Edisi : Kamis, 24 Desember 2009 , Hal.4 |
Kesederhanaan Natal |
Warren Edward Buffett adalah nama yang pasti tidak asing lagi di telinga kalangan pengusaha Amerika Serikat (AS). Pria kelahiran Kota Omaha, Nebraska, AS ini terkenal sebagai investor dan pengusaha raksasa dengan perkiraan pendapatan bersih US$44 miliar pada tahun 2005. |
Pada 2008, total kekayaannya mencapai US$62 miliar. Majalah bisnis Forbes mendudukannya sebagai orang terkaya di dunia pada tahun 2008. Tentu Anda sudah bisa membayangkan apa saja yang ia miliki saat ini. Tapi menariknya, sewaktu diwawancarai stasiun televisi CNBC, kesan kemewahan yang dibayangkan itu justru tidak tampak. Justru sebaliknya, kesan kesederhanaanlah yang sangat tampak dalam kehidupannya selama ini. Hingga saat ini, ia hidup dalam sebuah rumah kecil di tengah Kota Omaha dengan tiga kamar tidur. Rumah yang sudah ditinggali sejak 50 tahun lalu setelah pernikahannya itu tidak memiliki tembok ataupun pagar yang mengelilinginya. Meski jauh dari kesan mewah, tapi ia mengatakan, ”Aku memiliki segalanya di rumah ini.” Ia menyetir mobilnya sendiri dan tidak memiliki seorang sopir maupun petugas keamanan di sekitarnya. Ia tidak pernah bepergian dengan pesawat jet pribadinya, meski ia memiliki perusahaan pesawat jet terbesar di dunia. Ia tidak banyak bergaul dengan kelompok sosial-ekonomi papan atas. Ia tidak memiliki telepon genggam atau komputer di mejanya. Di depan kaum muda, ia sering berpesan beberapa hal, antara lain, pertama, uang tidak menciptakan manusia, tapi manusialah yang menciptakan uang. Kedua, jalani kehidupanmu sesederhana mungkin. Ketiga, jangan buang uangmu untuk hal-hal yang tidak berguna, tapi sisihkan uangmu untuk orang-orang yang membutuhkan. Kesederhanaan hidup Warren E Buffett pasti amat mencengangkan banyak orang. Bagaimana mungkin orang yang amat kaya, bahkan terkaya di dunia, bisa hidup sesederhana itu? Ini amatlah langka, tapi patut dijadikan pedoman hidup orang lain dalam lautan konsumerisme saat ini. Tapi ini baru seorang yang bernama Warren E Buffett. Belum seorang yang bernama Yesus Kristus. Lukas 2: 11-12 mencatat perkataan malaikat kepada para gembala di padang. ”Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.” Bayangkan, Yesus bukan saja pribadi yang terkaya di dunia, tapi termaha di dunia dan seluruh jagat raya. Mahakaya, Maha Ada, Mahakuasa dan maha-maha lainnya. Tapi bagaimana mungkin Ia bisa lahir di tempat yang amat sederhana itu? Bagaimana mungkin Ia bisa lahir lewat seorang wanita yang tidak terkenal? Bagaimana mungkin Ia bisa lahir dari seorang anak tukang kayu? Di Hari Natal yang berbahagia ini, marilah kita bukan hanya mengagumi kesederhanaan hidup Yesus, tapi juga menjalani kesederhanaan itu sendiri. Ingat, hari Natal pada awalnya bukanlah hari yang penuh dengan riuh-gemuruh pesta, makanan yang mewah dan dekorasi yang mahal. Sebaliknya, Natal awalnya adalah hari yang amat sepi, amat sunyi dan yang pasti amat sederhana. Kembalilah pada semangat Natal mula-mula, yaitu semangat kesederhanaan. Kemewahan dunuawi Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran, negara yang kaya minyaknya, pernah diwawancarai oleh TV Fox AS soal kehidupan pribadinya. Pertanyaan yang ditujukan padanya adalah, ”Saat Anda melihat di depan cermin setiap pagi, apa yang Anda katakan pada diri Anda?” Jawab Ahmadinejad adalah, ”Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya: Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran.” Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenannya adalah tas sederhana yang tiap hari dibawanya berisi roti keju buatan istrinya. Ia memakannya dengan gembira. Ia juga menghentikan kebiasaan makan makanan khusus kepresidenan. Selain soal makanan, ia juga tidak mau memakai pesawat terbang kepresidenan. Ia meminta terbang dengan pesawat kelas ekonomi. Wow, mengagumkan! Tapi sekali lagi jangan hanya kagum. Segeralah susuri jalan kesederhanaan tersebut mulai dari sekarang. Ingat, kehidupan yang sederhana adalah semangat Natal mula-mula. Jangan kita cemari dengan pola hidup yang ingin menunjukkan kemewahan duniawi. Henry W Longfellow, seorang penyair, mengatakan, ”In character, in manner, in style, in all things, the supreme exellence is simplicity (dalam karakter, sikap, gaya, dalam segala hal, kesederhanaan adalah hal yang terindah).” - Oleh : Andrew Abdi Setiawan, Rohaniwan di Gereja Kristen Kalam Kudus Solo |
Thursday, December 24, 2009
SOLOPOS
Tuesday, August 04, 2009
LEBAT TAPI TAK BERBUAH

Lebat tapi Tak Berbuah.
Selamat membaca!
(Pdt. Jimmy Singal--Ketua Yayasan Kalam Kudus Indonesia)
Wednesday, May 20, 2009
Something to Leave: Renungan dari Panggung Politik
Selasa, 19 Mei 2009 | 15:46 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Penilaian terhadap Boediono sebagai Muslim yang lurus dengan pribadi yang jujur, sederhana, dan konsisten diungkapkan secara gamblang oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai alasannya memilih Gubernur BI itu untuk mendampinginya sebagai calon wakil presiden.
Di sisi lain, secara profesional mantan Menko Perekonomian ini pun dikenal sebagai akademisi yang berpikir utuh, loyal, cermat, dan jauh dari keinginan mencari muka. Itulah sederet alasan SBY yang diungkapkannya saat pendeklarasian pasangan SBY Boediono di Sabuga, Bandung, Jumat lalu.
Lantas bagaimana cerita Boediono sendiri? Apa yang terpikirkan olehnya saat pertama kali mendapat tawaran tersebut? Mengapa ia bersedia?
Siang ini (Selasa, 19/5), Boediono bersama rombongan berkunjung ke kantor harian Kompas di kawasan Palmerah, Jakarta. Dalam dialog dengan sang cawapres, antara lain terungkap sekelumit cerita seputar pencalonannya.
Di sini, Boediono mengaku bahwa pendekatan yang dilakukan SBY terhadap dirinya sudah dilakukan tiga atau empat minggu sebelum pendeklarasian. Dan dilanjutkan dengan sejumlah pertemuan sebelum akhirnya Boediono menyanggupi tawaran tersebut.
"Gini ya, kalau saudara-saudara pada suatu saat mungkin dipanggil oleh Presiden, the President of your country, untuk ngomong-ngomong mengenai masalah bangsa, kemudian memberikan ruang bahwa look ini ada ruang, di mana saudara bisa ambil peran ke depan. Kemudian ditawari would you mendampingi saya? Jawabannya gimana sih? Enggak banyak yang bisa kita lakukan kecuali, ya Pak, segera," kata Boediono.
Namun, toh tidak semudah itu. Boediono mengaku sempat meminta waktu cukup lama sebelum memberikan jawabannya. "Saya meminta waktu yang cukup banyak untuk merenung, sebenarnya. Apa iya saya cocok dan sebagainya. Ini saya pikir juga dengan keluarga dan sebagainya. BI bagaimana? Itu masuk dalam pikiran saya sebelum saya memutuskan. Jadi bukan serta-merta waktu itu. Itu makan waktu tiga mingguan, mungkin lebih, dari awalnya. Suatu proses, bukan mendadak, kemudian diputuskan oleh kedua belah pihak," tuturnya lagi.
Yang lebih menarik, pendekatan SBY ternyata diakui Boediono telah dirasakannya jauh sebelum mereka bertemu. Melalui percakapan per telepon yang sudah dilakukan SBY, Boediono sebenarnya sudah menduga mengenai sesuatu hal yang akan diberikan oleh SBY. "Sebelum itu saya sudah bisa merasakan ada sesuatu dari Pak SBY kok. Yang mungkin saya baru diajak ngomong tentang sesuatu. Signal melalui hubungan telepon pun ada. Getarannya bisa ditangkap gitu ya," katanya sambil tertawa.
Namun, ia kembali menegaskan bahwa tawaran resmi dari SBY baru diterimanya sekitar tiga minggu silam. Dan, jawaban kesediaan Boediono baru disampaikan pada sebuah acara di Cikeas hari Minggu sebelum pendeklarasian. "Saya kan tidak bisa mengatakan iya. Karena saya bukan politikus. Kalau politikus seketika bilang iya pasti. Kalau saya mikir dulu. Dengan keluarga dengan macem-macem. Tapi akhirnya baru mungkin syukuran di Cikeas, Minggu malam, malamnya kami ketemu lagi. Jadi belum lama juga ya? Tapi prosesnya panjang. Saya bertekad untuk tidak jadi ban serep. Titik," tegasnya.
Boediono menerima tawaran tersebut karena ia meyakini ada kesempatan baginya untuk memberikan kontribusi lebih besar sesuai kapabilitasnya. "Satu hal yang saya tidak ingin adalah saya jadi ban serep. Itu. Dari awal saya sudah tekad begitu. Dan saya melihat pengalaman saya beberapa waktu dengan Pak SBY ini, beliau itu orangnya terbuka. Mendengarkan, dan kalau itu idenya bagus, akhirnya diterima. Kapasitas untuk mendengarkan itu ada. Ini saya timbang-timbang juga sebagai bahan untuk mengambil, ok yes," ujarnya.
Dengan jujur ia pun mengaku bahwa jaminan finansialnya akan membaik jika pencalonan ini berjalan dengan mulus. Namun, ia menegaskan bukan hal itu yang menjadi perhatiannya. "Kalau dipikir saya ya lebih enak dipilih. Dari berbagai segi, termasuk finansial, saya yakin lebih baik. Tapi bukan itu. Saya tidak mencari itu. Saya kira, kalau sudah mendekati lap atau putaran hidup yang terakhir, ya akhirnya you want something to leave di dunia. Itu saja, there's nothing more than that," katanya lagi.
"Intinya, sebelumnya saya tidak menandatangani apa-apa dengan Presiden. Dengan pengertian itu. Pengertian bahwa saya tidak jadi ban serep. Dan saya percaya itu bisa, tidak harus pakai kontrak-kontrak politik hitam putih. Kalau saya bisa merasakan style beliau, tampaknya ada ruang bagi saya untuk melakukan kontribusi yang lebih baik," demikian Boediono.
http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/05/19/1546498/kenapa.boediono.mau.jadi.cawapresPerkataan yang satu itu kembali mengingatkan saya akan something to leave di dunia ini. Apa yang telah saya tinggalkan dalam dunia ini? Karya dan sumbangsih apa yang dapat dikenang oleh orang banyak? Bukan sebuah narsisme, namun bukankah kita memang perlu menjadi berkat seluas mungkin semasa hidup?
Apakah something to leave itu dari saya? Dan bagaimana mewujudkannya? Biarlah ini menjadi perenungan saya dan Anda, bila berkenan. Tapi jangan lupa, jangan hanya merenung saja, do it as soon as possible sebab kita tidak pernah tahu kapan putaran hidup yang terakhir itu terjadi.
Thursday, April 09, 2009
Perempuan Pemberita Paskah: Maria Magdalena
Yohanes 20: 18
“Swargo nunut, neroko katut,” demikian sebuah ucapan dalam bahasa Jawa. Maksudnya, istri harus menurut saja kepada suami. Kalau suami masuk sorga, istri pun ikut. Sebaliknya kalau suami masuk neraka, maka istri pun juga terbawa. Sudah lama perempuan dianggap tidak mampu dan bahkan tidak boleh berdiri sendiri. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa perempuan hanya mengurus 3M saja: Manak, Masak, dan Macak. Tentu dengan semakin gencarnya modernitas yang disertai dengan gerakan kesetaraan perempuan, maka saat ini makin banyak perempuan yang bisa berdikari dengan leluasa. Banyak perempuan yang diperhitungkan dalam kancah pekerjaan, bahkan dalam kancah perpolitikan.
Namun situasi seperti itu tidak dialami dalam masyarakat Yahudi 2000 tahun yang lalu. Perempuan sangat direndahkan derajatnya. Contoh yang mungkin paling menjengkelkan para perempuan adalah kasus perzinahan. Hukuman apa yang diberikan bagi perempuan berzinah? Dirajam batu. Tapi kenapa hanya perempuan yang dirajam batu? Bagaimana dengan laki-laki yang ikut berzinah dengan perempuan tersebut? Wes hewes hewes bablas orange . . . Contoh lainnya adalah dalam hal jabatan. Waktu itu semua jabatan penting, seperti jabatan keagamaan, ada di tangan laki-laki. Tidak pernah ada pengkhotbah/pengajar perempuan saat itu. Soal kehidupan berkeluarga, perempuan pun tidak masuk hitungan. Bila orang Yahudi ditanya berapa jumlah anaknya, maka yang disebut hanyalah anak laki-lakinya saja.
Dalam dunia pengadilan perempuan juga tidak mendapatkan keadilan yang setara dengan pria. Saat itu seorang perempuan tidak boleh memberi kesaksian. Kesaksian perempuan selalu dianggap bohong. Masyarakat Yahudi tidak menerima seorang perempuan sebagai saksi.
Tapi apa yang terjadi pada waktu Paskah? Allah menjungkirbalikkan budaya tersebut. Di tengah masyarakat yang tidak mau menerima perempuan sebagai saksi, Allah justru menjadikan perempuan sebagai saksi kebangkitan Kristus. Saksi atas perkara yang terbesar dalam dunia berdosa ini. Dan hal itu bukan hanya dicatat oleh satu atau dua kitab Injil, melainkan keempat Injil mencatatnya. Para perempuan itu adalah Maria Magdalena, Maria Ibu Yakobus, Salome, Yohana. Mereka adalah para perempuan pemberita Paskah. Lantas apa yang mereka lakukan?
Hari ini kita akan lebih fokus pada salah satu tokoh agar perenungan Paskah kita makin dalam. Satu tokoh tersebut adalah Maria Magdalena.
Siapakah Maria Magdalena? Sayang sekali, nama Maria Magdalena seringkali dihubungkan dengan pelanggaran moral. Orang-orang membicarakan dia sebagai seorang pelacur. Pada tahun 1324 di Napoli, Italia, sebuah rumah penampungan wanita-wanita asusila diberi nama Pondok Maria Magdalena. Nah nama Maria Magdalena akhirnya menjadi bertambah buruk lagi. Tapi sesungguhnya, apakah nama itu sedemikian buruknya sehingga ia tidak patut dijadikan teladan?
Sebelum bertemu dengan Tuhan Yesus, Maria memang adalah seorang perempuan yang patut dikasihani. Ia baru mengerti betapa dahulu ia patut dikasihani ketika melihat orang-orang lain yang dirasuk setan. Markus 16: 9 memberi keterangan bahwa Yesus pernah mengusir 7 setan dari dalam Maria. Biasanya orang-orang yang dirasuk setan waktu itu benar-benar seperti binatang, yang hidupnya berkeliaran di gua-gua, orang-orang gila yang wajahnya tidak karuan, dan matanya sangat liar. Mereka diciptakan Allah tetapi dikuasai Iblis. Tatkala dikuasai Iblis, Maria menjadi tidak berdaya sama sekali. Ia pasti dikucilkan. Betapa malang nasib Maria. Budaya telah merendahkan derajatnya, dan ditambah lagi Iblis merendahkan dirinya. Martabatnya semakin rendah lagi. Sudah jatuh ketimpa tangga.
Namun setelah Tuhan Yesus memerintahkan ketujuh roh jahat itu keluar dari Maria, maka segala sesuatu pada dirinya berubah. Maria yang terbelenggu oleh Iblis, kini dimerdekakan oleh Kristus. Wajahnya pasti berubah menjadi lebih baik lagi. Tatapan matanya pun menjadi teduh. Tapi ingat, Maria tidak hanya berubah secara fisiknya. Hatinya pun berubah. Setelah disembuhkan, ia tidak mau berpisah dengan Yesus. Ada satu kerinduan besar untuk tinggal dekat dengan Yesus. Sebab itu, ia berani meninggalkan Kota Magadan, sebuah kota industri yang sedang berkembang, untuk mengikuti Yesus ke manapun Yesus pergi.
Pelajaran pertama dari keteladanan Maria untuk kita adalah: Apakah setelah Yesus membebaskan kita dari belenggu dosa kita memiliki kerinduan untuk tinggal dekat dengan Yesus? Apakah kita memiliki cinta yang mendalam sampai rasanya berat kalau tidak bertemu Yesus dalam doa dan saat teduh kita?
Satu ketika di persekutuan Lansia kami, ada perayaan ultah pernikahan emas sepasang anggota jemaat. Yang menarik adalah kesaksian dari istrinya tentang suaminya. Ia berkata, “Oom sangat mencintai saya . . . bahkan rasanya dia lebih cinta saya ketimbang saya cinta dia. Kalau saya pergi dan dak pulang-pulang, Oom nungguin terus di rumah. Dan setelah datang, Oom berkata, “Kowe teko endi wae . . . kok sue toh.”
Saya tahu memang tidak semua pasangan memiliki pernikahan seperti mereka. Memang ada pernikahan yang kurang sehat sehingga pasangan saling berkata, “Tek no wae, mulih ora mulih karepe . . .” Jadi berpisah lama dengan pasangan pun tidak masalah.
Tapi bukankah perkataan itu menunjukkan seberapa buruknya pernikahan itu? Demikian pula dalam hubungan kita dengan Tuhan. Apabila kita merasa tidak masalah berpisah lama dengan Tuhan, merasa tidak ada pengaruhnya kalau tidak bersaat teduh dalam waktu lama, maka itu menunjukkan seberapa buruknya hubungan kita dengan Tuhan. Atau malah jangan-jangan kita sendiri belum dibebaskan dari belenggu dosa? Sama seperti Maria Magdalena, seorang yang telah dimerdekakan oleh Yesus, maka dengan sendirinya ia memiliki kerinduan untuk selalu tinggal dekat dengan Yesus.
Kisah Maria Magdalena kembali berlanjut. Kerinduan Maria masih sama. Tetap tinggal dekat dengan Yesus. Ketika Yesus harus menapaki via dolorosa hingga kayu salib, Maria tetap setia mengikuti-Nya. Tapi hebatnya, kasih Maria tidak berhenti pada Yesus pada waktu Yesus mati di atas kayu salib.
Setelah lewat hari Sabat, dan sementara seluruh penduduk kota masih tidur, Maria bersama beberapa perempuan lainnya pergi ke kubur. Pikirannya adalah ia akan mengurapi mayat Yesus dengan minyak rempah-rempah. Tapi pada saat Maria tiba di depan kubur Yesus, ia sangat terkejut karena batu penutup yang besar itu terguling. Maria sangat sedih karena pikirnya mayat Yesus telah dicuri. Tapi singkat cerita, akhirnya Maria berjumpa kembali dengan Yesus dalam tubuh kemuliaan. Lantas ini yang menarik, Alkitab mencatat, “Maria Magdalena pergi dan berkata kepada murid-murid, ‘Aku telah melihat Tuhan!’” Perjumpaan dengan Yesus telah membuat hati Maria berkobar-kobar untuk memberitakan Yesus kepada orang lain. Tadinya Maria merasa sedih, sekarang ia merasa antusias untuk memberitakan Yesus.
Pelajaran kedua dari keteladanan Maria untuk kita adalah: Apakah hati kita berkobar-kobar/antusias untuk memberitakan Yesus? Saya adalah asli arek Suroboyo. Ketika pertama kalinya datang ke kota Solo, saya pesan soto ayam di depot Kirana. Betapa terkejutnya saya ketika melihat soto tersebut. Kuahnya bening. Saya berpikir, apakah saya salah pesan. Mungkin saya memesan sup ayam. Hati saya kecewa karena dalam bayangan saya kuah soto seharusnya berwarna kuning.
Dalam perjalanan waktu tinggal di Solo, saya akhirnya menemukan beberapa depot yang menyajikan makanan Jatim, termasuk soto ayam yang kuning itu. Betapa gembira hati saya. Karena kegembiraan tersebut, maka dengan sangat antusias saya segera woro-woro ke rekan-rekan hamba Tuhan. “Eh ada soto uenak tenan di sana,” demikian kata saya waktu itu. Saya yakin Anda pun punya depot favorit yang menyajikan makanan kesukaan Anda. Dan saya yakin Anda pun antusias memberitahu teman-teman di mana depot tersebut, bukan?
Lalu entah mengapa saya merenungkan, kenapa kita lebih antusias memberitakan soal makanan ketimbang soal Yesus yang bangkit dari kematian itu? Kenapa kita lebih antusias memberitakan soal toko-toko baju yang menawarkan diskon ketimbang soal Yesus yang menawarkan keselamatan manusia? Dan yang lebih celaka lagi, kenapa kita lebih antusias memberitakan kabar buruk orang lain ketimbang kabar baik Injil Yesus Kristus?
Buletin Open Doors edisi November-Desember 2006, memuat berita tentang 3 orang guru Sekolah Minggu, yaitu: Ibu Rebekka, Ibu Eti, dan Ibu Ratna yang dipenjara 3 (tiga) tahun di Penjara Indramayu, Jawa Barat karena dituduh telah memaksa anak-anak Muslim menjadi Kristen melalui program Minggu Ceria. Ketika dikunjungi Tim Open Doors, ketiga ibu ini tidak tampak sedih atau stress, tetapi justru memancarkan ekspresi wajah yang penuh sukacita. Ibu Rebekka malah mengatakan “Kami sungguh bersukacita boleh menikmati penderitaan dalam penjara karena Kristus. Menderita bagi Kristus adalah normal.” Di dalam penjara mereka tetap melayani Tuhan, bahkan dapat memberitakan Injil kepada teman-teman di dalam penjara dan mengadakan ibadah rutin di dalam penjara.
Apa yang kita lihat? Perjumpaan dengan Yesus secara pribadi telah membuat hati mereka antusias memberitakan Injil keselamatan. Antusiasme untuk memberitakan Injil itu terasa sangat kuat sehingga tidak dapat dibatasi dengan jeruji penjara. Sebab itu di dalam penjara pun mereka tetap melayani Tuhan dan mengabarkan Injil kepada teman-teman di penjara.
Apapun status sosial dan ekonominya, kita tetap dapat memberitakan Yesus dengan beragam cara. Istri saya pernah bercerita: Dulu waktu SMP murid-murid sering disuruh untuk menghafalkan ayat-ayat. Agar istri saya dapat belajar dan sekaligus menginjili pembantunya, maka ia meminta pembantunya untuk bedeki. Kreatif, bukan? Masakan kita kalah kreatif dengan anak SMP? Yang terpenting adalah hati kita yang terangkum dalam 5 M: Mau, Mau, Mau, Mau, Mau.
Allah menghargai kaum perempuan. Bukti paling jelas adalah ketika kesempatan menyaksikan kebangkitan Yesus diberikan pertama kalinya kepada para perempuan. Kita patut berbesar hati karena Allah juga berada di pihak kaum perempuan. Tapi kita tidak boleh terlena dengan penghargaan Allah. Ada tugas selanjutnya yang perlu kita kerjakan: Tinggallah dekat dengan Yesus dan beritakanlah Yesus. Selamat Paskah!
Tuesday, March 10, 2009
Ekonomi Susah, Warga Amerika Makin Tinggalkan Agama
Riset tahunan yang diadakan badan pemerintah urusan agama itu menemukan 15 persen responden di seluruh negara bagian menyatakan bahwa mereka kini tidak beragama. Persentase tersebut meningkat 1,5 persen daripada hasil survei yang sama pada 2001 dan dua kali lipat daripada hasil survei 1990.
Dari persebarannya, negara-negara bagian di wilayah New England (meliputi negara-negara di pantai timur mulai New York sampai Chicago) adalah tempat penganut kelompok non-agama dengan persentase sampai 34 persen. "Namun, dari keseluruhan pengamatan, kelompok ateis meningkat di semua negara bagian," ujar pernyataan penyelenggara survei yang dilakukan terhadap 54.461 warga dewasa di 50 negara bagian itu. Survei tersebut berlangsung mulai November tahun lalu hingga Februari 2009 dengan margin kesalahan 0,5 persen.
Sebagai agama terbesar yang dipeluk warga AS, Kristen mengalami penurunan pengikut terbesar. Sebelumnya, hampir 8 di antara 10 orang Amerika adalah pemeluk Kristen (Katolik, Protestan, Mormon, Ortodoks, dan lain-lain). "Angka warga Amerika yang melaporkan diri sebagai penganut Kristen tinggal sekitar 51 persen," lanjut bunyi hasil survei itu.
Kristen bukan satu-satunya agama yang makin kehilangan tempat di Amerika Serikat. Tren penurunan pemeluk juga dialami agama-agama lain, seperti Yahudi yang diyakini oleh 1,7 persen warga AS, Buddha 0,7 persen, dan Islam 0,6 persen. Peningkatan hanya terjadi pada gerakan kepercayaan yang tidak meyakini Tuhan sebagai satu-satunya kekuasaan tertinggi (monoteisme), seperti Scientology, Wicca, dan Santeria. Penganut gerakan kepercayaan baru tersebut meningkat 1,2 persen. (AP/kim)
http://jawapos.co.id/
Monday, February 16, 2009
GAYA HIDUP MEMBERI
Kisah Para Rasul 2: 44-45
“. . . dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai keperluan masing-masing”
Pada suatu hari, seorang pemuda menyatakan bahwa dialah pemilik hati yang terindah di kotanya. Banyak orang berkumpul dan mengagumi hatinya karena memang benar-benar sempurna. Tidak ada cacat atau goresan secuilpun di hati sang pemuda. Ia sangat bangga dan mulai menyombongkan hatinya. Tiba-tiba, seorang lelaki tua menyeruak dari kerumunan, tampil ke depan dan berkata, “Mengapa hatimu masih belum seindah hatiku?”
Semua yang hadir melihat hati pak tua itu sambil kebingungan dengan perkataannya tadi. Mengapa bingung? Karena hati pak tua terlihat penuh dengan bekas luka. Jelek kelihatannya. Ada bekas potongan hati yang diambil dan ada potongan yang lain ditempatkan di situ. Penempatan yang tidak benar-benar pas, sehingga tidak rata. Bahkan, ada bagian-bagian yang berlubang karena dicungkil dan tidak ditutup kembali. Orang-orang tercengang dan berpikir, bagaimana mungkin pak tua itu mengatakan bahwa hatinya lebih indah?
Sang pemuda melihat kepada pak tua, memerhatikan hati yang dimilikinya dan tertawa, “Anda pasti bercanda, pak tua,” katanya, “bandingkan hatimu dengan hatiku, hatiku sangatlah sempurna, sedangkan hatimu tak lebih dari kumpulan bekas luka dan cabikan.”
“Ya”, kata pak tua, “hatimu kelihatan sangat sempurna, meski demikian aku tak akan menukar hatiku dengan hatimu. Lihatlah, setiap bekas luka ini adalah tanda dari orang-orang yang kepadanya kuberikan kasihku, aku menyobek sebagian dari hatiku untuk kuberikan kepada mereka, dan seringkali mereka juga memberikan sesobek hati mereka untuk menutup kembali sobekan yang kuberikan. Setiap sobekan tidak sama. Ada bagian-bagian yang kasar yang sangat aku hargai karena mengingatkanku akan cinta kasih yang telah bersama-sama kami bagikan. Meskipun bekas cabikan itu menyakitkan, dan tetap terbuka, hal itu mengingatkanku akan cinta kasihku pada orang-orang, dan aku berharap, suatu ketika nanti mereka akan kembali dan mengisi lubang-lubang yang ada.
“Sekarang, tahukah engkau keindahan hati yang sesungguhnya?” kata pak tua. Sang pemuda berdiri membisu dan air mata mulai mengalir di pipinya. Ia berjalan ke arah pak tua, menggapai hatinya yang begitu muda dan indah, lalu merobeknya sepotong. Sang pemuda memberikan robekan hatinya kepada pak tua dengan tangan gemetar. Pak tua lalu menerima pemberiannya, menaruh di hatinya, dan kemudian mengambil sesobek dari hatinya yang sudah amat tua dan penuh luka. Ia lalu memberikannya untuk menutupi luka hati dari si pemuda. Mereka berbagi kasih.
Meneladani pak tua itu, akhirnya si pemuda tadi belajar memberi. Memberi, seperti yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul tadi, merupakan ciri khas yang sangat jelas dalam sebuah persekutuan kristiani. Ini pulalah cara hidup jemaat mula-mula. Rupanya kehidupan memberi telah mendarah daging dalam diri mereka. Coba perhatikan kata “selalu” dalam ayat 45. Kata tersebut dipakai untuk menerangkan tentang adanya jemaat yang berbagi kasih secara terus-menerus pada orang lain yang membutuhkan sesuatu. Seakan-akan ini telah menjadi sebuah gaya hidup yang telah berjalan otomatis. Dan gaya hidup memberi ini jugalah yang disukai Tuhan.
Sudahkah kita memiliki gaya hidup memberi? Sudah tentu memberi di sini tidak hanya dalam bentuk materi, seperti uang, pakaian, barang-barang tertentu. Bahkan, menurut Arvan Pradiansyah, seorang pelatih manajemen SDM, pemberian materi merupakan pemberian dalam tingkat paling dasar. Selain materi, ada pula pemberian yang lebih tinggi, yaitu memberi perhatian. Bentuk pemberian seperti ini yang kadang justru terabaikan. Selama pelayanannya kepada sesama manusia, Ibu Teresa justru menemukan bahwa yang terpenting sebenarnya bukanlah sekadar memasakkan makanan serta membagikannya. Yang terbaik adalah menyapa dan berbicara dengan penuh perhatian kepada orang lain. Tidak heran bila seorang lelaki yang tinggal di rumah kardus yang mendapatkan perhatian dari Ibu Teresa lalu berkata, “Sudah begitu lama saya tidak merasakan kehangatan tangan manusia.” Apakah kita telah memberi perhatian kepada sesama kita? Apakah kita telah memberi perhatian tatkala berbicara dengan orang lain?
Terlepas dari pandangan Katoliknya, Ibu Teresa pernah mengatakan satu hal yang dapat menggugah hati kita: “Di dalam akhir hidup kita, kita tidak akan dihakimi dengan seberapa banyak gelar yang kita miliki, atau seberapa banyak uang yang telah kita kumpulkan, atau seberapa banyak perkara besar yang telah kita lakukan. Kita akan dihakimi dengan ‘Ketika Aku lapar kamu memberi Aku makanan, ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian, ketika Aku tidak punya rumah, kamu memberi Aku tumpangan . . .'”
Thursday, February 12, 2009
SABAR DAN SABAR DAN SABAR!
“. . . Sabarlah terhadap semua orang.”
1 Tesalonika 5: 14
Pelajarilah seni sabar.
Disiplinkan pikiranmu saat pikiran-pikiran tak sabar
untuk meraih tujuan.
Tak sabar memicu kegelisahan, ketakutan, keputusasaan,
dan kegagalan.
Sabar menciptakan keyakinan, kepastian,
dan cara berpikir rasional,
bahkan mendatangkan sukses (Bryan Adams)
Setiap kali pergi makan ke KFC, kita pasti melihat patung atau gambar seorang kakek tua dengan jenggot putihnya. Tahukah Andah siapa nama kolonel tersebut? Ia adalah kolonel Sanders. Tidak banyak orang tahu perjalanan berat mencapai kesuksesannya. Sanders baru memulai usaha menggoreng ayam di usia 60 tahun. Lalu ia menawarkan resep ayam gorengnya dari satu restoran ke restoran lainnya. Restoran pertama menolak resep barunya. Restoran kedua, ketiga, keempat, kelima, dan restoran-restoran berikutnya terus menolak resep ayam gorengnya. Sanders tidak patah semangat. Ia terus menawarkan dan menawarkan. Akhirnya, resep ayam gorengnya baru diterima oleh restoran yang ke 108. Ia baru menikmati hasil kerja kerasnya pada usia 90 tahun. Jadi, selama 30 tahun ia berjuang dan terus berjuang. Inilah contoh kesabaran seorang manusia.
Apa artinya sabar? Dalam 1 Tesalonika 5: 14, kata “sabar” berarti “panjang menderita”. Orang yang menderita karena satu penyakit pasti akan ada titik akhirnya. Entah akhirnya sembuh atau meninggal; yang pasti penderitaan itu ada titik akhirnya. Tapi dalam hal ini Paulus tidak berbicara mengenai titik akhir penderitaan; ia justru berbicara mengenai panjangnya penderitaan seseorang. Proses yang menjadi pembicaraan utamanya. Sebab itu, sabar dapat diartikan sebagai: menikmati proses daripada hasil akhirnya.
Kebanyakan kita tidak menikmati sebuah proses. Tuntutan “mana hasilnya” selalu membayangi kehidupan kita. Dunia kerja adalah satu lembaga yang mungkin paling banyak menuntut hasil ketimbang prosesnya. Dunia rumah tangga pun juga tidak kebal dari tuntutan hasil. Seorang wanita merasa sangat sakit hati terhadap mantan suaminya. Mengapa? Ia diceraikan suaminya karena dianggap tidak dapat memberikan keturunan dalam pernikahan yang sudah berjalan selama 2 tahun. Mantan suami dan pihak keluarganya mengatakan bahwa dia mandul. Yang lebih menyakitkan lagi adalah mantan suaminya mengatakan, “Tuh benar kan, kamu yang mandul, buktinya sekarang saya nikah lagi dan langsung memiliki anak.” Ini tuntutan hasil yang terjadi juga dalam dunia rumah tangga. Memang budaya menuntut hasil tampaknya telah mendarah daging dalam kehidupan kita.
Padahal, tahukah Anda bahwa proses sebenarnya jauh lebih penting ketimbang hasilnya? Bayangkan kita sedang menonton pertandingan sepak bola. Manakah yang lebih kita nikmati: melihat proses pertandingan atau mengetahui hasilnya? Mengapa para penggemar sepak bola rela mengorbankan waktu tidur mereka pada malam hari demi menyaksikan pertandingan sepak bola? Bukankah hasil pertandingan dapat mereka lihat keesokan hari melalui surat kabar? Tentu karena, bagi mereka, menikmati proses lebih penting ketimbang hasilnya.
Kesabaran berarti kita menikmati proses daripada hasil akhirnya. Nikmatilah prosesnya, itu yang terpenting. Ketika Paulus mengatakan, “Sabarlah terhadap semua orang,” berarti kita perlu belajar menikmati proses pertumbuhan karakter orang lain. Setiap orang memiliki waktu pertumbuhannya masing-masing. Ada yang pertumbuhan karakternya baru kelihatan setelah 2 tahun menjadi orang Kristen. Ada yang membutuhkan 5 tahun. Ada yang membutuhkan 20 tahun, dan seterusnya. Segala sesuatu ada waktunya.
Untuk menutup renungan ini, saya ingin menceritakan sebuah kisah. Sekitar tahun 300 ada seorang ibu yang sabar mendoakan putranya. Ia hidup dalam kebejatan moral. Pada usianya yang ke 17, putranya sudah hidup bersama dengan seorang wanita di luar nikah. Ibu ini sangat hancur hatinya dan ia hanya bisa berdoa dan berdoa. Akhirnya, setelah mendoakan anaknya selama kurang lebih 15 tahun, baru hasilnya tampak. Di usianya yang ke 32 putra kesayangannya bertobat, mau dibaptis. Malahan di usianya yang semakin dewasa ia menghasilkan karya-karya teologi yang menjadi warna gereja kita pula. Putra itu bernama St. Agustinus dan Ibunya bernama Monica.
Ibu Monica tidak pernah tahu hasil akhir doanya. Tapi ia terus sabar dan sabar dan sabar terhadap proses pertumbuhan anaknya.
Marilah kita sabar terhadap semua orang!
Sunday, January 25, 2009
Jalan Pintas . . . Menuju Dosa
1 Samuel 13: 8-12
Segala sesuatu ada waktunya. Itulah rumus kehidupan. Alam semesta dan segala isinya diciptakan Tuhan dalam waktu 6 hari. Manusia hidup berasal dari setetes cairan sperma dan telur yang bertemu. Kemudian dia berkembang menjadi segumpal darah dan daging, dan baru menjadi manusia setelah 9 bulan lamanya. Dibutuhkan waktu 21 hari bagi telur ayam untuk menetas. Segala sesuatu pasti ada waktunya. Itulah, sekali lagi, rumus kehidupan.
Tapi seringkali rumus ini sulit diterima dalam zaman yang serba cepat dan instan. Banyak orang menginginkan perubahan hasil yang instan. Proses yang melelahkan itu tidak ingin dilaluinya. Jalan pintaslah yang seringkali dipilihnya. Banyak orang memilih jalan pintas untuk terlihat pandai dengan cara membeli gelar. Banyak orang memilih jalan pintas untuk terlihat menguasai buku dengan cara membaca ringkasannya saja. Banyak orang memilih jalan pintas untuk menjadi kaya dengan mengikuti hal-hal yang tidak benar. Jalan pintas seringkali dipilih orang-orang. Kalau bisa mudah, kenapa harus sulit? Itu semboyan zaman ini.
Semboyan tersebut tidak selalu salah. Tapi bisa jadi banyak salahnya. Banyak sekali kehidupan di dunia ini yang memerlukan proses dan itulah rumus kehidupan yang tercipta sejak pertama kalinya dunia diciptakan. Hal demikianlah yang ternyata tidak dipahami raja Saul. Ketika akan berperang melawan orang Filistin, Saul tidak sabar menunggu nabi Samuel untuk mempersembahkan korban bakaran. Pikirnya, sudah 7 hari lamanya aku menunggu Samuel sementara rakyatku berteriak-teriak ketakutan karena menghadapi orang Filistin. Terlalu lama menunggunya. Akhirnya, Saul mengambil jalan pintas dengan cara dia sendirilah yang mempersembahkan korban bakaran. Tapi apa akibatnya? Jalan pintas yang diambil justru membuat Allah geram. Inilah sebuah jalan pintas . . . menuju dosa.
Jalan pintas kerapkali ditunggangi Iblis untuk menggoda kita. Masih ingatkah kita akan peristiwa pencobaan Yesus di padang gurun? Dalam pencobaan ketiga yang dicatat Injil Matius, Iblis mengatakan bahwa semua kerajaan dunia dengan kemegahannya akan diberikan kepada Yesus bila Ia sujud menyembahnya. Betapa mudah syaratnya. Hanya sujud menyembah tanpa perlu bekerja keras. Inilah jalan pintas yang seringkali dipakai Iblis untuk menjatuhkan manusia.
Berhati-hatilah dengan tawaran jalan pintas. Kembalilah pada rumus kehidupan yang diciptakan Allah. Segala sesuatu ada waktunya. Kenapa bangsa Israel harus mengalami masa perbudakan selama 400 tahun baru akhirnya dibebaskan? Kenapa bangsa Israel harus berjalan memutari padang gurun selama 40 tahun untuk menuju tanah Kanaan? Kenapa Yesus baru datang ke dunia setelah ribuan tahun yang lalu Adam dan Hawa berbuat dosa? Segala sesuatu ada waktunya. Kembalilah pada rumus kehidupan yang diciptakan Allah.
Banyak sekali tawaran jalan pintas menuju dosa. Tidak hanya di negara kita, di lingkungan gereja dan hamba Tuhan pun bisa terjadi. Cara ini masih efektif untuk menjatuhkan manusia dalam dosa. Waspadalah!
Monday, January 19, 2009
Nyamuk
Ia terbang terus
Tak gampang ia tergerus
Walau hidup tak mudah
Ia tak mudah lelah
Hanya sedikit kesempatan untuk makan
Tapi lebih lama ia bertahan
Nyamuk gemuk
Ia terbang dengan suntuk
Jadi gampang ia tertepuk
Walau hidup terasa makmur
Dikelilingi banyak mangsa bertabur
Tapi jadi banyak lawan untuk bertempur
Sebentar lagi ia gugur
Hidup jangan terlalu empuk
Ia akan cepat lapuk
Kemudian membusuk
Berjalan lurus itu harus berjuang
Walau kadang musti sungsang
Tapi hidup jadi layak dikenang
Membuatnya kekal dan tak pernah usang
http://yesaya6.blogspot.com/2009/01/nyamuk.html
Tuesday, December 09, 2008
HAI KOTA MUNGIL BETLEHEM!
Tapi anehnya, justru dari kota itulah pernah terjadi peristiwa-peristiwa penting. Banyak tokoh penting dalam sejarah kekristenan lahir di kota ini. Misalkan saja raja Daud. Raja yang pernah memerintah Israel selama 40 tahun di Yerusalem ternyata dilahirkan dalam kota mungil Betlehem. Bahkan yang menarik adalah, Daud diurapi menjadi raja oleh nabi Samuel juga di kota Betlehem.
Tokoh berikutnya yang tidak akan kita lupakan adalah Yesus sendiri. Bayangkan saja. Yesus yang adalah Juruselamat dunia dan Raja di atas segala raja itu lahir di kota yang tidak terkenal. Itulah sebabnya, Allah berkata: "Dan engkau Betlehem . . . engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin . . . ." Sebuah kota mungil dan tidak terkenal ternyata dipakai Allah menjadi tempat kelahiran Juruselamat dunia. Siapa yang menyangka?
Terdapat pesan Natal yang penting melalui kisah ini: Kecil bukan berarti tidak berarti. Allah mengasihi dan menghargai apa yang dianggap kecil oleh manusia. Siapakah yang dipilih Allah untuk menjadi murid-murid Yesus? Para nelayan dan pemungut cukai. Mereka adalah orang-orang yang seringkali dianggap remeh atau kecil oleh masyarakat. Tapi justru orang-orang seperti itulah yang dipilih Allah untuk mengubah dunia. Kecil bukan berarti tidak berarti.
Apakah kita hari ini merasa seperti "kota Betlehem"? Apakah kita merasa kecil, tak berdaya, tak berarti, tak berguna, dan terbuang? Mungkin dulu kita merasa berarti karena masih muda, masih kuat, masih berjaya. Tapi ketika sekarang kita tidak seperti yang dulu lagi ,mungkin kita merasa kecil. Ingatlah pesan Natal kali ini, Allah tidak pernah membuang kita. Allah tidak pernah melupakan kita. Siapapun dan apapun kondisi kita, Allah tetap mengasihi dan menghargai kita.
Yesus berkata, "Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekor pun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Sebab itu, janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit" (Mat. 10: 29-31). Perkataan itu kembali menegaskan bahwa sekecil apapun diri kita, Allah tetap mengasihi kita. Ada satu lagu Sekolah Minggu yang berbunyi demikian: "Burung pipit yang kecil dikasihi Tuhan, terlebih diriku dikasihi Tuhan." Ya benar, He loves you!
Thursday, November 27, 2008
HIDUP BERKEMENANGAN

Roma 8: 37
“Tetapi dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.”
"KEAJAIBAN yang hilang," mungkin itulah istilah yang paling pantas diberikan bagi perekonomian Indonesia sejak tahun 1998. Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi begitu hebat. Faktor-faktor yang mempercepat efek negatif perekonomian negara antara lain: menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, ketidakpastian kepemimpinan pasca Soeharto, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia.
Semua rakyat dan termasuk orang Kristen pun turut menderita. Sampai saat ini pun krisis ekonomi masih dirasakan kita. Banyak orang takut kalau-kalau perusahaan mem-PHK dirinya. Banyak orang merasa stress dan akhirnya jatuh sakit karena tempat usahanya semakin sepi pengunjung. Dalam kunjungan beberapa waktu lalu, saya menjumpai seorang jemaat yang menunggu tokonya. Dia berkata, “Toko saya sangat sepi. Dan tahun ini paling sepi. Tahun 2008 adalah tahun yang paling sulit.” Penderitaan itu sangat dekat dengan kita.
Tatkala kita mengalami penderitaan, entah itu kesulitan ekonomi, kesehatan yang terganggu, situasi-situasi tertentu yang menekan dan menjepit kita, maka apa yang perlu dilakukan? Kitab Roma akan memberikan jawabannya. Berbicara soal penderitaan, orang-orang Kristen di kota Roma pun juga mengalaminya. Mereka sering mengalami ketertekanan batin yang luar biasa karena sering dikejar, dianiaya, dibunuh demi mempertahankan iman kristianinya. Mereka hidup dalam kondisi yang mengancam, serba tidak pasti, dan tidak tahu apakah mereka akan hidup esok harinya. Pernahkah kita merasakan kondisi yang tidak pasti seperti demikian?
Seorang pendeta Sri Lanka yang pernah duduk sekelas dengan saya berkata, “Saya benar-benar bisa menghayati apa artinya hidup bergantung pada Tuhan.” Dia baru bisa berkata demikian setelah dia hidup dan melayani di daerah konflik antara tentara nasional dan pemberontak. Di sana tembak-menembak sering terjadi dan mayat-mayat bergeletakan di jalan-jalan. Dan beberapa kali, teman saya ini nyaris tertembak. Selain itu, istrinya juga nyaris tewas. Pada waktu sang istri keluar dari rumah untuk mengunjungi suaminya, 3 menit setelah itu rumahnya terkena bom. Sesudah itu, mereka membangun rumah, tapi tak lama kemudian rumah barunya dijarah dan dibakar massa. Begitulah situasinya di sana. Sebab itu, ia berkata, “Aku tidak pernah tahu apakah aku akan hidup sampai hari esok?” Benar-benar ia hidup dalam situasi yang tidak pasti.
Mungkin seperti itulah situasi jemaat di kota Roma waktu itu. Mereka mengalami berbagai penderitaan yang membuat situasi kehidupan serba tidak pasti. Tapi apa yang Paulus katakan untuk menghibur mereka? Paulus menegaskan, “. . . dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang . . .” Dalam bahasa yang lain dikatakan, “. . . di dalam semuanya itu kita mendapat kemenangan yang sempurna . . .” (BIS). Bagaimana mungkin Paulus berkata bahwa kita adalah orang-orang yang mendapat kemenangan sempurna ketika ada penderitaan yang sangat nyata?
Banyak orang memang sering mengaitkan kemenangan dengan hal-hal yang kelihatan. Contohnya, orang yang mengalahkan persaingan bisnis dengan pesaingnya akan dianggap menang. Orang yang sakit lalu sembuh akan dianggap menang. Orang yang miskin lalu kaya akan dianggap menang. Orang yang juara/berprestasi dalam perlombaan dianggap menang. Inilah arti kemenangan pada umumnya.
Tapi arti kemenangan yang dimaksud Paulus berbeda. Paulus mengaitkan kemenangan yang sempurna dengan kasih Allah. Jelas sekali ia menambahkan alasan mengapa kita bisa menang, yaitu karena, “. . . oleh Dia yang telah mengasihi kita.” Ini artinya dan sekaligus kunci kemenangan sempurna setiap orang Kristen. Kita menang karena Allah telah membuktikan kasih sayang-Nya melalui pengorbanan Kristus di kayu salib. Dan sekali Allah mengasihi kita, maka selamanya Ia akan terus mengasihi kita. Sebab itu, Paulus berkata dengan sangat agung: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan atau kelaparan atau ketelanjangan atau bahaya atau pedang? . . . Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah . . .” (ay. 35, 38-39). Inilah sebuah kemenangan, yaitu ketika kita tidak terpisah dari kasih Allah.
Kemenangan sempurna bukan berarti kita terlepas dari penderitaan. Kemenangan sempurna bukan berarti kita terlepas dari sakit penyakit. Kemenangan sempurna bukan berarti kita terlepas dari situasi-situasi yang penuh tekanan. Bukan itu. Tapi kemenangan sempurna berarti kita tidak terlepas dari kasih Allah.
Jangan pernah remehkan kuasa kasih Allah dalam kehidupan kita. Coba pikirkan. Tatkala kita menghadapi kesulitan yang besar atau bertubi-tubi, maka biasanya godaan untuk meninggalkan iman itu terbuka lebar. Perhatikan istri Ayub. Tatkala kesulitan yang dahysat mengguncang keluarganya, ia langsung berkata pada Ayub, “Kutukilah Allahmu dan matilah!” Lihatlah godaan untuk meninggalkan iman yang terbuka lebar untuk istri Ayub.
Seorang jemaat pernah bercerita tentang penderitaannya. Uangnya ditipu oleh koperasi puluhan juta, ia juga sedang mengalami sakit bertahun-tahun, selain itu ia sering mendapatkan tekanan dari keluarganya yang belum percaya. Bagaimana tanggapannya terhadap penderitaan-penderitaannya itu? Ia berkata, “Mengapa setelah menjadi orang Kristen aku merasa hidupku tidak semakin damai?” Di sini kita kembali melihat adanya godaan untuk meninggalkan iman tatkala kesulitan/penderitaan itu datang.
Penderitaan yang kita hadapi seringkali menyerang pertahanan benteng iman kita. Terlalu banyak serangan yang sesungguhnya dapat merobohkan iman kita. Tapi kita perlu berhenti sejenak untuk bertanya, apa yang membuat iman kita masih bertahan meski kita mengalami penderitaan? Kala badai masalah mengguncang kita, mengapa kita masih bisa bertahan? Jawabannya sederhana, itu karena Allah masih mengasihi kita. Pernahkah kita merenungkan akan hal ini. Kasih Allah itulah yang terus membuat kita tetap tegar dalam berbagai penderitaan. Kasih Allah itulah yang terus memelihara kesetiaan kita. Kasih Allah bagaikan sebuah energi tak kelihatan yang menguatkan dan menopang kita untuk mengarungi hidup yang ganas ini. Sekali lagi, jangan pernah remehkan kasih Allah bagi kehidupan kita. Karena itu, tidak heran, bila raja Daud pernah berkata, “Betapa berharganya kasih setia-Mu, ya Allah! Anak-anak manusia berlindung dalam naungan sayap-Mu” (Mzm. 36:8).
Di tengah situasi yang sulit dan serba tidak pasti seperti ini orang-orang bisa saja berkata bahwa keajaiban telah hilang. Harapan, semangat dan tenaga untuk meraih cita-cita tertentu telah hilang. Tapi ingat, janganlah kita terpaku pada hal-hal yang defisit. Mengapa? Karena ada satu hal surplus yang tidak pernah hilang dari kita, yaitu kasih Allah. Kasih Allah yang limpah ruah masih bisa kita alami dalam situasi apapun. Tidak ada satu hal pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah. Inilah kemenangan sempurna kita. Selamat menjadi pemenang!
Friday, November 14, 2008
BRAVO IKANKU

Selang beberapa hari setelah pembelian ikan, saya menjumpai bahwa salah satu ikan yang dipotret itu sedang sekarat. Belum tau penyebab pastinya. Ikan yang sekarat itu tidak banyak bergerak kian kemari. Ia hanya "berdiri" dan mengapung ke permukaan. Sangat lemah dan hampir tak bergerak. Yang menarik adalah temannya beberapa kali menyundul-nyundul teman yang sekarat itu. Dan setiap digoda, ikan yang sekarat itu akhirnya bergerak lebih lincah. Ia membalas menyundul temannya. Dampaknya, ikan yang sekarat itu sekarang lebih lincah meski ia masih "berdiri" mengapung di permukaan.
Dari sini saya belajar bagaimana efek sebuah cinta terhadap sesamanya. Ia mungkin tidak dapat menyembuhkan yang terluka, tapi setidaknya ia dapat memberikan kegembiraan di tengah-tengah situasinya yang terluka. Ia dapat menguatkan sesamanya agar tetap bertahan dalam penderitaan. Ia menghidupkan semangat yang padam. Apakah kita memiliki cinta yang demikian kepada sesama?
Monday, November 10, 2008
MENERIMA, MENYIMPAN, LALU MATI
Di Palestina ada dua laut yang sangat berbeda. Yang satu dinamakan laut Galilea, sebuah danau yang luas dengan air yang jernih dan bisa diminum. Ikan dan manusia berenang dalam danau tersebut. Danau itu juga dikelilingi oleh ladang dan kebun hijau. Banyak orang mendirikan rumah mereka di sekitarnya. Yesuspun berlayar di danau itu beberapa kali.
Laut yang lain dinamakan Laut Mati, dan sungguh-sungguh sesuai dengan namanya, segala sesuatu yang ada di dalamnya mati. Airnya sangat asin sehingga bila orang meminumnya orang itu bisa sakit karenanya. Danau itu tidak ada ikannya. Tak ada sesuatupun yang tumbuh di tepiannya dan tak seorangpun ingin tinggal di sekitar danau itu karena baunya yang tak sedap.
Yang menarik adalah kedua laut tersebut ternyata berasal dari satu sungai, yaitu sungai Yordan. Tapi mengapa kedua laut itu bisa berbeda karakteristiknya? Bedanya adalah: Danau yang satu menerima dan memberi; sedangkan danau yang satunya hanya menerima dan menyimpan. Di Laut Galilea, Sungai Yordan mengalir ke permukaan danau Galilea dan mengalir keluar dari dasar danau tersebut, danau tersebut meneruskan air Sungai Yordan kepada danau lainnya. Sedangkan di Laut Mati, Sungai Yordan mengalir ke laut mati, namun tak pernah keluar lagi. Laut mati hanya menyimpan air Sungai Yordan bagi dirinya sendiri. Hal itulah yang membuatnya mati.
Monday, October 27, 2008
KECIL TAPI BERARTI
“Saya tidak dapat ke Sekolah Minggu,” kata si gadis kecil sambil menangis sesenggukan. Gadis kecil ini menangis karena tidak diperbolehkan masuk ke gereja kecil. Apa alasannya? Alasannya karena gereja itu sudah terlalu penuh. Tak lama kemudian seorang pastor lewat di dekatnya dan menanyakan kenapa si gadis kecil itu menangis. Setelah mendengarkan penjelasannya, sang pastor menuntun gadis kecil masuk ke ruangan Sekolah Minggu dan berusaha mencarikan tempat duduk yang masih kosong.
Malam sebelum tidur gadis kecil ini terus merenungkan peristiwa yang tadi terjadi. Ia memikirkan anak-anak lain yang senasib dengan dirinya yang tidak memiliki tempat untuk beribadah. Hari demi hari ia terus memikirkan bagaimana caranya memperluas tempat Sekolah Minggu sehingga semua anak bisa tertampung. Oleh karena orangtuanya bukan orang berada, maka ia hanya bisa melakukan semampunya. Ia menabung sedikit demi sedikit.
Dua tahun kemudian, entah mengapa, si gadis kecil ini meninggal di rumahnya yang kumuh. Kedua orangtuanya segera meminta bantuan dari pastor gereja yang pernah menolong gadisnya untuk mengadakan kebaktian pemakaman.
Dalam beberapa hari kemudian, saat ruang tidur si gadis dirapikan, tiba-tiba ditemukan sebuah dompet usang, kumal, dan sobek-sobek. Mungkin dompet itu ditemukan dari tempat sampah. Di dalamnya terdapat uang receh sejumlah 57 sen dan secarik kertas bertuliskan tangan sang gadis kecil. Bunyinya demikian: “Uang ini untuk membantu pembangunan gereja agar gereja bisa diperluas sehingga lebih banyak anak-anak bisa menghadiri ke Sekolah Minggu.” Selama dua tahun si gadis kecil ini mengumpulkan dan menabungkan uangnya sampai terkumpul 57 sen.
Ketika sang pastor membaca catatan kecil tersebut, matanya mengeluarkan air mata. Ia sadar apa yang harus diperbuatnya. Dengan berbekal dompet kumal, sang pastor segera memotivasi para pengurus dan jemaat gerejanya untuk meneruskan misi mulia si gadis kecil.
Para anggota jemaat pun dengan sukarela memberikan uang dan mengajak orang-orang yang lain untuk menyumbangkan uangnya. Bagaikan bola salju yang terus bergulir, makin lama makin membesar, dari 57 sen sekarang menjadi 250.000 dolar. Suatu jumlah yang sangat besar di mana waktu itu dengan jumlah uang sekian dapat membeli emas seberat 1 ton.
Jika kita berada di Philadelphia, Amerika Serikat, lihatlah Temple Baptist Church dengan kapasitas tempat duduk untuk 3300 orang. Tidak lupa pula, di sana terdapat bangunan khusus untuk Sekolah Minggu yang lengkap dengan ratusan pengajarnya. Semuanya itu untuk memastikan agar jangan sampai ada satu anakpun yang tidak mendapat tempat di Sekolah Minggu. Dan di dalam salah satu ruangan bangunan khusus itu, tampak terlihat foto si gadis kecil itu.
Inilah kisah yang menggugah hati. Kisah 57 sen yang telah mengukir sejarah.
Kisah nyata tadi mengingatkan saya pada peristiwa Yesus memberi makan lima ribu orang. Waktu itu banyak orang mengikut Yesus untuk mendengarkan pengajaran-Nya dan sekaligus melihat mukjizat-mukjizat. Lalu Yesus memandang mereka dan mengerti kebutuhan mereka, yaitu kebutuhan perut. Mereka kelaparan dan membutuhkan makanan saat itu juga. Ketika murid-murid berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan makanan, tiba-tiba Andreas, salah satu murid Yesus, berkata, “Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?”
Perhatikan perkataan Andreas ketika melihat jumlah roti dan ikan. Inilah yang sering dilakukan kebanyakan orang hari ini. Masyarakat terlalu sering memberi arti terhadap sesuatu atau seseorang dari segi jumlahnya. Berapa banyak yang ia lakukan? Berapa banyak yang ia miliki? Kalau jumlahnya banyak, maka masyarakat baru memandang kita. Kalau jumlah yang kita bisa lakukan atau miliki itu sedikit, maka mereka akan membuang kita. Sama seperti Andreas, mereka akan berkata, “Apakah artinya itu?”
Tapi Tuhan memandang lain. Tuhan tahu bahwa jumlah roti dan ikan yang sedikit itu tetap berarti ketika semuanya itu diserahkan ke dalam tangan Tuhan. Anak kecil tadi hanya memiliki 5 roti dan 2 ikan. Jumlah yang sangat sedikit. Jumlah yang katanya Andreas itu tidak berarti. Tapi ia berikan ke dalam tangan Tuhan. Dan hasilnya sangat menakjubkan. Manusia tidak pernah menduga bahwa apa yang tak berarti itu diubah menjadi hal yang berarti ketika berada di dalam tangan Tuhan.
Satu hal yang kita pelajari: Jangan meremehkan sumbangsih seseorang, sekecil apapun itu. Tidak jarang kita meniru masyarakat yang menghargai seseorang dari seberapa besar jumlah yang ia lakukan atau ia miliki. Akhirnya, kita lebih cenderung memerhatikan orang-orang yang tampak mata memberikan sumbangsih besar, kita lebih cenderung bergaul dengan orang-orang seperti demikian, kita anggap orang-orang seperti itu sangat berarti bagi gereja atau kehidupan pribadi kita.
Sekecil apapun sumbangsih seseorang, bagi Tuhan hal itu tetap berarti. Kita perlu menghargainya. Kita perlu mengakui bahwa tindakannya itu berarti. Coba berikan apresiasi atau penghargaan kepada orang-orang yang melakukan hal-hal kecil. Misalnya, jemaat yang membagikan snack setelah Kebaktian Umum, jemaat yang mengundang orang-orang untuk memakan makanan ramah tamah, jemaat yang merapikan Alkitab dan buku nyanyian, jemaat yang meringkaskan buku-buku nyanyian setelah kebaktian kedukaan, jemaat/pekerja yang mengatur pengeras suara untuk pengkhotbah atau para pemuji, dan seterusnya. Hampir dapat dipastikan orang-orang seperti ini lebih minim menerima penghargaan, ketimbang orang-orang yang memberikan sumbangsih besar di mata orang banyak. Mau bukti? Ketika ada seorang jemaat menyumbang dana yang besar, maka gereja segera melayangkan surat terima kasih kepada jemaat itu, plus hamba Tuhan juga menjabat tangannya erat-erat sebagai tanda terima kasihnya. Tapi bagaimana nasibnya jemaat yang seringkali merapikan buku nyanyian, atau yang menawarkan makanan ramah tamah kepada para jemaat? Wes hewes hewes bablas angine . . . kita lupa menghargainya.
Ingatlah, 57 sen dan 5 roti 2 ikan tidak pernah terlalu kecil buat Tuhan. Sekecil apapun sumbangsih seseorang bagi Tuhan, hal itu tetaplah berarti. Kalau Tuhan saja menghargainya, masakan kita tidak menghargainya pula?
Saturday, October 11, 2008
RISIKO SEORANG HAMBA TUHAN
oleh A.W.Tozer - Tulisan ini diterjemah dan diadaptasi dari tulisan A.W Tozer Perils of a Preacher
Beberapa pekerjaan seperti penambang, penyelam atau prajurit perang merupakan pekerjaan yang beresiko tinggi. Semua orang tahu bahwa orang yang mempunyai pekerjaan seperti ini sedang meresikokan nyawa mereka.
Dibandingkan dengan pekerjaan yang disebut di atas, pekerjaan melayani Tuhan kelihatannya sama sekali tidak mengundang resiko. Seorang aktuaris atau penaksir yang bekerja untuk syarikat asuransi akan menempatkan pekerjaan hamba Tuhan sebagai pekerjaan yang paling rendah tingkat bahayanya.
Namun pelayanan adalah pekerjaan yang paling berbahaya. Si Iblis sangat membenci pelayan yang dipenuhi Roh. Kebenciannya terhadap seorang hamba Tuhan tidak kalah dari kebenciannya terhadap Kristus sendiri. Sumber kebencian itu tidak sulit ditemukan. Seorang pelayan yang efektif, yang menyerupai Kristus adalah hal yang memalukan si Iblis, satu ancaman kepada kekuasaannya, satu tangkisan kuat bagi argumentasinya dan satu peringatan yang terus menerus akan kejatuhannya yang akan datang. Tidak heranlah ia sangat membenci mereka.
Iblis tahu bahwa kejatuhan seorang nabi Allah adalah kemenangan strategis bagi dia, jadi ia sama sekali tidak akan berhenti dari merencanakan jerat dan perangkap bagi para pelayan Tuhan. Iblis tidak terlalu berminat untuk langsung membunuh pelayan Tuhan, ia lebih memilih untuk menembakkan anak panah beracun yang hanya melumpuhkan sasarannya. Seorang pelayan yang tidak efektif dan loyo adalah iklan yang lebih baik bagi neraka ketimbang seorang baik yang telah mati. Jadi, bahaya seorang hamba Tuhan lebih bersifat rohani ketimbang jasmani, walaupun ada kalanya si musuh bekerja melalui kelemahan jasmaniah untuk menghancurkan jiwanya.
Memang terdapat beberapa bahaya besar yang harus diwaspadai oleh para hamba Tuhan, yaitu bahaya cinta pada uang dan perempuan; tetapi bahaya yang paling mematikan jauh lebih halus dari kedua hal ini. Jadi marilah kita memusatkan perhatian pada hal-hal itu.
Salah satu bahaya adalah seorang hamba Tuhan memikirkan dirinya sebagai anggota suatu kelas masyarakat elit yang memiliki hak-hak istimewa. Masyarakat "Kristen" condong meningkatkan bahaya ini dengan memberikan diskon dan perlakuan khusus kepada para hamba Tuhan. Gereja turut mempeparah situasi dengan memberikan berbagai macam sebutan kehormatan kepada para hamba Tuhan.
Sebagai orang yang menyandang nama Kristus sangatlah tidak pantas bagi seorang pelayan Kristus untuk secara tidak sadar menjadi anggota suatu kelas masyarakat yang diperlakukan dengan istimewa. Kristus datang untuk memberi, melayani, memberikan nyawa-Nya, dan Ia berkata kepada para murid-Nya, "Sebagaimana Bapa telah mengutus aku, aku mengutus engkau." Seorang hamba Tuhan adalah pelayan Tuhan dan pelayan umat-Nya. Ia berada dalam bahaya moral yang besar saat ia melupakan hal ini.
Satu lagi bahaya adalah saat melakukan pelayanan ia melakukannya dengan sikap acuh tidak acuh. Kebiasaan bisa saja membuat seseorang melakukan pelayanannya dengan tidak bersungguh-sungguh, sekalipun ia sedang melayani di altar Tuhan. Betapa mengerikan bagi seorang hamba Tuhan jika ia menjadi terbiasa dengan tugasnya, dan kehilangan rasa takjubnya. Saat ia terbiasa dengan hal-hal yang luar biasa, saat ia kehilangan rasa takut dan hormat waktu berada di hadirat Yang Maha Kudus. Dengan kata lain, sangatlah mengerikan saat ia menjadi sedikit bosan dengan Allah dan hal-hal surgawi.
Jika ada yang meragukan bahwa hal ini bisa saja terjadi, biarlah ia membaca di Perjanjian Lama dan melihat bagaimana imam-imam Yahweh ada kalanya kehilangan rasa takjub akan misteri ilahi dan menjadi najis bahkan di saat mereka sedang menjalankan tugas-tugas kudusnya. Dan sejarah gereja menyingkapkan bagi kita bahwa kecenderungan untuk melakukan pelayanan dengan sikap yang acuh tidak acuh tidak hanya terjadi di Perjanjian Lama. Imam-imam dan pendeta-pendeta sekuler yang bekerja di rumah Allah demi "roti" masih dapat ditemukan di antara kita. Iblis akan terus memastikan bahwa orang-orang seperti ini akan terus ada karena mereka akan mendatangkan lebih banyak kerusakan ketimbang satu pasukan besar kaum ateis.
Terdapat juga bahaya di mana seorang hamba Tuhan secara tanpa sadar mengasingkan diri dari orang umum. Hal ini timbul akibat terbentuknya institusi Kekristenan. Hamba Tuhan secara eksklusif hanya bertemu dengan orang-orang religius. Orang-orang yang di saat bersama hamba Tuhan selalunya menampilkan sisi terbaik mereka. Di hadapan hamba Tuhan mereka menampilkan diri sebagai orang yang saleh dan bukan siapa mereka sebenarnya. Ini menciptakan satu dunia yang tidak riil di mana setiap orang di dalam dunia ini tidak menunjukkan siapa diri mereka yang sebenarnya, akan tetapi para pelayan Tuhan sudah begitu lama hidup di dunia palsu ini sehingga mereka tidak lagi tahu bagaimana membedakannya.
Akibat dari hidup di dunia yang palsu ini sangat mematikan. Tidak ada lagi percakapan yang spontan dan terbuka, yang ada hanyalah "konsultasi", "rapat" atau "konferensi"; yang ada hanyalah "kasus" atau orang yang "bermasalah" yang harus ditangani. Relasi sederhana yang spontan dan rill hilang saat gereja diubah menjadi satu klinik religius. Roh Kudus tidak dapat bekerja di dalam lingkungan seperti itu, dan ini akan membawa kepada pengakhiran yang sangat berbahaya, karena tanpa Roh Kudus pekerjaan itu hanyalah bersifat kayu, jerami dan rumput.
Selalu eksis bahaya di mana hamba Tuhan tidak lagi mempunyai simpati dan sikapnya menjadi abstrak dan akademis, ia mengasihi umat manusia tanpa mengasihi manusia. Kristus adalah kebalikan dari ini. Ia mengasihi bayi, pemungut cukai, pelacur dan orang sakit, Ia mengasihi mereka secara spontan dan secara pribadi. Kita yang mengakui sebagai pengikut-Nya harus melakukan hal yang sama.
Satu lagi resiko yang dihadapi para pelayan Tuhan adalah ia secara tidak sadar mengasihi ide-ide religius dan filsafat dan bukan orang-orang kudus dan pendosa-pendosa. Adalah sangat mungkin bagi seorang hamba Tuhan untuk memiliki perasaan bagi manusia yang terhilang sama seperti dengan perasaan yang dimiliki oleh seorang penyelidik alam terhadap serangga maupun hewan lain yang sedang dipelajarinya. Obyek-obyek itu adalah sesuatu untuk dipelajari, mungkin juga dibantu, tetapi bukan untuk ditangisi maupun sesuatu yang akan membuat kita menyerahkan nyawa kita.
Saat hal ini terjadi maka khotbah yang disampaikan juga sulit dipahami dan lebih bersifat menonjolkan pengetahuan. Pengkhotbah itu akan berasumsi bahwa para pendengarnya sama seperti dia, sudah begitu akrab dengan sejarah, filsafat dan teologi. Ia akan berbicara mengenai buku-buku maupun penulis-penulis yang sama sekali tidak dikenal oleh para Jemaat. Dan saat Jemaat memperlihatkan wajah yang bingung ia mengira itu adalah wajah kekaguman mereka akan kecemerlangan pemikirannya.
Saya tidak mengerti mengapa orang-orang religius terus menerima, mendukung dan membayar orang-orang seperti ini. Hal ini hanya dapat saya masukkan ke dalam daftar panjang hal-hal yang tidak akan pernah saya pahami.
Satu lagi jerat yang bahaya bagi para hamba Tuhan adalah ia dengan begitu santai menjalani kehidupannya. Saya tahu dengan menyatakan hal ini tidak akan membuat saya populer tetapi saya harap dengan menuliskannya, setidaknya dapat mempengaruhi mereka ke arah yang benar. Sangatlah mudah bagi seorang hamba Tuhan untuk menjadi seorang pemalas yang berwibawa, seorang parasit sosial dengan tanga terbuka dan wajah yang mengharapkan sesuatu. Bosnya tidak kelihatan, ia seringkali tidak perlu masuk kantor dan pulang pada jam tertentu, jadi ia dapat menjalani satu pola hidup yang nyaman yang memberinya banyak waktu untuk bermalas-malasan, bersenang-senang, tidur-tiduran dan menikmati hidupnya.
Untuk menghindari hal ini, seorang hamba Tuhan harus secara sukarela memastikan ia bekerja keras sama seperti seorang petani, seorang mahasiswa atau seorang ilmuwan. Tidak ada hamba Tuhan yang mempunyai hak untuk hidup lebih santai dari pekerja-pekerja yang mendukung pelayanannya.
Sekali lagi, kegunaan seorang hamba Tuhan dapat dengan serius dihambat oleh dua dosa yang sifatnya saling berlawanan - terlalu fleksibel atau terlalu kaku. Di antara dua batu karang yang besar ini terdapat satu terusan yang dalam dan jernih, dan berbahagialah orang yang menemukannya.
Tunduk kepada keinginan Jemaat yang tidak rohani dalam hal-hal moral dan doktrin adalah satu kejahatan yang besar; mengubah khotbah untuk menyenangkan penatua yang bersifat kedagingan adalah satu dosa yang jahat; tetapi menolak untuk berkompromi dalam hal sepele menyingkapkan satu semangat yang sama sekali tidak sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Yakobus di pasal ketiga suratnya: "Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik."
Bahaya akibat terlalu kaku dicatat oleh Thomas a Kempis, "Memang setiap orang dengan rela akan melakukan apa yang ia senang, dan condong kepada orang yang sepikir dengannya...tetapi jika Allah ada di antara kita, kita harus demi perdamaian tidak berpegang kepada pendapat kita. Siapa yang begitu bijaksana di mana ia dapat mengetahui segala hal? Dengan demikian janganlah terlalu yakin dengan pendapat Anda sendiri, tetapi dengarkanlah pendapat orang lain."
Dua resiko lain bagi manusia Allah juga harus disebut, dan dua hal ini sekali lagi berlawanan dalam sifatnya. Satu adalah terlalu gembira karena keberhasilan dan yang satu lagi adalah terlalu murung karena kegagalan.
Hal ini mungkin kedengaran sepele, tetapi sejarah pelayanan Kristen menunjukkan bahwa ini bukan hal yang sepele. Kedua hal ini sangatlah kritis dan harus diawasi dengan ketat. Para murid kembali kepada Yesus dengan semangat yang berapi-api dan berkata, "Bahkan roh-roh jahat tunduk kepada kami demi nama-Mu," dan Dia dengan cepat memperingatkan mereka tentang makhluk yang telah mengijinkan keberhasilan untuk membuatnya sombong, "Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit." "Tapi bersukacitalah bukan karena roh-roh tunduk kepada kamu; tetapi bersukacitalah karena nama kamu tertulis di surga."
Bahaya yang satu lagi tidak perlu dibicarakan secara panjang lebar. Setiap pelayan Tuhan tahu betapa sulitnya untuk tetap rohani saat pekerjaannya sepertinya tidak berhasil. Namun ia disyaratkan untuk bersukacita di dalam Tuhan apakah ia menilai sudah gagal atau meraih keberhasilan yang besar pada tahun itu.
Bukanlah tujuan saya untuk menuduh atau menyepelekan siapa-siapa tetapi hanya menunjukkan bahaya-bahaya yang ada. Semua dari kita merupakan obyek kebencian si Iblis, dan kita hanya akan selamat jika kita rela merendahkan diri dan menerima bantuan dari sesama, bahkan dari seorang yang lemah dan yang setiap hari berdiri di tengah ancaman bahaya yang besar seperti penulis ini.