, kontingen Indonesia mengemukakan penemuannya tentang golongan darah yesus. Dalam sebuah diskusi mereka mengatakan, "Ternyata, golongan darah Yesus adalah O." Peserta lain tercengang. "Bagaimana itu bisa terjadi dan alat apa yang dipakai untuk menelitinya?" desak peserta lain penuh kagum. ". . . O, darah Tuhanku . . ." peserta dari Indonesia menyanyikan Kidung Jemaat no. 36.

(Diambil dari Edy Sumartono, Pak Pendeta, Buatlah Jemaat Stress)

Monday, September 24, 2007

Masihkah Anda Merasa Berhutang?

Pernahkah Anda berhutang sejumlah uang hingga Anda merasa tercekik karena tidak bisa membayarnya? Saya pernah. Pengalaman berhutang sewaktu saya duduk di SMU adalah pengalaman yang telah menoreh lubuk hati saya. Rasanya, saya tidak mungkin lupa akan peristiwa waktu itu. Saat itu, karena kesalahan saya, saya akhirnya berhutang dengan seorang teman baik. Hutang itu cukup besar buat seorang anak SMU. Singkatnya, saya kesulitan membayar hutang itu.

Apa rasanya ketika saya tidak mampu membayar hutang itu? Dada saya terasa sesak, leher saya terasa dicekik, dan hidup saya serba tidak nyaman. Di sekolah saya selalu kepikiran, di rumah saya kembali memikirkan hal itu. Betul-betul tidak enak rasanya. Wah kapok deh!

Tetapi ketika merenungkan perkataan rasul Paulus, ". . . kita adalah orang-orang berhutang" (Rm. 8: 12), maka saya mau tidak mau teringat kembali akan pengalaman buruk sewaktu di SMU itu. Kemudian, saya bertanya dalam hati apakah perasaan berhutang kepada Tuhan itu sama persis dengan perasaan berhutang saya kepada seorang teman. Ternyata, mirip tapi tidak sama! Maksudnya?

Tidak sama, karena hutang kepada Tuhan tidak akan pernah terlunasi sehingga perasaan berhutang tidak mungkin sirna. Sedangkan, hutang kepada seorang teman masih mungkin terlunasi sehingga perasaan berhutang pun bisa sirna. Tapi bisa dikatakan mirip, karena berhutang kepada siapa pun akan sama-sama menimbulkan perasaan untuk ingin mengembalikannya. (Ini orang yang normal lho ya).

Nah Roma 8:12 tadi sebenarnya mengajak kita untuk mengingat bahwa kita ini adalah orang yang berhutang kepada Tuhan. Kalau kita sudah percaya Kristus, kalau kita sudah ditebus oleh darah Kristus yang mahal, maka mau tidak mau dan suka atau tidak suka, kita adalah orang-orang yang berhutang kepada Tuhan. Berhutang apa saja? Jelas sangat banyak! Tuhan memberikan kesehatan, kehidupan, pengalaman-pengalaman hidup, keluarga, rezeki, teman-teman, dan seterusnya. Apalagi ada satu lagi yang tidak boleh kita lupakan, yaitu: KESELAMATAN! Dan justru hal keselamatan inilah yang menjadi tekanan rasul Paulus.

Namun masalahnya, kita kadang tidak merasa berhutang kepada Tuhan. Kita kadang seperti seorang anak kecil dalam kisah berikut ini: Satu ketika seorang anak pergi bersama ayahnya ke Mc Donald. Setelah sang ayah memesan paha ayam goreng, lalu ia bertanya kepada anaknya agar ia memesan sesuatu. Anak itu pun ternyata memesan makanan yang sama, yaitu paha ayam goreng. Lalu mereka berdua segera duduk dan makan. Ketika mereka makan, sang ayah menggoda anaknya dengan pura-pura mau mengambil ayamnya. Spontan anak itu berusaha melindungi ayamnya, lantas berkata, "Ayah, ini kan milik saya!" Bukankah kita seperti anak kecil itu? Kita tidak merasa bahwa Tuhanlah yang memberikan semua hal dalam kehidupan kita. Akhirnya, kita pun tidak merasa berhutang apapun kepada Tuhan. Aneh bin ajaib kan?

Semoga melalui perenungan dari Roma 8 tadi mengingatkan akan siapa diri kita. Kita ini adalah orang-orang yang berhutang kepada Tuhan. Ketika kita menyadari hal ini, maka pastilah kita akan merasa ingin segera mengembalikan hutang itu. Dan ketika perasaan ingin mengembalikan hutang itu ada, maka kita akan lebih mudah untuk mempersembahkan waktu, uang, tenaga, talenta, dan hidup kita kepada Tuhan. So, masihkah Anda merasa berhutang?

Saturday, September 22, 2007

Terima Kasih karena Saya Sakit

Kemarin waktu ada acara retret alumni, saya terserang penyakit masuk angin. Akibatnya, leher saya menjadi tegang dan kepala menjadi susah untuk digerakkan ke kiri ke kanan. Untung, saya punya teman yang rela ngerokin leher dan punggung. Wah merah sampai hitam warnanya. Agak lega sih, tapi masih sakit lehernya.

Tapi herannya, dalam keadaan itu saya jadi teringat dengan orang-orang yang kena stroke sehingga lehernya menjadi sangat kaku. Dari ingatan seperti demikian, Tuhan sepertinya mengingatkan saya akan dua hal: Pertama, supaya saya tidak banyak menggerutu. Terus terang, sakit ini membuat saya sulit menoleh kiri kanan. Ketika bangun pun, saya harus menggunakan kedua tangan untuk mengangkat kepala karena leher yang sakit itu. Lucu kan? Nah hal itu terjadi dari tiga hari yang lalu sampai sekarang. Hati rasanya kesal. Tapi ya itu tadi, Tuhan ingatkan saya bahwa sakit leher yang kayak gituan masih ringan bila dibandingkan dengan orang yang kena stroke. Langsung saat itu, saya merasa malu karena banyak menggerutu.

Hal kedua, supaya saya bisa berempati dengan orang yang kena stroke. Sakit masuk angin yang menyerang di bagian leher pasti bukan kebetulan. Ada satu maksud dari Tuhan yang perlu saya pelajari. Nah salah satunya adalah saya akan lebih bisa berempati kepada orang yang kena stroke yang mengakibatkan leher susah digerakkan. Kalau saya saja yang baru beberapa hari menderita, lalu bagaimanakah perasaan menderitanya orang yang kena stroke ya? Dari sini saya belajar lebih berempati kepada orang-orang yang menderita penyakit itu.

So kesimpulannya, terima kasih karena saya sakit. Eitt jangan salah! Saya bukan pecinta penyakit sehingga saya berdoa agar Tuhan memberikan penyakit. Tapi saya berterima kasih kepada Tuhan yang mengizinkan saya belajar dua hal penting melalui sakit yang simple ini. Terima kasih Tuhan, Engkau sangat baik!

Friday, September 14, 2007

SOLI DEO GLORIA!

Ayub 1-2

Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan?” (Ayb. 1:21)

2 S—sukses dan sehat—itulah yang didambakan oleh kebanyakan orang. Sebab itu, tidak heran bila sampai hari ini terdapat banyak sekali seminar dan buku yang mengajarkan mengenai kesuksesan. Banyak orang, baik tua atau muda, tertarik untuk mengikuti ajarannya. Ah kita memang tidak perlu munafik; siapa toh yang tidak ingin meraih kesuksesan? Sama halnya dengan kesehatan. Seminar, buku, olahraga, ilmu pengobatan modern dan tradisional yang mempromosikan kesehatan hingga hari ini sangat menjamur di mana-mana. Ah siapa sih yang tidak ingin sehat selalu?

Namun bagaimana bila 2 S itu tidak dapat kita genggam hari ini? Nah inilah yang menjadi masalahnya. Banyak orang tidak siap untuk kehilangan 2 S. Padahal, bukankah 2 S memiliki “sayap” yang dapat terbang dan meninggalkan kita? Ayub adalah salah satu contoh orang yang kehilangan 2 S. Dulu ia sukses dan sehat. Ia terkenal sebagai orang yang kaya raya di negerinya. Segala ternak dan budak menggemakan segala kekayaannya. Sampai-sampai Alkitab mencatat, “. . . orang itu adalah yang terkaya dari semua orang di sebelah timur” (Ayb. 1:3). Tapi itu dulu!

Sekarang apa jadinya? Kesuksesan yang telah ia nikmati hilang begitu saja. Banyak aset kekayaannya sirna dalam sekejap. Bukan kekayaan saja, kesehatan pun lepas dari genggamannya. Karena sedemikian parahnya, sampai-sampai ketiga sahabat Ayub tidak mengenalnya lagi (Ayb. 2:12). Namun apa respons Ayub ketika ia kehilangan 2 S? “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” demikian responsnya. Ayub menyadari bahwa 2 S dapat datang dan pergi begitu saja. 2 S memang bukan dalam genggamannya, melainkan dalam genggaman-Nya, Sang Khalik itu.

Sukses dan sehat memang adalah mimpi setiap orang. Mimpi itu tidak salah. Tapi kita tidak boleh takabur. Kita tidak mungkin hidup dalam mimpi tersebut sepanjang hidup. Ada waktu untuk berada di puncak kejayaan, tapi ada pula waktu untuk berada di lembah penderitaan. Semua hal ini menunjukkan bahwa 2 S berada dalam genggaman Tuhan. Lantas apa tugas kita bila 2 S itu ada dalam kuasa Tuhan? Perhatikan bagian akhir dari perkataan Ayub tadi, “. . . terpujilah nama Tuhan.” Nah inilah tugas kita! Baik sukses atau bangkrut, baik sehat atau sakit, kita tetap memuliakan nama Tuhan. Soli Deo gloria.

Apa yang menyebabkan kita sulit memuliakan Tuhan ketika 2 S meninggalkan kita?

Saturday, September 08, 2007

HAI AYUB, APA KABAR?

PENGANTAR KITAB AYUB


Penulis Kitab

Siapakah penulis kitab Ayub? Apakah Ayub sendiri? Bukan. Meski kitab Ayub mencatat sangat banyak mengenai diri Ayub, namun ia sendiri bukanlah penulis kitab ini. Penulis yang tak diketahui namanya ini kemungkinan memiliki sumber-sumber oral atau tertulis yang mana di bawah inspirasi Tuhan ia menyusun sumber-sumber tersebut menjadi kitab yang sekarang ini kita miliki. Mengenai sumber-sumber tersebut, seorang sarjana PL David Atkinson menjelaskan bahwa kemungkinan penulis kitab memakai suatu cerita rakyat yang sejak dahulu diceritakan turun-temurun.

Struktur Kitab

Kitab Ayub dapat dibagi menjadi tiga bagian besar. Bagian pertama, pasal 1-2, berisi prolog yang ditulis dalam bentuk prosa. Kedua pasal ini menggambarkan latar belakang mengenai peristiwa Ayub. Bagian kedua, pasal 3:1-42:6, ditulis dalam bentuk sajak yang sangat panjang. Bagian ini menceritakan mengenai bagaimana Ayub dan sahabat-sahabatnya berdebat untuk mengerti pergumulan Ayub. Bagian ketiga, pasal 42:7-14, berisi epilog yang ditulis dalam bentuk prosa. Bagian ini mengakhir cerita peristiwa Ayub dengan makna khusus.

Tujuan Penulisan

Tujuan kitab Ayub adalah menyelidiki kebijakan perlakuan Allah terhadap orang benar. Iblis menyatakan bahwa kebijakan Allah dalam memberkati orang benar justru telah mengaburkan kebenaran yang sejati. Berkatlah yang menyebabkan orang-orang mau hidup benar. Sebab itu, Iblis menantang Allah agar berkat yang diberikan kepada Ayub dapat dihentikan demi mengetahui kebenaran yang sejati itu. Iblis rupanya meyakini bahwa tidak ada orang yang mau hidup benar tanpa pamrih. Dalam kasus ini, kebijakan Allahlah yang diuji, bukan Ayub.

Tema-tema Utama

1. Hukum Tabur-Tuai

Hukum tabur-tuai yang seringkali digemakan oleh sahabat-sahabat Ayub sangat mendominasi kitab Ayub. Hukum ini berkata bahwa: Jika seorang hidup benar, dia akan makmur. Jika seorang hidup jahat, dia akan menderita. Hukum ini rupanya cukup terkenal pada zaman Ayub. Oleh karena itu, sahabat-sahabat Ayub mempercayai bahwa Ayub yang sedang bernasib malang itu disebabkan karena ia berbuat jahat.

Meski hukum ini sangat populer pada waktu itu, namun hukum tersebut hanyalah salah satu dari kebenaran. Maksudnya, hukum tabur-tuai tidak selalu dapat dipakai untuk menilai kemakmuran atau penderitaan yang dialami seseorang. Tapi meski demikian, ada satu kebenaran yang paling pasti, yakni bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini bergantung pada kedaulatan Allah. Kita seringkali tidak dapat mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan sebuah penderitaan itu terjadi, namun kita dapat terhibur oleh keyakinan bahwa segala sesuatu berada dalam tangan Allah yang berdaulat dan tidak terbatas hikmat-Nya.

2. Kedaulatan Allah

Sifat kedaulatan Allah adalah tema penting yang terdapat dalam kitab Ayub. Dimulai dari pasal 1 dan 2, kedaulatan Allah tampak jelas ketika Iblis mengadakan perundingan dengan Allah mengenai Ayub. Dari kedua pasal tersebut, kita dapat melihat bahwa kekuasaan Iblis dibatasi oleh kedaulatan Allah sehingga ia harus meminta izin kepada Allah untuk mencobai Ayub. Selain itu, kedaulatan Allah kembali dinyatakan pada pasal 38-42. Atas kedaulatan Allah, Ayub dipulihkan dari penderitaannya. Bahkan, ia diberkati oleh Allah dengan berkat yang berkali-kali lipat dari keadaan sebelumnya. Jadi, atas kedaulatan Allahlah, Iblis tidak berhasil mengalahkan iman Ayub.

3. Perantara

Persoalan mengenai seorang perantara yang dapat menolong Ayub muncul beberapa kali dalam kitab ini (5:1; 9:33; 16:18-22; 19:25-27; 33:23). Ayub memohon agar ia dapat dibantu oleh seorang perantara. Ia yakin bahwa seorang perantara akan muncul (19:25-27). Siapakah perantara itu? Pertanyaan ini sulit dijawab dengan pasti. Banyak sarjana masih memperdebatkan setiap jawaban atas pertanyaan sulit ini. Namun yang pasti, Ayub mengharapkan agar perantara itu berperan sebagai pembela dalam “persidangan” antara Ayub dan Allah.

Disadur dari:

  • Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survei Perjanjian Lama.
  • The NIV Study Bible
  • David Atkinson, Ayub.