Monday, May 14, 2007

AKU DAN ALLAH?

Anda ingin tahu seberapa jauh kedalaman relasi Anda dengan Allah? Bila ya, silakan jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jujur.
Apakah Anda memikirkan Allah setiap kali Anda bangun pagi? Apakah Anda sering memikirkan Allah sepanjang hari? Apakah Anda menutup mata di malam hari dengan memikirkan Allah? Apa yang Anda lakukan agar Anda dapat memikirkan Allah sepanjang hari?
Ketika Anda terbangun pada waktu malam, apakah Anda meluangkan waktu untuk berdoa kepada Allah?
Berapa banyak ayat Alkitab yang menguasai hidup Anda? Dan, berapa banyak ayat Alkitab yang telah berhasil Anda lakukan?
Apakah Anda sering mengucap syukur atas berkat-berkat yang Allah berikan? Apakah Allah ada dalam pikiran Anda pada waktu kesuksesan hidup mendatangi Anda? Dan, apakah Anda sering mengucap syukur atas pelajaran hidup melalui pengalaman pahit yang Allah izinkan? Apakah Anda mampu mengucap syukur kepada Allah ketika Anda mengalami kegagalan? Apakah Anda mampu mengucap syukur kepada Allah ketika Anda menderita penyakit?
Hal-hal apa saja yang kita korbankan untuk memuliakan Allah? Apakah menyaksikan Allah dimuliakan adalah kebahagiaan paling utama kita? Kapan terakhir kalinya Allah dimuliakan dalam hidup Anda?

Friday, May 11, 2007

EMPAT PERINGKAT KASIH (2): BERNARD CLAIRVAUX

Peringkat ketiga, kita mengasihi Allah demi Allah sendiri (Love of God for God’s sake). Pada peringkat kasih yang kedua, kita mengasihi Allah demi diri kita sendiri karena Ia telah memberkati kita dan untuk kesekian kalinya Ia telah menolong kita. Namun, bila ternyata kesusahan terus-menerus menghampiri kita dan Allah terus-menerus menolong kita, maka kita mulai belajar mengasihi Allah demi Allah sendiri. Kita mulai dapat melihat bahwa Allah itu memang Allah yang baik. Kita mulai dapat mengasihi perintah-perintah-Nya dan melakukannya dengan sepenuh hati. “Aku memuji Allah karena Ia baik, bukan baik untukku, tapi karena Ia memang baik,” itulah perkataan kita.

Peringkat keempat, kita mengasihi diri sendiri demi Allah (Love of self for God’s sake). “Berbahagialah orang yang mengalami kasih dalam peringkat ini di mana kita mengasihi diri kita demi Allah,” demikianlah perkataan Bernard. Tapi apa maksudnya? Apakah Bernard mengajarkan tentang keegoisan? Tidak! Justru sebaliknya, kasih dalam peringkat ini adalah kasih dalam bentuk pengosongan diri kita dan membiarkan diri kita terhisap dalam kehidupan Allah. Dengan kata lain, kita menjadi “satu” dengan Allah. Kita berpikir sama seperti yang dipikirkan Allah dan kita merasa sama seperti yang dirasakan Allah. Kita menyukai apa yang disukai Allah dan kita membenci apa yang dibenci Allah. Doa “jadilah kehendak-Mu” merupakan kesenangan kita. Seperti halnya setitik air yang jatuh dalam air anggur yang sangat banyak sehingga air tersebut kehilangan identitasnya, maka kita pun “kehilangan” diri kita dan terhisap dalam kehidupan Allah.Itulah semua peringkat kasih menurut Bernard. Saat ini, ketika kita mengatakan, “Aku mengasihi-Mu, ya Allah,” maka kita mulai merenungkan bahwa sebenarnya kasih kita itu mencerminkan peringkat yang mana. Berdoalah agar Allah dapat menganugerahkan kekuatan agar kita dapat “naik kelas” hingga mencapai peringkat kasih yang keempat. Peringkat di mana kita berani berkata: Aku dan Allah adalah “satu”.

Thursday, May 10, 2007

EMPAT PERINGKAT KASIH: BERNARD CLAIRVAUX (1090-1153 M.)

Enteng rasanya mengucapkan “aku mengasihimu” sewaktu pacaran. Tapi entah kenapa, kata romantis itu mulai tidak kelihatan “batang hidungnya” sejak memasuki pernikahan. Apalagi, ia akan benar-benar tenggelam ke “dasar laut” kalau usia pernikahannya sudah terbilang tua. Mungkin inilah sifat manusia pada umumnya. Wajarkah? Anda sendiri yang menilainya. Lalu saya bergumam, “Apakah kata ‘aku mengasihi-Mu’ juga akan pudar seiringan dengan usia kekristenan kita yang makin tua?”

Mungkin tidak. Mengapa? Karena di gereja, kita mau tidak mau diajak untuk menyanyikan lagu-lagu rohani yang mengisyaratkan bahwa kita mengasihi Allah. Contohnya: “Aku tresna Yesus njero, njero, njero banget . . .” atau “Aku mengasihi Engkau Yesus, dengan segenap hatiku.” Tapi tidakkah kita khawatir bila semua lagu itu dinyanyikan hanya sebagai lip service saja? Saya sendiri khawatir.

Nah lantas apa sebabnya kita melakukan lip service ketika melantunkan lagu-lagu seperti demikian? Mungkin karena kita belum memahami arti kasih kepada Allah secara penuh. Sebab itu, coba lihat apa kata Bernard dari Clairvaux mengenai hal ini. Tapi sebelumnya siapakah Bernard itu? Ia adalah salah satu seorang pemimpin dan pengkhotbah terkemuka di sepanjang sejarah gereja. Pada usianya yang kedua puluh dua, ia memasuki biara di Cîteaux dan tiga tahun kemudian Bernard diangkat sebagai supervisor sebuah kelompok biarawan yang baru saja didirikan di Clarivaux. Di kota itu pulalah, ia tutup usia.

On the Love of God merupakan buah tangannya yang terkenal hingga saat ini. Dalam buku tersebut, Bernard memberikan perenungan arti kasih kepada Allah dengan menerangkan empat peringkat kasih. Peringkat pertama, kita mengasihi diri sendiri demi diri sendiri (Love of self for self’s sake). Semua manusia memiliki kasih. Ia merupakan bagian dalam hidup manusia dan ia berasal dari Allah yang penuh kasih. Sebab itu, hukum terutama yang Allah berikan untuk kita adalah, “Kasihilah Tuhan Allahmu.” Namun manusia itu lemah, bahkan sangat lemah. Karena itu, ia memberikan kasih yang diberikan Allah kepada dirinya terlebih dahulu. Ya, ia mengasihi dirinya. Bukan itu saja. Ia mengasihi diri sendiri demi diri sendiri pula. Bernard mengatakan bahwa perintah “kasihilah sesamamu manusia” dapat dijadikan alat ukur apakah kita memiliki kasih dalam tingkat pertama ini.

Peringkat kedua, kita mengasihi Allah demi diri sendiri (Love of God for self’s sake). Allah, dalam kebaikan-Nya, memberikan kepada kita segala berkat-Nya. Contohnya, Allah memberkati kita dengan memberikan perlindungan. Tatkala kita dilindungi dari segala hambatan atau malapetaka, maka kita menjadi sangat bahagia. Namun sayangnya, oleh karena kita sombong, maka kita berkata, “it’s because of me.” Karena saya baik, maka saya dilindungi; karena saya bijak, maka saya terhindar dari segala hambatan; karena saya kuat, maka saya tidak mengalami penyakit ini dan itu. It’s because of me! Kita lupa bahwa Allahlah yang membuat semuanya itu terjadi. Tapi bila ternyata kita mengalami hambatan dan kesusahan, maka kita baru mengingat dan mencari Allah. Mencari pertolongan-Nya. Mencari berkat-Nya. Mencari kasih-Nya. Tiba-tiba kita mengetuk pintu sorga dan berkata, “Aku mohon, ya Allah, lepaskanku dari segala beban beratku ini.” Saat itu, kita mulai belajar mengasihi-Nya meski untuk diri kita sendiri. Kita mengasihi Allah karena kita telah belajar bahwa kita tidak dapat melakukan segala perkara dengan-Nya, dan tanpa-Nya kita tidak dapat melakukan apapun. Inilah peringkat kasih yang kedua menurut Bernard dari Clairvaux.

Lantas peringkat ketiga? Tunggu besok. Hari ini kita merenungkan di manakah letak peringkat kasih kita? Peringkat satu atau dua? Selamat merenung.

Friday, May 04, 2007

TANYAKAN KENAPA?

Hai teman, berhentilah sejenak. Please stop from your work for a while. Bacalah berita dari Jawapos Online, Jumat, 4 Mei 2007, http://jawapos.co.id/index.php?act=detail&id=8573

Indonesia bakal masuk dalam buku rekor dunia (Guinness World Records) 2008 yang dirilis September tahun ini. Sayang, rekor yang diukir kali ini memalukan karena disebut sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia.Indonesia dianggap negara dengan tingkat kehancuran hutan paling cepat di antara 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen dari luas hutan di dunia. "Tentu ini sebuah rekor yang patut disayangkan dan memalukan," kata Hapsoro, juru kampanye hutan Green Peace Asia Tenggara, kepada wartawan di Hotel Millenium Jakarta, kemarin.

Green Peace-lah yang mengirimkan surat resmi ke Guinness World Records tentang kondisi hutan di Indonesia. "Ternyata direspons cepat. Minggu lalu mereka memberikan konfirmasi dan rekor itu akan muncul dalam buku rekor dunia 2008 yang diluncurkan September tahun ini," jelasnya. Sertifikat untuk rekor itu kemarin ditunjukkan kepada wartawan. Tertulis dalam sertifikat itu: Of the 44 countries which collectively account for 90 per cent of the world’s forests, the country which pursues the highest annual rate of deforestation is Indonesia with 1,8 million ha (4.447.896 acres) of forest destroyed each year between 2000-2005; a rate of 2 per cent annually or 51 km2 (20 miles2) destroyed every day. (Dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, negara yang laju deforestasi tahunan tertinggi di dunia adalah Indonesia, dengan 1,8 juta hektare hutan dihancurkan per tahun antara 2000 hingga 2005. Ini setara dengan kehancuran hutan 2 persen setiap tahun, atau 51 kilometer persegi per hari). Data tersebut berdasarkan laporan FAO, Global Forest Resources Assessment 2005.

Renungan: Tanyakan Kenapa?
Melihat berita tersebut, pertanyaan yang timbul adalah apakah yang dapat dilakukan oleh gereja kita? Bagaimana gereja menanggapi isu kerusakan alam yang sudah beredar sekian lama? Ah mungkin pertanyaan itu masih terlalu jauh. Baiklah, kita ganti pertanyaannya: apakah gereja masih peduli dengan isu-isu ekologi? Saya ragu akan hal ini.

Apa sebabnya? Mungkin salah satu alasannya adalah karena gereja sudah terlalu sibuk dengan hal-hal "spiritual." Bagaimana membuat jemaat rajin berdoa, bagaimana membuat jemaat rajin bersaat teduh, bagaimana membuat ibadah dapat dihayati oleh jemaat, bagaimana mendorong jemaat untuk melakukan penginjilan, dan seterusnya. Mungkin hal-hal demikianlah yang paling digandrungi dan baru dikatakan "spiritual" oleh gereja.

Apakah salah? Oh jelas tidak! Itu semua perlu. Tapi itu belum cukup. Gereja nampaknya perlu kembali mempertanyakan ulang mengenai isu spiritualitas agar apa yang dikerjakan oleh gereja dapat lebih komprehensif. Acapkali gereja-gereja injili menekankan pada spiritualitas Yesus Kristus yang lebih banyak membicarakan soal relasi personal dengan Yesus. Bila hal ini ditekankan terus-menerus, maka akibatnya adalah jemaat menjadi orang yang individulistis, tidak peduli dengan relasi satu dengan yang lainnya, dan termasuk tidak peduli dengan ekologi. Jemaat cenderung berpikir bagaimana relasiku dengan Yesus. That's all.

Nah mungkin spiritualitas yang berat sebelah merupakan salah satu penyebab gereja tidak dapat berperan aktif dalam menanggapi isu ekologi. Lalu bagaimana spiritualitas yang tidak berat sebelah? Selamat berpikir.

Thursday, May 03, 2007

DI BAWAH BAYANG-BAYANG TRAUMA (23)

VI. PENUTUP
Bila kita bersedia untuk menjadi seorang penolong bagi orang traumatis, maka hal itu barulah satu langkah awal penyembuhan baginya. Langkah itu memang sulit. Sulit karena membutuhkan waktu. Sulit karena membutuhkan tenaga. Sulit karena membutuhkan pengorbanan untuk menjadi kawan seperjalanannya. Satu hal yang perlu diingat adalah orang traumatis tidak memerlukan “guru” yang memberikan nasihat seantero jagat lalu pergi begitu saja. Ia tidak memerlukan kata-kata, “Jangan sedih,” “jangan berduka,” “semua pasti baik-baik saja,” “serahkan pada Tuhan,” “ada rencana Tuhan yang indah dalam hidupmu,” “berdoalah terus,” dan seterusnya. Sekali lagi, ia tidak membutuhkan seorang “guru” dalam melewati masa traumanya; ia hanya membutuhkan orang yang mau menjadi kawan seperjalanannya.

Tapi itu baru satu langkah awal bagi orang traumatis. Lantas apa langkah berikutnya? Langkah berikutnya adalah ia memerlukan komunitas penyembuh (community of healing), bukan komunitas "pembunuh" (community of killing). Bila orang yang mengalami trauma adalah orang yang sudah percaya maka kita perlu menyadari bahwa ia adalah anggota tubuh Kristus. Dengan demikian ia membutuhkan anggota lainnya untuk mendukung, melindungi, dan memahaminya. Itulah community of healing. Rasul Paulus benar ketika ia mengatakan, “Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita . . .” (1Kor. 12:26a). Di manakah seharusnya community of healing itu didapatkan? Rumah Tuhanlah yang seharusnya menjadi komunitas tersebut.

Sebab itu, peran sang penolong tidaklah cukup sampai pada orang traumatis saja. Seyogyanya ia akan berusaha untuk mempengaruhi anggota-anggota tubuh Kristus untuk menjadi komunitas yang siap menerima orang traumatis apa adanya. Komunitas yang menjadi tempat perlindungan baginya. Komunitas yang menjadi tempat paling aman dan nyaman di dunia ini. Komunitas yang tidak bisa didapat di dunia ini selain di dalam rumah Tuhan. Soli Deo gloria!

Wednesday, May 02, 2007

DI BAWAH BAYANG-BAYANG TRAUMA (22)

Setelah mengevaluasi pandangan-pandangan hidupnya, kita mulai mengajaknya untuk mengevaluasi pada kegiatan rutinitas yang terganggu akibat pengalaman trauma. Contohnya, gangguan pada semangat kerja, gangguan pada semangat belajar, gangguan pada pola makan, malas untuk melakukan kegiatan-kegiatan sehingga ia sering berdiam diri di rumah atau di kamar, dan sebagainya. Semua hal yang dialami tersebut merupakan reaksi terhadap pengalaman traumatis masa lalunya. Sebab itu, kita perlu mengevaluasi gangguan-gangguan atau gejala-gejala PTSD pada kegiatan rutinitasnya.

Setelah kita menemukan gangguan-gangguan yang dialami, maka kita dapat mendorongnya untuk memikirkan dan melakukan kegiatan-kegiatan yang paling mudah untuk dilakukan dalam waktu dekat. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat ditemukan dengan menanyakan hobi atau contoh-contoh kegiatan yang pernah dilakukan sebelum mengalami trauma. Dari sanalah kita dan orang tersebut dapat memikirkan kegiatan yang paling mudah untuk dilakukan dalam waktu dekat. Menurut hemat saya, mungkin akan lebih baik bila kita mendorongnya untuk fokus pada satu kegiatan terlebih dahulu. Maksudnya, kita tidak perlu terburu-buru untuk mendorongnya melakukan banyak kegiatan. Bila ia berhasil melakukan satu kegiatan, maka diharapkan ia mulai dapat merasakan keyakinan untuk melakukan kegiatan yang lain. Dan, bila keyakinan seperti demikian dapat terus berkembang, maka kemungkinan besar gangguan-gangguan pada kegiatan rutinnya dapat teratasi.

Tuesday, May 01, 2007

DI BAWAH BAYANG-BAYANG TRAUMA (21)

Hal ketiga adalah restorasi. Setelah kita mengajak orang traumatis untuk melakukan aktifitas mengingat, maka kita memasuki tahap terakhir yang dapat dilakukannya—restorasi. Apa tujuannya? Tujuan restorasi adalah agar orang yang mengalami trauma dapat kembali memiliki pikiran, perasaan dan perbuatan yang normal. Atau dengan kata lain, orang tersebut dapat menormalisasikan situasi yang abnormal (traumatis). Dan, saya kira restorasi inilah yang dinanti-nantikan oleh setiap orang yang pernah mengalami trauma meski ia tidak mengatakan harapannya.

Tapi bagaimana proses restorasi itu dilakukan? Proses ini bisa dimulai dengan mengevaluasi pandangan-pandangan hidupnya. Seperti yang pernah dikemukakan sebelumnya, orang traumatis dapat memiliki pandangan-pandangan negatif tentang dirinya sendiri, orang-orang di sekitarnya, dan Tuhan. Sebab itulah, penting baginya untuk melakukan evaluasi terhadap pandangan-pandangan hidup yang telah terdistorsi oleh karena pengalaman traumatisnya. Untuk mencapai tujuan evaluasi ini, kita dapat membantunya dengan bertanya: Seberapa jauh pandanganmu tentang seseorang dapat membantu menormalkan situasimu saat ini? Apakah pandangan itu dapat membantu perjalanan kehidupanmu? Bagaimana engkau memahami Allah pada situasi saat ini dan bagaimana hal itu dapat membantu dirimu dalam melewati masa-masa sulit?