Wednesday, November 28, 2007

DOA YANG INDAH

Aku mohon kepada Tuhan untuk menghilangkan kebiasaanku,
Tuhan berkata, "Tidak."
Itu bukan hak-Ku untuk menghilangkannya,
tetapi hakmu untuk mengusahakannya.

Aku mohon kepada Tuhan untuk menyembuhkan kecacatanku,
Tuhan berkata, "Tidak."
Jiwa adalah segalanya, tubuh hanyalah sementara.

Aku mohon kepada Tuhan untuk memberiku kesabaran,
Tuhan berkata, "Tidak."
Kesabaran adalah hasil dari kesengsaraan, bukan diberikan, tetapi dipelajari.

Aku mohon kepada Tuhan untuk kebahagiaan,
Tuhan berkata, "Tidak."
Aku memberimu berkah, kebahagiaan terserah padamu.
Aku mohon kepada Tuhan untuk menghilangkan rasa sakitku,

Tuhan berkata, "Tidak."
Penderitaanmu membuatmu peduli dan membawamu semakin dekat dengan-Ku.

Aku mohon kepada Tuhan supaya jiwaku tumbuh,
Tuhan berkata, "Tidak."
Kamu harus tumbuh dengan caramu sendiri,
tetapi Aku akan memangkasmu supaya kamu dapat berhasil.

Aku mohon kepada Tuhan akan segala sesuatu yang membuatku dapat menikmati hidup,
Tuhan berkata, "Tidak."
Aku memberimu kehidupan supaya kamu dapat menikmati segala hal.

Aku mohon kepada Tuhan untuk membuatku MENCINTAI orang lain, seperti Dia mencintaiku,
Tuhan berkata, "Aha . . . akhirnya kamu mengerti maksud-Ku."

Monday, November 26, 2007

Serupa Inikah Doa Kita?

Ya Tuhan, kalau dia memang jodohku, dekatkanlah
Tapi kalau bukan jodohku, jodohkanlah. ...
Jika dia tidak berjodoh denganku, maka jadikanlah
kami jodoh...
Kalau dia bukan jodohku, jangan sampai dia dapat
jodoh yang lain, selain aku...
Kalau dia tidak bisa di jodohkan denganku, jangan
sampai dia dapat jodoh yang lain,
biarkan dia tidak berjodoh sama
seperti diriku...
Dan saat dia telah tidak memiliki jodoh, jodohkanlah
kami kembali...
Kalau dia jodoh orang lain, putuskanlah! Jodohkanlah
denganku....
Jika dia tetap menjadi jodoh orang lain, biar orang
itu ketemu jodoh dengan yang lain
dan kemudian jodohkan kembali dia dengan ku .....

Wednesday, November 21, 2007

HIDUP YANG MENGUCAP SYUKUR

1 Tesalonika 5: 18

Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus, bagi kamu


Apa untungnya kalau orang itu sering mengucap syukur dalam hidupnya? Pdt. Ayub Yahya dalam bukunya yang berjudul Bersyukur itu Indah mengatakan bahwa hidup yang penuh syukur akan mendatangkan kesehatan, baik batiniah maupun lahiriah. Betapa tepatnya perkataan itu. Orang yang hidupnya penuh dengan ungkapan syukur berarti orang tersebut akan hidup dalam kelegaan. Meski persoalan datang, orang ini tetap tidak kehilangan kelegaan. Meski persoalan datang, orang ini akan tetap semangat dalam menjalani hidupnya. Jadi, meski ada persoalan atau tidak, orang seperti ini akan gembira selalu.

Konon, pernah dilakukan survei terhadap para lansia, baik yang tinggal di panti jompo maupun yang tinggal di rumah bersama keluarga mereka. Menurut survei itu, para lansia yang hidupnya penuh dengan rasa syukur ternyata memiliki kondisi tubuh yang lebih sehat dibandingkan lansia yang suka mengeluh. Selain itu, kehadiran mereka yang hidupnya penuh dengan rasa syukur ternyata membawa kegembiraan bagi orang-orang di sekitarnya. Betapa mengagumkannya hasil dari hidup yang penuh rasa syukur.

Tapi mengucap syukur itu tidaklah gampang. Ketika rasul Paulus berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal,” maka saya berkata bahwa hal itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan kita. Sebab itu, tidak heran kalau kita sering menaikkan doa permohonan kepada Tuhan ketimbang doa syukur. Kita lebih sering menggerutu ketimbang bersyukur. Apalagi, bila kita sedang memiliki masalah, maka omelan demi omelan akan lebih mudah terlontarkan dari lidah bibir kita. Bukankah semuanya ini menunjukkan bahwa mengucap syukur itu tidaklah gampang?

Mungkin kita mulai merasa stress atau merasa putus asa karena merasa diri gagal menjadi orang Kristen yang baik. Kita merasa jengkel dengan diri sendiri, bahkan kita merasa benci dengan diri kita sendiri. Kita merasa mengapa saya kok tidak bisa hidup yang penuh dengan ungkapan syukur. Hari ini saya mau mengatakan bahwa Tuhan itu tidak sekejam orang dunia yang tahunya hanya menuntut hasil. Tuhan itu tidak sekejam orang dunia yang mudah marah bila hasil yang didapat tidak memuaskan. Sebaliknya, seperti kata Mazmur Daud, Tuhan itu tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu yang penuh dengan keterbatasan. Tuhan masih memberikan kesempatan untuk kita mencobanya kembali.

Nah sekarang bagaimana caranya agar kita dapat mengucap syukur dengan lebih mudah, terlebih khusus ketika kita sedang menghadapi masalah? Pertama, tariklah pelajarannya. Sebagai orang Kristen, kita memercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi pada kita pasti ada hikmahnya. Roma 8: 28 jelas-jelas mengatakan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. Sebab itulah, dalam segala sesuatu yang kita alami, cobalah untuk menemukan pelajaran yang diberikan Tuhan bagi kita.

Waktu saya pergi ke retret di SAAT baru-baru ini, saya sempat mengalami masuk angin yang menghantam leher saya. Gara-gara masuk angin, leher saya menjadi tegang dan terasa sakit sekali bila saya menoleh ke kiri. Dengan leher yang tegang itu, saya harus mengendarai mobil bersama dengan rekan-rekan hamba Tuhan. Dalam perjalanan, kalau mobilnya terguncang keras, maka leher saya akan terasa sakit. Sesampainya di kota Solo, saya tiba-tiba merenungkan tentang orang yang terkena stroke di bagian lehernya. Saya membayangkan bahwa leher orang itu sangat tegang dan sulit untuk menoleh kiri atau kanan. Dan kalaupun menoleh, maka ia akan terlihat seperti sebuah robot. Dari perenungan itu, saya belajar berempati kepada orang yang terkena stroke. Saya belajar merasakan penderitaan orang-orang yang terkena stroke di bagian lehernya. Setelah menarik pelajaran tersebut, lalu saya segera menuliskan pelajaran yang indah itu di internet. Kesaksian itu saya beri judul, “Terima Kasih karena Saya Sakit.” Tentu itu tidak berarti bahwa saya senang dengan masalah, tetapi artinya adalah saya berhasil menarik pelajarannya melalui masalah itu. Untuk pelajaran itulah, saya bersyukur kepada Tuhan.

Pada awal krisis moneter yang lalu, seorang bapak menceritakan pengalamannya. Ia berkata, “Selama ini saya sangat sibuk dengan tugas kantor. Boleh dikata, hampir tidak punya waktu buat keluarga. Setiap hari, bahkan kalau lagi ada masalah di kantor, maka terpaksa hari Minggu saya pergi ke kantor pagi-pagi dan pulang larut malam. Sering kalau di rumah pun, saya harus membawa pekerjaan kantor. Nah sekarang ketika krisis moneter terjadi, aktivitas kerja berkurang. Jam kerja saya dipotong. Tetapi justru karena begitu saya jadi punya banyak waktu buat keluarga. Selain itu, kami juga diajar untuk hidup hemat.” Melalui kesaksian bapak tersebut, kita melihat bahwa ia juga telah berhasil menarik pelajaran yang diberikan Tuhan melalui masalah hidupnya. Saya kira inilah kuncinya untuk bersyukur kepada Tuhan.

Apakah Anda sedang berada dalam masalah? Masalah apapun itu, entah masalah keluarga, masalah pekerjaan, masalah sakit-penyakit, dan seterusnya. Cobalah untuk menarik pelajarannya supaya kita lebih mudah untuk bersyukur kepada Tuhan.

Kedua, carilah yang masih ada. Apa yang menyebabkan seseorang mengeluh? Karena ia melihat apa yang tidak ada pada dirinya. Dalam perkunjungan, seorang bapak bercerita panjang lebar tentang keburukan istrinya. Intinya, ia merasa bahwa sang istri sudah tidak menghargai dirinya lagi. Ia mengeluhkan hal itu selama kurang lebih setengah jam. Setelah selesai bercerita, saya lantas bertanya, “Pak, coba Bapak ceritakan tentang hal-hal yang baik dari istri Bapak?” Ia diam sejenak, lalu menjawab, “Wah kebaikannya ya juga banyak sih.” Lantas ia mulai menceritakan kebaikan-kebaikan istrinya. Apa yang saya lakukan terhadap Bapak tadi? Saya mengajaknya untuk melihat hal-hal yang masih ada di dalam kehidupan rumah tangganya. Saya mengajaknya untuk beralih fokus, dari melihat apa yang tidak ada pada dirinya kepada apa yang masih ada pada dirinya.

Masalahnya, kita cenderung seperti bapak tadi. Ketika toko kita sepi, kita terlalu berfokus pada masalah sepi itu. Kita terlalu berfokus pada apa yang tidak ada pada toko kita. Akhirnya, kita dikuasai oleh masalahnya. Ketika kita sakit, kita terlalu berfokus pada penyakit itu sendiri. Kita terlalu berfokus pada ketidakberdayaan kita. Akibatnya, kita dibuat menjadi benar-benar tak berdaya oleh fokus kita sendiri. Bukankah cara pikir kita cenderung seperti demikian?

Dalam surat kepada jemaat di Filipi, rasul Paulus pernah menulis, “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita” (Fil. 1: 3-4). Ungkapan syukur ini lahir bukan dari situasi yang enak bagi Paulus. Sebaliknya, ungkapan syukur ini lahir ketika rasul Paulus sedang berada dalam penjara Romawi. Ia berada dalam situasi yang tidak aman dan tidak nyaman. Tapi apa yang membuat ia dapat mengucapkan syukur? Karena, ia tidak melihat apa yang tidak ada pada dirinya. Ia tidak melihat dirinya yang tidak bisa bergerak bebas, tidak bisa memberitakan injil lagi, tidak bisa makan dengan enak, tidak bisa tidur di ranjang yang empuk, dan seterusnya. Sebaliknya, ia melihat apa yang masih ada dalam kehidupannya. Yaitu, ia melihat pertumbuhan iman dari jemaat Filipi yang pernah ia layani. Pertumbuhan iman mereka itulah yang membuat rasul Paulus bergembira dan bersyukur.

Resep Paulus masih dapat kita pakai sampai hari ini. Kita sama-sama tahu bahwa masalah tidak selalu dapat diatasi dengan selesainya masalah itu sendiri. Adakalanya masalah itu terlalu kompleks dan membutuhkan waktu yang lama untuk diselesaikan, bahkan kadang masalah tersebut harus diterima sebagai duri dalam daging seumur hidupnya. Sebab itu, mengatasi masalah memerlukan cara pikir yang berbeda untuk melihat masalah itu sendiri. Cobalah untuk mencari yang masih ada pada diri kita ketimbang melihat yang tidak ada pada kita.

Tatkala Pdt. Ayub Yahya menuliskan bahwa bersyukur itu indah, maka saya mengamininya. Karena selain gaya hidup yang mengucap syukur itu menjaga kesehatan jasmani dan batin kita, mengucap syukur ternyata merupakan gaya hidup yang dikehendaki Allah kita. Firman Tuhan yang diungkapkan dalam 1 Tesalonika tadi jelas-jelas mengatakan, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah . . .” Jadi, kalau kita berhasil mengucap syukur dalam segala hal, maka kita sehat dan Allah pun senang.

Thursday, November 15, 2007

SIAO-MEI: SI MARTIR KECIL

Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya kerajaan sorga (Mat. 5: 10)

Masa kecil seharusnya menjadi masa yang menyenangkan. Masa yang indah untuk dikenang. Tapi hal itu tidak berlaku bagi si kecil Siao-Mei. Ia baru berusia 5 tahun. Ia belum tahu banyak tentang risiko menjadi seorang Kristen di negeri Tiongkok. Ia tidak tahu mengapa mereka harus berhati-hati jika mau bertemu teman-teman Kristennya. Ia juga tak terlalu paham mengapa ia dan ibunya harus membaca sobekan Alkitab dengan sembunyi-sembunyi. Hingga suatu saat, ia juga masih tidak tahu mengapa ia dan ibunya digelandang ke sebuah ruang jeruji besi.

Di sana mereka dikurung tak diberi makan. Ia bertanya pada ibunya, tapi ibunya diam seribu bahasa. Yang ia tahu saat itu hanyalah ia sangat kelaparan. Siao-Mei tidak tahan. Ia menangis sesenggukan. Kepala penjara berkata dengan sinis pada ibu Siao-Mei, “Tidakkah engkau kasihan kepada anakmu? Apa susahnya mengatakan kamu bukan orang Kristen lagi? Kalau kamu melakukan hal itu, maka kamu dan anakmu akan bebas.” Karena putus asa, maka ibunya pun setuju menyangkal imannya. Syaratnya, ibu Siao-Mei harus menyangkal Yesus dengan berteriak di hadapan 10.000 orang. “Saya tidak mau lagi menjadi orang Kristen!” demikian teriaknya. Akhirnya, mereka pun menghirup udara bebas.

Sesampainya di rumah, Siao-Mei berkata, “Mama, hari ini Yesus tidak senang dengan perbuatanmu.” Sang ibu berusaha menjelaskan bahwa ia terpaksa melakukan itu demi Siao-Mei yang menangis kelaparan. Mendengar penjelasannya, Siao-Mei langsung berkata, “Mama, saya berjanji jika kita kembali ke penjara karena Yesus, saya tidak akan menangis lagi.” Setelah Siao-Mei berkata demikian, ibunya kembali bersemangat menginjil. Tak lama kemudian, mereka pun kembali ditangkap dan dipenjara. Namun kali ini, Siao-Mei tidak mau menangis. Ia ingat janjinya. Entah sampai kapan mereka dipenjara, tapi yang pasti tangisan Siao-Mei tidak pernah lagi terdengar di sana. Siao-Mei hanyalah salah satu orang Kristen yang teraniaya karena kesetiaannya pada Yesus.

(Disarikan dari Bahana, volume 199, November 2007, halaman 41)

Wednesday, November 14, 2007

KUE PERKAWINAN

Bahan:
  • 1 pria sehat
  • 1 wanita sehat
  • 100% komitmen
  • 2 pasang restu orang tua
  • 1 botol kasih sayang murni
Bumbu:
  • 1 balok besar humor
  • 25 grm rekreasi
  • 1 bungkus doa
  • 2 sendok teh telpon-telponan
  • Semuanya diaduk hingga merata dan mengembang
Cara memasak:
  1. Pria dan wanita dicuci bersih, buang semua masa lalunya sehingga tersisa niat yang murni.
  2. Siapkan loyang yang telah diolesi dengan komitmen dan restu orang tua secara merata.
  3. Masukkan niat yang murni ke dalam loyang dan panggang dengan api merata sekitar 30 menit di depan penghulu.
  4. Biarkan di dalam loyang tadi dan sirami dengan bumbunya.
  5. Kue siap dinikmati.
Catatan:
Kue ini dapat dinikmati oleh pembuatnya seumur hidup dan paling enak dinikmati dalam keadaan hangat. Tapi kalau sudah agak dingin, tambahkan lagi humor segar secukupnya, rekreasi sesuai selera, serta beberapa potong doa kemudian dihangatkan lagi di oven bermerek "Tempat Ibadah". Setelah mulai hangat, jangan lupa telpon-telponan bila berjauhan. Selamat mencoba, dijamin semuanya halal kok!

Thursday, November 08, 2007

TERTAWA


Sekali tertawa, pusing kepala hilang
Dua kali tertawa, benci pun sirna
Tiga kali tertawa, persoalan lari
Empat kali tertawa, penyakit sembuh
Lima kali tertawa, jadi awet muda
Enam kali tertawa, hati penuh sukacita
Seringkali tertawa sendirian, calon penghuni rumah sakit jiwa

Wednesday, November 07, 2007

MENGURANGI RASA TAKUT

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa rasa takut tidak mungkin dihilangkan selama manusia masih hidup. Lagipula, saya kira rasa takut dalam level tertentu masih diperlukan. Misalnya, ada seorang ibu yang takut untuk menyebrang jalan, apakah rasa takut ini perlu? Bayangkan saya kalau ia tidak memiliki rasa takut sama sekali. Ia tiba-tiba menyebrang dengan penuh kenekadan dan tanpa menoleh kiri-kanan. Apakah tindakan ini dapat dibenarkan? Jelas tidak! Bila ia tidak memiliki rasa takut sama sekali, maka ia dapat menyebabkan dirinya dan orang lain celaka. Nah sebab itu, rasa takut juga tidak boleh dihilangkan sama sekali. Yang perlu kita lakukan adalah hanya mengurangi rasa takut sehingga ketakutan itu tidak lagi mengganggu pola hidup kita.

Nah bagaimana caranya mengurangi rasa takut itu? Mari kita perhatikan satu bagian firman Tuhan dari Keluaran 14: 13, 14 yang mengatakan: "Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari Tuhan, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya. Tuhan akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja." Kalimat ini diucapkan oleh Musa kepada bangsa Israel yang sedang ketakutan. Apa yang bangsa Israel takutkan? Mereka takut mati. Sewaktu mereka berhasil keluar dari kerajaan Firaun, mereka ternyata tidak dibiarkan bebas begitu saja. Para tentara Firaun mengejar bangsa Israel hingga pada posisi yang terjepit. Ini jelas satu peristiwa yang tidak dapat terkuasai dan akan memberikan dampak yang serius bagi kehidupan bangsa Israel. Sebab itulah, mereka merasa takut.

Tapi apa yang Musa berikan ketika bangsa Israel ketakutan? Perhatikan kalimatnya. Musa memberikan satu hal kepada mereka, yaitu harapan. Harapan apa yang Musa tawarkan pada bangsa Israel? Harapan bahwa Tuhan akan memberikan keselamatan pada hari itu juga. Sebuah harapan bahwa Tuhan pasti akan melakukan tindakan bagi umat yang dikasihi-Nya. Sebuah harapan bahwa Tuhan pasti akan menyertai kehidupan umat-Nya. Harapan inilah yang diperlukan ketika bangsa Israel sedang kehilangan harapan karena dikuasai oleh rasa takutnya. Dan kita sama-sama tahu bahwa harapan di dalam Tuhan bukanlah sebuah harapan kosong, tapi harapan yang pasti digenapi. Lalu apa yang bangsa Israel harus lakukan kemudian? Musa mengatakan dengan jelas, "Tuhan akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja." "Diam" adalah bentuk penyerahan diri kepada Tuhan yang memberikan harapan. Kalau mereka tahu bahwa harapan di dalam Tuhan pasti tidak akan mengecewakan, maka mereka harus mempercayakan dirinya kepada Tuhan. Mereka harus percaya bahwa Tuhan pasti akan mengatur kehidupan mereka. Jadi intinya, semakin berserah, semakin rasa takutnya hilang.

Ini adalah sebuah pelajaran indah yang bisa kita lakukan ketika kita mengalami ketakutan. Semakin berserah pada Tuhan, maka rasa takut kita akan semakin hilang. Ketika anak saya belajar memanjat pagar rumah, ia sangat ketakutan. Ia ingin memanjat, tapi ia juga merasa takut. Sebab itu, ia selalu menggandeng orang dewasa (entah pembantu atau mamanya) untuk menemani dan menjagainya kalau-kalau ia terjatuh. Kadang kami menggodanya, ketika ia sudah memanjat pagar lalu kami berpura-pura pergi meninggalkannya. Apa yang terjadi ketika kami akan pergi? Ia langsung menangis ketakutan. Tapi tatkala kami mendekat, ia kembali mendapatkan keberanian untuk memanjat pagar. Dari pengalaman ini kita belajar bahwa anak kecil ini berserah pada orang dewasa. Ia percaya bahwa orang dewasa yang ada di dekatnya akan menjaganya.

Bisakah kita menjadi seperti seorang anak kecil di hadapan Tuhan? Bisakah kita berserah kepada Tuhan dengan polosnya? Kadangkala rasa takut itu diperlukan untuk mengasah tingkat penyerahan kita pada Tuhan. Kita yakin bahwa Tuhan itu mahakuasa, Tuhan itu mahakasih, Tuhan itu pasti menyertai kita, dan seterusnya. Tapi apakah keyakinan itu telah membuat kita semakin berserah kepada Tuhan? Kawan seperjuanganku, ingatlah pelajaran hari ini, semakin kita berserah kepada Tuhan, maka rasa takut kita akan semakin berkurang. DIJAMIN!

Tuesday, November 06, 2007

SIAPA TAKUT?

Siapakah di antara manusia dalam dunia ini yang tidak pernah mengalami ketakutan? Seorang pahlawan yang ditakuti banyak orang pun juga bisa mengalami ketakutan. Troy adalah sebuah film yang mengisahkan seorang pendekar terhebat dalam bangsa Yunani pada zaman tertentu. Pendekar itu bernama Achilles. Para prajurit Yunani, sampai rajanya, sangat percaya pada kemampuan bertarungnya. Tapi apakah Achilles tidak memiliki rasa takut? Ternyata ada! Achilles takut bila saudara sepupunya meninggal. Karena ketakutannya itu, Achilles selalu berusaha melindungi saudaranya. Kita melihat bahwa seorang pendekar hebat pun memiliki ketakutan.

Lantas apakah seorang pendeta bisa mengalami ketakutan? Ternyata juga bisa. Ada seorang pendeta yang takut untuk naik kereta api. Rupanya, dia mengalami trauma karena kereta yang pernah ditumpanginya mengalami kecelakaan. Keretanya pernah terguling karena suatu hal. Sebab itu, hingga sekarang pendeta itu hampir selalu naik pesawat atau naik mobil. Ia tidak mau naik kereta lagi. Kita melihat bahwa seorang pendeta juga bisa takut.

Anda sendiri pernah mengalami ketakutan? Saya pernah mengalami ketakutan. Saya pernah takut tidak naik kelas, saya pernah takut bila pernikahan saya pada akhirnya gagal, saya takut bila anak saya mengalami penyakit yang tidak diketahui, saya takut bila saya lupa akan jadwal khotbah, dan seterusnya. Ternyata saya juga bisa takut. Coba pikirkan sesaat satu ketakutan yang Anda miliki saat ini. Hmmm . . . saya kira semua orang pasti memiliki ketakutan pada satu-dua hal. Bahkan, Yesus pun juga memiliki rasa takut ketika ia dihadapkan pada penyaliban-Nya. Dus, kalau ditanya "siapa takut?" maka kita semua pasti memiliki rasa takut. Bukankah itu sangat manusiawi?

Nah sekarang coba pikirkan, apa yang membuat kita merasa takut? Di antara sekian banyak alasan, saya kira setidaknya ada dua alasan yang membuat kita merasa takut: Pertama, karena apa yang kita takutkan adalah sesuatu hal yang uncontrollable (tak dapat terkuasai). Hal ini biasanya berkaitan dengan ketakutan di masa yang akan datang. Kita sudah membayangkan bagaimana jadinya kalau saya mengalami hal ini dan hal itu. Ketika anak saya sakit demam setahun yang lalu, saat itu saya merasa ketakutan. Yang terjadi waktu itu adalah kalau pagi sampai sore anak saya sehat dan suhu tubuhnya tidak panas. Tapi menjelang malam hingga tengah malam, suhu tubuhnya tiba-tiba panas secara cepat. Ini satu hal yang uncontrollable. Satu hal yang tidak bisa terbayang apa jadinya nanti, bagaimana mengatasinya, apa penyakit yang sebenarnya. Semuanya gelap. Selain peristiwa masa lalu, saya juga memiliki peristiwa ketakutan masa kini. Saya masih merasa takut terjadi gempa bumi. Apa sebabnya? Karena gempa bumi adalah peristiwa yang tidak bisa saya kuasai, peristiwa yang uncontrollable.

Alasan kedua adalah karena apa yang kita takutkan itu dapat memberikan dampak yang serius bagi sistem kehidupan kita. Kita pasti merasa tidak takut bila penyakit tertentu mewabah di negara tertentu, bukan di Indonesia, apalagi di kota kita. Kita pasti merasa tidak takut bila penyakit tertentu jarang menyerang pada usia-usia kita. Contohnya, kita mungkin tidak merasa takut dengan penyakit jantung koroner bila usia kita masih relatif muda. Kita juga merasa tidak takut bila bencana alam itu terjadi di wilayah yang jauh dari kita. Kenapa demikian? Karena, semuanya itu tidak berkaitan dengan diri kita. Semua peristiwa itu, dengan kata lain, tidak memberikan dampak serius bagi sistem kehidupan kita.

Nah sekarang coba bayangkan apabila yang terserang kanker itu adalah pasangan hidup kita, atau orang tua kita. Coba bayangkan apabila kita sedang divonis gagal ginjal oleh semua dokter. Coba bayangkan bila kita dipastikan tidak lulus ujian. Coba bayangkan bila pekerjaan kita diprediksi bakal bangkrut dalam waktu yang sangat dekat. Bila kita mengalami hal itu, maka barulah kita merasa takut. Apa sebabnya? Karena, semuanya itu memiliki dampak yang serius bagi sistem kehidupan kita. Misalnya, ketika kita dipastikan tidak naik kelas, maka dampak serius yang mungkin terjadi adalah kita akan dimarahi oleh orang tua, kita akan merasa malu dengan teman-teman sebaya, dan seterusnya. Nah dampak itulah yang kita anggap serius dan akhirnya kita takuti. Tentunya, dalam hal ini kita tidak boleh menyamakan ukuran keseriusan kita dengan orang lain. Semua orang memiliki penilaian yang berbeda-beda akan seberapa seriusnya peristiwa yang menimpa dirinya. Tapi satu hal yang mau ditekankan di sini adalah kita bisa merasa takut apabila peristiwa itu memiliki dampak yang serius bagi sistem kehidupan kita.

Jadi, apakah kita dapat menghilangkan semua rasa takut? Tidak bisa! Selama kita masih menjadi manusia yang bisa bernapas, maka kita masih bisa memiliki rasa takut. Sebab itu, pertanyaan tadi perlu diganti menjadi: Bagaimana caranya mengurangi rasa takut? Yang bisa kita lakukan saat ini adalah mengurangi rasa takut, bukan menghilangkannya sama sekali. Nah itu masih realistis untuk dilakukan. Terus caranya? Tunggu pembahasan berikutnya.

Monday, November 05, 2007

LAMPU MERAH

Seorang pemuda mengendarai sepeda motor dengan terburu-buru. Ia melanggar lampu merah di perempatan. Polisi menghentikannya. "Kamu tidak melihat lampu merah?" tanyanya. "Saya melihat, Pak," jawab pemuda itu. "Lalu, kenapa kamu tidak berhenti? Apa kamu tidak tahu artinya merah?" Pemuda itu menjawab yakin, "Tahu, Pak. Merah artinya berani."

(Diambil dari Ayub Yahya, Ngakak sampai Merangkak)

Saturday, November 03, 2007

GANGGUAN JARINGAN INTERNET

Sudah nyaris satu minggu jaringan internet di gereja terganggu. Pesan elektronik mengalami trouble, saya kesulitan untuk sending message. Selain itu, saya juga kesulitan untuk browsing internet. Kadang bisa tapi banyak tidak bisanya. Ini sungguh menyebalkan! Menyebalkan karena bahan-bahan khotbah ataupun pembinaan yang biasanya dapat dicari melalui internet jadi sulit didapat. Saya akhirnya harus menggunakan resources yang ada di rak buku. Rekan-rekan sepelayanan juga complaint karena selain mencari bahan-bahan menjadi sulit, perputaran kinerja di gereja yang kadangkala menggunakan internet menjadi terganggu. Rupanya, semua jadi jengkel dengan gangguan jaringan internet.

Dari peristiwa ini saya merenung bahwa seringkali gangguan jaringan internet jauh membuat hati kita lebih kesal ketimbang kita mengalami gangguan jaringan dengan Tuhan. Ketika kita mengalami gangguan jaringan dengan Tuhan, kita justru merasa tidak terganggu, merasa biasa saja, dan bahkan mungkin merasa nyaman. Misalnya saja, bila kita mungkin sudah tidak lagi bersaat teduh sekian lama, atau sudah kehilangan makna ketika beribadah, maka apakah kita merasa jengkel dengan gangguan jaringan seperti demikian? Hmmm . . . mari kita sama-sama khawatir karena mungkin gangguan jaringan internet telah membuat hati kita lebih kesal ketimbang kita mengalami gangguan jaringan dengan Tuhan.