Tuesday, June 24, 2008

BERAGAM CARA PEMECAHAN MASALAH 2

Pada tanggal 8 Juni yang lalu, saya telah menguraikan salah satu strategi/cara memecahkan masalah. Cara tersebut adalah pembingkaian kembali (relabelling). Kali ini, saya akan mengurai cara kedua, yaitu mengangkat simtom (symptom prescriptions).

Merupakan suatu kecenderungan yang wajar bahwa orang-orang yang berprofesi sebagai penolong ingin meringankan penderitaan dan mengatasi masalah-masalah klien mereka. Kadang-kadang sikap seperti ini malahan dapat mengganggu proses terapi. Akan lebih membantu jika sebelumnya konselor menilai secara cerman kebutuhan-kebutuhan klien sebelum melakukan intervensi. Kadang-kadang klien perlu "mengalami" simtom tersebut secara lebih mendalam demi sebuah perubahan.

Contoh penerapan: Suatu ketika seorang konselor Victor Frankl menghadapi seorang klien yang mengalami ketakutan untuk naik alat transportasi apapun atau memasuki gedung-gedung. Klien itu sangat cemas dan takut kalau tiba-tiba ia pingsan dan mati. Sebagai bagian dari pengobatan itu, Frankl memerintahkan klien untuk membiarkan simtom-simtom itu muncul dan membuatnya sangat menderita. Ia harus mencari tempat-tempat yang ditakutkan agar simtom itu muncul. Klien ini bekerja sama. Ia sungguh-sungguh melakukan apa yang diperintahkan Frankl, dan hasilnya ia sembuh dalam waktu singkat.

Contoh penerapan 2: Seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun dibawa kepada saya karena ia mempunyai kebiasaan memegang kemaluannya di hadapan orang banyak. Awal terjadinya kebiasaan itu dimulai ketika ia sedang tertekan dan harus melakukan sesuatu dengan terburu-buru. Sebagai proses terapinya, konselor meminta orangtuanya untuk menyuruh anak melakukan kebiasaan itu setiap kali ia sampai di rumah sepulang sekolah, setelah makan malam, sebelum ia mandi, dan sebelum ia pergi tidur. Dalam waktu sebulan kemudian, didapatkan bahwa kebiasaan itu menghilang. Saat ini, ia sudah dapat mengendalikan perilakunya, dan bahkan ia dapat menghentikannya.

Bagaimana kita menalar cara terapi seperti ini? Alasan yang melatarbelakangi strategi ini adalah bahwa suatu simtom yang dengan sengaja dibawa ke permukaan akan menyebabkan klien justru dapat mengendalikannya dan pada gilirannya menghilangkannya. Suatu perilaku/simtom yang dianggap terjadi di luar kehendak klien sekarang dapat dikendalikan.

Saturday, June 21, 2008

MENGAJARI DENGAN TELADAN


Ajari aku untuk mencintai dan menyayangi diri sendiri

lewat keteladananmu yang positif.

Aku akan belajar dari semua tindakanmu

dan tumbuh dengan memiliki perhatian diri yang baik.


Ralph Waldo Emerson pernah mengatakan, "Kamu berteriak terlalu keras di telingaku, aku tidak bisa mendengar apa yang kamu katakan." Kata-kata tanpa tindakan hanya sedikit berpengaruh atau sama sekali tidak berpengaruh. Namun, ketika kata-kata didukung oleh teladan nyata, mereka punya kekuatan untuk membentuk keyakinan dan kebiasaan yang berumur panjang.

Mengucapkan, "Lakukan yang saya katakan, bukan yang saya lakukan" jarang memberi dampak. Seorang anak hampir selalu bertindak berdasarkan apa yang terlihat olehnya. Saya teringat ketika saya meminta putra saya untuk menonton televisi dalam jarak yang cukup. Tiap kali dia menonton televisi, apalagi dengan menatapkan wajahnya persis di depan layar kaca, maka saya selalu mengingatkan dan kadangkala mendisiplinnya. Suatu ketika saya menerima telepon yang letaknya di sebelah televisi yang sedang menayangkan sebuah film. Seusai menerima telepon, tak terasa saya menonton televisi terlalu dekat. Putra saya langsung berkata, "Papa dekat-dekat televisi." Spontan saja saya malu. Saya terkejut dan berkata, "Oh iya, Papa salah ya. Terima kasih ya sinyo (panggilan akrabnya)." Memang benar bahwa anak belajar banyak dari teladan, ketimbang perkataan orangtuanya. Ada satu fakta yang dicatat oleh kedua psikolog, Diana Loomans dan Julia Godoy, bahwa lebih dari 75% narapidana puya satu atau lebih anggota keluarga yang dipenjara. Saya tidak tahu survei tersebut diambil dari konteks mana, tapi fakta ini tentu memberikan indikasi tentang peran sebuah keteladanan.

Lantas, bagaimana caranya agar kita sebagai orangtua merasa lebih mudah untuk senantiasa memberikan teladan bagi anak-anak? Dengan baik Loomans dan Godoy menjelaskan bahwa cara pertama dan terpenting menjadi teladan bagi anak-anak terletak pada kasih sayang yang sehat dan konsisten dari kita sendiri. Maksudnya, kita perlu memerhatikan kondisi diri sendiri dahulu. Gambaran tentang mengenakan masker oksigen di pesawat sangat sesuai--hanya orang dewasa yang menghirup cukup oksigen terlebih dahululah yang dapat menolong anak kecil yang bergantung padanya agar bisa tetap hidup.

Orangtua kadang terperangkap dalam kebiasaan memenuhi semua kebutuhan anak sebelum memenuhi kebutuhannya sendiri, dengan keyakinan bahwa anak harus selalu didahulukan. Dalam lingkungan yang normal, sangatlah bermanfaat bagi orangtua untuk memberi perhatian yang berkualitas pada kehidupan mereka sendiri terlebih dahulu. Perhatian diri sehari-hari merupakan oksigen untuk jiwa. Atau dengan kata lain, sejumlah perhatian diri dapat membawa keseimbangan dan ketenangan yang luar biasa bagi orangtuanya.

Ada seabrek cara untuk memerhatikan diri sendiri. Ada yang melakukan meditasi pribadi. Ada yang memanjakan diri dengan pijatan. Ada yang melakukan hobi tertentu. Inilah yang salah satu saya lakukan. Hobi saya adalah bermain bulutangkis. Saya selalu meluangkan waktu untuk bermain bulutangkis setiap hari Senin. Dalam waktu itulah saya bisa melepaskan banyak ketegangan batin/stress. Setelah pulang, saya tidak langsung menyambut keluarga dengan hangat. Saya masih perlu menenangkan diri alias reorientasi, dari suasana lapangan masuk ke suasana rumah. Biasanya, untuk beberapa waktu saya menonton televisi, dan terkadang sambil menikmati french fries buatan istri. Setelah cooling down selesai, maka saya bergegas mandi dengan air hangat. Nah baru setelah itu, saya bermain bersama istri dan anak dengan perasaan yang lebih siap. Dari pengalaman ini, saya kira memang benar bahwa kita perlu memerhatikan diri dalam jumlah tertentu untuk menyehatkan suasana pikiran dan emosi. Bila suasana pikiran dan emosi telah sehat, maka tentunya kita sebagai orangtua lebih mudah memberikan keteladanan bagi anak-anak tercinta kita.

Selamat mencoba!

(Disarikan dari Loomans & Godoy, Positive Parenting, 1-13)

Tuesday, June 17, 2008

APA YANG ANAK-ANAK INGIN ORANGTUANYA TAHU


Ajari aku untuk mencintai dan menyayangi diri sendiri,
lewat keteladanan yang positif
Aku akan belajar dari semua tindakanmu,
dan tumbuh dengan memiliki perhatian diri yang baik.

Perhatikan aku selalu,
bergembiralah atas kehadiranku.
Aku akan tumbuh dengan mengetahui bahwa aku istimewa,
dan membantu orang lain merasakan hal yang sama.

Dengarkan aku dengan empati,
miliki hati yang terbuka dan penyayang.
Aku akan tahu bahwa aku dilihat dan didengar,
dan tumbuh menjadi pendengar yang baik.

Seringlah tertawa dan bergembira bersamaku,
jadilah penyayang setiap hari.
Aku akan bermain dan menikmati hidupku,
dan membawa lebih banyak kebahagiaan kepada sesama.

Akuilah diriku selalu,
dan katakan ketika kau menghargai aku.
Aku akan tahu bahwa aku berharga,
dan belajar untuk mengakui orang lain.

Ajari aku disiplin,
dan perbaiki aku dengan kelembutan.
Akan kujalani hidup dengan penuh martabat,
dengan rasa bangga terhadap harga diri.

Berilah aku ruang untuk tumbuh,
untuk melakukan kesalahan dan berpendapat.
Aku akan belajar mandiri,
dan mempercayai penilaianku sendiri.

(Diambil dari Diana Loomans dan Julia Godoy, Positive Parenting, XV)

Sunday, June 08, 2008

BERAGAM CARA PEMECAHAN MASALAH

Dalam menolong orang yang sedang memiliki masalah, seorang konselor harus senantiasa meyakini bahwa klien adalah pribadi yang unik. Implikasi dari keyakinan ini adalah konselor akan selalu mencoba untuk menolong klien dengan cara yang paling spesial buat dirinya. Keberhasilan suatu cara yang pernah diterapkan pada seorang klien tidak menjamin keberhasilannya pada klien yang lain. Sebab itu, seorang konselor perlu kreatif dalam memikirkan cara yang paling cocok pada setiap kliennya.

Di antara sekian banyak cara, seorang konselor Asia, Anthony Yeo membagikan pada kita sejumlah cara yang bersifat umum, praktis, dan dapat diterapkan untuk sejumlah besar masalah. Setidaknya ada tujuh cara yang diuraikan oleh Yeo: Pertama, pembingkaian kembali (relabelling). Ini merupakan cara memandang suatu situasi sedemikian rupa sehingga klien akan memberikan reaksi berbeda terhadap situasi itu dan dengan demikian mengalami perubahan. Pengubahan ini dapat dilakukan melalui perubahan konteks konseptual dan/atau emosional di mana situasi tersebut dialami. Segera setelah perubahan ini terjadi, simtom masalah tidak akan bertahan lebih lama lagi. Dengan cara ini, relasi-relasi, perilaku, atau persepsi yang menimbulkan masalah diubah menjadi kekuatan terapeutis.

Contoh penerapan: Anthony Yeo pernah menangani seorang yang menyatakan dirinya tidak normal dan menderita neurosis obsesif kompulsif. Ia sangat terobsesi dengan kebersihan dan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berusaha menjaga agar dirinya benar-benar bersih. Setiap kali mandi, sekurang-kurangnya ia membutuhkan waktu satu jam lamanya. Ketika membicarakan kasusnya, Yeo menggunakan istilah yang dipergunakannya, yaitu perhatian terhadap kebersihan tubuhnya dan menitikberatkan pada kesadarannya terhadap kebutuhannya untuk mandi secukupnya. Secara konsisten, Yeo mengubah sebutan terhadap perilakunya sebagai kesadaran akan kebersihan. Hasilnya, setelah beberapa waktu, ia mulai mampu melihat kenyataan dirinya dari pandangan yang berbeda dan ia mampu memutuskan durasi untuk mandi. Ia juga sanggup melihat dirinya bukan penderita neurosis (sesuatu yang tadinya membuat ia tidak berdaya).

Ketika kita mengubah makna dari situasi problematis dengan mengubah konsepnya, situasi itu sendiri akan dialami secara berbeda. Sekali kita berhasil mengalami secara berbeda, situasi itu tidak lagi dirasakan problematis. Satu situasi apapun tidak akan berubah selama kita tidak mengubah cara pandang terhadap situasi tersebut. Epictetus, pada abad pertama, pernah mengatakan: "Pada dirinya sendiri setiap hal tidaklah menimbulkan masalah bagi kita, tetapi pendapat kita sendiri tentang hal-hal tersebut itulah yang menimbulkan masalah."

(Disarikan dari Anthony Yeo, Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah, 192-194).

Friday, June 06, 2008

PERSPEKTIF HISTORIS TENTANG PERILAKU ABNORMAL

Sepanjang sejarah budaya barat, konsep perilaku abnormal telah dibentuk, dalam beberapa hal, oleh pandangan dunia waktu itu. Contohnya, masyarakat purba menghubungkan perilaku abnormal dengan kekuatan supranatural atau yang bersifat ketuhanan. Para arkeolog telah menemukan kerangka manusia dari Zaman Batu dengan lubang sebesar telur pada tengkoraknya. Satu interpretasi yang muncul adalah bahwa nenek moyang kita percaya bahwa perilaku abnormal merefleksikan serbuan/invasi dari roh-roh jahat. Mungkin mereka menggunakan cara kasar yang disebut trephination--menciptakan sebuah jalur bagi jalan keluarnya roh tertentu.

Pada abad pertengahan kepercayaan tersebut makin meningkat pengaruhnya dan pada akhirnya mendominasi pemikiran di zaman pertengahan. Doktrin tentang penguasaan oleh roh jahat meyakini bahwa perilaku abnormal merupakan suatu tanda kerasukan oleh roh jahat atau iblis. Rupanya, hal seperti ini masih dapat dijumpai di negara kita, khususnya di daerah pedalaman. Pernah saya melihat di tayangan televisi yang mengisahkan tentang seorang ibu dirantai kakinya karena dianggap gila. Oleh karena keluarga meyakini bahwa sang ibu didiami oleh roh jahat, maka mereka membawa ibu ini pada seorang tokoh agama di desanya. Dia diberi minum air putih yang sudah didoakan. Mungkin inilah gambaran situasi pada abad pertengahan berkaitan dengan penyebab perilaku abnormal.

Lalu apa yang dilakukan waktu itu? Pada abad pertengahan, para pengusir roh jahat dipekerjakan untuk meyakinkan roh jahat bahwa tubuh korban yang mereka tuju pada dasarnya tidak dapat dihuni. Mereka melakukan pengusiran roh jahat (exorcism) dengan cara, misalnya: berdoa, mengayun-ayunkan tanda salib, memukul, mencambuk, dan bahkan membuat korban menjadi kelaparan. Apabila korban masih menunjukkan perilaku abnormal, maka ada pengobatan yang lebih kuat, seperti penyiksaan dengan peralatan tertentu.

Keyakinan-keyakinan dalam hal kerasukan roh jahat tetap bertahan hingga bangkitnya ilmu pengetahuan alam pada akhir abad ke 17 dan 18. Masyarakat secara luas mulai berpaling pada nalar dan ilmu pengetahuan sebagai cara untuk menjelaskan fenomena alam dan perilaku manusia. Akhirnya, model-model perilaku abnormal juga mulai bermunculan, meliputi model-model yang mewakili perspektif biologis, psikologis, sosiokultural, dan biopsikososial. Di bawah ini adalah penjelasan-penjelasan singkatnya.

Perspektif biologis: Seorang dokter Jerman, Wilhelm Griesinger (1817-1868) menyatakan bahwa perilaku abnormal berakar pada penyakit di otak. Pandangan ini cukup memengaruhi dokter Jerman lainnya, seperti Emil Kraepelin (1856-1926) yang menulis buku teks penting dalam bidang psikiatri pada tahun 1883. Ia meyakini bahwa gangguan mental berhubungan dengan penyakit fisik. Memang tidak semua orang yang mengadopsi model medis ini meyakini bahwa setiap pola perilaku abnormal merupakan hasil dari kerusakan biologis, namun mereka mempertahankan keyakinan bahwa pola perilaku abnormal tersebut dapat dihubungkan dengan penyakit fisik karena ciri-cirinya dapat dikonseptualisasikan sebagai simtom-simtom dari gangguan yang mendasarinya.

Perspektif psikologis: Sigmund Freud, seorang dokter muda Austria (1856-1939) berpikir bahwa penyebab perilaku abnormal terletak pada interaksi antara kekuatan-kekuatan di dalam pikiran bawah sadar. Model yang dikenal sebagai model psikodinamika ini merupakan model psikologis utama yang pertama membahas mengenai perilaku abnormal.


Perspektif sosiokultural: Pandangan ini meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks-konteks sosial yang lebih luas di mana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari perilaku abnormal. Penyebab perilaku abnormal dapat ditemukan pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. Masalah-masalah psikologis bisa jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat, seperti kemiskinan, perpecahan sosial, diskriminasi ras, gender, gaya hidup, dan sebagainya.

Perspektif biopsikososial: Pandangan ini meyakini bahwa perilaku abnormal terlalu kompleks untuk dapat dipahami hanya dari salah satu model atau perspektif. Mereka mendukung pandangan bahwa perilaku abnormal dapat dipahami dengan paling baik bila memperhitungkan interaksi antara berbagai macam penyebab yang mewakili bidang biologis, psikologis, dan sosiokultural.

(Disarikan dari Nevid, et. al. Psikologi Abnormal 1, 9-17).

Tuesday, June 03, 2008

MENGUKUR ABNORMALITAS 2

(2) Perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau melanggar norma sosial. Setiap masyarakat memiliki norma-norma (standar) yang menentukan jenis perilaku yang dapat diterima dalam beragam konteks tertentu. Perilaku yang dianggap normal dalam satu budaya mungkin akan dipandang sebagai abnormal dalam budaya lainnya. Atau, apa yang dianggap abnormal dalam satu generasi mungkin dilihat sebagai hal yang normal oleh generasi lainnya. Contohnya, sampai pada pertengahan tahun 1970-an homoseksualitas diklasifikasikan sebagai sebuah gangguan mental oleh para psikiater. Namun, sekarang para psikiater tidak lagi mempertimbangkan homoseksualitas sebagai gangguan mental dan banyak orang memberikan pendapat bahwa norma masyarakat kontemporer seharusnya memasukkan homoseksualitas sebagai suatu variasi normal dalam perilaku.
(3) Persepsi atau interpretasi yang salah terhadap realitas. Biasanya, sistem sensori dan proses kognitif memungkinkan kita untuk membentuk representasi mental yang akurat tentang lingkungan sekitar. Namun melihat sesuatu ataupun mendengar suara yang tidak ada objeknya akan disebut sebagai halusinasi, di mana dalam budaya-budaya tertentu sering dianggap sebagai tanda-tanda yang mendasari suatu gangguan. Contohnya, saat ini orang yang "berbicara" pada Tuhan melalui doa. Namun, jika ada orang yang mengklaim dirinya benar-benar melihat Tuhan atau mendengar suara-Nya. Perilaku orang seperti itu kemungkinan akan dianggap sebagai abnormal.
(4) Perilaku maladapif atau self-defeating. Perilaku yang menghasilkan ketidakbahagiaan dan bukan self-fulfillment dapat dianggap sebagai abnormal. Perilaku yang membatasi kemampuan kita untuk berfungsi dalam peran yang diharapkan atau untuk beradaptasi dengan lingkungan kita juga dapat disebut sebagai abnormal. Contohnya, bila seseorang mengonsumsi narkotika sehingga mengganggu fungsi kesehatan, sosial, dan kerja, maka perilaku tersebut akan dipandang sebagai abnormal.
(Diadaptasi dari Nevid, Psikologi Abnormal, 5-7)