Wednesday, February 20, 2008

SALIB: APA ARTINYA?

"Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi" (Lukas 22: 42)


Hari ini salib bukanlah satu hal yang sulit dijumpai. Di toko-toko ada banyak salib yang dijual. Ada yang berupa kalung, ada yang berupa anting-anting, ada yang berupa bross, dan seterusnya. Bukan hanya itu saja. Salib-salib tersebut semakin hari makin dipercantik rupanya; Sebab itu, ada salib yang dibuat dengan lapisan emas kuning ataupun emas putih, ada salib yang dibubuhkan mata berlian, dan seterusnya. Semuanya itu dibuat sedemikian menariknya agar banyak konsumen mau membelinya. Saya ingin bertanya, apa arti salib bagi mereka?

Bila pertanyaan yang sama itu dialamatkan kepada kita, maka apa jawabnya? Ada sebagian orang Kristen menjawab bahwa salib berarti cinta kasih. Yohanes 3: 16 jelas-jelas menegaskan bahwa Allah sangat mengasihi dunia ini sehingga Yesus diutus untuk menyelamatkan orang-orang berdosa. Ada sebagian orang Kristen menjawab bahwa salib berarti kemenangan atas maut. Melalui saliblah kuasa maut dikalahkan. Sengat maut dipatahkan. Ada pula sebagian orang Kristen yang mengatakan bahwa salib berarti bukti kekuatan. Pada zaman gereja mula-mula, salib dipakai sebagai tanda mujarab untuk melawan kuasa kegelapan. Berangkat dari keyakinan ini, maka muncullah dokumen Katolik kuno (Traditio Apostolica 42) yang mengatakan, "Bila saudara tergoda, tandailah dirimu dengan salib, sebab inilah tanda sengsara yang terkenal kekuatannya melawan setan, bila dilakukan dengan iman sempurna terhadap Sang Anak Domba."

Saya kira semua yang dipaparkan di atas memang ada benarnya. Salib bisa berarti cinta kasih, kemenangan atas maut, ataupun bukti kekuatan. Tapi sebenarnya masih ada satu kebenaran lagi tentang salib yang tidak boleh terlupakan. Arti salib yang berikutnya adalah bukti kemenangan terhadap diri sendiri. Kemenangan Yesus atas diri-Nya sendiri terbukti, salah satunya, tatkala Ia bergumul di Taman Getsemani. Ini merupakan pergumulan terberat yang tidak pernah dan tidak akan pernah dialami oleh anak manusia dari abad ke abad. Ini adalah pergumulan terberat yang pertama dan yang terakhir kalinya. Oleh sebab itu, Yesus sempat mengadakan bargaining (tawar-menawar) dengan Sang Bapa. "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku."

Perkataan itu mengisyaratkan adanya satu pergumulan hebat di dalam diri-Nya; pergumulan yang menentukan, saya mau ikut siapa. Apakah saya akan mengikuti kesenangan-Ku atau kesenangan Bapa? Apakah saya akan mengikuti kehendak-Ku atau kehendak Bapa? Apakah saya akan mengikuti kemauan-Ku atau kemauan Bapa? Apakah saya akan menjadi diri sendiri atau diri yang diharapkan? Tapi apa hasil akhirnya? Seperti yang telah kita ketahui, Yesus mengikuti kehendak Sang Bapa, bukan diri-Nya sendiri. Dengan demikian Yesus menang atas diri-Nya sendiri.

Sudah berapa kali kita menang atas diri kita sendiri? Sebuah lagu “Tiga Musuh” yang ditulis oleh Ho Hsiao Tung kembali menyadarkan kita bahwa penghalang untuk tidak melakukan kehendak Allah adalah diri kita sendiri. “Ku ada tiga musuh, ialah ku sendiri, s’lalu tak taat Tuhan, ingatkan jasmani, aku ingin serta Hu, tapi ku tak sanggup, si aku yang ku benci, halangi kehendak-Nya.” (PPK 214)

Friday, February 01, 2008

COUNSELLING: A PROBLEM-SOLVING APPROACH (4)

Menangani Masalah yang Diajukan

Bagi klien, masalah yang diajukan dalam konseling adalah masalahnya. Sebab itu, seorang konselor bertanggungjawab atas masalah yang diajukannya. "There is no reason to go about trying to discover or uncover the real or underlying problem," kata Yeo.[1] Lebih baik seorang konselor melihat masalah yang diajukan sebagai masalah yang sesungguhnya itu. Masalah yang diajukan adalah masalah yang menjadi perhatian utama klien di mana ia berminat untuk memecahkannya. Memang bisa saja klien memiliki masalah yang lain atau menggunakan masalah yang diajukan sebagai starting point-nya dalam konseling. Tapi apapun alasannya, kita harus tetap berfokus pada masalah yang diajukan. Berbuat sebaliknya justru dapat membuat klien bertambah stress dan kehilangan apa yang dianggap sebagai masalah bagi kliennya. Yeo menyimpulkan bagian ini dengan mengatakan, "A Counsellor should not try to do more than he is required, as it can lead to further complications for the client."[2]

Manusia
dan Relasinya

Dalam PSA, manusia tidak diperlakukan dalam isolasi. Dia adalah anggota dari sebuah keluarga dan memiliki sistem dukungan dari orang-orang tertentu. Tatkala klien mengajukan sebuah masalah, kita perlu melihat relasi klien dengan keluarga, dan melihat seberapa jauh pengaruh keluarga dengan masalah klien tersebut. Hal ini tidak berarti konselor memberikan terapi keluarga atau terapi pernikahan. Yeo mengatakan, “If there is no mention of marital problems, even though they are evident to the counsellor, they should not be dealt with.”[3] Dengan melihat manusia dan relasinya, maka pertolongan dalam konseling akan lebih bersifat holistik.



[1] Counselling, 16.

[2] Ibid., 17.

[3] Ibid., 18.