Monday, July 28, 2008

KONSELING DALAM PELAYANAN KRISTEN

(Presented at Full Gospel Business Men's Fellowship in Pekalongan, July 29, 2008)


SELAMAT DATANG ILMU KONSELING!

Opini bertajuk “Kesehatan Mental yang Merana” yang ditulis oleh Nalini Muhdi dalam Kompas, Rabu 10 Oktober 2007, semestinya membukakan wawasan kita tentang perlunya kehadiran ilmu konseling dalam dunia ini dan gereja. Salah satu yang menarik dari opini tersebut adalah karena sang penulis menantang kita untuk meninjau ulang faktor penyebab dari masalah-masalah fenomenal, seperti kasus terorisme dan kasus bunuh diri. Untuk masalah terorisme, misalnya, kerapkali dipandang dari pendekatan hukum dan keagamaan. Atau dengan kata lain, masalah terorisme bisa dipecahkan dengan kekuatan hukum dan agama. Apakah benar kedua pendekatan itu dapat menyelesaikan masalah terorisme?

Selanjutnya, Muhdi memberikan fakta tentang angka kejadian bunuh diri di negara Pakistan, yang 97 % penduduknya beragama Islam dan dianggap “patuh” menjalankan ajaran agama. Kenyataannya, angka kejadian bunuh diri melonjak dari kisaran ratusan menjadi ribuan per tahun. Fakta ini hanyalah menunjukkan bahwa sebuah masalah tidak dapat dipandang dan diselesaikan dari satu atau dua pendekatan saja. Pendekatan ilmu kesehatan mental bisa dilirik menjadi pendekatan lain yang perlu dipertimbangkan. Bahkan, pendekatan ini seharusnya sudah harus ditindaklanjuti mengingat WHO (World Health Organization) dan Bank Dunia sudah memprediksi bahwa beban utama penyakit di seluruh dunia pada tahun 2020 akan bergeser pada masalah kesehatan mental (terutama depresi).

Apa yang dipaparkan Muhdi sangatlah relevan untuk dibicarakan saat ini. Bila kita melihat kondisi/situasi sosial, politik, ekonomi negara kita, maka berapa besar dampaknya bagi orang-orang di sekitar kita? Coba pikirkan lebih kompleks tentang kehidupan saat ini. Contohnya persoalan harga BBM. Kerapkali kita membicarakan harga BBM yang meroket dengan mengaitkan pada kesulitan pekerjaan, seperti keuntungan yang makin sedikit, pesanan barang yang makin sedikit, dan seterusnya. Tapi pernahkah kita mengaitkan situasi lain yang disebabkan karena meroketnya harga BBM? Misalnya, bila harga BBM naik dan dunia pekerjaan makin sulit, maka nantinya akan ada orang-orang yang mengalami stress, bahkan depresi. Berikutnya, bila banyak orang mengalami stress, maka kemungkinannya akan ada banyak keluarga yang memiliki masalah rumah tangga. Dan, bila banyak keluarga memiliki masalah rumah tangga, maka apa yang bisa dilakukan gereja?

Tentunya, gereja dan orang-orang Kristen di dalamnya perlu tanggap terhadap situasi-situasi seperti ini. Kita tidak boleh hanya berdiam diri. Kita perlu melihat situasi-situasi tersebut sebagai visi atau kebutuhan untuk dijawab dalam zaman ini. Lantas apa yang orang-orang Kristen bisa perbuat untuk menjawab kebutuhan zaman? Salah satu yang bisa dikerjakan adalah menolong orang-orang melalui ilmu konseling.

Namun, saya melihat bahwa kadangkala gereja belum siap menyambut kepentingan ilmu konseling sebagai alat yang dapat dipakai untuk menolong orang dalam kesukaran. Alasannya bisa bermacam-macam. Salah satu alasannya yang mungkin terjadi adalah karena gereja masih menganut pandangan tradisional dalam memandang ilmu konseling/psikologi. Masyarakat pada zaman purba hingga zaman pertengahan menganggap bahwa perilaku abnormal disebabkan karena masalah spiritual, seperti kekuatan roh jahat. Sebab itu, pertolongan untuk orang yang memiliki perilaku abnormal pada zaman purba adalah dengan cara membuat lubang di tengkorak manusia. Sedangkan pada zaman pertengahan cara penanganannya adalah dengan pengusiran roh jahat. Bila gereja masih menggunakan pandangan tradisional ini, maka tidaklah mengherankan bila gereja alergi terhadap kehadiran ilmu konseling/psikologi.

Padahal, sesungguhnya ilmu konseling sangatlah diperlukan dalam pelayanan kristen. Banyak peran yang dapat disumbangkan melaluinya, seperti: (1) Ilmu konseling dapat membantu para pemimpin gereja untuk memahami hal-hal yang merintangi pertumbuhan rohani manusia. Contoh: seorang pemudi datang kepada saya dan menceritakan kesulitannya untuk mengampuni sang ayah. Dalam sesi-sesi konseling, saya melihat bahwa kesulitan untuk mengampuni bukan disebabkan karena masalah spiritual, seperti kurang berdoa, kurang ke gereja, kurang bersaat teduh. Justru sebaliknya, anak ini sangat aktif di gereja, bersaat teduh, dan berdoa. Masalah yang lebih mengakar bagi dia sebenarnya adalah masalah psikologis, bukan masalah spiritual. Akhirnya, melalui penanganan psikologis/konseling, maka dia sudah lebih mampu mengampuni ayahnya.

(2) Ilmu konseling dapat menjadi sarana untuk memberikan dukungan/penghiburan yang lebih mendalam. Tidak jarang saya melihat para pelayan Tuhan yang sangat antusias memotivasi orang yang sedang membawa masalah. Namun kadangkala antusiasme itu justru menambah satu masalah lagi bagi orang yang sudah memiliki masalah. Contoh: Saya pernah menemui seorang pemuda yang sedang berduka karena kehilangan ayahnya secara mendadak dan mengenaskan. Sang ayah meninggal dalam kecelakaan pesawat Lion Air tahun 2004 di kota Solo. Di rumah jenazah, saya melihat dia sedang duduk di samping jenazah ayahnya, sambil ditepuk oleh seorang hamba Tuhan. Oleh karena saya mendekati pemuda itu, saya jadi mendengar apa yang dikatakan oleh si hamba Tuhan itu. “Tenang ya, pokoknya kalau kamu sedih maka kamu harus ingat Tuhan. Ada rencana terbaik dari Tuhan buatmu. Nggak usah sedih ya . . .” demikian kira-kira perkataan yang diulanginya berkali-kali. Saya percaya bahwa motivasi hamba Tuhan ini baik. Tapi caranya mungkin kurang tepat. Apakah penghiburan/perkataan seperti demikianlah yang ia butuhkan? Ternyata tidak. Waktu saya duduk dekatnya, saya bertanya: “Apa yang kamu pikirkan tentang peristiwa ini? Adakah yang ingin kamu katakan?” Pertanyaan itu membuat dia semakin menangis. Tapi akhirnya dalam tangisan itu, ia berkata, “Aku ingin menjadi seperti papa.” Yang ia butuhkan waktu itu adalah ada seseorang yang memahami perasaannya, tangisannya, dan pikirannya. Saya kira waktu itu ia tidak membutuhkan kata-kata “Tuhan itu baik, rencana-Nya baik” dan segala macam perkataan yang kelihatan rohani. Apalagi, pemuda ini adalah seorang aktivis yang baik dan anak seorang hamba Tuhan.

Bila kita mempelajari ilmu konseling, maka kita akan lebih mampu memberikan dukungan/penghiburan yang tidak sembarangan. Di dalam ilmu itu, kita akan diajarkan tentang memahami dan menangani orang secara lebih mendalam dan lebih tepat untuk orang tersebut. Dengan kata lain, ilmu konseling akan membantu kita untuk menjadi penolong, bukan penambah, masalah orang lain.

(3) Ilmu konseling dapat meminimalisasi timbulnya persoalan di masa mendatang. Ilmu konseling tidak hanya digunakan untuk menghibur orang yang susah pasca kejadian, tapi ia dapat menjadi sarana preventif atau pencegah timbulnya sebuah masalah baru. Contohnya konseling pranikah. Gereja seringkali hanya memberikan katekisasi pranikah, tapi bukan konseling pranikah. Padahal, konseling pranikah sangatlah penting bagi masa depan pernikahan calon pasangan. Dalam konseling pranikah, calon pasangan akan mendapatkan gambaran dirinya dan diri pasangan secara lebih dalam, mampu mendeteksi titik-titik rawan pernikahan sebanyak mungkin, mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan pemersatu dalam pernikahan. Dalam hal inilah, ilmu konseling dapat berperan sebagai tindakan preventif.

Selain konseling pranikah, kita dapat mengembangkan tindakan-tindakan preventif lainnya pada masa transisi kehidupan seseorang, seperti kelahiran, kehilangan anak yang terprediksi, dan seterusnya. Contohnya persoalan postpartum depression (depresi pasca kelahiran). Seorang aktris cantik Brooke Shields pernah menuliskan kisah hidupnya berkaitan dengan depresi pasca kelahiran.

(4) Ilmu konseling dapat membantu kita untuk lambat menghakimi. Mengapa Yesus memberi perintah: “Jangan kamu menghakimi supaya kamu tidak dihakimi”? Ada beberapa alasan perintah seperti itu diberikan: (1) Karena kita sendiri adalah orang yang masih memiliki dosa, (2) karena kita bukanlah Tuhan yang mengerti seluruh kompleksitas kehidupan manusia, dan (3) karena kita tidak boleh merampas hak Tuhan untuk menghakimi seseorang.

Dalam ilmu konseling, kita diajarkan untuk memahami dan mendalami persoalan secara lebih mendalam. Persoalan itu bak sebuah gunung es di lautan. Yang tampak di luar seringkali bukanlah persoalan sesungguhnya. Contoh kasus: seorang laki-laki selingkuh dengan seorang pembantu rumahnya. Kerapkali orang mengatakan, “Oh memang dia itu si hidung belang, oh dasar laki-laki tidak tahu diri, apa dia tidak tahu istrinya itu lebih seksi dari pembantunya, wah katanya orang Kristen kok hidupnya kayak gitu,” dan seterusnya. Coba pikir baik-baik. Apakah suami itu benar-benar tidak tahu kalau selingkuh itu dosa? Apakah suami itu benar-benar tidak tahu kalau istrinya lebih seksi dari pembantunya? Saya kira dia tahu. Lantas apa persoalan sesungguhnya?

Ada banyak kemungkinan akar persoalan. Bisa jadi karena istri terlalu banyak bekerja atau terlalu banyak memerhatikan anak sehingga suami mengalami defisit perhatian. Bisa jadi karena istri memberi perhatian yang banyak tapi ternyata itu bukan kebutuhan suaminya. Bisa jadi karena masa lalu suami pernah mengalami pelecehan seksual. Bisa jadi karena masa lalunya sang suami hidup dan dibesarkan oleh ayah yang pernah berselingkuh. Betapa kompleksnya hidup seorang manusia. Dalam hal inilah, ilmu konseling akan mengajak kita untuk tidak memandang sederhana atau remeh sebuah persoalan. Pada akhirnya, kita menjadi orang Kristen yang lambat menghakimi.

Sebenarnya peran ilmu konseling dalam pelayanan kristiani amatlah banyak. Namun dari keempat peran yang ditunjukan tadi, semoga kita bisa dengan lapang dada berkata, “Selamat datang ilmu konseling!”

BERKENALAN DENGAN ILMU KONSELING

Konseling merupakan kegiatan yang tidak dapat dilakukan secara mekanis. Seorang tukang di bengkel memperbaiki motor/mobil yang rusak secara mekanis. Ia tidak perlu memperlakukan motor/mobil sebagai pribadi yang hidup karena memang ia sedang berhadapan dengan benda mati. Tapi berbeda halnya dengan konseling. Kegiatan ini merupakan suatu perjumpaan antar pribadi. Sebab itu, seorang konselor perlu memiliki cara pandang dan perilaku yang memadai terhadap dirinya dan kliennya agar ia tidak memperlakukan klien secara mekanis. Cara pandang konselor inilah yang nantinya akan menentukan keefektifan konseling.

Adapun cara pandang konselor yang perlu dimilikinya dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu:

1. Pandangan tentang dirinya

Ø Memiliki kesadaran diri (self-awareness)

Biasanya, calon konselor yang sedang mendapatkan pelatihan secara formal bersedia menganalisis dirinya sendiri. Ada baiknya bila analisis diri seperti ini dibantu oleh seorang konselor. Dengan kata lain, sebelum ia mengonseling orang lain, ia perlu dikonseling terlebih dahulu. Saya pun pernah menerima konseling seperti demikian. Tujuan dari semua ini adalah untuk membantu kita meningkatkan kesadaran diri tentang masalah-masalah dan kesukaran pribadi, kesulitan masa lalu yang masih berdampak pada masa kini, dan termasuk kemampuan-kemampuan diri yang dapat dikembangkan di masa mendatang. Dengan makin meningkatnya kesadaran diri, maka kita akan memperkecil hambatan-hambatan dalam mengonseling seseorang.

Ø Memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi

Konselor adalah seorang manusia biasa yang tidak kebal terhadap masalah pribadi, seperti masalah rumah tangga, masalah pekerjaan, masalah dengan gereja, dan seterusnya. Namun, seorang konselor dituntut untuk menyelesaikan masalah-masalah pribadinya sehingga tidak mengganggu keprofesionalitasannya. Dengan kata lain, klien tidak boleh menjadi korban pelampiasan emosi bila kita sedang membawa masalah pribadi. Sebab itu, ia harus menemukan cara-cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah pribadinya.

Ø Memiliki kesabaran untuk menyelami masalah orang lain

Klien yang datang pada seorang konselor hampir selalu menceritakan tentang masalahnya. Sebab itu, pelayanan konseling merupakan pelayanan yang membutuhkan kesabaran ekstra untuk mendengarkan dan menyelami masalah klien. Mengapa demikian? Karena, pada umumnya orang lebih senang dan lebih betah mendengar kabar sukacita ketimbang masalahnya orang lain. Di sinilah perjuangan keras untuk bersikap sabar sangatlah diperlukan. Bila kita tidak sabar terhadap klien, maka pertolongan yang kita berikan akan cenderung bersifat superfisial (permukaan) dan mekanis. Bagi seorang klien, perlakuan seperti ini justru dapat menambah masalah klien karena hal ini dirasakan sebagai bentuk peremehan masalahnya.

Ø Memiliki kemampuan berempati

Seperti yang dikatakan tadi bahwa konseling merupakan perjumpaan antar pribadi. Itulah sebabnya kemampuan berempati sangat diperlukan. Apa itu empati? Empati adalah suatu kemampuan untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain. Kita mencoba untuk melihat dunia melalui mata atau kerangka berpikir klien. Dalam bahasa yang lain, kita menyilakan klien menjadi tour guide kita. Apa fungsi empati dalam konseling? Dengan empati, kita tidak lagi melihat permasalahannya secara dangkal. Selain itu, dari sisi konseli, empati dari kita akan membuat rasa aman bagi dirinya. Ketika rasa aman itu terbentuk, maka kemungkinan besar konseli akan semakin menceritakan pergumulan masalah lebih banyak lagi dan akhirnya kita pun makin mengetahui solusi yang paling tepat bagi dirinya.

Ø Memiliki kemampuan teknik mengonseling

Mengonseling memerlukan teknik atau metode tertentu untuk menguraikan masalah dan membantu klien menemukan solusinya. Saya akan membagikan teknik dasar mengonseling dalam lokakarya nanti.

2. Pandangan tentang kliennya

Ø Pribadi yang memiliki kebutuhan (Person in need—PIN)

Klien adalah pribadi yang membutuhkan sesuatu. Ia membutuhkan pertolongan untuk menghadapi masalah-masalah hidupnya. Sejumlah orang mungkin membutuhkan teman curhat atau ingin didengarkan, atau memerlukan bantuan praktis berkaitan dengan kebutuhan material, dan mungkin juga membutuhkan bantuan untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarganya. Fokus kita harus selalu terarah pada kebutuhan pribadinya, bukan pada kebutuhan kita. Klien adalah tour guide-nya kita. Jika tidak demikian, kita terperangkap bahaya menjadi teknisi-teknisi yang berusaha menentukan hidup orang atau bahkan menciptakan kebutuhan tersendiri bagi klien.

Ø Pribadi yang memiliki kehormatan

Sebagai konselor, kita harus melihat klien sebagai pribadi yang memiliki kehormatan. Berapapun usianya seorang klien, ia adalah pribadi yang terhormat. Bersikap sopan kepadanya merupakan satu cara yang baik untuk memperlihatkan penghormatan kita. Dalam konteks Indonesia, mereka yang mencari pertolongan kadangkala berasal dari kalangan masyarakat yang kurang beruntung secara sosial dan ekonomi. Mereka mungkin sudah memandang diri sendiri sebagai orang-orang yang rendah dan malang. Di sinilah konselor ditantang untuk memperlakukan mereka dengan penuh penghormatan sebagai pribadi yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Bila konselor memandang klien dengan cara seperti ini, maka konseling yang efektif akan terjadi.

Ø Pribadi yang unik

Memandang seorang klien sebagai pribadi yang unik berarti kita akan berkata dalam hati kepada sang klien, “Saya melihat Anda sebagai pribadi yang berbeda dan saya akan berusaha menolong dengan cara yang paling tepat untukmu.” Setiap klien yang datang pada kita adalah unik; setiap mereka memiliki cara yang unik dalam merespons dan mengatasi masalahnya. Sebab itu, solusi tertentu yang berhasil pada seorang klien belum tentu berkhasiat bagi klien yang lain. Dengan kata lain, kita tidak boleh memukul rata kondisi setiap klien. Perubahan dapat terjadi dalam banyak cara karena klien adalah pribadi yang unik.

Ø Pribadi yang dinamis

Seorang manusia, termasuk klien, bukanlah pribadi yang ditentukan oleh peristiwa-peristiwa di masa lalu. Kita harus meyakini bahwa klien memiliki kemampuan untuk berubah. Ia berdaya untuk mengubah dirinya dengan sedemikian banyak cara sehingga ia akan mengejutkan orang-orang di sekitarnya. Bila kita tidak meyakini akan hal ini, maka jangan lakukan konseling pada klien tersebut. Melakukan konseling dalam keyakinan yang salah hanya akan membuat klien bertambah frustrasi dan putus asa dengan kondisi dirinya.

Ø Pribadi yang bertanggungjawab

Meyakini klien sebagai pribadi yang bertanggungjawab berarti: (1) kita memperlakukan mereka sebagai pribadi yang memiliki pengendalian atas hidup, situasi dan lingkungan mereka. Ini berarti seorang konselor bertindak untuk menolong kliennya menemukan solusi demi menyelesaikan persoalan hidupnya; bukan sebaliknya, konselor yang memberikan solusi kepada klien. Bila konselor memberikan solusi, maka ia sebenarnya sedang menjadi penanggungjawab atas kehidupan kliennya. (2) Klien memiliki kemampuan untuk memilih apa yang terbaik bagi hidupnya. Klien memiliki kehendak bebas untuk menentukan cara merespons atau mengatasi masalahnya. Sayangnya, kadangkala klien memilih suatu cara yang justru menambah masalah berikutnya. Tugas konselor adalah membantu klien untuk membuat pilihan-pilihan yang lebih baik buat mereka. Namun bila kita telah menyelesaikan tugas sebagai seorang konselor dan ternyata klien tetap memilih cara mengatasi masalah yang tidak sehat, maka kita tidak boleh memaksanya untuk berubah apalagi membencinya. Kita perlu merelakan klien menjadi pribadi yang bertanggungjawab atas pilihan yang dibuatnya.

MASA DEPAN PELAYANAN KONSELING

Bagaimanakah kondisi pelayanan konseling di masa mendatang? Seorang konselor Kristen senior, Gary Collins, mengatakan bahwa akhir-akhir ini pelayanan konseling semakin dipercaya sebagai salah satu alat yang ampuh dalam dunia kekristenan. Menurut pengamatannya, kita sedang berada di tengah revolusi pelayanan konseling. Di setiap benua, perhatian orang terhadap pelayanan konseling semakin bertambah besar, pelatihan konseling semakin berkembang, pusat-pusat konseling semakin bertambah, dan mata kuliah konseling juga semakin diterima ke dalam kurikulum sekolah Alkitab. Semua perkembangan ini tentunya untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan yang telah disinggung di atas.

Bagaimanakah dengan Anda dan gereja Anda? Apakah kita telah melihat kepentingan konseling dalam pelayanan kristen di masa mendatang? Bila kita telah melihat hal ini, maka kita dapat melakukan berbagai macam cara untuk mendukung pelayanan konseling, antara lain: (1) mempersembahkan diri untuk menjadi seorang konselor profesional. Memiliki beban untuk mengonseling orang itu memang baik. Tapi itu belumlah cukup. Beban/kerinduan untuk mengonseling bila tidak dibarengi dengan ilmu yang memadai justru akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Banyak hal yang perlu dipelajari untuk menolong klien. Tentunya hal ini memerlukan waktu, tenaga, biaya, pikiran untuk diperlengkapi dengan ilmu konseling di sekolah / pusat konseling yang menawarkan ilmu tersebut, seperti di Lifespring-Jakarta, SAAT-Malang, STTRII-Jakarta. (2) Mendirikan pusat konseling di kota kita. Pusat konseling memiliki berbagai fungsi, misalnya: memberikan tes psikologis, terapi luka-luka batin, terapi keluarga, terapi anak, konseling karir, tempat “berlindung” bagi orang-orang yang mengalami depresi, tempat rehabilitasi bagi orang-orang yang kecanduan narkoba, dan seterusnya. Contoh-contoh pusat konseling yang dapat kita lihat, misalnya: Pastorium SAAT-Malang, Lifespring-Jakarta, Eunike Counseling Centre-Jakarta, Pondok Pemulihan Doulos-Batu, Abigail-Surabaya. (3) Menjadi konselor awam. Mungkin kita belum bisa menjadi seorang konselor preofesional, dididik dalam sekolah yang formal, karena banyak pertimbangan. Namun kita masih dapat menyediakan diri menjadi seorang konselor awam. Meski tingkatan ilmu yang dipelajari tidak setinggi konselor profesional, namun setidaknya kita dapat meringankan “penderitaan” klien dengan menjadi teman sepergumulannya. Untuk menjadi seperti ini, maka kita dapat mengikuti seminar/pelatihan konseling agar kita memahami teknik dasar mengonseling dan menjadi teman sepergumulan yang efektif.

Tuhan memberkati. Salam konseling!

Wednesday, July 23, 2008

SIAP SEBELUM BERANGKAT

"Emak kok tangannya seperti kulit jeruk?" tanya Jason, cucu kesayangannya.

"Iya, kan emak sudah tua."

"Jason juga bisa tua?"

"Iya, semua orang nanti tambah tua."

"Habis itu mati ya?" desak Jason.

(Rupanya dia teringat kakeknya yang sudah mati ketika dia berumur 2 tahunan.)

"Betul, nanti masuk surga, ketemu sama Tuhan Yesus."

Lalu menangislah Jason, "Emak gak boleh mati, Papah gak boleh mati, Mamah gak boleh mati, aku gak mau mati . . ."


Jason yang berumur 5 tahun itu mungkin tidak memahami arti kematian sedalam kita yang sudah dewasa, seperti gambaran Alkitab tentang surga, jaminan keselamatan di dalam Kristus, dsb. Namun saya kira Jason sudah menangkap arti kematian secara sederhana ketika dia ditinggal kakeknya sewaktu berumur 2 tahun, yang berarti keterpisahan. Mungkin selama usia 2 hingga 5 tahun ia menanti kakeknya, tapi kok tidak kunjung pulang ke rumah dan ia pun tidak pernah bertemu kakeknya di tempat-tempat lain. Saat itulah kemungkinan besar ia mengartikan kematian sebagai keterpisahan.


Bicara seputar kehidupan dan kematian, bukankah memang benar bahwa hidup itu merupakan sebuah proses keterikatan dan keterpisahan? Sejak bayi kita sudah mengalami hal ini. Pada waktu dalam kandungan, kita terikat oleh tali pusar yang memberi makanan dari sang ibu; namun setelah lahir, kita terpisah dari ikatan tali pusar tersebut. Pada waktunya seorang anak sekolah di Play Group, pengalaman keterikatan dan keterpisahan kembali terulang. Kalau dulu ia sering bermain dan berkumpul bersama dengan orangtua, sekarang waktunya sekolah, ada waktu di mana ia terpisah dari orangtua dan rumahnya. Sewaktu seorang anak menginjak usia remaja/pemuda, pengalaman itu muncul untuk kesekian kalinya. Kalau dulu ia sering di rumah, sekarang ia lebih sering di luar dan keluar rumah bersama teman-teman sebayanya. Demikian seterusnya terjadi, hingga kita mencapai satu tahap terakhir dalam dunia ini, yaitu keterpisahan untuk selama-lamanya. Inilah yang kita sebut sebagai kematian.

Mungkin tahap ini adalah tahap yang paling menyakitkan di antara seluruh tahap keterpisahan dalam dunia ini. Meski semua orang dewasa mengerti proses pengalaman keterikatan dan keterpisahan sebagai satu hal yang sangat wajar, namun toh tahap keterpisahan untuk selama-lamanya merupakan satu hal yang menyakitkan. Mungkin itulah sebabnya Jason, anak kecil tadi, mengatakan, "Emak gak boleh mati, Papah gak boleh mati, Mamah gak boleh mati, aku gak mau mati."

Apa saja yang terjadi ketika tahap ini kita alami? Ada aneka hal yang terjadi ketika tahap keterpisahan seperti ini dialami, misalnya:
  1. Tidak percaya. Sewaktu ayah saya baru saja meninggal, kami semua masih tidak percaya. Meski ia tidak meninggal secara mendadak, namun kami tetap merasa bahwa ayah belum meninggal. Ketika melihat jenazah ayah yang baru dimandikan, kami seakan-akan melihat dadanya yang masih bergerak (gerakan bernapas). Ketika pulang ke rumahnya dan melihat barang-barangnya (seperti jam tangan, baju, piyama, sepatu, jaket), kami masih belum percaya kalau ayah sudah tiada. Inilah perasaan yang kami alami, dan sangat mungkin sekali perasaan tidak percaya adalah perasaan yang pertama kalinya muncul ketika kita berpisah dengan orang yang kita kasihi untuk selamanya. Mungkin kita masih berpikir kalau dia pergi dan akan kembali ke rumah. Dia masih berada di suatu tempat, dan nanti dia pasti pulang. Dan seterusnya.
  2. Marah. Tidak jarang perasaan marah muncul dalam waktu-waktu berduka. Bila orang yang dikasihi itu sempat menjalani perawatan di rumah sakit hingga akhir hayatnya, maka mungkin sekali kita menyalahkan kinerja dokter atau suster. Kita marah dan menganggap mereka tidak cekatan, salah diagnosa, tidak perhatian, salah obat, dan seterusnya. Atau, perasaan marah juga kadang ditujukan pada anggota keluarga atau orang yang menjaganya (suster rumah). Kita mungkin marah dan menyalahkan atas perbuatan orang itu yang dipandang sebagai penyebab utama kematiannya. Atau, tidak jarang pula, saya melihat perasaan marah yang ditujukan kepada Tuhan. "Mengapa Engkau ambil dia sekarang? Tuhan jahat!" itulah salah satu cetusan kemarahan kepada Tuhan.
  3. Rasa bersalah. Tidak sedikit orang berduka memiliki rasa bersalah. Seorang klien pernah datang untuk menceritakan rasa bersalah terhadap orangtuanya yang sudah meninggal sekian tahun. Ia merasa bersalah karena ia menganggap dirinya gagal untuk menyenangkan hati orangtua. Ia pernah berbuat dan berkata kasar sewaktu orangtuanya hidup. Dan sekarang, meski sudah ditinggal sekian tahun, rasa bersalah itu tetaplah subur. Ada orang lain lagi yang merasa bersalah karena ia terlambat datang pada saat-saat terakhir kematiannya. Ada orang lain lagi yang merasa bersalah karena ia merasa yang paling bertanggungjawab atas kematiannya. Dan sebagainya.
  4. Depresi. Ini juga merupakan salah satu reaksi perasaan terhadap kematian seseorang. Depresi biasanya ditandai dengan adanya gangguan pola makan, pola istirahat, merasa tidak ada harapan untuk masa depannya. Kadangkala depresi juga disertai dengan perasaan ingin melakukan bunuh diri. Inilah perasaan yang mungkin sekali muncul sewaktu kedukaan.
Namun di samping memahami apa yang terjadi pada seseorang yang berada pada tahap keterpisahan selamanya, kita perlu memikirkan satu hal, yaitu bahwa satu ketika kita sendiri pun akan berpisah dengan anggota keluarga dan rekan-rekan kita. Dengan kata lain, kali ini bukan kita yang berduka, namun orang-orang di sekitar kitalah yang berduka karena kitanya yang meninggalkan mereka untuk selamanya. Sebab itu, kita perlu merenung, apakah kita sudah siap "berangkat"? Seberapa jauh kita siap "berangkat"? Sudahkah kita mempersiapkan diri kita dan diri orang lain?

Untuk persiapan kita pribadi, apakah kita sudah menabung nilai-nilai kekal di dunia ini? Apa saja yang sudah kita lakukan bagi orang lain? Apakah kita sudah menunjukkan rasa sayang pada pasangan hidup dan anak-anak serta orangtua kita? Untuk persiapan anggota keluarga, apakah pasangan kita pernah diajak bicara soal persiapan kematian kita? Misalnya, menyepakati tempat di mana kita ingin dikubur/diperabukan, menyiapkan kondisi finansial nantinya, mengenalkan anggota keluarga pada orang lain sebanyak mungkin agar mereka tetap dapat hidup sewajarnya, dan seterusnya. Atau, bisa saja kita membicarakan aneka perasaan yang dapat terjadi ketika kita meninggal sebagai sebuah antisipasi. Tentu hal-hal seperti ini tidak perlu dibicarakan setiap kali bertemu dengan anggota keluarga. Namun ada baiknya bila kita mengambil suatu waktu yang baik untuk membicarakan soal kematian, mengingat kematian itu tidak pernah dapat "dipesan" terlebih dahulu. Semoga kita siap selalu sebelum "berangkat". Tuhan memberkati.

Virginia Satir: A Quick Look


"Problem is not the problem, coping is the problem," is one of the powerful words coming from Virginia Satir. In other words, how people coped with the issue created the problem. Isn't that powerful? So, who is Virginia Satir? Honestly, I never met her face to face as I know that she has already passed away. I just known her name since I was studying at seminary. At that time I was learning about family therapy and my lecturer introduced his students with Satir's model. It's not that easy to understand Satir's philosophy as well as her technical steps in doing therapy. Until now, I'm still learning her model of therapy.

Born in 1916 and died in 1988, she is referred to as "The Mother of Family System Therapy" because of her consistency in encouraging many therapist to think systemically in the sense that one must focus on families instead of individual patients. "The family is a microcosm. By knowing how to heal the family, I know how to heal the world," she said. Based on this philosophy, she found the Satir Model in the Middle East, the Orient, Western, and Easter Europe, Central and Latin America, and Russia as professional training groups. (e.g.: www.satirpacific.org). Next to this kind of training, she also established The Institute for International Connections, Avanta Network, and the International Human Learning Resources Network as concrete examples of teaching people how to connect with one another and extend the connections. "Peace within, peace between, peace among," is the concise word summarizing her impact in the world.

Monday, July 21, 2008

BERSYUKUR ITU INDAH

1 Tesalonika 5: 18

Pendahuluan

Apakah mudah mengucap syukur dalam segala hal? Tentang kemahiran bersyukur ini seorang penulis Kristen bernama Andreas Harefa pernah melakukan sebuah penelitian selama sepuluh bulan dengan melibatkan 500 peserta. Dalam salah satu materi penelitiannya, ia meminta semua peserta berlomba membuat daftar “25 Hal yang Saya Syukuri dalam Hidup”. Hasilnya menunjukkan bahwa 5% peserta mampu menyelesaikan daftar syukur tersebut dalam waktu 4 menit atau kurang [rekor tercepat adalah 2,5 menit]. Sedangkan 95% peserta lainnya memerlukan waktu yang lebih lama. Andreas Harefa kemudian memberikan kesimpulan sementara bahwa tidak banyak orang yang mahir mengucap syukur.

Ternyata, mengucap syukur dalam segala hal itu sulit. Jangankan dalam kondisi susah, kondisi normal pun mungkin kita masih sulit mengucapkan syukur. Bila penelitian itu diadakan di gereja ini, maka termasuk kategori manakah kita? Apakah kita akan termasuk dalam kategori orang yang mahir bersyukur?

Berbicara soal bersyukur, kurang lebih ada sekitar 138 bagian Alkitab yang membahas tentang pengucapan syukur. Misalnya, Kitab Imamat berulangkali menyinggung soal ajakan dan peraturan menaikkan korban syukur. Apalagi Kitab Mazmur yang begitu banyak mengajarkan tentang pengucapan syukur kepada umat Allah. Misalnya, Mazmur 92: 2, “Adalah baik untuk menyanyikan syukur kepada Tuhan, dan untuk menyanyikan mazmur bagi nama-Mu, ya Yang Mahatinggi.” Atau, Mazmur 136 yang berisikan Mazmur Pengucapan Syukur, “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik!” Dalam Perjanjian Baru, ajaran dan ajakan untuk mengucap syukur juga masih menggema. Kolose 3: 17 mengatakan, “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu di dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” Berikutnya, 1 Tesalonika 5: 18 memberi penekanan yang lebih jelas, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”

Dari bukti-bukti ini kita sekarang melihat tentang panggilan untuk mengucap syukur kepada kita. Pengucapan syukur mengambil bagian penting dalam kehidupan umat Allah. Seakan-akan pengucapan syukur itu seperti nafas yang tak ada hentinya dan tak boleh berhenti dari kehidupan kita. Ia merupakan satu hal yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan umat Allah.

Khasiat Bersyukur

Sekarang mari kita melihat khasiat bersyukur bagi kita. Ketika Tuhan meminta kita untuk belajar bersyukur, itu sebenarnya bukan untuk kepentingan Tuhan semata, tapi juga untuk kepentingan kita pribadi. Ada sejumlah khasiat yang dapat kita alami ketika kita rajin-rajin mengucap syukur. Khasiat-khasiat itu, antara lain:

1. Mendatangkan kesehatan

Orang yang rajin mengucap syukur memang dapat mendatangkan kesehatan. Kenapa demikian? Karena, orang yang mengucap syukur adalah orang yang merasa dirinya cukup atau tidak dikuasai sifat ambisiusnya. Ia mampu berkata pada dirinya, “Aku tak selalu mendapatkan apa yang kusukai, oleh karena itu aku selalu menyukai apapun yang aku dapatkan.” Acapkali orang tidak bahagia karena dia selalu merasa kurang dan tidak pernah merasa puas dengan kondisinya. Ia berusaha tapi tidak pernah puas. Ia melakukan sesuatu tapi tidak pernah merasa cukup. Seperti kata kitab Pengkhotbah, orang ini berusaha menjaring angin (Pengkh. 1: 14). Akhirnya, ia akan kelelahan dan mudah jatuh sakit.

Tidak demikian dengan orang yang rajin mengucap syukur. Karena ia bisa merasa dirinya cukup, maka ia tidak lebih mudah jatuh sakit. Konon, pernah dilakukan survei terhadap para lansia, baik yang tinggal di panti jompo maupun yang tinggal di rumah bersama keluarga mereka. Menurut survei itu, para lansia yang hidupnya selalu bersyukur umumnya lebih sehat dibandingkan lansia yang suka mengeluh. Nah, bila Anda ingin hidup sehat, maka jangan suka mengeluh, tapi berlatihlah untuk mengucap syukur.

2. Menghindarkan dosa perzinahan

Perzinahan pada umumnya terjadi karena salah satu pasangannya tidak merasa puas dengan lawan pasangannya. Mungkin suami merasa tidak puas karena tiap kali pulang istri hampir selalu mengeluhkan kondisi rumah: yang tidak bersih, pipa bocor, air tidak menyala, bau kotoran anjing, anak belum mandi, dan seterusnya. Sedangkan, istri mungkin merasa tidak puas karena ia merasa tidak dibutuhkan oleh suaminya. Ia tidak merasa penting dalam kehidupan suaminya. Tiap kali diajak bicara, suami tidak memerhatikan, tetap saja nonton tv, menanggapi perkataan dengan tidak serius. Nah akhirnya yang terjadi adalah suami dan istri sama-sama merasa tidak puas dengan perlakuan pasangannya.

Perasaan tidak puas inilah yang kerapkali menjadi celah untuk berselingkuh atau berzinah dengan orang lain. Orang ini merasa bahwa rumput tetangga lebih hijau, lebih segar, dan lebih menjanjikan. Sebaliknya, bila kita bersyukur atas pasangan kita, maka dosa perzinahan tidak mudah merusak kesetiaan pernikahan. Bersyukurlah atas pasangan kita!

3. Menghindarkan dosa iri hati

Bersyukur atas apa yang kita punyai membuat kita tidak membandingkan dan mempertandingkan milik kita dengan orang lain, sehingga tidak menimbulkan iri hati. Tuhan Yesus memberikan perumpamaan yang menyinggung persoalan iri hati dalam Matius 20. Dikisahkan di sana ada seorang tuan yang menemukan beberapa orang pengangguran. Ketika bertemu mereka, tuan itu mempersilakan mereka bekerja di kebun anggurnya dengan gaji satu dinar sehari. Mereka sama-sama menyepakatinya.

Ada yang mulai bekerja dari jam 9 pagi, ada yang jam 12, jam 3, dan terakhir jam 5 sore. Seusai bekerja, mereka dibayar sesuai kesepakatan, yaitu satu dinar. Ketika menerima bayaran itu, orang-orang yang bekerja lebih dahulu dari orang yang bekerja jam 5 sore bersungut-sungut. Mereka protes, “Kenapa pekerja yang masuk terakhir dan hanya bekerja satu jam ini justru dibayar sama dengan kami?” Jelas ini pertanyaan dari orang yang iri hati. Mereka tidak bisa melihat bahwa mereka telah ditolong dari seorang pengangguran menjadi pekerja dan telah mendapatkan gaji.

Latihan mengucap syukur akan menghindarkan kita dari dosa iri hati. Pengucapan syukur membuat kita berkonsentrasi pada apa yang kita terima tanpa membandingkan dan menandingkan dengan apa yang orang lain terima.

Demikianlah khasiat-khasiat dari pengucapan syukur. Ternyata, bersyukur itu indah!

Tips Bersyukur

Sekarang, bagaimana caranya agar kita dapat mengucap syukur senantiasa?

1. Tingkatkan kepekaan

Apakah semua orang Kristen bisa bersyukur? Bisa. Apakah semua orang Kristen mahir bersyukur? Belum tentu. Saya kira mengucap syukur merupakan sebuah ketrampilan untuk peka terhadap karya Tuhan baik suka maupun duka, baik lancar ataupun tidak. Tidak jarang orang berpikir jika segala sesuatu berjalan sesuai keinginan atau lancar semuanya maka orang itu akan mudah mengucapkan syukur. Pada kenyataannya tidak semua orang demikian. Masih ada sebagian orang yang tidak mengucap syukur meski dalam keadaan lancar. Apa alasannya? Sederhana, karena kulino, sudah biasa mendapatkannya sehingga ia lupa bahwa kelancaran itu datangnya dari Tuhan yang diberikan setiap detik.

Contohnya, ketika sebagian kota Surakarta dilanda banjir pada bulan Desember 2007, ada orang yang berkata demikian: “Syukurlah rumah kita tidak kebanjiran.” Satu sisi ia memang mengucap syukur, tapi sisi yang lain hal ini menunjukkan ketidakpekaan terhadap karya Tuhan dalam waktu baik-baik saja. Rumah tidak kebanjiran itu sudah bertahun-tahun dialaminya, dan ia tidak mensyukurinya. Ketika kebanjiran itu melanda, maka barulah ia bersyukur. Sudah kulino tidak kebanjiranlah yang membuatnya lupa bersyukur.

Berapa banyak di antara kita yang mengucap syukur karena kesehatan hari ini? Ilmu kedokteran menjelaskan bahwa kita hidup bersama dengan begitu banyak virus di sekitar kita. Mulai dari virus yang tidak berbahaya hingga yang paling berbahaya. Mungkin virus yang membuat kita sakit flu dianggap tidak berbahaya. Berapa banyak di antara kita yang bersyukur kalau hari ini kita tidak sedang terserang flu? Jangan lupa pula, ada bakteri TBC yang melayang-layang di sekitar kita dan siap merusak fungsi paru-paru kita. Tapi berapa banyak di antara kita yang bersyukur kalau hari ini paru-paru masih berfungsi dengan baik?

Ketika saya menunggu papa yang sedang sakit di rumah sakit, saya seringkali bertanya banyak hal kepada dokter-dokter di situ. Salah satu yang ditanyakan saya adalah soal antibodi (senjata pertahanan tubuh) kita. Sebelumnya dokter berkata bahwa infeksi yang ada di dalam tubuh papa susah ditangani. Dengan polos saya berkata, “Lho katanya sudah diberikan antibiotik?” Dokter itu lalu menjelaskan, “Antibiotik tidak cukup kuat melawan infeksi dalam tubuh. Antibodilah yang memiliki peranan utama untuk melawan penyakit. Dan sayangnya, antibodi papa makin lemah.” Ketika dokter menjelaskan hal itu, saya berdecak kagum dengan ciptaan Tuhan yang bernama antibodi. Berapa banyak di antara kita yang mensyukuri kekuatan antibodi yang membuat kita tidak sakit hingga saat ini?

Belajar bersyukur tidak selamanya bergantung pada lancar atau tidaknya kehidupan kita. Kepekaan terhadap setiap detail berkat Tuhanlah yang dapat memampukan kita untuk mengucap syukur. Kepekaan adalah cara pertama agar kita dapat bersyukur baik dalam keadaan senang ataupun susah. Ada satu lagu yang sering dinyanyikan di GKI: “Bila hidupmu dilanda topan b’rat, engkau putus asa hatimu penat. Berkatmu kau hitung satu per satu, k’lak kau tercengang melihat jumlahnya.” Hitung berkatmu satu per satu. Lagu ini mengajar kita untuk waspada terhadap yang namanya kulino menerima berkat; lagu ini mengajar kita untuk meningkatkan kepekaan terhadap setiap detail berkat Tuhan.

2. Pikirkan yang masih ada

Sebagian kita mungkin sudah rajin bersyukur dalam kondisi lancar, senang, baik-baik. Kita masih mengingat bahwa semua yang baik-baik itu berasal dari Tuhan. Tapi kadangkala kita masih mengalami kesulitan untuk bersyukur apabila menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan kita. Kenapa demikian? Karena kita terlalu berfokus pada apa yang terhilang. Kita memikirkan hal yang sudah tidak ada lagi pada kita. Kita terlalu menghitung jumlah kehilangannya.

Ada seorang pemuda yang baru putus cinta dengan pacarnya di mana pada waktu bersamaan ia juga kena PHK. Ia sangat putus asa. Ia senantiasa menghitung jumlah kehilangannya. Ia senantiasa berpikir, “Aku sekarang tidak punya pacar dan pekerjaan.” Akhirnya, karena terlalu berfokus pada apa yang tidak ada lagi pada dirinya, maka ia pulang ke rumah dengan satu tekad: bunuh diri.

Bila kita sedang mengalami situasi abnormal entah karena kehilangan seseorang, kehilangan harapan, kehilangan kesehatan, atau kehilangan sesuatu yang berharga, maka mari kita pikirkan hal-hal yang masih ada pada kita, hal-hal yang masih dapat kita lakukan, hal-hal yang masih dapat kita nikmati. Jangan pikirkan pada hal-hal yang defisit dalam kehidupan kita karena masih ada begitu banyak hal lain yang dapat kita kerjakan.

Seorang Kristen yang bernama Andreas Harefa bersaksi demikian: “Bila kesusahan hidup mendera, saya mengambil selembar kertas dan memaksa pikiran saya untuk menemukan sejumlah hal yang pantas saya syukuri dalam hidup. Saya mendaftarkan sejumlah prestasi dan penghargaan yang pernah saya raih; menambahkan sejumlah hal yang berhasil saya miliki; menuliskan semua tempat rekreasi dan kota-kota yang pernah saya kunjungi; mencatat satu per satu anggota tubuh saya yang sehat; buku-buku yang sempat saya baca; nama-nama orang yang pernah menolong saya atau yang pernah saya tolong; bahkan juga kesusahan-kesusahan yang pernah saya lalui; dan seterusnya. Dan sejauh ini harus saya akui, saya akhirnya sering tercengang melihat jumlahnya. Biasanya saya berhenti ketika daftar syukur saya mencapai angka seratus. Itulah yang saya coba praktikkan selama berpuluh tahun. Lalu saya merenung dan bertanya pada diri saya sendiri: tidak cukup banyakkah berkat Tuhan yang nyata-nyata telah saya terima dan saya alami dalam hidup saya? Lalu adilkah saya bila karena sebuah penderitaan saja, semua berkat Tuhan itu saya anggap tidak bernilai?” Bila kita sedang dalam masalah, pikirkanlah berkat-berkat Tuhan yang masih ada pada kita.

Beberapa contoh penerapannya, antara lain: Saya bersyukur . . .

1. Untuk istri yang masak makanan yang sama dengan malam kemarin . . . karena istriku di rumah dan tidak bersama orang lain.

2. Untuk suami yang malas-malasan di sofa, nonton tv, dan membaca koran . . . karena ia bersamaku di rumah dan tidak bersama doi yang lain.

3. Untuk anakku yang suka protes tentang makanan . . . karena ia memiliki indera perasa yang baik.

4. Untuk pajak yang saya bayar . . . karena artinya saya masih bekerja.

5. Untuk rumah yang berantakan . . . karena saya punya kesempatan untuk melayani anggota keluargaku.

6. Untuk cucian yang banyak . . . karena saya masih memiliki baju.

7. Untuk dompet yang kosong . . . karena saya bisa belajar beriman.

8. Untuk sakit yang aku alami . . . karena waktunya istirahat buat saya.

9. Untuk orang yang melukai hatiku . . . karena aku punya kesempatan untuk belajar mengampuni.

10. Untuk kehilangan orang yang kukasihi . . . karena aku bisa belajar tentang kesementaraan hidup.

Inilah contoh-contoh memikirkan hal-hal yang masih ada di tengah-tengah kehilangan kita. Silakan Anda melanjutkan deretan syukur di tengah-tengah masalah yang kita hadapi. Bila kita sulit memikirkan apa yang masih ada pada kita, mari kita simak tayangan yang diperankan oleh Ma Li dan Zhai Xiaowei. Selamat menonton. (You Tube: She without arm, he without leg: http://www.youtube.com/watch?v=LnLVRQCjh8c).

Coba bayangkan apabila kedua pemain balet itu senantiasa mengeluhkan kehilangan tangan dan kakinya? Saya yakin bila mereka berfokus dan tenggelam pada apa yang terhilang, maka mereka justru tidak dapat mengembangkan apa yang masih ada dan yang masih dapat dikerjakan mereka. Hari ini kita memang tidak kehilangan tangan dan kaki seperti mereka. Tapi saat ini kita mungkin merasa kehilangan harapan dalam masalah pernikahan, kehilangan harapan dalam masalah anak, kehilangan harapan dalam masalah pekerjaan, kehilangan harta, kehilangan seseorang yang dikasihi, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu, kehilangan kesehatan. Apapun bentuk kehilangan itu, jangan fokuskan dan tenggelamkan diri pada apa yang terhilang. Tetapi temukan hal-hal indah lainnya, hal-hal yang masih dapat kita kerjakan, hal-hal yang masih ada pada kita.

Penutup

Sebagai penutup, saya ingin kembali menuturkan suatu kisah. Suatu pagi, kepala seorang anak terbentur sudut meja. Sakitnya bukan main. Ayahnya menghibur, “Syukur kepada Tuhan tidak sampai bocor. Lagipula itu bisa sembuh.” Anak itu menyahut, “Apakah jika bocor dan tidak dapat sembuh kita masih dapat bersyukur?” “Tentu,” jawab ayahnya. “Sekalipun kepalamu sampai bocor, dan engkau meninggal karena luka itu, kita masih bersyukur karena jiwamu selamat dalam Kristus.” Bila kita sudah berada di dalam Kristus, maka selalu saja ada alasan untuk dapat mengucap syukur. Baik suka maupun duka, baik sakit maupun sehat, baik kaya maupun miskin, selalu saja ada alasan untuk mengucap syukur. Sebab itu, tidak heran bila 1 Tesalonika 5: 18 berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal . . .” Amin.

Sunday, July 13, 2008

BERAGAM CARA PEMECAHAN MASALAH 3

Setelah menguraikan cara memecahkan masalah dengan mengangkat simtom pada tanggal 24 Juni lalu, maka sekarang saya akan menguraikan cara alternatif berikutnya, yaitu menahan perubahan (restraining change).

Pada umumnya konselor menginginkan terjadinya sebuah perubahan dari kliennya. Konselor akan sangat mengharapkan dan mendukung klien agar dapat berubah menjadi lebih baik. Bahkan, kadang-kadang usaha konselor terlihat lebih keras ketimbang klien itu sendiri. Sayangnya, kadangkala situasi ini justru menyebabkan klien menjadi bergantung pada konselornya. Akhirnya, setelah digantungi beberapa waktu, tidak menutup kemungkinan bila sang konselor akan merasa kewalahan dan kelelahan menghadapi kliennya.

Hal ini dapat dihindari jika konselor menyadari bahwa ia tidak harus selalu berhasil mengadakan perubahan. Tampaknya hal ini aneh. Tapi inti dari pemikiran ini adalah bahwa terkadang klien justru dapat berubah bila ia menahan perubahan yang diinginkannya. Rohrbaugh dan kawan-kawannya (1977) menjelaskan bahwa: "Agar dapat terjadi perubahan, bertahanlah dalam situasi yang sama atau menyerah sama sekali." Di sini sang konselor akan mencoba untuk mematahkan semangat klien atau bahkan menyangkal terjadinya perubahan. Sebagai contoh, konselor dapat mengatakan kepada klien untuk "bersabar" dan menekankan risikonya bila ia berubah. Klien perlu diminta untuk mempertimbangkan semua dampak negatif yang akan dialaminya jika ia berubah.

Contoh penerapan: Anthony Yeo pernah mendapatkan seorang klien yang mengalami depresi dan mengeluhkan berbagai simtom pada tubuhnya. Sebagian besar waktu dihabiskan untuk membicarakan rasa sakit di tubuhnya. Dan, karena rasa sakit itu maka ia menyatakan bahwa ia tidak dapat membantu istrinya mneyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan bayinya. Setelah menyimak penuturan kliennya, Yoe membicarakan dampak-dampaknya bila ia berubah. Jika ia sudah sembuh, maka dampak/risikonya antara lain: ia harus membantu istrinya mengurusi pekerjaan rumah tangga, sekali semalam ia harus mengurus bayinya, kehilangan waktu istirahat karena akan semakin banyak ditimbuni oleh pekerjaan yang lain. Sementara istri akan semakin santai, mengajukan tuntutan yang lebih besar lagi padanya untuk menangani rumah tangga.

Yeo membicarakan hal ini dengan hati-hati dan menanyakan kesiapannya untuk mengambil risiko-risiko tersebut. Dengan cara demikian, Yeo bermaksud untuk menunjukkan hal-hal positif yang akan terjadi bila ia mengalami perubahan. Cara ini dipakai untuk menantang klien melakukan perubahan. Tapi satu hal yang perlu diketahui bahwa tidak semua klien dapat menerima cara ini dan berhasil melakukan perubahan. Kita perlu berhati-hati dalam menggunakan cara ini. Untuk rambu-rambu dalam menggunakan cara ini akan dibahas dalam kesempatan mendatang.

Thursday, July 10, 2008

KERJASAMA YANG MEMBUAHKAN HASIL

Baru-baru ini saya sedang mengonseling sepasang suami-istri. Dalam konseling itu, saya menemukan, sekali lagi, tentang pentingnya kerjasama kedua pihak untuk memperbaiki relasi pernikahan. Bila salah satu pihak pasangan yang mengerjakan tugas perbaikan, maka ia akan merasa tidak adil; pihak lawan pasangan pun dapat merasa superior atau lebih baik dari pasangannya. Ini jelas satu hal yang tidak baik. Namun lebih dari itu, saya meyakini bahwa masalah pernikahan hampir selalu terjadi karena keterlibatan kedua belah pihak. Kedua pasangan pasti sama-sama andil dalam menciptakan dan melestarikan masalah.

Contohnya kasus perselingkuhan. Kerapkali orang melihat bahwa pasangan yang selingkuh adalah pasangan yang paling bertanggungjawab atas kesalahan itu. Pandangan sepihak ini jelas tidak memadai. Dalam kenyataannya, pasangan yang selingkuh bisa jadi disebabkan karena lawan pasangan yang tidak lagi memerhatikan pasangan yang selingkuh ini. Akibat kurangnya dan keringnya perhatian pada pasangan, maka lawan pasangan tentunya lebih rawan terhadap perselingkuhan. Di sini kita melihat keterlibatan kedua belah pihak terhadap munculnya suatu masalah pernikahan. Itulah sebabnya, dalam konseling pernikahan kedua belah pihak pasangan perlu melakukan tugas perbaikan secara bersama-sama. Kerjasama seperti demikian niscaya akan membuahkan hasil yang baik dalam pernikahan.

Kemarin siang saya dan istri sempat bertengkar. Istri mengeluhkan agar saya lebih banyak lagi mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan saya merasa sudah cukup membantu pekerjaan rumah tangga, apalagi di tengah-tengah kesibukan pelayanan yang menyita waktu dan energi saya. Untuk menyelesaikan pertengkaran ini, maka saya bertanya tentang bentuk kerjasama yang dapat dilakukan untuk mengatasi pertengkaran ini. Akhirnya, kami menemukannya.

Siang ini, tanpa diminta istri, saya menguras bak mandi. Ini merupakan salah satu harapan istri kepada saya. Ketika selesai menguras, istri melihat usaha saya dan ia pun senang dan berkata, "Yang, terima kasih kamu sudah menguras bak mandi." Lalu hal yang lebih menyenangkan bagi saya adalah ketika istri berkata, "Yang, nanti setelah sinyo (panggilan akrab anak kami) bobok, kita makan gudeg Mbak Yus yuk." Saya terkejut dan senang karena gudeg Mbak Yus adalah makanan favorit saya. Aha . . . sekali lagi saya melihat pentingnya kerjasama kedua pasangan. Saya menyenangkan istri dan istri pun menyenangkan saya. Inilah kerjasama yang membuahkan hasil.

Teman-temanku, selamat bekerjasama!