Wednesday, February 28, 2007

GEREJA: COMMUNITY OF HEALING OR KILLING?

Lembaga peradilan Indonesia benar-benar memprihatinkan. Menurut hasil survei yang dilakukan Transparansi Internasional Indonesia (TII), peradilan menjadi lembaga yang paling sering meminta suap. Sebanyak 1.760 responden secara bulat (100 persen) mengaku dimintai pungutan tidak resmi oleh institusi penegak hukum itu. (Lihat Jawapos Online, Rabu, 28 Februari 2007 di: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail&id=8245)

Wah mengenaskan ya. Lembaga peradilan yang justru paling banyak melakukan ketidakadilan. Tapi tunggu dulu, apakah jangan-jangan gereja juga sama saja dengan lembaga peradilan? Gereja yang seharusnya berfungsi sebagai paguyuban penyembuh (community of healing) antar satu jemaat dengan yang lainnya, apakah kini sudah berubah fungsi menjadi paguyuban "pembunuh" (community of killing)? Selain untuk menyembah Allah secara komunal, gereja seharusnya menjadi tempat berlindung bagi semua orang. Di gerejalah, jiwa setiap orang akan merasakan kedamaian karena mestinya gereja mencerminkan bagaimana seharusnya anak-anak Allah hidup. Bila di dunia luar, jemaat sudah "bertarung" dengan kerasnya kehidupan dan pekerjaan, maka di dunia gerejalah jemaat dapat menemukan "tempat perteduhan" baginya.

Bolehkah saya membayangkan gereja sebagai tempat perkemahan rumah sakit militer? Tempat itu berfungsi untuk menyembuhkan luka-luka korban perang. Di sana ada fungsi penyembuh. Di sana ada tempat perteduhan. Di sanalah tempat orang-orang yang terluka. Saya kira ada kalanya gereja dapat disamakan sebagai tempat perkemahan rumah sakit militer. Para anggota yang terluka setelah bertempur di medan dunia luar, maka mereka akan tahu ke mana mereka harus pergi. Ya, mereka akan pergi ke gereja. To find a rest, to find a healing. Ke mana lagi mereka harus pergi bila mereka terluka? Semoga gerejaku dan gerejamu menjadi community of healing bagi semua jemaat.

Tuesday, February 27, 2007

IRI HATI: KANKER KEBAHAGIAAN

Daniel 6
“Kita tidak akan mendapat suatu alasan dakwaan terhadap Daniel ini, kecuali dalam hal ibadahnya kepada Allahnya!” (Dan. 6:6)

Sebuah kata-kata mutiara dari seorang yang bernama Harold Coffin mengatakan demikian: “Iri hati adalah seni menghitung berkat orang lain daripada berkat sendiri.” Saya kira kata-kata ini sangat cocok buat para pejabat dan wakil raja Darius dalam Daniel 6. Apa sebabnya? Perhatikan saja tingkah mereka ketika melihat Daniel yang diangkat menjadi pemimpinnya para wakil raja dan pejabat tinggi oleh raja Darius. Dalam bahasanya Harold Coffin, mereka menghitung berkat yang ada pada Daniel daripada berkat sendiri.

Lantas coba lihat akibat dari iri hati. Mereka langsung mengadakan persekongkolan untuk mencari-cari kesalahan Daniel. Mereka pergi menghadap raja untuk membuat aturan tentang ibadah yang mengharuskan semua rakyat menyembah dewa. Nah coba perhatikan apa yang mereka bicarakan pada ayat 8: “Semua pejabat tinggi kerajaan ini, semua penguasa dan wakil raja . . . telah mufakat . . . .” Tunggu dulu! Apa benar “semua”? Jelas tidak, karena Daniel ternyata tidak dilibatkan dalam permufakatan itu. Artinya, mereka membohongi sang raja. Lihatlah sekarang, bermula dari dosa iri hati meluncur ke dosa perkataan dusta.

Tapi itu belum selesai. Dalam ayat-ayat berikutnya, mereka berhasil menjebak Daniel yang sedang berdoa pada Tuhannya. Daniel tertangkap basah oleh mereka. Akhirnya, mereka pun membawanya pada raja Darius agar Daniel dihukum sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, yaitu dilempar ke gua singa. Mereka tidak lagi peduli soal nyawa Daniel; bagi mereka, yang paling penting adalah Daniel harus segera dibasmi dari bumi ini. Nah perhatikan lagi, bermula dari dosa iri hati meluncur ke dosa pembunuhan. Bahaya, bukan?

Iri hati adalah seperti penyakit kanker yang terus menggerogoti kebahagiaan kita. Pelan tapi pasti merusak. Merusak siapa? Diri sendirilah yang paling dirusak oleh penyakit ini. Bila kita melihat orang tertentu yang sukses, maka kita merasa tidak senang. Bila kita melihat orang tertentu diberikan pujian, maka kita berkata dalam diri, “Mengapa bukan aku? Padahal dia itu kan . . .” Bahagiakah kehidupan yang demikian? Nah itulah sebabnya saya katakan iri hati seperti kanker yang perlahan-lahan merenggut kebahagiaan kita. Camkanlah Amsal 14:30 yang berkata, “Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang.” Adakah kita sedang iri hati kepada orang-orang tertentu?

Iri hati adalah penghargaan terselubung kepada orang yang tidak kita sukai

A PRAYER FOR TODAY


Selidikilah aku, ya Allah,

dan kenallah hatiku,

ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;

lihatlah, apakah jalanku serong,

dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!


(Mazmur Daud)

Monday, February 26, 2007

BAIK KALAU LAGI . . .?

Dian Sastrowardoyo selama ini dikenal sebagai artis yang moody. Kadang-kadang baik, namun tak jarang pemeran cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta? itu terkesan tidak ramah. Bukan hanya kepada orang sekitar, tapi juga kepada wartawan yang kerap menjumpainya di berbagai kesempatan. Ditemui dalam jumpa pers acara Lux Play with Beauty di Hotel Four Seasons, Jakarta, beberapa waktu lalu, Dian mengakui hal itu. "Aku kalau lagi nggak merasa cantik, pasti nggak ramah sama orang. Tapi, kalau lagi merasa cantik, pasti ramah sekali. Sampai-sampai, orang yang nggak kenal pun aku sapa satu per satu," jelasnya. Ketika perasaan tidak cantik muncul, Dian merasa kehilangan kepercayaan diri. Mantan kekasih Abi Yapto itu pun memilih menjauh dari keramaian, lalu menyepi. "Kalau nggak pede, bawaannya pengin cepat pulang saja. Terus diam di rumah deh sendirian. Malas ketemu orang," akunya. Maka, Dian memohon pengertian atas sikapnya itu. Menurut dia, sikap moody tersebut merupakan spontanitas yang sulit dilawan. "Padahal, orang yang lihat belum tentu pandangannya sama dengan aku. Bisa jadi, ketika aku merasa cantik, orang lain melihat sebaliknya," tambahnya. (Kutipan dari Jawapos Online, Senin, 26 Februari 2007 di: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=273271)
Apakah kita sebagai orang Kristen juga melakukan kebaikan kalau lagi mood? Kalau ya, coba pikir lagi, apakah kita berlaku baik karena kita baik, atau karena kita sedang merasa baik? Terus gimana tuh kalau Tuhan lagi bad mood dengan kita? Wah gawat kan. Ah kiranya Tuhan menolong kita untuk menjadi orang baik dalam keadaan apapun.

Sunday, February 25, 2007

TAHU TAPI TIDAK MAU TAHU

Daniel 5
“Tetapi tuanku, Belsyazar, anaknya, tidak merendahkan diri, walaupun tuanku mengetahui semuanya ini” (Dan. 5:22)

Menurut Anda, apa artinya lampu kuning pada lampu lalu lintas? Tanpa banyak pikir, kita menjawab bahwa lampu kuning adalah tanda untuk berhati-hati. Berhati-hati untuk apa? Berhati-hati agar semua kendaraan segera menurunkan kecepatan karena lampu akan segera berubah menjadi merah. Tapi pada kenyataanya, apa yang kita lakukan ketika kita melihat lampu kuning? Apakah kita segera menurunkan kecepatan? Hmm . . . rasanya bukan ini yang kita lakukan. Atau, apakah kita injak gas sekencang-kencangnya agar secepat mungkin melewati lampu lalu lintas? Aha! Inilah yang sering kita lakukan, bukan? Intinya, kita tahu peraturannya, tapi kita tidak mau tahu; akhirnya, kita melanggar apa yang telah kita ketahui.

Hal yang sama juga dilakukan oleh raja Belsyazar, anak dari raja Nebukadnezar. Pernyataan Daniel kepada raja Belsyazar pada ayat 22 sangat pedas untuk didengar. Kenapa terasa sangat pedas? Ada satu hal penting yang terkandung dalam sebuah kalimat itu: Belsyazar dianggap sebagai raja yang tidak mau belajar dari sejarah kehidupan ayahnya, Nebukadnezar. Padahal, Belsyazar tahu bagaimana kehidupan ayahnya, ia tahu perjalanan kegagalan dan kesuksesan spritualitas ayahnya, dan kemungkinan ia tahu pengakuan akhir ayahnya di pasal yang keempat. Kegagalan Belsyazar untuk belajar dari sejarah kehidupan ayah inilah yang membuat dia jatuh dalam dosa kesombongan dan dia menjadi raja yang tidak disukai oleh Tuhan.

Tahu tapi tidak mau tahu, inilah pelajarannya untuk kita. Dalam hal melakukan firman Tuhan, kita bisa menjadi seperti Belsyazar. Apa maksudnya? Semenjak kita beribadah di gereja kita pasti sudah sering mendengar firman Tuhan. Artinya, kita sudah banyak mengetahui tentang apa yang diinginkan Tuhan dalam hidup kita. Misalnya, kita tahu bahwa menebarkan gosip itu adalah perbuatan yang tidak berkenan bagi Tuhan, kita tahu bahwa sikap merendahkan seseorang (spt. pembantu, karyawan) adalah sikap yang tidak disukai Tuhan, dan seterusnya. Tapi apakah kita mau tahu dengan semua yang kita ketahui tadi? Belum tentu, bukan? Sebab itu, ketahuilah, berbahagialah orang yang bukan saja mendengar firman-Nya, tetapi juga melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikianlah, kita mau tahu dengan apa yang kita ketahui.

Janganlah kita menjadi seperti Farisi yang tahu banyak tapi tidak banyak yang dilakukannya

Saturday, February 24, 2007

A PRAYER FOR TODAY


Change my heart, o God

make it ever true.

Change my heart, o God

may I be like you

You are the potter,

I am the clay

mold me and make me

this is what I pray


(Eddy Espinosa)

PRASANGKA: PERCAYA ATAU TIDAK?

Daniel 4
“Jadi sekarang aku, Nebukadnezar, memuji, meninggikan dan memuliakan Raja Sorga . . .”
(Dan. 4:37)

Dalam satu wawancara, seorang penyanyi bernama Madonna ditanya, “Apa yang kamu lakukan bila kamu sedang tidak ada kesibukan?” Spontan saja Madonna berkata, “Aku membaca Alkitab.” Percayakah Anda akan perkataannya? Atau, bagaimana bila kita mendengar pengakuan Hitler bahwa dirinya sekarang adalah orang Kristen tulen? Percaya atau tidak? Kali ini kita akan merenungkan tentang prasangka. Apa sih prasangka itu? Menurut sebuah kamus bahasa Inggris, prasangka adalah perasaan tidak suka atau tidak percaya yang tidak masuk akal kepada seseorang yang berbeda dari kita, khususnya ras, jenis kelamin, agama, dan sebagainya.

Apakah prasangka itu juga terjadi ketika kita membaca kisah Nebukadnezar dalam pasal 4? Mungkin kita sudah mulai merasa heran sekaligus tidak percaya ketika membaca perkataannya di ayat 1-3. Kok bisa Nebukadnezar berkata sedemikian salehnya? Sebenarnya, kita tidak akan terlalu merasa heran bila kita menelusuri jejak perbuatannya secara teliti. Dalam pasal 2, Nebukadnezar terkesan tidak toleran karena ia akan membunuh seluruh orang bijaksana di negerinya tanpa alasan yang masuk akal. Tapi bukankah pasal ini diakhiri dengan pemujaan Nebukadnezar kepada Tuhannya Daniel? Sama halnya dengan pasal 3. Di sana ia kembali dikisahkan sebagai raja yang kejam karena usahanya untuk membunuh Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Tapi bukankah pasal ini juga diakhir dengan pujiannya kepada Tuhan yang benar? Lantas mengapa kita sulit untuk menerima pertobatan Nebukadnezar dalam pasal keempat?

Kasus Nebukadnezar hanyalah salah satu alat penanda apakah kita memiliki prasangka dan seberapa jauh kita dikuasai oleh prasangka. Coba pikirkan berapa banyak prasangka yang kita miliki terhadap seseorang? “Ya memang orang Jawa itu malas dan tidak bisa kerja,” mungkin inilah salah satu prasangka yang diucapkan oleh orang Tionghoa tentang orang pribumi. Sebaliknya, orang pribumi pun mungkin berprasangka, “Ya memang orang Tionghoa itu sombong dan pelit.” Padahal, tidak semua orang Jawa dan orang Tionghoa memiliki sikap jelek seperti prasangka kita. Kiranya Tuhan menolong kita untuk melepaskan prasangka dalam pikiran kita satu demi satu.


Prasangka terhadap orang lain merupakan penindasan secara tersembunyi

Friday, February 23, 2007

A PRAYER FOR TODAY

Direct us, O Lord, in all our doings with thy most gracious
favor, and further us with thy continual help;
that in all our works begun, continued, and ended in thee,
we may glorify thy holy Name, and finally, by thy mercy, obtain everlasting life;
through Jesus Christ our Lord.
Amen.

(Book of Common Prayer)

TETAPI SEANDAINYA TIDAK . . .?

Daniel 3
“Tetapi seandainya tidak . . . kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Dan. 3:18)

Apa yang menjadi keinginan terbesar dalam hidup kita saat ini? Ambil waktu sejenak, tutup mata, jangan meneruskan bacaan ini bila kita belum dapat menyebutkan satu keinginan terbesar dalam hidup kita. . . . . Bila kita telah menemukan satu keinginan terbesar itu, maka renungkan kembali, apa yang membuat kita menginginkan hal itu? Sekali lagi, ambil waktu sejenak untuk memikirkan hal ini. . . . . Terakhir, bagaimana bila ternyata keinginan terbesar kita tidak dapat tercapai? Apa yang akan kita lakukan? Pikirkanlah hal itu.

Sekarang bacalah kembali ayat 17 dan 18. Perhatikan kata sambung pada ayat 18, “Tetapi seandainya tidak.” Apa yang Anda tangkap dari kata-kata itu? Pertama, apakah mereka beriman kepada Tuhan? Saya kira tanpa ragu kita menjawab bahwa mereka adalah orang yang beriman. Buktinya, mereka memilih untuk setia pada Tuhannya. Kedua, apakah mereka masih memiliki keinginan agar Tuhan melepaskan atau menyelamatkan mereka dari perapian? Saya kira mereka tetap memiliki keinginan tersebut. Lagipula, bukankah keinginan seperti demikian sangat manusiawi?

Tapi pertanyaan ketiga jauh lebih penting, yakni: Bagaimana bila ternyata keinginan agar diselamatkan dari perapian tersebut tidak mereka dapatkan? Nah hal inilah yang sudah diantisipasi oleh mereka bertiga. Mereka sadar bahwa imannya kepada Tuhan tidak harus dan tidak selalu disertai dengan pameran kuasa-Nya, apalagi untuk memenuhi keinginan manusiawinya. Sederhananya, mereka tetap akan beriman kepada Allah meski seandainya keinginannya tidak terpenuhi. Mereka paham bahwa iman kepada Tuhan tidak senantiasa berjalan bersama dengan kuasa Tuhan untuk memenuhi keinginan manusia.

Pelajaran ini memang tidak mudah untuk dilakukan oleh kita. Apa sebabnya? Mungkin salah satunya karena kita, entah sadar atau tidak, sering menyatukan iman kepada Tuhan dengan pengabulan permohonan/keinginan kita. Kalau saya beriman kepada Tuhan, masakan Tuhan memberikan hal-hal yang saya inginkan selama ini? Ini masalahnya! Kita harus ingat bahwa iman kepada Tuhan adalah hal lain dan pengabulan keinginan adalah hal yang lain lagi. Jadi, silakan punya keinginan, naikkan permohonan kita dalam doa, tetapi bagaimana bila seandainya tidak terpenuhi?

Kedewasaan iman terlihat dari kesetiaan pada Tuhan meski Ia menolak keinginannya

Thursday, February 22, 2007

SEMAKIN MENDESAK, SEMAKIN BERDOA

Daniel 2
“Maka Daniel menghadap raja dan meminta kepadanya, supaya ia diberi waktu untuk memberitahukan makna itu kepada raja.” (Dan. 2:16)

Cuaca tidak lagi menentu. Alam sudah tidak bersahabat dengan kita. Banyak sekali kejadian alam yang aneh; dulu tidak pernah terjadi, sekarang terjadi. Nah, sekarang coba bayangkan bila pemerintah kota mengumumkan bahwa sekitar dua jam lagi kota Anda akan diterjang oleh angin topan berkekuatan tinggi. Pemerintah sendiri sudah mengimbau agar sebisa mungkin seluruh penduduk di kota tersebut segera mengungsi ke kota tetangga. Bagaimana sikap Anda? Renungkanlah! Inti pertanyaan ini adalah untuk mengetahui sikap apa yang akan kita ambil bila kita mengalami situasi yang mendesak.

Coba bandingkan dengan sikap Daniel dalam mengatasi situasi yang mendesaknya. Situasi yang terjadi waktu itu benar-benar mencekam dan menegangkan karena hal itu berkaitan erat dengan hidup dan matinya Daniel. Namun uniknya, Daniel tidak gegabah; ia memohon pada raja untuk memberinya waktu sejengkal dan ia akan kembali ke istana untuk mengatakan arti dari mimpi yang selama ini menggelisahkan hati raja Nebukadnezar. Tapi apa tujuan Daniel mengulur-ngulur waktu? Apakah Daniel menggunakan hal itu sebagai strategi untuk menyelamatkan dirinya seperti yang dilakukan oleh orang bijaksana (ay. 8,9)?

Ternyata tidak. Daniel mengulur-ngulur waktu agar ia dan teman-teman seperjuangannya (Hananya, Misael, Azarya) dapat berdoa. Ia tidak lari dari masalah atau mengatasi masalah dengan gegabah. Sebaliknya, ia menghadapi masalah bersama dengan Tuhan. Di kala situasi yang mengharuskan dia untuk bertindak dengan cepat dan tepat, Daniel semakin mendekatkan dirinya pada Tuhan. Dan saya kira, inilah kunci kemenangan Daniel dalam menghadapi raja Nebukadnezar.

Semakin mendesak, semakin berdoa. Itulah pesan renungan hari ini. Kita akan selalu hidup dalam situasi yang mendesak. Kita tidak bisa lari darinya. Dia adalah bagian dari kehidupan kita. Ujian beserta tugas-tugas sekolah, proyek/instruksi atasan, program-program rutin yang harus dijalankan, kekurangan sumber dana, masa depan yang tak menentu, semuanya itu dapat menjadi situasi yang menuntut kita untuk segera mengambil keputusan atau bertindak dengan cepat dan tepat. Bila demikian, langkah kecil apa yang dapat kita usahakan untuk melakukan pesan renungan hari ini?

Bila situasi semakin mendesak, kita justru harus semakin berdoa

Wednesday, February 21, 2007

KEMULIAAN-NYA KEBAHAGIAANKU: DIALOG IMAJINER

Daniel 1
“Tuhan menyerahkan Yoyakim . . . ke dalam tangannya [Nebukadnezar]” (Dan. 1:2a)

“Kenapa harus aku?” tanya Yoyakim kepada Tuhan saat ia berada di sorga. Belum sempat dijawab oleh Tuhan, Yoyakim kembali melanjutkan, “Tuhan, kenapa sewaktu aku hidup di bumi, Engkau membiarkan aku jatuh ke dalam kuasa raja Nebukadnezar. Dia itu orang kafir. Najis bagiku.” Tuhan tersenyum mendengar perkataan itu. Lagi-lagi, belum sempat dijawab oleh Tuhan, Yoyakim meluncurkan pertanyaan berikutnya, “Apa Tuhan tidak tahu kalau aku dan rakyatku menderita? Apa Tuhan tidak tahu kalau kami dipaksa untuk meninggikan Nebukadnezar dan menyembah dewa-dewa mereka? Setiap hari kami hidup dalam tekanan.”

Tuhan pun segera menjawab. “Anakku Yoyakim, coba lihat kitab Daniel 1:2a? Bukankah di sana sudah dituliskan mengapa kamu dan pemerintahanmu jatuh ke dalam tangan raja Babel?” Tanpa banyak ba-bi-bu, Yoyakim segera mengambil dan membaca kisah itu. Tiba-tiba raut wajahnya berubah. Dengan rasa jengkel, Yoyakim bertanya dengan ketus, “Apa ini tidak salah tulis? Masakan di sana tertulis bahwa Engkau menyerahkan aku pada raja Babel? Engkau menyerahkan aku? Apa maksudnya?” Tuhan lalu menerangkan, “Anakku Yoyakim, ketahuilah bahwa sebenarnya kehidupanmu memang bukan berbicara tentang dirimu, tapi diri-Ku. Aku menyerahkan dirimu untuk mengalami penjajahan demi kemuliaan-Ku. Ingat, kamu ada dan semua yang ada di bumi ini untuk menceritakan kemuliaan-Ku.”

“Tapi Tuhan, bukankah kenyataan ini sulit diterima oleh semua orang? Selama ini orang berpikir bahwa Engkau meluputkan mereka dari malapetaka. Semua orang Kristen, termasuk anak-anak Sekolah Minggu pun, sudah mengimani janji-Mu bahwa Engkau tidak akan merancangkan kecelakaan dan sebaliknya Engkau akan merancangkan kebahagiaan untuk anak-anak-Nya.” Sambil tertunduk sedih, Tuhan melanjutkan, “Itulah yang belum dimengerti mereka. Mereka terus memikirkan diri mereka. Akhirnya, kebahagiaan yang Aku janjikan juga dimengerti sesuai dengan pengertian mereka. Tidak ada penyakit, tidak ada malapetaka, tidak ada kebangkrutan, dan semua hal yang mendatangkan kenikamatan bagi mereka, itulah arti kebahagiaan bagi mereka. Oh, andai mereka bisa mengerti bahwa hanya kemuliaan-Ku itulah yang menjadi kebahagiaan mereka.” Yoyakim pun terdiam.

Apa yang membuat kita sulit berpikir bahwa kebahagiaan terbesar kita terletak pada kemuliaan Tuhan semata?

Tuesday, February 20, 2007

BELAJAR UNTUK MENGHARGAI

Roma 16
“Salam kepada Trifena dan Trifosa yang bekerja membanting tulang dalam pelayanan Tuhan” (Rm. 16:12a)

Ada satu hal yang ganjil dalam kebudayaan kita. Apa itu? Yakni, kita lebih mudah untuk memberikan kritik ketimbang penghargaan. Entah kepada pasangan, orang tua, anak, cucu, dan orang lain. Kalau tidak percaya, cobalah kita menghitung berapa kali kita mengkritik dan berapa kali kita memuji seseorang. Saya terka kita pasti akan mendapatkan “timbangan” yang berat sebelah. Berat ke mana? Berat kepada kritikan. Hari ini kita diajak untuk meneladani rasul Paulus dalam hal menghargai seseorang.

Dalam ayat 1-16, kita dibelalakan dengan sederetan penghargaan dari Paulus kepada semua orang yang pernah terlibat dalam pelayanannya. Penghargaan itu tampak dalam bentuk perkataan salam dan perkataan pengakuan. Perkataan salam, misalnya, ditujukan kepada jemaat dalam rumah Akwila dan Priskila (ay. 5), Asinkritus, Flegon, Hermes, Patrobas, Hermas, saudara-saudara yang bersama dengan mereka (ay. 14), Filologus, Yulia, Nereus, saudara perempuannya, Olimpas (ay. 15).

Selain memberikan perkataan salam, Paulus juga memberikan perkataan pengakuan. Banyak sekali Paulus mengakui peran mereka dalam melayani Tuhan. Hal ini dapat dilihat, misalnya: Priskila dan Akwila yang diakui sebagai rekan-rekan yang berani bertaruh nyawa untuk hidup Paulus (ay. 3,4), Trifena dan Trifosa yang diakui sebagai para pekerja keras bagi Tuhan (ay. 12), ibu dari Rufus yang dianggap sebagai ibunya sendiri (ay. 13), dan seterusnya. Paulus tahu bahwa pelayanannya tidak akan pernah berhasil tanpa dukungan dari orang-orang sekelilingnya. Sebab itu, ia menghargai mereka.

Sama dengan kita. Keberhasilan kita dalam melakukan sesuatu tidak pernah terlepas dari dukungan orang-orang di dekat kita. Entah itu orang tua, suami, isteri, anak, menantu, mertua, rekan-rekan gereja, hamba Tuhan, dan sebagainya. Karena itu, marilah kita memberikan penghargaan-penghargaan kepada mereka. Ambil satu hari tertentu dan mengajak mereka (seperti anggota keluarga) untuk duduk bersama-sama. Ucapkanlah kata-kata penghargaan kepada setiap mereka dan ajaklah mereka juga untuk mengucapkan kata-kata penghargaan. Buatlah hidup ini menjadi lebih hidup.

Belajarlah menghargai karena itu tidak akan merugikan kita

Monday, February 19, 2007

A PRAYER FOR TODAY

My God, I am not my own but yours.
Take me for your own,
and help me in all things to do your holy will.
My God, I give myself to you,
in joy and sorrow,
in sickness and in health,
in success and in failure,
in life and in death,
in time and for eternity.
Make me and keep me your own;
through Jesus Christ our Lord.

(Source unknown)


INGAT PENCIPTAMU!


"Saya ingin kamu memotong habis rambut saya," demikian ujar Britney Spears, 25, kepada Tognozzi, sang pemilik Ester's Studio Salon. Tognozzi terperanjat dan ia menolak permintaannya itu. Tognozzi membujuknya agar tidak melakukan hal itu karena mungkin ini hanya keinginan sementara saja. Tapi Spears membantah dan mengatakan, "Baiklah kalau tidak mau, saya akan melakukannya sendiri." Lalu Spears benar-benar menggenapi perkataannya itu. Aksinya yang menghebohkan ini tidak cukup sampai di sini saja. Setelah mencukur habis rambutnya, ia lalu menambah dua tato silang hitam putih di tubuhnya. Ada apa gerangan? Apa yang terjadi padanya? Sang pembuat tato hanya bisa berkomentar, "Spears terlihat seperti orang yang putus asa dan terganggu." (Selengkapnya baca Jawapos Online hari ini).

Entah mengapa, saya jadi teringat wejangan Pengkhotbah, "Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: 'Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!'" (Pengkhotbah 12:1) Lho tapi apakah Spears tidak ingat Penciptanya? Apakah dia tidak mendapatkan kesenangan? Saya memang tidak tahu. Dalam hatinya siapa yang bisa mengukurnya. Tapi bukankah kita sudah sering mendengarkan berita-berita stress dari artis-artis tenar?

Aplikasi buat kita adalah apakah kita selalu mengingat Pencipta kita? Biasanya, bila kita senang, Pencipta kita akan berada di luar pintu ruangan pesta kita. Dia berada nun jauh di sana. Tapi bila kita sedih, Dia baru dipanggil layaknya pelayan restauran yang dapat dipanggil dengan sekali tepuk. Apakah ini yang dinamakan dengan mengingat Pencipta? Seorang penafsir menerangkan bahwa "mengingat" di sini tidak menunjuk pada aktifitas mengingat Penciptanya di masa lalu, tetapi kata ini mengindikasikan sebuah ajakan untuk memerhatikan Penciptanya sampai akhir hidupnya. Dengan demikian aktifitas ini tidak hanya perlu dilakukan bila dalam kondisi duka, tetapi juga dalam kondisi suka. Singkatnya, dalam semua kondisi kita senantiasa mengingat Pencipta kita.

Sunday, February 18, 2007

A PRAYER FOR TODAY

We are all travellers
to work by car, bus or tram
the walk to supermarket and back again
alone, with friends or crushed
within the confines of a tube or train
we meet but rarely talk rub shoulders but stay apart
discuss the weather but never stray into deeper lines of thought.
We share our journey but little more,
with travelling an evil to be endured.
As with our spiritual walk with you
made in the company of others yet as if alone.
We talk but rarely communicate
meet yet only scratch the surface in our knowledge
about those with whom we journey and of you.
Time spent together an imposition to be endured
rather than enjoyed.
Lord of the journey
transform our travelling into opportunity
each moment to a resource and
our time together a joy

Saturday, February 17, 2007

A PRAYER FOR TODAY


Gracious Father, we pray for the holy Catholic Church.

Fill it with all truth, in all truth with all peace.

Where it is corrupt, purify it; where it is in error, direct it;

where in any thing it is amiss, reform it. Where it is right, strengthen it;

where it is in want, provide for it; where it is divided, reunite it;

for the sake of Jesus Christ thy Son our Savior.

Amen.


(The Book of Common Prayer)

TONG KOSONG NYARING BUNYINYA

Roma 15
“Kita yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri” (Rm. 15:30)

H. G. Spafford adalah seorang yang malang di dunia ini. Apa sebabnya? Ia kehilangan ketiga putrinya dalam kecelakaan kapal di Lautan Atlantik. Tidak lama setelah itu, musibah kembali datang, ia kehilangan puteranya. Dan yang jauh lebih menyedihkan adalah, gereja tempat ia beribadah dan berlindung dalam topan badai kehidupan justru mengucilkannya. Jemaat beranggapan bahwa Spafford menerima kutukan dari Tuhan. Inilah pukulan yang menumbangkan Spafford. Ia menjadi gila.

Di manakah fungsi gereja, bila demikian? Tong kosong nyaring bunyinya. Dikatakan demikian karena gereja seharusnya menjadi tempat paguyuban yang aman dan nyaman bagi setiap orang percaya. Bahkan, bukankah gereja juga sering mengajarkan kepada dunia bahwa semua orang harus saling menyokong satu sama lainnya? Tapi apa kenyataannya? Setidaknya, Spafford telah menyaksikan dan mengalami sebuah gereja yang tong kosong nyaring bunyinya; gereja hanya pandai bicara mengenai kasih namun prakteknya bernilai nol besar.

Padahal, menurut firman Allah melalui Paulus, gereja harus menjadi wadah di mana yang kuat menanggung yang lemah (ay. 1). Hal ini jelas menjadi sebuah tanda yang khas dari sebuah gereja yang sehat. Setiap jemaat harus saling memikirkan anggota jemaat yang lain. Mereka harus saling memperhatikan satu dengan yang lainnya. Dan jangan lupa, rasul Paulus mengatakan bahwa hal ini bukanlah sebuah pilihan, tetapi kewajiban. Perhatikan ayat 1 yang mengatakan, “Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat . . .”

Kisah gereja di mana Spafford beribadah merupakan pil pahit yang harus kita terima sebagai lembaran sejarah hitam kekristenan. Jangan terulang dan diulangi lagi! Kita harus mengikuti apa yang dikatakan oleh firman Allah bahwa kita harus menciptakan suasana persekutuan yang sehat dengan sikap rela menanggung orang yang sedang kesusahan. Di gereja kita terdapat orang-orang yang sedang mengalami kesusahan. Mulai dari orang yang sedang sakit hingga orang yang kurang mampu secara finansial. Mereka menanti pertolongan dari kita. Selamat menolong!


Gereja tidak mungkin menjadi sebuah tong kosong yang nyaring bunyinya, apabila seluruh jemaatnya saling menolong orang yang lemah

MEMAHAMI ORANG YANG MENGALAMI TRAUMA


Orang yang mengalami trauma selalu ada di sekitar kita. Mungkin kita bisa melihat kenyataan ini, tapi bisa saja tidak karena orang tersebut menyembunyikannya. Trauma bisa karena tiga hal besar, yaitu: kehilangan properti (harta miliknya), kehilangan proyek (spt. cita-citanya), dan kehilangan orang lain (spt. pasangan hidup, orang tua atau sahabat).

Misalnya saja pengalaman orang-orang yang terkena musibah Tsunami di Aceh beberapa tahun lalu. Banyak di antara mereka mengalami trauma. Karena apa? Karena mereka kehilangan tiga hal besar, sekaligus. Mereka kehilangan rumah dan harta benda di dalamnya (kehilangan properti), mereka kehilangan sawah atau kebunnya (kehilangan proyek), dan yang kemungkinan paling memukul mereka adalah kehilangan orang-orang yang dikasihinya (kehilangan orang lain).

Kenyataan di atas memang merupakan peristiwa heboh yang membuat seseorang trauma. Tapi ini tidak berarti seseorang baru mengalami trauma karena peristiwa seperti di Aceh tersebut. Banyak peristiwa sebenarnya yang dapat membuat seseorang menjadi trauma. Seperti, di PHK, ditinggal kekasihnya karena terserang penyakit, dan gagal dalam melakukan sesuatu. Intinya, bagaimana bila jemaat kita sedang mengalami hal-hal traumatik?

Hal yang pertama dan terutama adalah kita perlu memahami kondisi seorang yang mengalami trauma. Berangkat dari tulisan Anthony Yeo, On Wings of Storm, saya akan menyarikan tiga gejala umum dari seorang yang traumatik agar kita dapat memahaminya.

Sensitifitas yang tinggi
Gejala ini seringkali terjadi pada orang-orang yang mengalami trauma. Mereka menjadi terlalu sensitif terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Gejala ini biasanya diikuti dengan perilaku hiperaktif, melakukan pekerjaan yang menggila, mudah mengalami ketakutan, mudah marah terhadap hal-hal kecil, dan merasa kesepian. Dan, hal yang paling mengganggu adalah kekurangan istirahat. Hal inilah yang bisa menggiringnya pada gejala insomnia.

Ingatan yang mengganggu
Gejala dominan berikutnya adalah ingatan yang mengganggunya di mana orang tersebut merasa bahwa dirinya seolah-olah sedang mengalami kembali peristiwa traumatis tersebut. Hal ini dapat terjadi meski orang tersebut tidak bermaksud untuk mengingat peristiwa traumatis tersebut. Ingatan mengganggu seperti demikian juga dapat dialaminya ketika ia sedang bermimpi dalam tidurnya. Selain dalam tidur, ingatan mengganggu seperti ini juga dapat muncul kembali ketika bertemu dengan orang lain yang mengalami trauma oleh karena peristiwa yang sama dengannya.

Perilaku yang menghindar
Sangat umum sekali kita mendengar orang lain yang mengatakan bahwa dirinya ingin meninggalkan semua hal di belakang, melupakan semua hal yang pernah terjadi, dan menolak untuk membicarakan peristiwa traumatik tersebut. Gejala seperti ini dapat disebut sebagai perilaku yang menghindar dari seorang yang mengalami trauma.

Bila kita ingin menolong orang-orang yang mengalami trauma, maka tidak bisa tidak kita harus memahami gejala yang dialami orang tersebut. Bila kita tidak memahami, maka seringkali kita menjadi “guru”, bukan sebagai teman seperjalanan bagi mereka dalam melewati masa-masa traumatisnya. Padahal, mereka membutuhkan teman seperjalanan daripada seorang guru.

Friday, February 16, 2007

SALAH DENGAR

Mum was listening to Bobby say his bedtime prayers. "Bless mommy and daddy. Bless my friends and teachers. And dear Harold, please bless me too." Mum was surprised. "Bobby, who is Harold?" "Don't you know? Harold is God's name. Jesus taught us, "Our Father, who art in heaven, Harold be Thy name?" said little Bobby.

Aplikasi: Dalam mendengarkan firman, kadang kita sering salah dengar. Salah dengar bisa karena macam-macam. Bisa karena kurang konsentrasi, bisa karena kurang tidur (mungkin semalam meronda?), bisa karena minat dengan topik khotbah, dan seterusnya. Jadi, supaya tidak salah dengar firman, kita harus selalu persiapkan diri sebelum mendengarkan firman. Kelihatannya simple, tapi seberapa sering kita lakukan persiapan yang sungguh-sungguh untuk mendengarkan firman Tuhan? Saya kira keberhasilan seseorang mendengarkan firman juga terletak pada persiapannya orang tersebut. Betul kan?

Thursday, February 15, 2007

WHERE WAS DANIEL IN DANIEL 3?

He was certainly high enough in the Babylonian administration to have been summoned to this grand state function. Why is there no mention of Daniel in Daniel 3? The short answer is that no one knows. The writer does not tell us. We can only speculate. Perhaps he was travelling on some important business trip elsewhere in the vast Babylonian empire. Perhaps he was ill and unable to attend the dedication ceremony. The biblical writer does not bother to tell us. His focus lies elsewhere. The focus is not on the faith of Daniel, but on the faith and courage of Shadrach, Meshach and Abednego. It is not only famous spritual heroes like Daniel that are capable of great courage and faith. Even three otherwise unknown Jewish men are shinning examples of faith and courage.
I wonder how many men and women have stood up quietly but faithfully for God in their offices or in remote areas of the world. Their names may never make it alongside the Billy Grahams and Mother Teresas in our world, but they are known and honoured in the kingdom of heaven. Thank God for the extraordinary courage of these three ordinary Jews. May we b more like them.


(Gordon Wong, Faithful to the End: The Message of Daniel for Life in the Real World [Singapore: Genesis, 2006], 45)
About the author:
Rev. Dr. Gordon Wong is a lecturer in Old Testament and Homiletics at Trinity Theological College, Singapore. Gordon holds a B.A. (Honours) from London School of Theology, and a Ph. D. from the University of Cambridge, England.

Wednesday, February 14, 2007

MENERIMA ORANG LAIN

Roma 14
“Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya”
(Rm. 14:1)

Menerima, merupakan sikap yang sangat diperlukan dalam sebuah komunitas. Pasalnya, setiap orang yang berada dalam sebuah komunitas pasti memiliki kepelbagaian pandangan mengenai sesuatu hal. Lihat saja di gereja kita. Antara jemaat yang satu dengan jemaat yang lain bisa memiliki penilaian yang berbeda mengenai khotbah seseorang. Nah bayangkan saja kalau setiap jemaat yang memiliki keunikan penilaiannya dipertemukan sambil diiringi dengan budaya ngotot; apa jadinya gereja kita? Di sinilah butuh yang namanya menerima satu dengan yang lainnya.

Sikap menerima ini pulalah yang menjadi perhatian Paulus dalam Roma 14. Inti dari pasal 14 adalah pada ayat 1, yang berbunyi: “Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya.” Siapakah orang yang “lemah” itu? Yaitu, orang-orang percaya yang masih menaati kewajiban-kewajiban hukum makanan dan ibadah. Sebaliknya, orang yang “kuat” adalah orang yang tidak diperbudak oleh pantangan-pantangan makanan dan hari-hari suci. Orang yang demikian adalah orang yang menghayati arti kemerdekaan di dalam Kristus.

Melalui ayat 1 tersebut, Paulus mengimbau agar orang yang “kuat” tidak boleh merendahkan orang-orang yang sedang “lemah”. Sebaliknya, orang yang kuat imannya wajib menerima orang-orang yang masih lemah imannya. Alasannya, karena soal kerajaan Allah tidak ada kaitannya dengan makanan dan minuman; kerajaan Allah adalah persoalan kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus (ay. 17). Sebab itu, Paulus mendorong agar mereka mengejar hal-hal yang membangun dan mendatangkan damai sejahtera melalui sikap menerima.

Layaknya kondisi jemaat Roma, kondisi jemaat Kalam Kudus pun dapat mengalami hal yang sama. Adakalanya kita mempermasalahkan dan meributkan persoalan-persoalan sederhana sehingga kedamaian antar sesama jemaat terkoyak. Apa yang menyebabkan hal ini? Bisa jadi kita sudah terlebih dahulu menaruh ketidaksenangan terhadap orang yang kita persoalkan, bisa jadi kita sedang memiliki mood yang buruk, atau yang lebih parah lagi, kita sedang memiliki masalah kepribadian. Marilah kita belajar menerima sesama rekan dalam gereja tanpa harus meributkan persoalan-persoalan kecil.

Bila kita sulit menerima orang lain, ingatlah sudah berapa kali Allah menerima kita apa adanya

Tuesday, February 13, 2007

A PRAYER FOR TODAY


Almighty God our heavenly Father,

send down upon those

who hold office in Indonesia

the spirit of wisdom, charity, and justice;

that with steadfast purpose they may faithfully

serve in their offices to promote

the well-being of all people;

through Jesus Christ our Lord.

Amen.


(The Book of Common Prayer)

PEDULI TERHADAP PEMERINTAH

Roma 13
“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah . . .” (Rm. 13:1)

Semenjak Bapak Soeharto lengser keprabon, maka saat itu rakyat Indonesia mulai berani memekikkan reformasi. Menikmati orde reformasi, demikianlah cita-cita rakyat Indonesia saat itu dan saat ini. Tapi apa yang kita dapatkan sekarang? Yang kita dapatkan adalah bukannya reformasi, melainkan repot nasi. Tak pelak lagi, orang-orang sangat mudah untuk berdemonstrasi; dan parahnya, ada yang berani berbuat anarkis, tak peduli terhadap hukum. Sekarang, bagaimana orang Kristen menanggapi hal ini?

Bagi saya, sah-sah saja orang Kristen melakukan demonstrasi demi menyampaikan aspirasi yang bermakna kepada pemerintah. Ambillah contoh, ketika beberapa kalangan sekolah dan gereja Kristen, serta gereja Katolik berdemonstrasi untuk menggagalkan RUU Sisdiknas. Menurut hemat saya, mereka justru sedang menunjukkan sebuah keprihatinan terhadap nasib anak bangsa. Sikap prihatin terhadap masa depan negara inilah yang harus dilestarikan dari generasi ke generasi.

Berbeda halnya dengan sikap anarkis. Sikap ini justru merunyamkan masalah yang sudah runyam. Orang Kristen tidak pantas melakukan hal ini. Sikap ini merupakan bentuk ketidakhormatan terhadap pemerintah yang ada. Allah, secara jelas, menandaskan bahwa kita harus takluk kepada pemerintah. Apa sebabnya? Karena tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah. Semua pemerintah diangkat dan ditetapkan dalam bingkai perizinan Allah. “Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya” (ay. 2).

Jadi, sikap orang Kristen terhadap bumi pertiwi Indonesia adalah peduli terhadap masa depan pemerintahan kita. Kepedulian terhadap negara dapat diwujudkan dalam bentuk doa bagi bangsa, membayar pajak secara tepat waktu, mendukung pemberantasan korupsi yang dimulai dari lingkup pekerjaan kita, membantu fakir miskin dengan menjadi orang tua asuh, atau bila perlu, melakukan demonstrasi secara arif dan bijaksana. Akhirnya, sikap yang peduli terhadap pemerintah, menurut 1 Timotius 1:1-3, merupakan sikap yang baik dan berkenan kepada Allah.

Boleh saja tidak puas dengan pemerintah, namun jangan sampai tidak peduli dengannya

Monday, February 12, 2007

KASIH: PILIHAN ATAU KEWAJIBAN?



Roma 12
“Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara . . .” (Rm. 12:10)

Telah dikatakan dalam renungan sebelumnya bahwa Allah menyelamatkan kita agar kita dapat melakukan sesuatu buat Allah. Ini tujuan utamanya. Kenyataannya, banyak orang Kristen tidak terlalu memusingkan tujuan utama itu. Mereka merasa bahwa asalkan tidak berbuat dosa, itu sudah cukup. Padahal, sekali lagi, Allah menyelamatkan kita agar kita dapat berbuat sesuatu bagi Allah; bukan hanya sekadar tidak berbuat dosa. Tapi, perbuatan apa saja yang dikatakan sebagai berbuat sesuatu bagi Allah?

Roma 12-15 telah mendaftar sekian banyak kewajiban praktis untuk kita lakukan. Dalam Roma 12, khususnya ayat 9-20, rasul Paulus menandaskan kepada jemaat Roma bahwa mereka harus hidup di dalam kasih. Meski mereka memiliki karunia-karunia rohani, namun pola hidup dalam kasih belum tentu terbentuk secara otomatis. Mereka mungkin saja menggunakan karunia-karunia tanpa diselimuti oleh pola hidup yang mengasihi sesamanya.

Sebab itu, Paulus menyerukan agar seluruh jemaat Roma dapat saling mengasihi sebagai saudara. Imbauan yang senada juga pernah dibicarakan oleh Paulus dalam 1 Korintus 13. Malahan, Paulus membicarakan topik kasih dengan lebih jelas dalam kitab Korintus tersebut. Baginya, kasih adalah perbuatan yang paling mulia dari antara sekian banyak perbuatan baik. Kasih merupakan sistem peredaran darah tubuh rohani, yang memungkinkan seluruh anggota berfungsi secara sehat dan serasi.

Ah mungkin Anda berkata, “Saya sudah tahu teori klasik ini.” Okay, saya pun juga sudah tahu. Tapi mari kita renungkan, berapa banyak orang yang merasakan kasih kita? Atau sebaliknya, berapa banyak orang yang sudah terluka oleh ketiadaan kasih kita? “Nah, lebih enak menjadi jemaat yang tidak bersinggungan dengan siapa pun, ‘kan?” Mungkin ini komentar kita berikutnya. Okay, memang benar kita meminimalisasi sikap menyakiti orang lain, tapi itu bukan pola hidup yang aman. Pola hidup yang aman adalah kita tetap belajar mengasihi orang lain, bagaimana pun sulitnya! Ini kewajiban!

Mengasihi sesama bukanlah sebuah pilihan, tapi sebuah kewajiban

A PRAYER FOR TODAY



Look with pity, O heavenly Father,

upon the people in this land

who live with injustice, terror, disease,

and death as their constant companions.

Have mercy upon us.

Help us to eliminate our cruelty to these our neighbors.

Strengthen those who spend their lives

establishing equal protection of the law

and equal opportunities for all.

And grant that every one of us

may enjoy a fair portion of the riches of this land;

through Jesus Christ our Lord.

Amen.


(The Book of Common Prayer)

Sunday, February 11, 2007

MEDITATION ON GOD'S HANDIWORK

When I look at thy heavens,
the work of thy fingers,
the moon and the stars,
which thou hast established;
what is man that thou art mindful of him,
and the son of man that thou dost care for him?
O Lord, our Lord,
how majestic is thy name in all the earth
(A Psalm of David)

Friday, February 09, 2007

A PRAYER FOR TODAY

Set our hearts on fire with love of thee, O Christ our God,
that in that flame we may love thee with all our heart,
with all our mind, with alL our soul, and
with all our strength, and our neighbours as ourselves;
so that, keeping thy commandments, we may glorify thee,
the giver of all good gifts.

Source unknown (Eastern Orthodox)

DISELAMATKAN UNTUK KEMULIAAN ALLAH

Roma 11
“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia; Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:36)

Ketika saya merenungkan kisah keselamatan yang terjadi pada diri saya, maka tetes air mata mulai mengalir dari mata saya. Seraya meneteskan air mata, saya terus bertanya kepada Allah, “Mengapa aku yang Kau pilih di antara sekian banyak orang?” Lama saya mencari-cari jawaban atas pertanyaan tadi. Akhirnya setelah sekian lama bergumul, Tuhan memberikan jawaban itu kepada saya. Jawaban itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah agar saya dapat memuliakan Tuhan. Apakah Anda juga mengetahui hal ini?

Rasul Paulus sangat mengerti bahwa Tuhan memilih dan menyelamatkan orang berdosa bukan untuk menyenangkan orang berdosa dengan memasukkan orang berdosa itu ke dalam surga. Tuhan tidak kekurangan personel di dalam surga. Jadi apa tujuan utamanya? Tujuan utamanya adalah agar orang berdosa yang sudah dipulihkan itu dapat memuliakan Tuhan (ay. 36). Jadi, seseorang diselamatkan agar orang tersebut dapat memuliakan Allah. Demikianlah Paulus menjelaskan kepada jemaat Roma.

Konsep ini bukan hanya untuk jemaat Roma, tapi juga untuk jemaat Kalam Kudus Surakarta. Kerapkali kita berpikir bahwa kita diselamatkan agar kita masuk ke surga dan menikmati keindahannya. Jika pemikiran tersebut ada dalam benak kita, maka itu SALAH BESAR! Mungkin Anda langsung berkomentar, “Bukannya kita diselamatkan oleh Tuhan agar kita tidak binasa?” Oh benar, tapi itu bukan tujuan utama dari sebuah keselamatan. Masih ada tugas yang lebih mulia yang harus kita lakukan.

Tugas itu adalah memuliakan Tuhan yang sudah menyelamatkan kita. Sebab itu, tidak mungkin orang yang benar-benar diselamatkan lalu duduk ongkang-ongkang kaki tanpa mau melayani Tuhan. Ia pasti rindu untuk melayani Tuhan, bukan hanya di gereja, tapi juga dalam pekerjaan sehari-hari, masyarakat dan rumah tangga. Jadi, dalam kamus Allah, tidak ada pengangguran bagi orang yang telah diselamatkan.

Kita diselamatkan oleh Allah bukan demi surga, tapi demi Allah sendiri

Thursday, February 08, 2007

ALASAN SEBUAH PELAYANAN

Roma 10
“Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar” (Rm. 10:2)

Apakah Anda setuju dengan saya bahwa bila seseorang berbuat sesuatu tanpa pengertian yang benar akan berbahaya? Orang yang demikian akan menjadi seorang yang fanatik dan serba ekstrem. Orang-orang yang demikian cenderung rela melakukan apapun demi membela pandangannya. Bahkan pembunuhan pun berani dilakukan. Pentas sejarah dunia sudah membuktikan akan bahaya semacam ini.
Inilah yang juga dialami oleh orang-orang Yahudi di kota Roma. Semenjak orang-orang Yahudi kembali ke tanah air dari penawanan bangsa Babel, orang-orang Yahudi telah bertobat dari pemujaan berhala. Mereka hanya beribadah kepada Allah dalam rumah-rumah ibadah dan giat melakukan apa yang telah dititahkan dalam hukum Taurat. Namun mereka melakukan semuanya itu tanpa pengertian yang benar. Lalu, pengertian apa yang dikatakan sebagai kebenaran?
Pengertian yang benar adalah sebuah pengertian yang mengatakan bahwa hukum Taurat tidak dapat menyelamatkan mereka; hanya Kristus yang dapat menyelamatkan mereka. Sebab itu, rasul Paulus menjelaskan dalam ayat 9 demikian: “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” Betapa sia-sianya mereka menjalankan hukum Taurat tanpa pengertian yang benar. Dan celakanya, mereka menjadi fanatik. Ini jelas bahaya.
Sekarang, pikirkan apakah kita pun melakukan kegiatan-kegiatan rohani sama seperti mereka? Mungkinkah kita melakukan pelayanan-pelayanan tanpa pengertian yang benar? Jelas mungkin. Bisa jadi kita melakukan pelayanan super sibuk karena ingin menyuap Tuhan. Kita pikir Tuhan akan mengabulkan seluruh permohonan yang selama ini kita panjatkan. Bisa jadi kita melayani demi mengisi waktu kosong. Kita merasa bahwa kerja buat Tuhan adalah pekerjaan sampingan. Inilah bentuk kegiatan yang tanpa diiringi dengan pengertian yang benar. Di mata Tuhan, kegiatan ini sia-sia belaka.

Alasan yang benar dari sebuah pelayanan adalah karena kita mau berkorban buat Tuhan, bukan mengorbankan Tuhan demi ambisi terselubung kita

Wednesday, February 07, 2007

A PRAYER FOR TODAY

My Lord and my God,
take me from all that keeps me from thee.
My Lord and my God,
grant me all that leads me to thee.
My Lord and my God,
take me from myself and give me
completely to thee

Nicholas of Flue (1417-87)

Tuesday, February 06, 2007

A DEEP GRATITUDE TO MY BELOVED COMPANION

Dear merciful God,

thanks for your kindness

for giving me a beloved companion in my life.

She gives me unspokenable encouragement,

she gives me unimaginable empowerment,

she gives me unthinkable enlightenment,

in my life.

From her, I learn how to encourage others

From her, I learn how to empower others,

From her, I learn how to enlighten others,

through my life.

Dear merciful God,

thanks for your kindness

for giving me a soul mate and play mate,

as well as my beloved companion.

Monday, February 05, 2007

A PRAYER FOR TODAY


Our merciful God,


Hear our prayer for all those who will die today


because of war and economic oppression, especially the children.


Prepare them for the agony, despair,


and terror of the violence that is upon them.


Comfort them and hold them close to the Abraham's bosom


as they drink deeply of the bitter cup which is forced upon them.


Wipe their tears, calm their fears, welcome them to peace and safety.


Eternal rest grant to them, and may perpetual light shine upon them.


May all rise in judgment against the wickedness


that brings this violence upon the world.


Overturn the thrones of tyranny, scatter the unjust, cast down the bloody rulers


who make the cry of the widow and orphan rise to heaven.


Give us your grace and strength to stand against the demonic powers


which prowl about the world seeking the ruin of souls.


Grant that peace with justice will come to all the world.


Amen.

Sunday, February 04, 2007

Prayer pulls the rope down below
and the great bell rings above in the ears of God.
Some scarcely stir the bell, for they pray so languidly;
others give only an occasional jerk at the rope.
But he who communicates with heaven
is the man who grasps the rope boldly
and pulls continuously with all his might.

Charles Spurgeon

Friday, February 02, 2007

MENGAPA AKU?

Roma 9
“Jadi hal itu tidak tergantung kepada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah” (Rm. 9:16)

Apakah yang Anda rasakan sewaktu membaca Roma 9? Apakah Anda merasa tidak adil dengan perilaku Allah kepada manusia? Saya pun pernah merasa demikian. Saya bergumam, “Mengapa Allah memilih si A bukan si B untuk diselamatkan? Apa dasarnya?” Percayalah, hingga sekarang saya pun belum dapat memahami secara tuntas mengenai dasar pemilihan tersebut; tapi yang pasti, Allah memilih seseorang—entah si A atau si B—karena sebuah dasar tertentu.

Setidaknya, kita dapat memahami bahwa dasar pemilihan tersebut adalah karena kemurahan hati Allah semata (ay. 16). Pemilihan yang dilakukan Allah benar-benar merupakan persoalan kasih karunia. Prinsip ini dipertegas oleh Paulus dengan mengutip Keluaran 33:19, yang mengatakan: “Aku (Allah) akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati.”

Lebih jauh, rasul Paulus memperkuat argumentasinya dengan memberikan perbandingan kisah Firaun dan Musa. Bila dibandingkan, Musa dan Firaun pernah menjadi seorang pembunuh. Keduanya pun juga pernah menyaksikan mukjizat-mukjizat Allah. Namun demikian, Musa diselamatkan dan Firaun tidak. Apa dasarnya? Apakah Musa dipilih Allah karena lebih baik dari Firaun? Dalam kamus Allah, tidak ada seorang pun yang dipilih karena jasa/ perbuatan baiknya. Musa dipilih bukan karena ia berbuat dosa dalam jumlah sedikit, melainkan karena Allah yang bermurah hati kepada Musa.

Sobatku, prinsip kemurahan hati tetap berlaku hingga sekarang. Bila kita mampu menerima Kristus sebagai Juruselamat pribadi, itu bukan hasil usaha kita. Tetapi hal itu terjadi karena kemurahan hati Allah yang berkenan memilih kita. Hebat, bukan? Seorang guru besar di seminari mengatakan, “Cobalah menerangkan tentang pemilihan, maka Anda dapat menjadi gila; tetapi berikanlah alasan untuk meniadakan pemilihan itu, maka Anda akan kehilangan jiwa Anda.” Sekarang dengan penuh rasa syukur, kita berkata kepada Allah: “Mengapa aku yang Kau pilih dari antara sekian banyak orang di muka bumi ini? Mengapa aku?” Sungguh mengherankan!

Bila kita sudah menghayati kemurahan hati-Nya, maka tidak mungkin kita tidak tergerak dan bergerak untuk melakukan sesuatu buat Allah

Thursday, February 01, 2007

A PRAYER FOR TODAY


O God,

you have created us in love and saved us in mercy,

and through the bond of marriage

you have established the family

and willed that it should become

a sign of Christ's love for his Church.

Shower your blessings on this family

gathered here in your name.

Enable those who are joined by one love

to support one another

by their fervor of spirit and devotion to prayer.

Make them responsive to the needs of others

and witnesses to the faith in all they say and do.

We ask this through Christ our Lord.

Amen.

A FELLOW TRAVELLER

Many reflections came out from my mind since I read Simon Chan’s Spiritual Theology (e.g. how could Trinitarian concept be applied into my church’s life as a foundation for spirituality, how could I teach them to know about the seriousness of sin, how could I implant the concept of prayer and prayers in their lives, and so on). However, those reflections, as well as applications to the church’s life, seem to be more vivid when I came across into the final chapter which talks much about the spiritual director. In other words, the topic gives me the inspiration to know how to apply the spiritual theology and practice to the congregation.

Among many important points in the topic, I want to interact with the so-called a fellow traveller. I’m really impressed with Chan’s words when he says that, “A director is not a merely resource person who provides information for others. He must be a fellow traveller along the way.” Actually, through the sentence, he reminds us that there is a big difference between academic learning and spiritual guiding. Academic learning is closely connected to the giving of facts, theory, or information; whereas spiritual guiding is closely connected to the giving of life (also reflecting the way of life) to others in order to be a fellow traveller.

When I read this part, I said “Yes, I find the way to apply all of the spiritual theology and practices to my church.” And I think that being a fellow traveller is an important key to help the others to achieve a spiritual growth. Furthermore, I think that becoming a fellow traveller should be more feasible since we live in an Asian context that emphasize on relationship. Such emphasis could be seen in my church where I ministered in (the majority is Chinese members).

Yet, from where should I and my colleagues become a fellow traveller to the congregation? One thing that comes in my mind is that we should be a fellow traveller, firstly, to the current presbyters. I think this would be a good start to practice it. Hopefully, by this way, the presbyters will concern more on the spiritual growth instead of church growth in quantity. I’m quite convinced that if the presbyters start to concern to the spiritual growth through spiritual guidance, they will also have a great willingness to be a fellow traveller to the other members.