Tuesday, October 31, 2006

GERAKAN ANTI DISKRIMINASI

Yohanes 4
“Pada waktu itu datanglah murid-murid-Nya dan mereka heran, bahwa Ia sedang bercakap-cakap dengan seorang perempuan (Samaria)” (Yoh. 4:27)

Secara hukum, rakyat Amerika sudah menyepakati mengenai peniadaan diskriminasi rasial (pembedaan perlakuan terhadap kelompok masyarakat tertentu karena perbedaan warna kulit). Hal ini berarti orang yang berkulit hitam yang berada di Amerika pun sebenarnya dapat menikmati hak dan kewajiban yang sama dengan orang yang berkulit putih di sana. Namun dalam praktiknya, kadangkala orang yang berkulit putih masih melakukan diskriminasi rasial. Salah satu buktinya dapat dilihat di swalayan-swalayan. Ketika orang berkulit hitam berbelanja, maka petugas kasir akan meminta KTP atau kartu identitas lainnya; bila orang kulit putih yang berbelanja, maka petugas kasir tidak meminta KTP. Inilah yang dinamakan dengan diskriminasi rasial.

Diskriminasi rasial juga terjadi di zaman Yesus. Bahkan bukan hanya diskriminasi rasial, diskriminasi sosial dan agama pun juga terjadi di zaman itu. Kita sudah dapat merasakan adanya bentuk-bentuk diskriminasi apabila kita membaca di ayat 9. Dan memang benar, bahwa pada waktu itu orang Yahudi tidak mau bergaul dengan orang Samaria. Orang Yahudi memandang rendah orang Samaria. Oleh sebab itu, orang Yahudi tidak sudi mampir ke daerah Samaria. Bahkan lebih jauh lagi, seorang penafsir menjelaskan bahwa orang Yahudi membenci orang Samaria lebih dari membenci orang kafir lainnya.

Bila kita membandingkan dengan pribadi Yesus, maka diskriminasi menjadi suatu hal yang bertolak-belakang dengan diri-Nya. Memang orang Yahudi yang satu ini sangat berbeda dengan orang Yahudi pada zaman itu. Kita melihat bahwa Yesus justru berbincang-bincang cukup akrab dengan perempuan Samaria. Malahan, Yesus memberitakan Injil keselamatan kekal kepada perempuan Samaria tersebut. Hebat, ‘kan? Jadi, Yesus telah menembus dan meruntuhkan “tembok” diskriminasi yang selama ini telah dibangun oleh orang-orang Yahudi. Yesus menolak diskriminasi, apapun bentuknya.

Sayangya, gerakan anti diskriminasi yang pernah diprakarsai oleh Yesus tidak diteruskan oleh semua orang Kristen. Masih saja ada pembedaan perilaku di dalam gereja. Ah tapi sebelum kita menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mencari “kambing hitamnya”, kita harus berbenah diri terlebih dahulu. Kita harus mengevaluasi apakah kita masih menyimpan anggapan bahwa keturunan si anu lebih jelek ketimbang keturunan kita. Atau kita masih memiliki prasangka buruk dan “menjaga jarak” bila bergaul dengan suku yang berbeda. Jujurlah terhadap diri sendiri; apakah kita adalah seorang anti diskriminasi atau seorang yang melakukan diskriminasi, meski secara diam-diam?

Beranilah berkata “TIDAK!” pada semua bentuk diskriminasi

31 OKTOBER: TANGGAL YANG TERLUPAKAN

Apa yang terjadi pada tanggal 31 Oktober? Ah itu mungkin ulang-tahunnya si Acong, si Aguan, si Mbok Sronto, dan seterusnya. Namun tahukah kita bahwa tanggal itu merupakan tanggal bersejarah di mana seluruh gereja Kristen Protestan mendapatkan identitasnya yang baru? Ya benar, identitas yang baru karena pada tanggal 31 Oktober 1517 telah terjadi reformasi. Reformasi dari “tirani” otoritas manusia yang telah menggeser otoritas Alkitab. Tanggal itu adalah tanggal di mana seorang anak manusia yang bernama Martin Luther berjuang untuk mengembalikan posisi Alkitab sebagai sumber dan standar kekristenan. Tapi siapakah Martin Luther itu?

Dalam kesempatan kali ini, saya tidak berminat untuk menyugguhkan biografi Martin Luther secara detail; kali ini, saya hanya ingin mengangkat hal-hal penting dari sejarah perjuangan Martin Luther yang telah menjadi warisan berharga dalam gereja kita, baik sadar maupun tidak sadar. Ada dua hal dari diri Luther dan perjuangannya yang dapat kita renungkan, antara lain: (1) Kepekaan yang sangat tinggi terhadap kesalahan gereja. Seperti kita ketahui, Luther tidak hidup di luar Katolik, sebaliknya ia hidup di dalam kekatolikannya, bahkan ia pernah hidup di biara Augustinian. Menurut saya, Luther sebagai umat Katolik, mestinya berlaku sama dengan umat-umat lainnya, yakni menganggap bahwa pemimpin gerjea adalah orang yang suci dan benar. Namun pada kenyataanya tidaklah demikian. Luther ternyata tidak sepenuhnya terpengaruh pada pandangan umat tentang pemimpin gereja Katolik. Hal ini telah dibuktikan ketika ia memrotes seorang imam Dominikan, Johann Tetzel, yang memproklamirkan indulgensia (surat penghapusan dosa). Luther merasa ada yang tidak beres dengan indulgensia itu. Herannya, di kala umat Katolik sudah terbuai dengan penjelasan pemimpin gereja tentang indulgensia, namun Luther tetap peka terhadap kesalahan pemimpin gereja.

Kepekaan inilah yang dapat kita pelajari dan aplikasikan dalam kehidupan bergereja. Kita harus terus sadar bahwa pemimpin gereja, seperti majelis dan hamba Tuhan, bukanlah Tuhan yang tak dapat salah, sebaliknya ia hanyalah manusia yang lemah dan terbatas. Sebab itu, kepekaan terhadap “kejatuhan” pemimpin gereja adalah hal yang sangat baik. Namun perlu digarisbawahi, bahwa kepekaan di sini tidak sama artinya dengan suka mencari-cari kesalahan pemimpin gereja. Kepekaan yang dimaksud di sini adalah kepekaan seperti Luther, yaitu kepekaan yang benar atas ketidak-benaran. Kepekaan yang benar itu akan timbul bila kita sendiri memiliki motivasi, cara dan tujuan yang benar. Jadi, silakan peka terhadap kesalahan pemimpin gereja, asalkan kita juga peka terhadap apa yang ada dalam hati kita.

(2) Keberaniannya melawan kaum mayor. Kepekaan Luther terhadap kesalahan gereja tidak berhenti sampai di otaknya saja. Namun kepekaan itu ia tunjukkan dengan menancapkan 95 dalil di pintu gereja Kastil dan salinannya di pintu gereja Wittenberg. Dengan demikian, Luther telah “menabuh gendang perang” terhadap gereja Katolik. Tidak lama setelah penancapan 95 dalil, Paus pada zaman itu langsung menganggap Luther sebagai seorang Jerman mabuk dan seorang penyesat. Akhirnya, ia diekskomunikasi (dikeluarkan dari gereja Katolik) oleh Paus dengan akta Exurge Domine pada tanggal 15 Juni 1520. Namun apakah perlakuan gereja Katolik terhadapnya membuat dia “jera” untuk memberitakan apa yang benar? Tidak! Sejarah membuktikan bahwa hingga ajalnya, Luther bersama Philip Melanchton tetap mengajarkan kewibawaan Alkitab pada jemaatnya. Pandangan Luther yang radikal ini pasti dianggap sebagai pandangan minor oleh gereja Katolik, yang adalah kaum mayor waktu itu. Namun yang minor ini ternyata telah mengusik kaum mayor yang tidak benar, bahkan ia telah mempengaruhi pemikiran generasi berikutnya.

Sekarang, tidak seperti Luther, kita sebagai kaum minor acap berlindung dalam posisi “cari aman” alias mendiamkan masalah, bahkan ikut saja dalam masalahnya. Tapi renungkan, apakah posisi ini adalah posisi yang benar-benar aman? Ternyata tidak juga. Dengan kita mendiamkan apa yang salah, kita sebenarnya sedang menyetujui kesalahan tersebut secara diam-diam. Dan artinya, kita pun juga turut melakukan kesalahan. Jadi, sebenarnya posisi “cari aman” adalah posisi yang sebenarnya tidak aman. Lalu apa yang harus kita lakukan bila kita adalah kaum minor yang melihat kesalahan pada kaum mayor? Jawaban saya adalah jadilah kaum minor yang berfungsi untuk membuat kaum mayor terusik. Lihatlah sebuah kerikil. Ia kecil, tapi bila ia menancap di telapak kaki yang jauh lebih besar darinya, maka kita akan terusik. Belajarlah dari Luther agar menjadi “kerikil” yang berfungsi.

Akhirnya, tanggal 31 Oktober adalah tanggal yang semestinya tidak boleh dilupakan oleh kaum Protestan, seperti kita. Tanggal tersebut seharusnya mengingatkan kita akan hari reformasi. Bukan saja reformasi yang terjadi pada tahun 1517, namun reformasi yang juga terjadi setiap tahun bagi diri kita. Yaitu, reformasi atas diri kita, reformasi atas apa yang selama ini seharusnya kita lakukan namun kita tidak lakukan sebagai orang Kristen. Sekarang tengoklah negara kita. Rakyat seringkali meneriakkan reformasi, namun kenapa negara kita justru terasa jauh dari yang dicita-citakan oleh reformasi? Satu masalahnya, mungkin karena orang yang berteriak reformasi adalah orang yang tidak pernah mereformasi dirinya. Kawanku, janganlah kita menjadi seperti orang yang demikian! Selamat hari Reformasi!

Friday, October 27, 2006

IA HARUS MAKIN BESAR

Yohanes 3
“Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3: 30)

“Kesombonganlah yang mengubah malaikat menjadi iblis; kerendahan hatilah yang membuat manusia menjadi malaikat,” demikian tutur St. Agustinus, seorang bapa gereja. Terus terang ketika kita merenungkan apa yang dituturkannya, kita kembali disadarkan bahwa kita harus rendah hati. Memang tidak gampang untuk menjadi seorang yang rendah hati. Karena itu, bagi kita yang belum rendah hati, silahkan melanjutkan pembacaan renungan ini.

Alkisah, ada seorang yang pernah hadir di muka bumi yang bernama Yohanes Pembaptis. Dia adalah seorang yang memiliki karunia luar biasa. Si anak imam Zakaria ini tercatat sering melakukan KKR dan membaptis banyak orang. Namanya menjadi tenar sampai-sampai beberapa orang sempat menyamakan Yohanes dengan nabi Elia (Yoh. 1: 21). Inilah sekilas profil Yohanes Pembaptis.

Sekarang, bagaimana dengan profil Yesus, anak tukang kayu itu? Dibanding dengan Yohanes Pembaptis, maka umumnya orang dunia akan memandang Yesus dengan sebelah mata. Betapa tidak! Dari segi usia, Yesus lebih muda dari Yohanes. Dari segi pengalaman pelayanan, Yesus kalah satu langkah dengan Yohanes. Maksudnya, Yohanes sudah lebih dahulu memulai pelayanannya di bumi ini. Lalu dari segi ketenaran, nama Yesus belum semelejit Yohanes Pembaptis. Pokoknya, secara ukuran manusia, Yesus masih serba kalah.

Tetapi apakah Yohanes merasa serba lebih dari diri Yesus? Temukanlah jawabannya pada ayat 30. Dengan lidah bibirnya sendiri ia mengatakan, “Ia (Yesus) harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.” Yohanes paham bahwa yang menjadi “bintang” bukan dirinya, melainkan Yesus. Yohanes paham bahwa yang menjadi pusat perhatian bukan dirinya, melainkan Yesus. Inilah yang dinamakan dengan kerendahan hati.

Nampaknya kita memang perlu belajar dari keteladanan Yohanes Pembaptis. Mari kita berkaca pada diri sendiri. Seberapa sering kita merenggut kemuliaan Allah untuk kita? Seberapa sering kita ingin menjadi pusat perhatian orang banyak? Seberapa sering kita ingin menjadi “bintangnya”? Sekarang, mari kita belajar untuk mengatakan seperti Yohanes, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”

Biarlah Tuhan menjadi Tuhan! (Karl Barth)

IMAN YANG BERTUMBUH

Yohanes 2
“Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea . . . dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya” (Yoh. 2:11)

Orang tua manakah yang senang jika melihat anaknya tidak pernah bertumbuh lebih dewasa? Bayangkan saja bila ada seorang anak yang sudah berusia 15 tahun tetapi masih senang ngempot. Bayangkan pula bila ada seorang anak yang sudah duduk di bangku kuliah tetapi ia masih suka merengek-rengek layaknya seorang batita yang meminta susu. Jika terjadi demikian, maka tentu hati orang tua akan sangat sedih.

Sama halnya dengan Allah. Allah akan sangat sedih jika melihat anak-anak-Nya tidak bertumbuh lebih dewasa. Karena itu, Allah memakai penulis kitab Injil Yohanes untuk mencatat bagaimana perkembangan iman para murid waktu itu agar para pembaca dapat mencontoh teladan mereka. Apabila kita perhatikan mulai dari pasal 1: 35-51 lalu disambung ke pasal 2: 11, maka kita sudah dapat melihat bagaimana perkembangan iman mereka. Proses peningkatan iman mereka sangat terlihat dengan gamblang.

Dahulu, sewaktu para murid dipanggil, mereka masih mengikut Yesus tanpa iman. Sekarang, setelah para murid berjalan bersama Yesus dan menyaksikan mukjizat di Galilea, mereka mengikut Yesus dengan iman (Yoh. 2: 11). Dalam terjemahan yang lain untuk pasal 2: 11 dikatakan, “. . . dan para murid-Nya menaruh iman kepada-Nya.” Kata “menaruh” di sini berarti bahwa mereka benar-benar mempercayakan dirinya kepada Yesus Kristus. Demikianlah pertumbuhan iman mereka.

Bagaimana dengan pertumbuhan iman kita? Untuk membuktikan apakah iman kita bertumbuh atau tidak, adalah dengan cara mengevaluasi seberapa jauh kita telah menaruh iman kepada Tuhan Yesus. Bagi kita yang terserang penyakit menahun, masihkah kita menaruh iman kepada Tuhan seutuhnya? Bagi kita yang terganjal dengan masalah pekerjaan dan perekonomian yang kian terpuruk, maka seberapa jauh kita menaruh iman kepada Tuhan? Kita mungkin sudah tahu bahwa Tuhan adalah Penggenggam hari esok, tetapi sungguhkah kita telah menaruh iman ketika kita pusing menghadapi masalah pendidikan anak? Ingat, taruhlah iman kita sepenuhnya, jangan setengah-setengah, kepada Tuhan; niscaya iman kita akan bertumbuh.

Tuhan tidak menghendaki sebuah iman yang sempurna, tetapi Ia menghendaki sebuah iman yang bertumbuh

TAK KENAL MAKA TAK SAYANG

Yohanes 1“Ia telah ada di dalam dunia . . . tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya”
(Yoh. 1: 10,11)

“Tak kenal maka tak sayang,” demikianlah sebuah pepatah yang sudah akrab di telinga kita. Mungkin kita pernah mengenal pepatah ini dari sebuah iklan televisi. Tetapi, ngomong-ngomong, apa maksud pepatah tersebut? Sejatinya, pepatah tersebut mengimbau agar kita dapat berusaha mengenal satu dengan yang lainnya. Lalu, setelah kita saling mengenal sesama, maka kita dapat saling menyayangi. Jadi, pendek kata, mengenal seseorang itu penting dalam kehidupan kita.

Agaknya, pepatah tersebut juga berlaku dalam penulisan kitab Injil Yohanes. Sebelum berbicara tentang bermacam-macam karya Yesus yang memukau, penulis kitab ini (Yohanes) menuliskan sebuah pendahuluan yang berisi tentang identitas Yesus terlebih dahulu. Inilah perkenalan awal tentang Yesus. Di pasal 1, secara kental, identitas Yesus dijabarkan sebagai Pribadi yang serba maha.

Buktinya, acapkali penulis kitab menebarkan banyak penjelasan untuk menggambarkan kemahaan-Nya. Misalnya saja, Yesus disebut sebagai Allah (ay. 1), Yesus disebut sebagai sumber kehidupan dan terang manusia (ay. 4, 5), Yesus disebut sebagai Sang Penyelamat manusia (ay. 12), Yesus disebut sebagai pribadi yang penuh kemuliaan (ay. 14, 51). Demikianlah Yohanes, sang penulis kitab tersebut, berusaha memperkenalkan tentang siapa Yesus kepada pembaca zaman itu.

Namun tiba-tiba, entah mengapa, hati saya terusik pada ayat 10 dan 11 yang berbunyi, “Ia telah ada di dalam dunia . . . tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.” Sungguh, saya terusik dengan tulisan Yohanes yang satu ini. Betapa malangnya Yesus di bumi ini. Dia datang ke dunia kepunyaan-Nya, tetapi dunia tidak mengenal dan bahkan menolak-Nya. Oh saya sungguh tidak habis pikir merenungkan hal ini.

Tapi, siapa tahu dan bisa jadi, Tuhan memang sengaja membuat saya untuk tidak berpikir habis tentang hal ini. Pasalnya, Tuhan mau mengajarkan satu hal penting bagi saya. Apa itu? Yakni slogan yang berbunyi, “TAK KENAL MAKA TAK SAYANG!” Maksudnya, saya harus mengenal siapa Yesus secara lebih mendalam lagi agar saya makin sayang kepada Yesus, Sang Penyelamat itu. Inilah dambaan saya, bagaimana dengan Anda? Selamat mengenal Dia!


Tuhan selalu berkata kepada kita, “Aku mengenalmu”. Sekarang, bila Tuhan bertanya balik kepada kita, “Apakah engkau mengenal Aku?” maka apa jawab kita?

Community of Healing or Community of Killing?

Saya bersyukur sama Tuhan karena saya bisa belajar di kelas "pastoral care and counselling" yang dipimpin oleh Mr. Anthony Yeo. Dari sana saya kembali diingatkan soal pentingnya membangun community of healing. Beliau bertanya, "Apakah selama ini kita sudah membawa healing bagi orang sekitar kita, atau sesungguhnya kita justru membawa killing?" Saya kembali merenung apakah tutur kata, perbuatan, tulisan, telah membawa healing bagi seseorang. Ah andai bukan cuma saya yang merenungkan hal ini, andai Anda yang membaca tulisan saya juga merenungkan hal ini. Dan andai, kita sama-sama belajar membawa healing bagi orang di dekat kita, oh betapa indahnya, karena kita akan membangun community of healing daripada community of killing. Good luck!

Welcome To My Blog

Salam sejahtera dalam Kristus,
Apa kabar? Terima kasih bila Anda berkenan untuk mampir di blog saya. Harapan saya melalui blog ini adalah agar saya dapat membagikan berkat-berkat Tuhan kepada Anda, dan Anda pun juga dapat membagikan berkat-berkat Tuhan buat saya. Dan jangan lupa, biarlah berkat Tuhan itu kita nikmati untuk kemuliaan Tuhan saja. Soli Deo Gloria!

Yours in Christ,
Andrew A. Setiawan