Wednesday, September 24, 2008

BANYAK TAPI TAK BERNILAI


Markus 12: 41-44

Bila kita membaca selipan satu lembar laporan keuangan di dalam warta gereja, maka apa yang kita perhatikan? Selain melihat nama/kode persembahan kita sudah tercatat atau belum, kita kadang tergoda untuk melihat nama/kode persembahan yang jumlahnya besar. Setelah mata kita menyisir jumlah persembahan uang yang dicatat, entah mengapa mata kita terhenti pada jumlah persembahan uang yang besar, apalagi sangat besar. Tentu ada banyak alasan kenapa mata kita cenderung melihat jumlah uang yang besar.

Berbicara soal persembahan, saya teringat dengan kisah seorang janda miskin yang dicatat dalam Markus 12: 41-44 dan Lukas 21: 1-4. Perikopnya pendek, sederhana, tapi menyentuh hati. Situasinya waktu itu adalah Yesus mengajar di bait Allah. Ada dua tokoh penting yang sedang dibandingkan Yesus dalam pengajaran-Nya, yaitu orang kaya dan orang janda yang miskin. Baik orang kaya maupun janda miskin itu sama-sama memberikan persembahan. Dengan perantaraan seorang imam yang berjaga, orang dapat memberi persembahannya untuk kebutuhan rumah ibadah. Di waktu inilah orang-orang kaya biasanya suka menyebutkan dengan suara nyaring jumlah persembahan besar yang mereka berikan. Mereka membanggakan jumlahnya di depan orang banyak.

Kepada orang-orang itulah, Yesus mengomentari bahwa mereka semua [orang-orang kaya] memberi dari kelimpahannya (ay. 44). Apa artinya? Ini berarti orang kaya itu memberi persembahan setelah menghitung-hitung kelebihannya. Ia telah makan dan minum selezat-lezatnya, lalu kelebihannya itu dipersembahkan pada Tuhan. Mungkin hal ini dapat diandaikan sebagai berikut: Bayangkan, kita memiliki penghasilan bersih sebesar Rp. 100 juta/bulan. Kita tahu bahwa penghasilan seperti itu sudah sangat berkelimpahan. Kita sudah bisa pergi makan di restauran terkenal, membeli telpon genggam yang terbaru setiap hari, membeli baju setiap hari, dan membeli barang-barang mahal lainnya. Lalu di hari Minggu kita memberikan persembahan sebesar Rp. 500.000/ minggu. Nah kira-kira demikianlah yang dilakukan oleh orang kaya itu. Ia memang memberikan persembahan Rp. 500.000 dari sekian puluh juta yang ia miliki. Inilah yang disebut dengan memberi persembahan dari kelimpahannya.

Lalu kisah ini dilanjutkan dengan datangnya seorang janda miskin. Dalam bahasa Yunani, ada dua kata yang digunakan untuk mengambarkan kemiskinan. Kata pertama adalah “penes” yang menggambarkan keadaan miskin secara umum. Contohnya, ketika kita melihat orang-orang yang antri untuk mendapatkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) pemerintah, maka kita mengatakan, “Yang berhak masuk dalam antrian itu adalah orang-orang miskin.” Kita tidak mengerti seberapa miskinnya mereka, tapi kita menyebut “miskin” secara umum saja.

Kata kedua adalah “ptokos” yang menggambarkan keadaan seseorang yang benar-benar miskin sehingga benar-benar bergantung dari belas kasihan orang. Pada zaman Yesus, “ptokos” lebih banyak digunakan untuk menunjuk para pengemis dan orang-orang cacat. Nah di dalam kisah janda miskin tadi, Alkitab menggunakan kata “ptokos” yang artinya janda ini benar-benar miskin dan sangat bergantung dari pemberian orang lain. Dicatat dalam Alkitab bahwa wanita janda miskin itu lalu memberikan persembahan dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu dua peser. Peser memang merupakan mata uang terkecil bagi orang Yahudi. Kalau dalam satuan sen yang kita kenal, maka sepeser berarti setengah sen. Sebab itu, tidak heran bila dalam bahasa Yunani, peser seringkali diartikan sebagai si kurus. Dari informasi itu, kita sekarang melihat betapa kecilnya jumlah uang yang dipersembahkan oleh si janda miskin. Perbandingan jumlah persembahan antara orang kaya dan si janda miskin ini bagaikan bumi dan langit. Jauh sekali.

Tapi tunggu! Jumlah uang dua peser memang kecil, namun nilai bagi janda miskin sangatlah berharga. Seakan-akan seharga satu hari kehidupannya. Betapa tidak, dengan dua peser ia sebenarnya dapat membeli makanan untuk sehari, dan jangan lupa, dua peser adalah keseluruhan uang yang ia miliki. Itulah sebabnya Yesus mengatakan bahwa janda ini memberi semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya (lih. ay. 44).

Secara jumlah, persembahan janda miskin memang bagaikan bumi dan langit bila dibanding dengan orang kaya; namun secara nilai, persembahan janda miskin ini adalah persembahan yang paling berkenan di hadapan Tuhan. Sebab itu, Yesus mengatakan, “. . . sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan (ay. 43).

Bagaimana nilai persembahan kita di mata Tuhan? Persembahan di sini tidak selalu bicara soal persembahan uang, tapi bisa juga soal pelayanan. Dan untuk kali ini, kita akan membicarakan lebih banyak soal pelayanan. Terdapat setidaknya satu pelajaran berharga dari kisah tadi. Pelajaran itu mengatakan bahwa melayani Tuhan sesungguhnya bukan terletak pada kegiatannya, tapi pada pengorbanannya. Ini satu hal yang perlu ditanamkan dalam diri kita setiap hari. Kita sering terjebak pada pemikiran bahwa saya melayani Tuhan ketika saya mengikuti kegiatan-kegiatan gereja. Kita merasa bahwa kita sudah melayani Tuhan bila kita sudah mengikuti kegiatan paduan suara, pembesukan, pemimpin ibadah, pemuji, pemusik, majelis, bahkan menjadi hamba Tuhan.

Pelayanan bukanlah soal tugas, kegiatan, atau aktifitas tertentu. Pelayanan itu adalah soal pengorbanan. Belum tentu seorang yang terlibat dalam segala kegiatan rohani berarti ia sudah melayani Tuhan. Dan belum tentu seorang yang menjadi hamba Tuhan berarti ia sudah melayani Tuhan. Jangan terjebak pada konsep yang salah soal pelayanan. Dunia ini memang seringkali mengajak kita untuk berkonsentrasi pada apa yang kelihatan. Yang penting adalah kemasannya, senyumannya, pakaiannya, penampilan wajah, tutur katanya yang lihai, mobilnya, dan seterusnya. Hal ini seringkali menjebak kita untuk memahami konsep pelayanan secara keliru; kita akhirnya menyibukkan diri pada apa yang kelihatan, misalnya pada jumlah kegiatan rohani yang kita ikuti.

Tatkala merenungkan kisah ini, saya lalu bertanya apakah hal-hal yang saya lakukan pada Tuhan selama ini sungguh bernilai di hadapan Tuhan. Atau jangan-jangan hanya jumlahnya saja yang besar dan banyak, tapi tak bernilai apapun bagaikan tong kosong nyaring bunyinya di hadapan Tuhan. Sebagai seorang hamba Tuhan, saya melakukan jumlah pelayanan yang banyak di mata jemaat. Mulai dari pelayanan khotbah, menulis, mengonseling, memimpin, dan seterusnya. Tapi saya gentar, apakah saya sama seperti orang-orang kaya dalam kisah tadi, yang jumlahnya banyak namun ternyata tidak bernilai bagi Tuhan?

Marilah kita mengintropeksi hal ini. Bila kita ingin apa yang dilakukan bernilai bagi Tuhan, maka kita perlu melihat dengan jujur ke dalam lorong-lorong hati kita. Bertanyalah dengan jujur, sudah berapa kali kita berkorban untuk Tuhan? Adalah jauh lebih baik kita terlibat dalam satu kegiatan rohani tapi kita benar-benar merasa berkorban untuk Tuhan di sana, daripada mengikuti banyak kegiatan rohani, kelihatan hebat di mata manusia, tapi sesungguhnya kita tidak mengorbankan apa-apa buat Tuhan. Dan hal seperti itulah yang tidak bernilai bagi Tuhan.

Kegiatan-kegiatan rohani yang ada sesungguhnya merupakan wadah untuk kita berkorban bagi Tuhan. Dalam kegiatan itulah, kita mempersembahkan talenta, pikiran, tenaga, waktu, uang, dan sebagainya untuk Tuhan. Apapun yang kita dapat lakukan, kita lakukan buat Tuhan dalam kegiatan tersebut. Inilah pengorbanan. Dan ketika kita sudah merasa mengorbankan apa yang kita punyai dalam kegiatan rohani tertentu, maka kita boleh berkata, “Saya sudah melayani Tuhan.”

Perhatikan dan camkan sekali lagi peringatan Yesus dalam Matius 7: 22, “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga?” Perhatikan baik-baik, apa yang ditunjukkan mereka pada hari terakhir? Di hadapan Tuhan, mereka sibuk mendata kegiatan-kegiatan rohani yang pernah mereka lakukan. Secara manusia, orang-orang itu memang sangat hebat karena telah memberikan sumbangsih yang luar biasa banyaknya; tapi bagi Tuhan, bukan soal jumlah, tapi soal nilai. Orang-orang yang dikenal hebat dan banyak melakukan pelayanan itu ternyata ditolak Tuhan. Mereka melakukan banyak hal tapi itu tak bernilai. “Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu!” (Mat. 7: 23) Semoga apa yang kita lakukan buat Tuhan bernilai di hadapan-Nya.

Thursday, September 18, 2008

MENEMBUS BATAS

Jeruji besi Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, ternyata tidak selamanya menjadi pembatas bagi setiap napi di dalamnya. Kebebasan jiwa tidak selamanya terjajah oleh karena tubuh terkurung dalam penjara angker itu. Bahkan bukan hanya kebebasan jiwa, tetapi kesaksian hidup pun juga tidak selamanya mampu terbendung oleh ganasnya LP Nusakambangan. Hal ini telah dibuktikan oleh seorang terpidana mati yang bernama Okuludili Ayatanza, dari Nigeria.

Di balik jeruji itu, Ayatanza justru membuat 21 lagu rohani. Kesaksian hidupnya pun juga tidak hanya tercermin dari 21 lagu rohani saja, tetapi kesaksian hidupnya juga dirasakan oleh teman-teman napi lainnya. Memang benar bahwa Ayatanza akhirnya harus menutup usianya dengan eksekusi, tetapi yang pasti kesaksian hidup Ayatanza sebagai murid Kristus tidak pernah tereksekusi. Meski dibatasi oleh jeruji besi penjara, tetapi kesaksian hidupnya telah menembus batas. Kapankah kita bisa memiliki kesaksian hidup yang menembus batas?

Tuhan Yesus dengan jelas menggambarkan bahwa orang Kristen layaknya seekor domba yang sengaja dihadirkan di kawanan serigala. Konteks menjelaskan bahwa serigala-serigala itu adalah penganiaya-penganiaya para murid Kristus. Mereka akan menyerahkan para murid Kristus kepada majelis agama, digiring ke hadapan para penguasa dan raja. Intinya, para penganiaya itu akan giat untuk memberikan tekanan-tekanan jasmaniah dan batiniah kepada pengikut Kristus.

Inilah kondisi yang tidak dapat dihindari oleh para pengikut Kristus. Sebab itu, Tuhan mengingatkan kepada kedua belas murid-Nya untuk berlaku cerdik seperti ular tetapi tetap tulus seperti merpati (Matius 10: 16). Untuk apa toh Tuhan Yesus mengingatkan hal ini? Agar setiap murid-Nya dapat memiliki kesaksian hidup yang menembus batas. Okay memang mereka dihadirkan dalam batas-batas tekanan hidup, tetapi mereka tidak boleh menyerah oleh batas-batas itu.

Dan bukankah Yesus sendiri pernah menyodorkan diri-Nya sebagai contoh untuk menjelaskan maksud tadi? Yesus paham sekali bahwa ketika Ia hadir di dunia, maka dunia pasti menolak diri-Nya. Yesus paham sekali bahwa ketika Ia berbuat baik kepada orang, maka justru orang tersebut yang mengkhianati diri-Nya. Yesus paham sekali bahwa sampai pun Ia sudah membentangkan tangan-Nya untuk dipaku, Ia akan mendapatkan ejekan-ejekan dari para penonton-Nya. Kurang apa lagi?

Namun apakah seluruh tekanan-tekanan itu berhasil membatasi kesaksian hidup-Nya? Jelas tidak sama sekali! Sampai saat ini kesaksian hidup Yesus tetap menjadi panutan seluruh orang Kristen dan orang-orang non Kristen sekalipun (spt. Mahatma Gandhi). Inilah yang saya maksud dengan kesaksian hidup yang menembus batas. Boleh jadi hidup sarat dengan tekanan-tekanan hidup yang tak terduga, tetapi jangan sampai kesaksian hidup sebagai seorang pengikut Kristus menjadi terbatasi.

Apakah saat ini kita sedang terbatasi oleh batas-batas tekanan hidup yang dialami? Bisa jadi tekanan hidup itu berupa kondisi tubuh kita. Kadangkala kita menjadi mudah tersinggung dan marah bila kita sedang sakit flu. Bagaimana kalau terserang kanker ya? Atau mungkin kondisi sakit hati sedang menjadi batas bagi kesaksian hidup kita. Masing-masing kita memiliki perasaan yang dapat terluka. Tetapi apakah perasaan terluka dapat menyetir lidah kita untuk berkata-kata kasar terhadap orang yang menyakiti kita? Adakah kondisi-kondisi lain yang sedang membatasi kesaksian hidup kita?

Kisah singkat alm. Pdt. Eka Darmaputera akan menutup renungan saya. Selama kurang lebih 21 tahun Pdt. Eka hidup bersama-sama dengan kanker hati. Tahun demi tahun berjalan tidak membuat beliau makin sehat, tetapi membuat beliau semakin mendekati di penghujung jalan kehidupan. Tetapi apakah kanker hati itu membuat dia menyerah? Tidak! Selagi ia masih dapat berkhotbah, ia tetap berkhotbah dengan berapi-api bagaikan orang yang sehat. Dengan mata kepala saya sendiri, saya pun pernah melihat bagaimana Pak Eka berjalan dengan tegap dan wajah yang optimis.

Ketika ia sangat lemah dan terbaring di ranjang, ia tetap menulis. Dan salah satu tulisannya berbunyi demikian, “ . . . ketika tangan dan upaya manusia tak lagi mampu melakukan apa-apa yang bermakna, kita bersyukur karena bagi orang beriman selalu ada yang amat berarti yang dapat dilakukan.” Demikianlah sebuah kesaksian hidup yang menembus batas. Kawan-kawan seperjuanganku, marilah kita berjuang untuk menembus batas-batas dalam kehidupan kita. Amin.

Monday, September 15, 2008

RELA MENJADI BERKAT

Bravo untuk Maggie Catherwood! Orang ini sangat langka di dunia ini. Betapa tidak. Catherwood yang berusia 21 tahun itu rela berbagi lever yang didonorkan untuknya dengan seorang bayi berusia 8 bulan, Allison Brown. Pasti bukan satu hal yang mudah. Bayangkan, kondisi Catherwood waktu itu juga sama kritisnya dengan bayi itu. Selain itu, ia juga sudah cukup lama menanti transplantasi lever tersebut. Belum lagi ia adalah seorang gadis muda yang biasanya dianggap memiliki masa depan yang masih sangat panjang. Dan belum lagi, belakangan ini jaringan tranplantasi Amerika Serikat, tempat di mana Catherwood tinggal, sangat sulit dijumpai. Sebab itu, Sekali lagi, tindakan berbagi lever seperti ini pasti bukanlah pergumulan yang mudah bagi Catherwood. Sampai-sampai dokter bedah bayi itu berkata, “Andai semua penderita lever berhati baik sebaik Catherwood, kita bisa memastikan bahwa mereka yang saat ini masih menunggu donor tidak akan mati.”

Catherwood telah menjadi berkat bagi orang lain. Ia telah mengukir arti hidupnya. Hal yang sama pernah terjadi ribuan tahun lalu. Waktu itu ada seorang anak sedang mengikuti gerombolan orang yang takjub dengan aneka mukjizat yang dilakukan Yesus. Ada yang tua dan muda. Kira-kira 5000 orang lebih jumlahnya. Mereka perlu makanan setelah berjalan bersama Yesus sekian panjang. Yesus pun mengerti kebutuhan mendasar ini. Tapi masalahnya tidak ada makanan untuk sejumlah orang banyak itu.

Lalu apa solusinya? Yohanes 6: 8 mencatat, “Seorang dari murid-murid-Nya, yaitu Andreas, saudara Simon Petrus, berkata kepada-Nya: ‘Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?’” Andreas benar bahwa dalam hitungan matematika manusia 5 roti dan 2 ikan tidak akan cukup. Tapi kita sama-sama tahu bahwa kisah ini berakhir dengan happy ending. Yesus mengadakan mukjizat dan akhirnya semua orang dapat makan sampai kenyang. Bahkan roti dan ikan itu sisa banyak.

Kok bisa? Jelas itu terjadi karena kemahakuasaan Yesus. Tapi mari kita melihat dari sisi yang berbeda dari peristiwa itu, yaitu sisi sang anak yang membawa 5 roti dan 2 ikan. Meski peran anak itu dicatat secara samar dan hanya dicatat dalam satu ayat (ay. 9), namun justru ia berperan penting dalam peristiwa itu. Kenapa demikian? Karena anak itu rela memberikan roti dan ikannya. Sangat mungkin anak itu membawa roti dan ikan sebagai bekal yang cukup bagi dirinya. Dan sangat mungkin anak itu tidak menyembunyikan bekalnya tersebut. Tapi pada kenyataannya, ia rela memberikan roti dan ikannya. Dengan kata lain, ia rela menjadi berkat.

Apakah kita rela menjadi berkat? Hah . . . rela menjadi berkat? Ya jelas semua orang ingin menjadi berkat. Siapa sih yang tidak mau? Hmmm . . . tunggu dulu! Memang sangat mungkin semua orang ingin menjadi berkat, tapi itu sebuah wacana. Sebuah ide. Sebuah gagasan. Di lapangan belum tentu. Kenyataannya, tidak banyak orang Kristen yang rela menjadi berkat bagi sesamanya. Tidak banyak orang Kristen yang rela “dipecah” bagi sesamanya.

Ah tak usah jauh-jauh melihat contohnya. Di rumah Tuhan sendiri ada orang-orang yang tidak rela menjadi berkat bagi sesamanya. Berapa banyak jemaat yang tidak mengambil pelayanan apapun di gereja? Heran, sudah lama ia beribadah, tapi ia belum melakukan apapun di rumah Tuhan. Bukan hanya itu, sudah lama ia mendapatkan pelayanan dari rekan-rekan seimannya, tapi ia belum melakukan hal yang sebaliknya bagi rekan seimannya. Ia bagaikan pengemis yang maunya menerima pelayanan dari orang lain. Nah inilah contoh orang yang tidak rela menjadi berkat. Ada juga kan di gereja Anda?

Tapi mungkin ada orang yang berkata bahwa dirinya tidak bisa melakukan apa-apa di dalam gereja. Ia tidak memiliki kemampuan atau karunia untuk memberikan kontribusi bagi rumah Tuhan dan sesama jemaat. Ia merasa tidak berarti. Orang lain pun menganggapnya tidak berarti.

Sama seperti Andreas, saudara Simon Petrus, yang pesimis dan berkata, “tetapi apakah artinya itu [5 roti dan 2 ikan] untuk orang sebanyak ini?” Apa yang dipunyai anak itu hanyalah 5 roti dan 2 ikan yang tiada artinya bagi orang lain. Bahkan Andreas pun mengatakan demikian. Tapi lihatlah, apa yang dianggap tidak berarti bagi manusia justru dipakai Tuhan untuk memberkati sedemikian banyak orang. Nothing disulap menjadi something, di tangan Tuhan. Jadi tidak ada alasan untuk mengatakan dirinya tidak berarti. Yang terpenting, sama seperti anak kecil itu, ia rela menjadi berkat. Itu tugasnya. Itu bagiannya. Rela menjadi berkat. Selanjutnya, terserah Tuhan!

Wednesday, September 10, 2008

ASALKAN ADA CINTA

Apa itu cinta? Banyak sekali artinya. Silakan menelusurinya di internet, dan Anda akan menemukan banyak sekali pengertiannya. Ada yang mengartikan cinta sebagai bentuk kemampuan dan kemauan untuk mengizinkan orang-orang yang kita kasihi mengambil pilihan bagi dirinya sendiri, tanpa ada embel-embel menguntungkan diri kita (Leo Buscaglia). Ada pula yang mengatakan bahwa cinta itu merupakan perjumpaan dengan perbedaan dan menemukan cara-cara yang sama, berbagi keputusan, dan mengemban tanggungjawab bersama-sama untuk menjalankan hasilnya. Ada pula yang mengartikan cinta dari 1 Korintus 13. Dan seterusnya. Menurut Anda sendiri, apa itu cinta?

Apapun artinya cinta, bagi raja Daud cinta itu sebuah action. Sebuah tindakan nyata. Coba renungkan 1 Tawarikh 29: 1-9, dan Anda akan berjumpa dengan arti cinta bagi raja Daud, khususnya cinta yang ditujukan pada rumah Allah. Dalam perenungan saya, mata saya terpaku pada ayat 3, yang berbunyi demikian: "Lagipula oleh karena cintaku kepada rumah Allahku, maka sebagai tambahan pada segala yang telah kusediakan bagi rumah kudus, aku dengan ini memberikan kepada rumah Allahku dari emas dan perak kepunyaanku sendiri . . ." Kaitannya antara cinta Daud pada rumah Allah dan pemberian barang berharganya pada rumah Allah sangatlah jelas. Tidak perlu banyak tafsiran yang rumit. Ini sangat sederhana. Tapi rasakan kedalamannya!

Situasinya waktu itu raja Daud merencanakan untuk membangun rumah Allah. Ia benar-benar serius melakukan berbagai persiapan untuk pembangunan tersebut. "Pekerjaan ini besar, sebab bukanlah untuk manusia bait itu, melainkan untuk Tuhan Allah," demikian kata raja Daud. Nah dalam persiapannya itu, raja Daud kemudian mengumpulkan segala dukungan dari para pembesar Israel.

Namun Daud tidak hanya asal bicara, alias NATO (No Action Talk Only). Ia tidak hanya menggalang dana dan barang dari orang lain. Tapi ia pun mempersembahkan apa yang menjadi miliknya untuk rumah Allah. Yang dipersembahkan bukan barang murahan, tapi barang yang mahal, yang terbaik pada zamannya. Jumlah yang dipersembahkan pun juga tidak tanggung-tanggung. Tiga ribu talenta emas (1 talenta = 34 kilogram; 3000 talenta = 102.000 kilogram). Selain itu, emasnya adalah emas yang sangat mahal, yaitu emas Ofir (bdk. Ayub 28: 16 di mana Ayub secara tidak langsung menunjukkan tingkat kemahalan emas Ofir pada zamannya). Tapi itu belum selesai. Daud masih mempersembahkan 7000 talenta perak murni (atau 238.0000 kilogram). Bravo!

Kok bisa Daud melakukan hal yang sedemikian hebatnya? Sekali lagi, karena cintanya pada rumah Allah. Asalkan ada cinta, pengorbanan sedemikian rupa menjadi sukacita. Asalkan ada cinta, pemberian sedemikian rupa diberikan dengan tulus. Asalkan ada cinta, Tuhan pun senang. Betapa kuatnya sebuah cinta itu! Yang penting . . . asalkan ada cinta.

Apakah kita mencintai rumah Tuhan? Tolong jangan diartikan secara ekstrem, yaitu kita mencintai rumah Tuhan dan bukan Tuhannya sendiri. Saya yakin Daud pun tidak bermaksud demikian. Tapi ini berbicara soal pelayanan kepada Tuhan melalui pembangunan rumah Allah. Kadang kita perlu prihatin terhadap rumah Allah karena banyak orang Kristen yang sibuk memerhatikan rumah sendiri ketimbang rumah Allah. Bila atap rumah kita dimakan rayap, maka kita segera memperbaikinya. Tapi bagaimana bila atap rumah Allah yang dimakan rayap? Adakah kita mempedulikannya? Bila ruang tamu rumah kita didesain sedemikian indahnya, maka bagaimana dengan ruang ibadah di dalam rumah Allah? Adakah kita mempedulikannya? Untuk membangun rumah kita, kita berani berkorban banyak hal, seperti waktu, tenaga, uang, pikiran, dan lainnya. Tapi bila untuk pembangunan rumah Allah, maka apakah kita berani berkorban sedemikian rupanya?

Asalkan ada cinta . . . Anda akan bertindak bagi rumah Allah!

Sunday, September 07, 2008

Satu Lagi dari Tuhan


Hari ini ada berita mengecewakan buat saya. Cukup menyakitkan. Berita tentang seorang rekan yang mengundurkan diri dari pelayanan. Selama ini saya mengira dia adalah orang yang bisa diandalkan. Orang yang mempunyai hati terhadap pelayanan itu. Dan sejujurnya, memang saya cukup banyak memercayai hatinya. Tapi apa yang saya kira selama ini ternyata tidak terjadi. Ia justru mengundurkan diri karena alasan yang rasanya masih sulit diterima nalar saya. Rasanya tidak percaya . . . dan mengecewakan!

Mendengar kabar ini, saya cuman bisa share ke istri dengan satu kalimat pendek, "I'm dissapointed!"

Tapi peristiwa ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi dalam hidup saya, berkaitan dengan pelayanan itu. Sebelumnya pun ada orang yang selama ini saya kira dapat diandalkan. Orang yang paling dianggap mampu mendukung pelayanan itu oleh karena keahlian pada dirinya. Multi talented, I guess. Dalam banyak hal ia membantu pelayanan itu. Waktu itu banyak orang menyukainya. Dan memang, secara hitungan manusia, dia adalah "selling power" yang kita miliki. Namun . . . beberapa bulan yang lalu saya mulai paham bahwa dia belum bisa menjadi andalan.

Hari ini genaplah dua orang yang saya anggap dapat diandalkan kandas. Mau tidak mau, saya kecewa.

Tapi inilah perjalanan kerohanian bagi seorang musafir Kristen seperti saya. Satu lagi dari Tuhan, jangan bersandar pada manusia! Satu lagi pengalaman pahit yang memiliki pelajaran indah. Satu lagi berkat dari Tuhan. Sakit memang rasanya, tapi itu perlu. Mungkin sudah sekian lama saya terlalu mengandalkan pelayanan pada mereka. Dan inilah waktunya untuk kembali sadar, dan kembali ke jalan yang benar. Hmmm . . . satu lagi dari Tuhan. Terima kasih ya Tuhan. Engkau baik, sangat baik.

Wednesday, September 03, 2008

SIAPA YANG DIBERI MAKAN?

Seorang pemuda bertanya pada kakeknya mengapa dirinya begitu gampang tersinggung dan marah. Ia ingin tahu cara mengubah perangainya yang satu ini. Sang kakek lalu bercerita bahwa dalam diri manusia terdapat "dua serigala". Serigala yang satu selalu berpikiran negatif, mudah marah, dan suka berprasangka buruk. Apa-apa selalu dilihat dari hal yang negatif. Adapun serigala yang lain selalu berpikiran positif. Hatinya baik dan suka hidup damai. Setiap hari kedua serigala ini berkelahi. "Lalu serigala mana yang menang?" tanya si pemuda itu. "Serigala yang setiap hari kamu beri makan," jawab sang kakek.

SIAPAKAH GEMBALA KITA?


Mazmur 23
"Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku" (Mzm. 23:4)

Mazmur 23, ah siapa yang tidak tahu Mazmur ini? Saya kira kebanyakan orang Kristen sudah tahu inti dari Mazmur 23. Bahkan, sebagian kita sudah hafal ayat demi ayatnya. Dalam Mazmur tersebut, ada satu tokoh yang berperan penting. Tokoh itu menjadi aktor utama. Tokoh itu, tentunya, adalah sang gembala. Apa yang ada di dalam benak Anda ketika istilah "gembala" itu disebutkan? Bagi saya, secara sederhana gembala adalah seorang yang memimpin domba-dombanya untuk melakukan sesuatu. Atau kalau dari sisi dombanya, ia akan berkata kepada sang gembala, "Whereever you go I will follow." Ya betul, kemanapun gembala itu pergi, domba itu akan ikut.

Mazmur 23 adalah refleksi Daud atas Tuhannya. Melalui konteks hidup dan pekerjaannya, Daud menggambarkan Tuhan sebagai gembala dan ia sebagai dombanya. Daud sangat memercayai kepemimpinan Tuhannya. Daud yakin siapa Tuhannya. Kurang apa lagi? Tidak ada. Itulah sebabnya, Daud membuka Mazmur 23 dengan kalimat: "Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku." Dan dengan keyakinan seperti demikianlah, Daud lalu memercayakan hidupnya pada Tuhan, Sang Gembalanya. Dengan kata lain, Daud berkata kepada Sang Gembala, "Whereever you go I will follow."

Saya kira kita pun percaya bahwa Yesus adalah Gembala yang baik. Gembala yang menuntun kehidupan kita. Gembala yang memimpin kehidupan kita. Sebagai domba peliharaan-Nya, kita sudah seharusnya berkata, "Whereever you go I will follow." Kemanapun Engkau pergi, aku akan ikut. Namun dalam kenyataannya, siapakah yang kita ikuti? Siapakah yang menjadi gembala kita? Sadar atau tidak, kadang kita justru memilih dan memiliki gembala yang menyesatkan. Gembala itu dapat berwujud uang, jabatan, popularitas, tokoh yang dikagumi, pengalaman pahit di masa lalu, dan seterusnya. Waspadalah dengan gembala-gembala seperti demikian. Sesungguhnya, mereka bukanlah gembala yang baik. Sebaliknya, mereka adalah gembala yang menyesatkan, yang menuntun kita pada air yang bergelora, yang menuntun kita pada padang yang gersang. Pada awalnya, gembala-gembala itu memang menawarkan hal-hal yang menyenangkan bagi kita. Tapi ujungnya, mereka adalah gembala yang jahat, yang membuat kita menyesal seumur hidup.

Renungkan, siapakah yang menjadi gembala kita saat ini? Pertanyaan ini penting. Pertanyaan ini mendesak. Bila Tuhan adalah Gembala kita, bertekadlah: "Whereever you go I will follow."

Monday, September 01, 2008

I SURRENDER ALL

Lukas 25: 14

"Sebab hal kerajaan sorga sama seperti seorang yang mau berpergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka"

Kemarin gereja berulangtahun yang ke 51. Acara berjalan baik. Ibadah yang dipimpin oleh Jeffry S. Tjandra juga berjalan dengan baik, dalam arti ada kerjasama yang baik antara pemusik dan pemimpin ibadahnya. Hmmm . . . saya kira cara memimpin ibadah ala Jeffry S. Tjandra cukup inspiratif bagi gereja yang disebut-sebut tradisional. Ah sayangnya, lagu-lagu yang dibawakan oleh beliau tidak semuanya dimengerti jemaat, setidaknya oleh saya. Setidaknya lebih dari dua lagu saya belum pernah mendengar lagu-lagunya sehingga hal itu agak mengganjal bagi saya.

Tapi saya kembali "dihibur" oleh penyampaian firman Tuhan yang dibawakan Pdt. Rahmiati Tanudjaja (SAAT-Malang). Inilah yang hendak saya bagikan, khususnya refleksi terhadap diri saya pribadi. Dengan mengangkat Lukas 25: 14, soal perumpamaan talenta, beliau menjelaskan bagaimana kita perlu bersyukur karena anugerah keselamatan yang diberikan Tuhan. Salah satu butir yang dijelaskan adalah pada kalimat "mempercayakan hartanya kepada mereka." Berulangkali ia menekankan sepotong kalimat itu. Dan itu mengena hati saya.

Dengan penekanan itu, ia menjelaskan bahwa semua yang ada pada kita adalah milik Tuhan. Kebenaran ini sangat hitam putih. Sangat jelas, tanpa tedeng aling-aling. Harta yang diberikan kepada hamba-hambanya adalah milik sang tuan. Itu bukan diberikan dalam arti berganti hak milik. Namun harta itu dipercayakan; artinya harta itu tidak berganti hak milik. Kepemilikan tetap ada di tangan sang tuan. Dan seperti yang kita ketahui, satu ketika sang tuan berhak minta hartanya kapanpun, atau minta hartanya digunakan untuk tujuan sesuatu, dan seterusnya. Semua ada di dalam wewenang tuannya.

Firman itu sangat mengena saya. Spontan saya langsung berinteraksi dengan diri. Banyak pertanyaan reflektif muncul: apakah selama ini saya menganggap apa yang dipakai dan digunakan adalah milik saya, apakah selama ini saya telah menggunakan semuanya itu untuk Tuhan, apakah kendaraan yang saya miliki telah digunakan untuk pelayanan Tuhan, apakah uang pun telah digunakan untuk pekerjaan Tuhan. Atau apakah selama ini saya pelit bila Tuhan meminta sesuatu dari saya, yang sebenarnya adalah milik-Nya? O God, help me to pray and do like this song:
I surrender all
I surrender all
All to Jesus, I surrender
I surrender all