Wednesday, January 31, 2007

MENYELESAIKAN KONFLIK BATINIAH

Roma 8
“. . . jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu . . .” (Rm. 8:9a)

Persoalan hari ini adalah, bagaimana menyelesaikan konflik batiniah? Tentu kita sebagai orang Kristen menginginkan agar sisi kebajikan yang mengalahkan sisi kebejatan dalam hidup kita. Kita sebagai orang Kristen tentu berharap agar kita tidak terus-menerus melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas di hadapan Allah. Tapi bagaimana caranya? Setelah kita mengakui dengan jujur mengenai konflik-konflik batiniah, maka sekarang kita perlu melakukan cara berikutnya. Apa itu? Mari kita simak Roma 8.

Tidak seperti Roma 7, Roma pasal 8 kali ini lebih banyak membawa berita positif. Dikatakan berita positif karena ia mengajarkan mengenai kondisi kehidupan yang dikuasai oleh Roh Tuhan. Paulus menjelaskan bahwa Kristus Yesus telah memberikan Roh yang memerdekakan jemaat Roma dari perbudakan dosa dan maut (ay. 1,2). Mereka sekarang sudah tidak dikuasai oleh dosa. Mereka bukan hamba dosa. Mereka adalah orang merdeka dalam Kristus.

Oleh sebab itu, mereka sudah memiliki modal untuk memenangkan keinginan untuk berbuat dosa. Tapi, bagaimana menggunakan modal tersebut? Butuh KETEKUNAN! Jawaban ini terbukti dari ayat 13b yang mengatakan, “. . .jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu . . .” Dalam bahasa aslinya, kata “mematikan” seharusnya diterjemahkan menjadi “mematikan terus-menerus”. Ada kontinuitas dalam usaha mematikan perbuatan-perbuatan tubuh. Dengan kata lain, sekali lagi, ada KETEKUNAN.

Kawan seperjuanganku, prinsip ketekunan inilah yang dapat meredakan konflik-konflik batiniah selama kita hidup di dunia ini. Masalahnya, ketekunan itu sulit dicari dalam zaman ini. Apa sebab? Perhatikan saja gelagat zaman ini yang serba instan. Sadar atau tidak, zaman yang serba instan telah menjadi penyebab orang Kristen mudah menghentikan perjuangan untuk melawan dosa. Kerapkali kita menjadi bulan-bulanan dosa. Kita kalah terus. Sebab itu, hai orang Kristen, bangkitlah dan jangan pernah kapok untuk berjuang melawan dosa. Ingat, KETEKUNAN kuncinya!


Ketekunan melawan dosa masih terus dibutuhkan hingga sumbu usia kita berakhir

Tuesday, January 30, 2007



Teach me to seek you,

and reveal yourself to me

when I seek you.

For I cannot seek you unless

you first teach me,

nor find you unless

you first reveal yourself to me.

Let me seek you in longing,

and long for you in seeking.

Let me find you in love,

and love you in finding.

--Saint Ambrose of Milan, c. 340 - 397

MENGAKUI KONFLIK BATINIAH

Roma 7
“Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik . . .” (Rm. 7:18)

Ovid, seorang penulis Romawi, pernah menuliskan suatu ungkapan yang terkenal: “Saya melihat hal yang baik dan saya menyetujuinya, tetapi saya mengikuti yang lebih buruk.” Ungkapan ini menggambarkan sebuah konflik batiniah. Konflik antara pengetahuan dan perbuatan. Secara pengetahuan, dia sangat paham hal-hal yang baik, tetapi dalam prakteknya ia tidak dapat melakukan hal-hal yang baik itu. Inilah yang saya maksud dengan konflik batiniah. Pernahkah Anda mengalami konflik semacam ini?

Paulus pernah mengalami konflik batiniah. Roma 7 merupakan tulisan otobiografinya yang jujur mengenai konflik tersebut. Ia membuka isi hatinya dan ia menceritakan kepada pembacanya mengenai sebuah pengalaman yang mendarah-daging dalam kehidupannya. Ia tahu apa yang baik dan ingin melakukannya, namun ia tidak melakukannya. Ia tahu apa yang jahat dan tidak ingin melakukannya, namun kenyataannya ia justru berbuat jahat. Seakan-akan ia memiliki kepribadian ganda. Bak dua orang dalam satu tubuh. Inilah konflik batiniah yang dialami oleh rasul Paulus.

Kita pasti pernah dan sering mengalami konflik batin semacam ini. Kita tahu bahwa menggosip itu dosa, namun kita—entah sengaja atau tidak—telah melakukannya. Kita tahu bahwa bohong itu dosa, namun kita—entah sengaja atau tidak—telah berbohong dalam berbisnis. Kita tahu bahwa mendendam itu dosa, namun kita toh juga—entah sengaja atau tidak—melestarikan dendam itu dalam waktu yang lama. Saya yakin, konflik-konflik batiniah semacam ini pasti akan terus membayangi kehidupan kita.

Kenapa saya katakan demikian? Karena Alkitab mengatakan bahwa keberadaan kita baru akan disempurnakan oleh Tuhan apabila kita telah meninggal. Selama kita hidup dalam dunia, maka kita pasti akan mengalami konflik tersebut. Lalu bagaimana sekarang? Menyerah dengan keadaan? Jelas tidak! Kita perlu menyelesaikan/ meminimalisasikan konflik-konflik batiniah tersebut. Caranya? Tunggu renungan esok hari. Tapi yang dapat kita garap sekarang adalah, menyebutkan sejumlah konflik batiniah yang kita alami di hadapan Tuhan. Rincilah satu per satu di hadapan Tuhan.


Tuhan menerima kita apa adanya. Sebab itu, akuilah segala kelemahan kita kepada-Nya

Monday, January 29, 2007

A PRAYER FOR TODAY

My God, I am not my own but yours.
Take me for your own,
and help me in all things to do your holy will.
My God, I give myself to you,
in joy and sorrow,
in sickness and in health,
in success and in failure,
in life and in death,
in time and for eternity.
Make me and keep me your own;
through Jesus Christ our Lord.

(Source unknown)

AMAZING GOD!


Tahukah Anda bahwa laba-laba pelompat yang akan melakukan hubungan seksual membutuhkan sinar ultraviolet? Tadi pagi saya membaca, sekali lagi, tentang seni Tuhan menciptakan ciptaan-Nya. Seperti biasanya, saya membuka Kompas online 29 Januari 2007. Di sanalah saya menemukan informasi bahwa sepasang laba-laba pelompat melakukan hubungan seksualnya di bawah cahaya ultraviolet. Tapi mengapa harus demikian? Diduga karena dengan bantuan ultraviolet, laba-laba tersebut akan memancarkan keindahan bagian tubuh tertentu sehingga ia akan menarik perhatian lawan jenisnya. Sudah diteliti bahwa bila cahaya ultraviolet itu disingkirkan maka laba-laba betina dan jantan akan saling menjauhi. Jadi, kata seorang peneliti, pewarnaan tubuh merupakan faktor penting dalam perkawinan laba-laba pelompat itu.

Ketika membaca pengetahuan baru ini, saya kembali berdecak kagum kepada Tuhan. Kok bisa ya? Ada-ada aja Tuhan itu. Inilah the art of God's creation. Tuhan tidak menciptakan satu keindahan pada seluruh spesies ciptaan-Nya; tapi Ia menciptakan keindahan yang luar biasa ketika menciptakan satu spesies ciptaan-Nya. Inilah seni dari Tuhan. Memang benar pemazmur mengatakan, "Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya." Termasuk laba-laba, ia pun menceritakan seni pekerjaan tangan-Nya yang memancarkan kemuliaan-Nya. Oh amazing God!

Kadang kita terlalu sibuk sehingga tidak bisa lagi memuji kebesaran Allah melalui fauna ciptaan-Nya

Saturday, January 27, 2007

IF TOMORROW NEVER COMES . . .?

Finally, I have read all of On Wings of Storm. Once again, in the final chapter Yeo reminds us that a tsunami of life is a part of life's experiences. However, it's not life itself; it doesn't signal the end of the world or a permanet disability in life though it may seem that way. But interestingly, before finishing his book, he gives us a gentle reminder.

He reminds us that relationship must be valued and nurtured to help us stay connected with people who matter to us. Tomorrow may never come. So seize each opportunity to let our loved ones know how much they mean to us. That's the reminder. And I think he's totally right. He teaches us about how to use every opportunity in our lives. We never know what is going to happen tomorrow. Therefore, once again, let's appreciate our relationship with people who matter to us. They could be our parents, spouse, best friend, brother and sister, and so on. If we have done this, I think we would be more satisfy with our live if tomorrow really never comes.

Friday, January 26, 2007

SUDAH TIDAK SELERA

Roma 6
“Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhnmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya” (Rm. 6:12)

Dahulu saya senang memakan lemak-lemak daging, khususnya daging babi. Bukankah lemak babi memang gurih rasanya? Namun setelah dokter memvonis bahwa saya mengidap penyakit kolesterol dan trigliserida, maka sejak saat itu saya harus mendisiplin pola makan sehari-hari. Lalu setelah sekian lama disiplin itu berlangsung, sekarang saya sudah tidak selera lagi untuk memakan daging yang berlemak. Kalau toh makan, saya pasti makan lemak tersebut dalam porsi yang sangat sedikit.
Perasaan tidak selera seharusnya diterapkan pula dalam kehidupan orang Kristen. Tentu yang dimaksud di sini adalah perasaan tidak selera untuk berbuat dosa. Rasul Paulus menjelaskan kepada jemaat Roma agar mereka tidak berkanjang dalam perbuatan dosa lagi (ay. 12,13). Apa sebab? Sebabnya karena mereka sudah tidak menjadi hamba dosa (ay. 14). Oleh karena kasih karunia Allah, mereka sudah ditebus sehingga mereka tidak hidup dalam perbudakan dosa lagi.
Selanjutnya, rasul Paulus menambahkan bahwa status mereka saat ini adalah hamba kebenaran (ay. 18). Apa arti semuanya ini? Artinya, seorang hamba kebenaran harus menaati kebenaran, sebagai “sang tuannya”. Akan terasa aneh apabila seorang hamba kebenaran masih senang dan hobi untuk melakukan dosa. Oleh sebab itu, seharusnya seorang hamba kebenaran sudah tidak selera lagi untuk berbuat dosa. Mungkin saja ia jatuh dalam dosa, namun yang pasti ia sudah kehilangan selera untuk berbuat dosa lagi.
Bagaimana dengan keadaan kita? Apakah kita masih berselera untuk berbuat dosa? Masihkah kita berselera untuk berbuat tidak jujur dalam pekerjaan? Masihkah kita berselera untuk bersikap kasar dengan para pembantu di rumah? Masihkah kita berselera untuk menggosipkan seseorang? Masihkah kita berselera untuk berbuat dosa ini dan itu? Bila ternyata kita masih selera untuk berbuat dosa, maka coba kita diam sejenak dan bertanyalah, “Apakah sesungguhnya saya sudah menjadi hamba kebenaran?”

Orang Kristen bukanlah orang yang tanpa dosa, tetapi orang yang sudah tidak berselera untuk berbuat dosa

Thursday, January 25, 2007

ADEM AYEM

Roma 5
“Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus” (Rm. 5:1)

Boleh dikatakan, rumah makan Adem Ayem adalah rumah makan andalannya kota Solo. Tetapi ngomong-ngomong, pernahkah Anda bertanya mengapa rumah makan tersebut diberi nama “Adem Ayem”? Apa alasan pemberian nama tersebut? Ah mungkin Anda tidak tahu, saya pun tidak tahu. Tetapi setidaknya, dari nama rumah makan itu, kita dapat menebak bahwa kemungkinan sang pemilik tersebut rindu akan adanya sebuah kedamaian. Bukankah hal itu juga merupakan kerinduan semua orang?

Namun tunggu dulu, apa maksudnya “damai” itu? Tidak ada pertengkaran keluarga? Tidak ada konflik sana-sini? Tidak ada perang? Atau yang lain? Roma 5 memberikan kunci jawaban tentang arti “damai”. Damai yang sesungguhnya, menurut rasul Paulus, adalah ketika seseorang sudah tidak lagi menjadi musuh Allah (ay. 1). Damai yang sesungguhnya itu berbicara mengenai hubungan yang baik antara manusia dengan Allah. Dengan kata lain, damai yang sesungguhnya baru terjadi bila manusia sudah berdamai dengan Allah.

Lalu bagaimana cara mendapatkan damai yang sesungguhnya? Rasul Paulus menjawab bahwa seorang manusia dapat hidup dalam damai melalui penebusan Tuhan Yesus Kristus (ay. 1). Melalui Yesuslah, seorang musuh Allah dapat menjadi seorang sahabat Allah dan anak Allah. Melalui Yesuslah, seorang berdosa sudah tidak berada di tangan murka Allah lagi. Melalui Yesuslah, seorang seteru Allah dapat menerima kemuliaan Allah. Kurang apa lagi?

Saat ini, bila Anda belum mengalami damai yang sesungguhnya, maka biarlah hari Anda meminta pertolongan kepada Yesus. Terimalah Yesus sebagai Pemberi kedamaian sejati. Tetapi bagi kita yang sudah memiliki hubungan yang baik dengan Allah, masakan kita tega untuk merusak hubungan tersebut dengan ketidaksucian hidup? Ingatlah, bahwa kita ini diperdamaikan dengan Allah dengan darah Anak-Nya. Sebab itu, peliharalah hubungan antara kita dengan Allah melalui kesucian hidup, di manapun dan kapanpun kita berada. Niscaya kita akan terus merasakan adem ayem seumur hidup.

Betapa beruntungnya seseorang yang sudah berdamai dengan Allah karena ia akan menapaki hidupnya dengan damai pula

Wednesday, January 24, 2007

FIDES QUARENS INTELLECTUM

Roma 4
“Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup” (Rm. 4:19)

Fides Quarens Intellectum merupakan judul buku dari buah tangan seorang berdarah Italia yang bernama Anselmus. Arti judul tersebut adalah iman untuk memperoleh pengertian. Dalam buku tersebut, ia mengatakan beberapa patah kata yang indah, yaitu: “Aku tidak ingin menembus keagungan-Mu, ya Tuhan, karena daya tangkapku tidak mampu. Namun aku ingin sekadar mengerti kebenaran-Mu . . . karena aku tidak berusaha mengerti agar percaya, melainkan aku percaya agar aku dapat mengerti. Sebab ini, aku percaya juga bahwa kalau aku tidak percaya, aku tidak mengerti.”

Fides Quarens Intellectum telah memberikan inspirasi bagi kita bahwa Allah tidak mungkin dapat diterima oleh akal terlebih dahulu; Ia harus diimani terlebih dahulu. Setelah beriman kepada Allah, maka kita akan semakin mengerti siapa Allah yang kita imani itu. Prinsip ini pulalah yang dipegang oleh Abraham. Roma 4 dengan kental menceritakan tentang iman Abraham yang besar. Paulus mengomentari bahwa Abraham benar-benar menaruh kepercayaan kepada Allah Yahweh sebelum ia mengerti siapa Allah Yahweh itu.

Bila kita menelusuri Kejadian 12, maka kita melihat bahwa Abraham mendengarkan panggilan Allah Yahweh untuk pergi ke negeri yang tak dikenal sebelumnya. Padahal, Abraham belum mengenal identitas Allah Yahweh sama sekali. Namun, Abraham berani merespons panggilan Allah; ia benar-benar menaruh kepercayaan kepada Allah Yahweh. Dan sesudah ia mempercayakan dirinya kepada Allah Yahweh, maka ia semakin mengerti siapa Allah Yahweh tersebut. Inilah yang dinamakan dengan fides quarens intellectum, iman untuk memperoleh pengertian.

Prinsip fides quarens intellectum mestinya masih berlaku bagi kehidupan seorang anak Allah. Adakalanya kita berdoa, namun seakan-akan Allah diam seribu bahasa. Adakalanya kita sedang mengalami penyakit dan seakan-akan Allah menelantarkan kita. Kita haus akan jawaban dari Allah atas segala hal yang menimpa kepada kita. Tetapi bagaimana bila jawaban itu belum kunjung tiba? Di sinilah dibutuhkan yang namanya iman. Sebuah iman yang berkata bahwa, “Tuhan, aku tidak mengerti kenapa hal ini terjadi padaku. Tetapi saat ini, aku mau beriman agar aku memperoleh pengertian yang lebih dalam tentang-Mu.” Inilah fides quarens intellectum.

Awal pengenalan Allah bukan bertolak dari pengertian kita tentang Allah, tetapi iman kepada Allah. Dari sanalah akan terbit pengertian tentang Allah yang kita imani.

Tuesday, January 23, 2007

A PRAYER FOR TODAY


Look upon us, O Lord,
and let all the darkness of our souls vanish before the beams of thy brightness.
Fill us with holy love, and open to us the treasures of thy wisdom.
All our desire is known unto thee,
therefore perfect what thou hast begun,
and what thy Spirit has awakened us to ask in prayer.
We seek thy face, turn thy face unto us and show us thy glory.
Then shall our longing be satisfied,
and our peace shall be perfect.

(St. Augustine, 354 - 430)

Monday, January 22, 2007

SOLIDARITY IN PAIN

Living in the midst of busyness, sometimes--even many times, makes us just like a mechanic human. That is to say, we do our work, our job, our program, without any pauses to reflect on our inner being deeply. Perhaps for pastor, time is not money, yet it is work. However, Henri Nouwen in Reaching Out reminds the readers, including the pastor, that solitude is one of important spiritual disciplines. It does not matter how busy we are but we need this spiritual discipline.

Speaking about solitude, I am quite interested on what he explains due to the solidarity in pain. One sentence that I should bear in mind is, “Those who do not run away from our pains but touch them with compassion bring healing and new strength.” It is not a movement of a growing withdrawal from, but rather a movement toward, a deeper engagement in the burning issues of our time. I realize that doing the discipline in the midst of my busyness of the previous ministry is almost like doing a “mission impossible”; yet it’s still possible.

However, I know that meditating on the pain of others will make me become more “down to earth”. In the sense that I will understand and also “experience” one’s pain. Once I meditated on the pain of the people in Sudan. That country is extremely poor. I saw photos of their bodies that show the unspoken pain. Those photos have talked to me very much. I never forgotten their pain and I kept the photos in my notebook. Whenever I looked those photos, I felt that they are my brothers and sisters. Their pain is also mine. I hope and pray that I am able to continue this sort of solitude, the time to engage with one’s pain in order that I may bring healing and new strength at least to my nearest community.

Saturday, January 20, 2007

A PRAYER OF TODAY

My God, I love thee:

not because I hope for heaven thereby,

Nor because they who love thee

not must burn eternally.

Thou, O my Jesus, Thou didst me

upon the Cross embrace;

For me didst bear the nails and spear,

and manifold disgrace.

And grief and torments numberless,

and sweat of agony;

Yea, death itself; and all for me

who was thine enemy.

Then why, O Blessed Jesu Christ,

Should I not love thee well?

Not for the hope of winning heaven,

nor of escaping hell;

Not with the hope of gaining aught,

Not seeking a reward;

But as thyself hast loved me, O ever-loving Lord!

even so I love thee and will love,

And in thy praise will sing,

solely because thou art my God,

and my eternal King.


(St. Francis Xavier +1552)

ATTACHMENT AND LOSS

My reading of On Wings of Storm has come to the third chapter which talks about losing and letting go. Yeo says that life is a process of attachment and letting go, evolving in synchrony until the day life is taken away in death. As an introduction, as well as an ilustration, Yeo contemplates on the process of human birth. In that process, we know that foetus totally depends on the umbilical cord. It's very symbolic of the process of living. Through it, the baby in the womb derives nurture and sustenance for survival. Yet when the baby leaves the womb for the world outside, the umbilical cord must be severed, signifying the ongoing experience of attachment and loss in human existence. In order to survive after leaving the womb, the baby must be detached from the womb and the umbilical cord must be cut off. From this ilustration, he explains that attachment and loss are very natural. There can be a loss if there is no attachment, vice versa. Both are indissolubely united and interconnected. Furthermore, he reminds me that loss becomes more painful when the attachment to somone or something is stronger.

Friday, January 19, 2007

A PRAYER FOR TODAY

My God, let me know and love you,
so that I may find my happiness in you.
Since I cannot fully achieve this on earth,
help me to improve daily
until I may do so to the full
Enable me to know you ever more on earth,
so that I may know you perfectly in heaven.
Enable me to love you ever more on earth,
so that I may love you perfectly in heaven.
In that way my joy may be great on earth,
and perfect with you in heaven.
O God of truth, grant me the happiness of heaven
so that my joy may be full in accord with your promise.
In the meantime let my mind dwell on that happiness,
my tongue speak of it, my heart pine for it, my mouth pronounce it,
my soul hunger for it, my flesh thirst for it,
and my entire being desire it
until I enter through death
in the joy of my Lord forever. Amen.
(Saint Augustine of Hippo)

SEMUA KARENA ANUGERAH-NYA

Roma 3
“Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia Allah telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus” (Rm. 3:23,24)

Pdt. Rahmiati Tanudjaja pernah menggubah sebuah lagu kontemporer yang berjudul, “Semua Kar’na Anugerah-Nya”. Dari syairnya kita sudah dapat menebak bahwa lagu ini hendak mengajak kita untuk tidak berbangga diri dengan kemampuan, kekayaan, kecakapan, dan segala jerih lelah kita. Sebaliknya, kita harus sadar bahwa anugerah Allah sajalah yang membuat kita dipilih, dipakai, dan termasuk diselamatkan.

Prinsip bahwa semua karena anugerah-Nya sebenarnya, boleh dikatakan, telah diformulasikan dengan baik oleh Paulus dalam kitab Roma. Prinsip ini sudah mulai nampak dalam Roma 3. Bila kita mencermati mulai dari ayat 9 hingga ayat 20, maka kita sedang menyaksikan sebuah atraksi seru yang dilakonkan oleh Paulus. Di sana kita melihat bagaimana Paulus sedang menghancurleburkan sebuah konsep sesat yang sudah berurat akar dalam benak orang Yahudi dan Yunani.

Konsep sesat macam apa? Yaitu sebuah konsep yang mengajarkan bahwa seseorang baru bisa diselamatkan dari hukuman kekal apabila ia telah melaksanakan seluruh amanat Allah dalam hukum Taurat. Padahal, Allah sendiri tidak mengajarkan demikian. Allah mengajarkan bahwa hanya oleh anugerah-Nya saja seseorang dapat diselamatkan dari kebinasaan. Anugerah itu dibuktikan melalui kedatangan Yesus Kristus, Sang Penolong orang berdosa (ay. 24). Anugerah itu diberikan karena kasih Allah semata. Konsep inilah yang sedang diajarkan oleh Paulus kepada jemaat di Roma.

Semua karena anugerah-Nya! Kata-kata ini memang tepat untuk menggambarkan kondisi kita di hadapan Allah. Dulu kita menyembah kepada allah yang tak dikenal, tetapi sekarang kita menyembah Allah yang benar, yang dikenal dan mengenal kita. Dulu kita hidup dalam kekosongan jiwa, sekarang kita hidup dalam kepenuhan roh. Dulu kita adalah musuh Allah, tetapi sekarang kita adalah rekan kerja Allah. Bagaimana mungkin hal yang baik ini terjadi pada diri kita? Semua karena anugerah-Nya! Jadi bagaimana sekarang? Cepat tutup renungan ini dan BERSYUKURLAH!


Terkadang kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi, sehingga kita lalai mensyukuri anugerah istimewa dari Allah yang mengasihi kita

Thursday, January 18, 2007

A PRAYER FOR TODAY

Lord, make me an instrument of Thy peace,
Where there is hatred, let me so love,
Where there is injury, pardon,
where there is doubt, faith,
Where there is despair, hope,
Where there is darkness, light,
where there is sadness, joy,
Oh Divine Master, grant,
that I may not so much seek to be consoledas to console,
To be understood as to understand,
To be loved as to love,
for it is in giving that we receive,
But it is in pardoning that we are pardoned,
And it is in dying that we are born to eternal life.

(St. Francis of Asisi 1182-1226)

Wednesday, January 17, 2007

A PRAYER FOR TODAY


All those images, Lord

front page stories

news exclusives scandals

disasters wars and conflicts

blood spilt communities broken

harvests failed famine and Aids

How do we begin to pray

we who have no experience

have suffered little possess all we need?

Other than to begin from a place of thankfulness

and humility to reach out

not only through our hearts and minds

but through our words and actions

To become a part of the answer

to the prayer we find so hard to utter


Tuesday, January 16, 2007

A PRAYER FOR TODAY

(St. Ignatius of Loyola)

Take, Lord, and receive all my liberty,

my memory, my understanding, and my entire will, all that I have and possess.

Thou hast given it all to me. To thee, O Lord, I return it.

All is thine, dispose of it wholly according to thy will.

Give me thy love and thy grace, for this is sufficient for me.

BE PREPARED!

This morning I just bought a new book On Wings of Storm, written by a well-known Singaporean Psychologist, Anthony Yeo. I've just started to begin my journey to read that book. As an overview, Yeo actually writes this book as a guide to deal with the "tsunami" of life either for the victim or the counsellor. The word "tsunami" refers to all the calamities of life and usually it happens in an unpredictable and uncontrollable way. Just like natural tsunami that happened few years ago.
However, my journey is now on the reading of chapter 1. In that chapter, Yeo explores several cases of "tsunami", such as the crash of SQ 6 in Taipei, the death of Yeo's sister, and so on. By exploring and exposing many cases, it seems that Yeo wants to make the reader realize of one reality that can and will be happen in our lives, the so-called "tsunami" of life. I believe that Yeo is right in exposing this realistic reality.
We often think that being a Christian means that our lives will be happy or at least less suffering. The fundamental question is, then, on what basis does the Christian have such thought? In chapter one, however, Yeo doesn't give us the answer on that question. Yet, once again, he wants to open our eyes that the "tsunami" reality is not out there, it is here, so close with us that many times we never prepare it. However, it just a matter of time; we all will experience that, soon or later. Thus, be prepared!

PENYAKIT NATO

Roma 2
“Engkau bermegah atas hukum Taurat, mengapa engkau sendiri menghina Allah dengan melanggar hukum Taurat itu?” (Rm. 2:23)

Ketika studi di seminari, saya terpana dengan satu kata yang dimuat di majalah dinding. Satu kata itu adalah NATO. Setahu saya, NATO adalah kepanjangan dari North Atlantic Treaty Organization (yaitu sebuah organisasi pertahanan negara-negara bagian Atlantik Utara). Tapi kali ini, NATO yang terpampang di majalah dinding memiliki kepanjangan yang menggelitik, yaitu No Action Talk Only (Tidak ada perbuatan, hanya bicara saja). Melihat hal ini, saya lalu mengamini bahwa banyak orang yang lihai untuk menghakimi tetapi mereka sendiri tidak melakukannya.

Penyakit NATO ternyata juga melanda orang-orang Yahudi di kota Roma. Acapkali orang-orang Yahudi menghakimi orang-orang kafir yang tidak mengenal hukum Taurat. Orang-orang kafir dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai orang yang najis oleh orang-orang Yahudi. Apa dasarnya orang-orang Yahudi memberikan kritik? Dasarnya adalah karena mereka memiliki hukum Taurat. Mereka merasa bangga karena hukum Taurat diberikan secara turun-temurun kepada mereka. Bagi mereka, hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan. Atas dasar inilah, mereka menghakimi orang kafir. Inilah yang menjadi “hobi” orang-orang Yahudi waktu itu.

Padahal, apakah sebenarnya orang-orang Yahudi juga bebas dari pelanggaran? Ternyata tidak. Malahan, mereka adalah pengajar kebenaran yang melanggar kebenaran itu sendiri. Mereka banyak bicara soal hukum Taurat tetapi ternyata mereka justru menginjak-injak hukum Taurat dengan segala kebejatannya (ay. 21-24). Sebab itu, dengan sangat pedas, ayat 24 mengatakan: “Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain.” Inilah penyakit NATO yang seringkali dialami oleh orang-orang Yahudi pada zaman itu.
Apakah kita juga terjangkit penyakit NATO? Apakah kita lebih pandai menghakimi orang lain padahal kita sendiri tidak melakukan apa yang benar? Allah membenci penyakit yang satu ini. Sebab itu, tidak heran apabila Yesus pernah berpesan, “Jangan kamu menghakimi supaya kamu tidak dihakimi” (Mat. 7:1). Bila kita memang sedang terjangkit penyakit NATO, maka mari kita datang kepada Allah dan mintalah supaya Allah menunjukkan “borok-borok” pada diri kita yang perlu dibenahi. Bila kita sudah menyadarinya “borok-borok” itu, maka niscaya kita tidak lagi sibuk menghakimi orang lain. Semoga cepat sembuh dari penyakit NATO.

Gajah di pelupuk mata tak nampak, tetapi kutu di seberang samudera nampak. Demikianlah ciri khas penyakit NATO

Monday, January 15, 2007

MENYEMBAH MEMBUTUHKAN KORBAN?

Ya benar, menyembah membutuhkan korban. Kok bisa? Coba lihat Kejadian 22:5 (kata "sembahyang" dapat diartikan "worship" atau "bow down"). Kita kan tahu apa yang menjadi konteks dari Kejadian 22:5. Kali itu, "tidak ada angin tidak ada hujan," tiba-tiba Abraham diminta Allah untuk mempersembahkan Ishak, anaknya yang tunggal itu. Ah mungkin permintaan ini adalah hal yang mudah bila Ishak adalah nama si doggy-nya Abraham. Ah mungkin mudah kalau Ishak adalah teman kampungnya. Atau mungkin mudah kalau Ishak adalah budaknya. Intinya, akan jauh lebih mudah untuk mempersembahkan Ishak bila ia bukan apa-apa dan siapa-siapa bagi Abraham.
But the case was totally and radically different. Ishak adalah anak kandungnya sendiri. Bukan cuma itu. Ishak adalah anak yang diharapkan pada masa tuanya. Artinya, sudah berpuluh-puluh tahun Abraham menanti kedatangan sang anak. Oh betapa ia akan eman-eman anak ini. Tapi itulah yang Allah mau. Abraham tidak salah dengar. Allah benar-benar serius dengan amanat-Nya, "persembahkanlah Ishak, anak yang engkau kasihi itu!"
Apa sih dapat kita pelajari soal penyembahan? Penyembahan membutuhkan korban, itu yang kita pelajari. Penyembahan itu membutuhkan korban dari apa yang kita eman-emani, dari apa yang paling kita sukai, dari apa yang paling berharga, dan seterusnya. Sekarang coba kita renungkan penyembahan kita, misalnya pada hari Minggu saja. Apakah kita datang menyembah Allah karena kita mau enak-enaknya saja atau kita siap mengorbankan apa yang enak? Apakah kita datang ke gereja karena pengkhotbahnya, karena tidak kepanasan, karena ketemu teman-teman, karena ketemu si doi, karena motif "to kill the time"? Bagaimana kalau hujan, apakah kita masih mau menyembah? Bagaimana kalau besoknya ujian, apakah kita membolos ke gereja? Bagaimana kalau dan kalau? Kita selalu menyodorkan penyembahkan yang membutuhkan korban dari Allah. Kita lebih senang bila Allah yang mengerti kondisi kita sehingga ada excuse kita tidak menyembah dengan benar. Pokoknya, Allah yang harus terus berkorban demi mengerti kita.
Cobalah kita berkaca dari Abraham. Abraham sadar bahwa menyembah Allah itu membutuhkan korban dari kita, bukan Allah. Kita mengorbankan segala kesenangan kita demi kesenangan Allah. Berani? Ah masak Allah sekejam itu, mungkin itulah kata-kata pemberontakan kita. Nah itulah natur orang berdosa, selalu saja minta yang enak dan yang tidak enak untuk Allah. Jangan lupa, Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa karena ia ingin yang enak-enak terus. So, marilah kita kembali menyadari bahwa menyembah itu membutuhkan korban. Hari Minggu akan datang lagi. Korban terindah apa yang dapat kita berikan untuk Allah yang sudah berkoban terlampau banyak untuk kita?

Saturday, January 13, 2007

JANGAN MENINDAS KEBENARAN!

Roma 1
“Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman” (Rm. 1:18)
Saya meyakini bahwa sebagian besar orang yang melakukan kriminalitas pasti tidak buta hukum sama sekali. Misalnya, bagi kawanan pencuri, mereka pasti memahami bahwa mencuri adalah tindakan yang melanggar hukum. Namun yang menarik di sini adalah mengapa mereka masih saja berani melakukan perbuatan kriminal kendati mereka tahu bahwa hal itu salah? Bila pertanyaan ini disodorkan pada mereka, maka mereka pasti berdalih dengan 1001 macam alasan. Tetapi bagi saya, apapun alasannya, mereka telah menindas kebenaran.
Apa maksudnya? Sederhana, maksudnya adalah mereka tahu tentang kebenaran tetapi mereka tidak menggubrisnya. Hal ini pulalah yang dimaksudkan rasul Paulus dalam Roma 1, khususnya ayat 18. Paulus menjelaskan kepada jemaat Roma bahwa orang kafir adalah penindas kebenaran. Tapi tunggu dulu, kebenaran macam apa yang ditindas? Yang ditindas adalah kebenaran tentang pengetahuan akan Allah. Bagi Paulus, semua manusia pasti mengetahui keberadaan Allah yang benar karena Allah sendirilah yang menyatakannya kepada umat manusia (bdk. ay. 19-20).
Namun Paulus justru menemukan adanya orang-orang kafir yang berusaha untuk mengelak dari pengetahuan tersebut. Mereka menggantikan Allah yang kekal dengan berhala yang fana. Mereka melupakan Allah yang seharusnya menjadi sesembahannya. Mereka menepis pengetahuan akan Allah yang benar. Sebab itu, mereka dikatakan sebagai penindas kebenaran. Lalu apa akibatnya? Allah murka kepada mereka dengan membiarkan mereka untuk terus terperosok dalam kubangan dosa maut. Dan pada hari Tuhan nanti, mereka akan benar-benar merasakan maut yang sesungguhnya. Saat itu, semuanya sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur.
Sekarang apa yang kita pelajari? Apakah kita yang sudah percaya pun dapat menjadi penindas kebenaran? Jawab saya, sangat bisa. Bila kita sudah tahu apa yang seharusnya dilakukan tetapi kita tidak melakukannya, maka kita sudah menjadi penindas kebenaran. Senada dengan hal ini, Yakobus pun mengingatkan bahwa: “Jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak. 4:17). Kawanku, renungkanlah, sudah berapa banyak kebenaran yang telah kita ketahui? Lalu bandingkan, sudah berapa banyak kebenaran yang telah kita lakukan? Jangan sampai Allah marah kepada kita karena tidak menghiraukan kebenaran Allah.

Barangsiapa menindas kebenaran maka kebenaran akan berbalik menindas dirinya

Friday, January 12, 2007

PENGANTAR KITAB ROMA

Penulis
Penulis dari surat ini adalah rasul Paulus (lih. 1:1). Tidak ada perdebatan mengenai identitas penulis dalam sepanjang sejarah gereja.

Waktu dan Tempat Penulisan
Kemungkinan kitab Roma ditulis pada waktu awal musim semi di tahun 57 sM. Hampir dapat dipastikan bahwa kitab ini ditulis sewaktu perjalanan misi Paulus yang ketiga di kota Korintus. Dan saat ini, ia siap untuk kembali ke kota Yerusalem dengan membawa persembahan dari gereja-gereja lain untuk orang-orang percaya di Yerusalem (lih. 15:25-27).

Penerima
Penerima surat Roma adalah jemaat di kota Roma (1:7), yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan non-Yahudi. Namun kali ini, jemaat non-Yahudi memiliki jumlah yang lebih dominan ketimbang jemaat Yahudi.

Tema Utama
Tema utama dari kitab Roma adalah pernyataan kebenaran Tuhan kepada manusia dan penerapannya pada kebutuhan rohani manusia. Tema ini merupakan hal yang mendasar bagi semua pengalaman kristiani karena manusia tidak dapat berhubungan dengan Tuhan sebelum diadakan suatu pendekatan yang benar. Selain itu, Paulus menyatakan dirinya sebagai rasul bagi semua bangsa (1:5); ia melukiskan secara singkat tentang sejarah dunia kafir sebagai pembuka pernyataannya (1:18-32); ia meyakinkan bahwa keselamatan Allah juga diperuntukkan bagi bangsa-bangsa lain (3:29), dan tidak ada pembedaan antara orang Yahudi dan non-Yahudi dalam hal keselamatan. Kitab Roma menegaskan bahwa sifat keselamatan dari Allah adalah untuk semua orang.

Tujuan
Tujuan penulisan kitab Roma dapat dirinci sebagai berikut:
Untuk mempersiapkan kedatangan dirinya ke kota roma sebagai kota perantara menuju ke Spanyol (1:10-15; 15:22-29).
Untuk mempresentasikan sistem keselamatan yang mendasar.
Untuk menjelaskan relasi antara orang Yahudi dan non-Yahudi dalam bingkai rencana penebusan Allah.

Ciri-ciri Khusus
Kitab Roma memiliki ciri-ciri khusus yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
Kitab ini berisi ajaran doktrin paling banyak dari antara surat-surat Paulus lainnya. Boleh dikatakan, isi kitab ini lebih mirip sebuah esai ketimbang sebuah surat.
Kitab ini menekankan doktrin-doktrin Kristen. Beberapa doktrin yang dijelaskan dalam kitab ini, antara lain: dosa, keselamatan, anugerah, iman, kebenaran, pembenaran, pengudusan, penebusan, kematian, dan kebangkitan.
Kitab ini banyak menggunakan kutipan-kutipan dari Perjanjian Lama. Rasul Paulus kerap menggunakan kutipan dari PL untuk memperkuat argumentasinya (lih. ps. 9-11).
Kitab ini memberikan perhatian yang dalam kepada bangsa Israel.


Disadur dari Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1997) dan The NIV Study Bible (Grand Rapids: Zondervan, 1995).

Thursday, January 11, 2007

TETAP HIDUP SEPERTI BIASA

2 Tesalonika 3
“. . . jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2Tes. 3:10b)

Dalam dunia ini selalu saja ada orang aneh. Betapa tidak, saya pernah mendengar ada pengkhotbah Kristen yang mengajar bahwa Kristus akan datang pada tahun tertentu. Oleh karena pengkhotbah tersebut juga memiliki karisma tertentu, maka banyak orang Kristen yang percaya padanya. Sesuai dengan arahan dari sang pengkhotbah, orang-orang Kristen itu disuruh untuk meninggalkan pekerjaan dan harus naik ke suatu gunung untuk menanti kedatangan Kristus di tempat tersebut. Anehnya, orang-orang Kristen toh juga mengikuti amanahnya. Tapi alhasil, Kristus tidak pernah datang di sana. Lalu dengan gampangnya, pengkhotbah itu menjelaskan bahwa Kristus menunda kedatangan-Nya. Lucu, bukan?
Hal serupa juga pernah terjadi di jemaat Tesalonika ribuan tahun yang lalu. Sebagian di antara mereka ada yang terpengaruh oleh ajaran sesat. Ajaran tersebut mengatakan bahwa Kristus sebentar lagi akan datang. Ajaran ini berhasil mempengaruhi sebagian jemaat sehingga mereka memutuskan untuk berhenti bekerja demi menanti dan menyambut Kristus. Tidak dijelaskan apakah mereka juga diajarkan untuk naik ke suatu gunung atau ke tempat tertentu, tapi yang pasti mereka diajarkan bahwa kedatangan Kristus sudah sangat dekat.
Berangkat dari kondisi jemaat yang demikian, Paulus menegur mereka agar tidak berbuat demikian. Mereka didorong untuk melihat keteladanan Paulus di mana ia tetap berjerih lelah selama siang dan malam (ay. 7,8). Ia tetap hidup seperti biasanya. Paulus berkeyakinan bahwa masa penantian kedatangan Kristus tidak perlu menghentikan pekerjaan orang Kristen. Sebab itu, dengan keras ia berkata pada jemaat Tesalonika, “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (ay. 10). Ajaran inilah yang ditanamkan kepada sebagian jemaat Tesalonika yang menjadi pengangguran.
Tetaplah hidup seperti biasanya, itulah yang dapat kita pegang saat ini. Kita tahu bahwa Kristus akan datang kedua kalinya, namun kita tidak perlu menghentikan segala ritme kehidupan kita. Bahkan seandainya, kita tahu kapan Kristus akan datang, kita harus tetap hidup seperti biasanya. Kita tidak perlu seperti orang-orang Kristen lainnya yang berhasil terbujuk oleh pengkhotbah sesat itu. Kita tidak perlu menunggu Kristus dengan menjadi pengangguran. Sebaliknya, kita menunggu Kristus dengan menguduskan diri serta hidup seperti biasa saja.

Kristus tidak pernah berharap agar para pengikut-Nya menjadi pengangguran

Wednesday, January 10, 2007

I'M BUSY BECAUSE I'M LAZY?

Reading Eugene H. Peterson’s The Contemplative Pastor is just like seeing me in front of the mirror. Through his book, I’m asked to rethink about my ministerial life. At this time, I would like to share about my interaction with one of the chapters in the book, so-called the unbusy pastor. In this chapter, I’m asked to rethink the forgotten point. It is about the reason behind of my busyness.

Busyness is a word that I’d like to hear. I remember on one day my presbyter told me that he now sees that the pastors are working at the office. It seems that he likes this kind of lifestyle. At that time, for me, his statement has really made me proud of myself. I felt that what I did so far was not in vain. However, when I came across with Peterson’s reflection on the busyness, I must confess that he accurately shoots on the right target. He asks me to seek the reason behind of my busyness.

He describes the reason by exposing one beautiful statement, that is: I am busy because I am lazy. Peterson shocks me with his statement. How could a busy pastor be identical with laziness? However, Peterson writes that statement in the sense that the pastor may run from doing his/her original agenda and let the people who do not understand the pastoral calling to drive the agenda of the pastor. In other words, the busyness sometimes may be used as a mask to cover the laziness to minister according to his/her calling. To this extent, I think his explanation is partially relevant to my ministerial life since most of the times my presbyters give the freedom to every pastor to set their own agenda, program, and so on. Thank God for they still trust their pastors. Yet it doesn’t mean that I can run from Peterson’s warning totally since I’m still able to run from my first duty and doing the secondary.

I remember at once I ran from the first duty. At that time I saw friends who needed a pastor to visit a kid that had a cancer. Actually, I was free and able to join in that visitation. Yet I didn’t do it because I was not in the mood. What I was doing to run from the ministry is that I sat in front of my notebook and did something. I want them to see me as a busy man. And finally, they didn’t ask me to go. However, Peterson reminds me again about this embarrassing event. I pray that I will not repeat that foolish action by hiding behind the mask of my busyness.

MENGAKAR SEPERTI POHON KELAPA

2 Tesalonika 2
“Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis” (2Tes. 2:15)

Adalah hal yang unik ketika melihat pohon-pohon kelapa yang tetap berdiri tegak di tepi pantai yang baru saja dilibas oleh badai Tsunami. Di kala semua barang, apalagi manusia terlibas habis, pohon kelapa tersebut tetap menancap “di singgasananya”. Ada apa gerangan? Setelah ditelusuri, ternyata pohon kelapa memiliki serabut akar yang sangat dalam. Diyakini bahwa akar yang tak terlihat itulah yang dapat menopang pohon kelapa dari serangan Tsunami. Jadi, akar akan sangat menentukan kekuatan pohon kelapa.

Prinsip ini juga dapat diterapkan dalam kehidupan orang Kristen. Akar dapat diibaratkan sebagai ajaran-ajaran, sedangkan pohon kelapa yang menjulang tinggi tersebut dapat diibaratkan sebagai tindakan-tindakan yang kelihatan. Sebab itu, tindakan-tindakan yang dihasilkan pasti akan sangat dipengaruhi ajaran-ajaran yang ia pegang selama ini. Bila ajaran-ajaran yang dipegangnya tidak sesuai dengan firman Tuhan, maka pasti tindakan-tindakan yang dihasilkan juga tidak sesuai dengan firman Tuhan. Demikian sebaliknya. Jadi, betapa pentingnya seseorang memiliki ajaran yang benar terlebih dahulu.

Bila kita mencermati 2 Tesalonika 2, maka kita akan menemukan bahwa Paulus sedang membicarakan mengenai suatu ajaran. Ia mendengar bahwa jemaat di Tesalonika mulai dikacaukan dengan ajaran yang salah. Sebab itu, Paulus menegur jemaat Tesalonika agar mereka tidak cepat terpengaruh oleh ajaran sesat tersebut (ay. 1-3). Dan sekali lagi ia menegaskan di ayat 15, “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.”

Hingga di pasal 2 Paulus memang belum menyelesaikan ajaran sesat itu. Ia hanya mendorong jemaat Tesalonika untuk tetap berakar pada ajaran-ajaran yang benar. Namun dari pasal ini kita dapat memetik hikmahnya, yaitu agar di zaman modern ini kita tidak tersesat pada ajaran-ajaran sesat. Contoh ajaran sesat antara lain, ajaran untuk memotivasi diri yang berdasar pada kekuatan diri sendiri, ajaran yang mengatakan bahwa mengikut Tuhan pasti kita kaya dan sehat, dan sebagainya. Demikianlah contoh-contoh yang beredar dalam zaman ini. Akhirnya, ingatlah, ajaran-ajaran yang kita pegang akan sangat menentukan tindakan-tindakan kita selanjutnya. Waspadalah!

Bila kita memegang ajaran yang benar, maka kita akan seperti akar pohon kelapa yang mampu menahan batangnya dari serangan badai

Tuesday, January 09, 2007

THE BODYGUARD

2 Tesalonika 1
“Sebab memang adil bagi Allah untuk membalaskan penindasan kepada mereka yang menindas kamu” (2Tes. 1:6)

Pernahkah Anda menonton film yang berjudul The Bodyguard? Film yang dilakonkan oleh Kevin Costner ini menyampaikan suatu pesan dan kesan kepahlawanan. Ia harus siap melindungi bahkan bertaruh nyawa demi melindungi nyawa kliennya. Dan dalam kisah tersebut, Kevin Costner memang membuktikan dirinya layak untuk menjadi the bodyguard (penjaga) ketika ia bertugas untuk melindungi seorang penyanyi tenar. Setiap hari penyanyi tenar tersebut selalu ada di dalam penjagaannya.
Kita, sebagai orang Kristen, juga memiliki the bodyguard (penjaga), yakni Allah sendiri. Sudah barang tentu, ia jauh lebih hebat dari penjaga manapun di bumi ini. Allah adalah pribadi yang layak untuk dipercaya karena Ia telah dan akan terus membuktikan diri-Nya dalam melindungi umat-Nya. Sebab itu, Daud pernah berkata, “Pada-Mu Tuhan aku berlindung, janganlah sekali-kali aku mendapat malu. Luputkanlah aku oleh karena keadilan-Mu” (Mzm. 31:1). Betapa Daud mempercayakan dirinya pada sang Bodyguard itu.
Hal ini pulalah yang dialami oleh jemaat Tesalonika yang sedang ditindas oleh teman-teman sebangsanya. Memang dalam pasal 1 Paulus tidak terlalu merinci bagaimana bentuk pembelaan Allah. Namun dari afirmasi yang diberikan Paulus, kita dapat menyimpulkan bahwa Allah telah melakukan sesuatu buat jemaat Tesalonika. Dikatakan oleh Paulus bahwa Allah telah membalaskan penindasan yang mereka alami dan memberikan kelegaan kepada mereka yang ditindas. Inilah yang dilakukan Allah, sebagai the bodyguard-nya jemaat di sana.
Saya yakin bahwa apa yang dialami oleh Daud dan jemaat Tesalonika dapat dialami oleh kita pula. Kita hidup di dalam dunia yang tidak ideal karena dunia sudah jatuh dalam dosa. Sebab itu, tidak heran bila kita pernah ditipu, kita hidup di dalam tekanan-tekanan dari kaum mayor, kita hidup dengan berbagai macam penyakit. Namun janganlah khawatir, pengalaman Daud dan jemaat Tesalonika telah menegaskan bahwa Allah siap menjadi penjaga kita. Ini berarti bahwa Allah akan bertindak, membalas, dan melegakan kita tepat pada waktu-Nya. Apalagi yang perlu dikhawatirkan?

Pertolonganku ialah dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi; Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap” (Mzm. 121:2,3)

Monday, January 08, 2007

DOA TERUS DAN TERUS DOA

1 Tesalonika 5
“Tetaplah berdoa” (1Tes. 5: 17)

Telepon selular (HP) saat ini bukan lagi menjadi barang yang tergolong mahal dan hanya bisa dimiliki orang-orang tertentu. Banyak orang telah memilikinya, termasuk anak-anak kecil. Namun pertanyaannya, kenapa HP begitu digandrungi banyak orang? Atau dengan kata lain, mengapa HP dapat memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap orang-orang? Jawabannya bisa disimpulkan dalam satu kata yang sebenarnya merupakan kebutuhan mendasar manusia. Satu kata itu adalah komunikasi. Bukankah memang benar bahwa semua orang membutuhkan komunikasi satu dengan lainnya?

Sebenarnya kebutuhan ini bukan hanya untuk manusia kepada manusia, melainkan juga manusia kepada Tuhan. Rasul Paulus sangat menyadari akan hal ini. Oleh karena itu, dengan nada perintah, ia menegaskan kepada jemaat Tesalonika: “Tetaplah berdoa!” Dalam bahasa aslinya, kata ini memakai struktur kata yang bersifat terus-menerus. Artinya, kegiatan berdoa adalah kegiatan yang harus menjadi kebiasaan hidup. Dengan kata lain, kegiatan ini tidak boleh bersifat “Senin-Kamis”, yang mana kalau ia sedang mood maka ia baru berdoa. Kenapa? Karena, sekali lagi, doa adalah kebutuhan komunikasi antara manusia dan Tuhan. Inilah kebutuhan yang mendasar dari setiap ciptaan Tuhan.

Sekarang, untuk mendaratkan aplikasinya bagi kita, saya ingin membagikan beberapa kegunaan lain berkaitan dengan doa dari buku Disiplin Anugerah. Secara singkat, buku tersebut mengatakan bahwa doa itu penting untuk dilakukan karena: (1) dalam doa, kita dapat menjadi diri sendiri. Kita dapat berkata blak-blakan kepada Tuhan; (2) dalam doa, kita dapat semakin bersatu dengan Tuhan. Doa dapat membuat kita semakin mengenal Tuhan yang sesungguhnya. Sebagai kesimpulannya, sama seperti rasul Paulus, buku ini juga mau mengatakan bahwa doa merupakan kebutuhan mendasar dari manusia.

Seberapa sering kita sudah meluangkan waktu untuk mengisi kebutuhan mendasar itu? Bila komunikasi kita dengan orang bisa dan harus dilakukan, maka komunikasi kita dengan Tuhan seharusnya lebih mendapat porsi yang terutama dalam hidup kita. Mari kita tetapkan jadwal doa harian. Buatlah beberapa variasi dalam doa agar tidak menjemukan. Misalkan, sebelum doa diselingi dengan lagu-lagu rohani, atau kita dapat bernyanyi satu lagu sebagai penghantar doa. Mari, sekali lagi, benahi hidup kita dengan membiasakan berdoa.

Doa adalah napas hidup orang Kristen. Kita tidak mungkin hidup tanpanya.

Saturday, January 06, 2007

MASALAH KESUCIAN SEKSUALITAS

1 Tesalonika 4
“Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan” (1Tes. 4:3)

Indonesia masih dalam kebingungan untuk mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dengan pornografi dan pornoaksi. Masih ada pro dan kontra yang sama-sama memiliki keabsahan argumentasi. Di manakah duduk perkaranya? Entahlah . . . ini masih remang-remang. Tapi meski demikian, kita sebagai orang Kristen masih memiliki standar yang jelas bila berbicara mengenai pornografi dan pornoaksi.

Kita sebagai orang yang sudah ditebus dari kegelapan harus menyikapi liarnya pornografi dan pornoaksi dengan benar. Lebih jelasnya, kita harus tetap menjaga kekudusan diri sendiri. Itu yang jauh lebih penting. Hal yang sama juga pernah ditegaskan oleh rasul Paulus kepada jemaat di Tesalonika. Ia mengingatkan agar mereka waspada terhadap dosa percabulan. Mereka tidak boleh dikuasai oleh hawa nafsu, sama seperti orang-orang yang belum mengenal Allah.
Paulus merasa perlu mengingatkan masalah kesucian seksualitas karena mereka adalah orang-orang yang baru percaya kepada Kristus. Dan bahayanya, mereka selama ini dilahirkan dan diasuh di dalam masyarakat yang tidak lagi mementingkan kekudusan hidup. Percabulan adalah hal yang biasa bagi masyarakat sekitarnya. Sebab itu, berangkat dari kondisi masyarakat yang demikian, maka Paulus merasa penting untuk menggarisbawahi masalah kesucian seksualitas yang pernah ia ajarkan sebelumnya.
Dari tulisan Paulus dalam pasal 4, kita melihat bahwa masyarakat yang tidak suci akan selalu ada. Kehadiran dan kebejatan mereka yang demikian tidak mungkin dapat dipungkiri. Inilah kondisi sosial masyarakat yang masih dalam kegelapan. Namun yang paling penting adalah bagaimana orang Kristen menyikapi kondisi tersebut. Apakah orang Kristen itu justru terjerembab dalam pornografi dan pornoaksi? Apakah orang Kristen ternyata diam-diam juga menyimpan kepingan-kepingan VCD/gambar-gambar cabul? Apakah orang Kristen ternyata senang membayangkan orang lain ketika melakukan hubungan suami isteri dengan pasangannya? Perlu diingat, kita sebagai orang Kristen seharusnya tetap menjaga kesucian seksualitas, baik ketika bersama-sama orang lain maupun ketika sendirian.

Allah tidak pernah merasa jijik dengan seksualitas, namun Ia pasti merasa jijik terhadap dosa seksualitas

Friday, January 05, 2007

JIWA SANG GEMBALA

1 Tesalonika 3
“Sebab ucapan syukur apakah yang dapat kami persembahkan kepada Allah atas segala sukacita, yang kami peroleh karena kamu, di hadapan Allah kita?” (1Tes. 3:9)

Membaca 1 Tesalonika 3, terus terang saya menjadi terharu bercampur kagum dengan rasul Paulus. Betapa tidak, saya melihat jiwa sang gembala di dalam diri rasul Paulus. Baginya, jemaat Tesalonika telah menjadi bagian dalam hidupnya yang tak mungkin diceraikan. Apa yang menjadi rintihan dan tangisan jemaat Tesalonika, juga menjadi rintihan dan tangisan Paulus. Dan apa yang menjadi kegirangan mereka, juga menjadi kegirangan Paulus. Kira-kira demikianlah saya membahasakan jiwa sang gembala dalam diri Paulus.
Jiwa sang gembala yang dimiliki oleh Paulus ini terlihat ketika ia mengutus Timotius untuk menilik jemaat Tesalonika. Apa yang melatarbelakangi pengutusan tersebut? Latar belakangnya adalah karena Paulus khawatir dan cemas terhadap kondisi jemaat Tesalonika yang sedang ditekan oleh pihak orang-orang Yahudi. Dikatakan olehnya bahwa ia begitu khawatir bila mereka dicobai oleh si penggoda dan usaha penginjilannya selama ini menjadi sia-sia (ay. 5). Sebab itu, Paulus berharap agar Timotius dapat menguatkan iman jemaat Tesalonika.
Selain pengutusan Timotius, jiwa penggembalaannya juga terlihat dalam doa-doanya yang dipanjatkan siang dan malam (ay. 10). Dalam doanya terkandung suatu kerinduan yang jelas, yakni ingin segera kembali bertemu dengan jemaat di Tesalonika. Selain itu, dalam doanya juga terkandung suatu permohonan agar Allah selalu menuntun mereka untuk saling mengasihi satu dengan yang lainnya serta menguatkan iman mereka (ay. 12, 13). Demikianlah ciri-ciri mendetail dari jiwa sang gembala, seperti rasul Paulus.
Apakah kita juga memiliki jiwa sang gembala? Sebenarnya, ciri-ciri yang ada di dalam jiwa seorang gembala dapat disarikan menjadi satu ciri saja, yaitu apakah orang itu menjadi bagian dalam hidup kita. Ketika kita bergereja, kita pasti menemukan kaum papah di dalamnya. Kita juga menemukan anggota lain yang sedang lemah imannya. Pun juga kita menemukan anggota yang sedang menderita penyakit. Pertanyaannya, apakah mereka semua telah menjadi bagian dalam hidup kita? Bila ya, maka otomatis ratap dan tangis mereka juga merupakan ratap dan tangis kita. Wah betapa hebatnya gereja kita bila berisi jemaat yang berjiwa sang gembala hari ini. Apakah Anda memiliki jiwa itu?

Jiwa penggembalaan bukan eksklusif milik para penginjil, melainkan jiwa itu juga harus ada dalam setiap orang yang pernah digembalakan oleh Gembala yang agung

Thursday, January 04, 2007

PELAYANAN YANG BERMAKNA

1 Tesalonika 2
“. . . kami berbicara, bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kita . . . juga tidak pernah kami mencari pujian dari manusia . . .” (1Tes. 2: 4,6)

Tahun demi tahun pelayan Tuhan semakin bertambah dan semakin antusias. Dahulu orang yang melayani adalah orang-orang yang sama, tetapi sekarang orang yang melayani sudah mulai berbeda-beda. Bukankah ini suatu kemajuan? Tapi perlu kita kritisi sekarang adalah, apakah semua orang yang melayani dapat menghasilkan pelayanan yang bermakna? Jangan sampai pelayanan yang dilakukan menjadi sia-sia selama ini. Hari ini, kita akan belajar bagaimana menghasilkan pelayanan yang bermakna dari 1 Tesalonika 2.

Dalam pasal 2, kita akan menemukan bahwa hasrat untuk berpusat pada Allah merupakan kunci dari pelayanan yang bermakna. Ini pulalah yang dilakukan oleh rasul Paulus, Silwanus dan Timotius. Mereka menandaskan bahwa pemberitaan yang mereka tebarkan kepada jemaat Tesalonika bukan untuk memuaskan hati manusia, melainkan untuk memuaskan hati Allah. Sebab itu, mereka tidak bermulut manis dan tidak mencari pujian dari manusia (ay. 5,6). Orientasi pelayanan mereka berpusat pada Allah.

Apa buahnya? Secara eksplisit memang tidak dituliskan buahnya. Namun bila kita melihat kembali secara teliti pada pasal pertama, maka kita menemukan bahwa ketegaran iman jemaat Tesalonika merupakan buah pelayanan Paulus cs yang benar. Ketegaran iman jemaat muncul ketika mereka berpusat pada Allah. Mereka menjadi jemaat yang menyukakan hati Allah daripada menyukakan lawan-lawan mereka. Bukankah sikap jemaat yang demikian merupakan buah pelayanan Paulus dan kawannya yang berpusat pada Allah? Boleh dikatakan, orientasi pelayanan Paulus cs telah memberikan makna bagi jemaat Tesalonika.

Saat ini, bertanyalah dengan jujur kepada diri sendiri, di antara sekian banyak pelayanan yang kita lakukan, berapa kali kita melayani untuk Allah? Saya yakin bila kita melayani untuk Allah, maka kita akan “tahan banting” bila menghadapi kritik sana-sini. Selain itu, kita akan menuntaskan pekerjaan Tuhan tanpa berharap sedikit pun untuk menerima pujian dari orang lain. Akhirul kata, bila kita berpusat pada Allah, maka segala pelayanan kita pasti bermakna karena pasti akan membawa dampak positif bagi orang-orang sekitar kita. Percayalah!

Kebanggan apalagi yang dapat kita nikmati selain mendengarkan kabar bahwa pelayanan kita telah menghasilkan makna

Wednesday, January 03, 2007

JEMAAT PERCONTOHAN

1 Tesalonika 1
“. . . kamu telah menjadi teladan untuk semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya” (1Tes. 1:7)

Bukan berita yang baru lagi bila gereja-gereja di Indonesia dikabarkan sering mengalami tekanan-tekanan dari kaum mayoritas. Salah satu gereja yang pernah mengalami tekanan dari kaum tersebut adalah GKI pos P.I. Blimbing, Malang. Dikabarkan di sana bahwa masyarakat sekitar tidak menyukai kehadiran pos tersebut. Dan singkatnya, karena mereka merasa tidak digubris oleh pendeta dan jemaat pos Blimbing, maka mereka merangsek masuk ke pelataran gereja dan menjaga pintu masuk agar tidak ada lagi jemaat yang masuk ke ruang ibadah gereja.
Tapi apa yang dilakukan oleh pendeta dan jemaat yang ada di sana? Ternyata, mereka tetap melaksanakan ibadah. Mereka beribadah di samping gereja, di tempat yang terbuka. Dalam kepungan masyarakat yang ingin “menerkam” mereka, jemaat pos Blimbing tetap menaikkan pujian dan mendengarkan firman layaknya ibadah mingguan biasa. Dari peristiwa nyata tersebut, saya ingin mengajak para pembaca Suara Gembala untuk merasakan bagaimana keteguhan mereka untuk setia kepada Allah meski ancaman sedang datang. Mereka dapat dijadikan jemaat percontohan bagi jemaat-jemaat lainnya.
Menilik lembaran sejarah gereja mula-mula, jemaat Tesalonika pun juga mengalami tekanan-tekanan dari kaum mayoritas, yakni orang-orang Yahudi yang belum percaya Kristus (1Tes. 2: 14,15). Di sinilah terjadi penindasan terhadap kaum minoritas. Tapi, apa yang dilakukan oleh jemaat Tesalonika? Sungguh mengherankan, karena justru dalam tekanan, kerohanian mereka semakin melejit. Sebab itu, di awal tulisannya, rasul Paulus terlihat sedang “mengangkat topi” atas iman, kasih dan ketekunan mereka (ay. 3). Bahkan, lebih dari itu, mereka telah menjadi teladan untuk semua orang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya. Demikianlah mereka telah menjadi jemaat percontohan bagi orang percaya lainnya.
Bagaimana dengan jemaat GKKK Surakarta? Teman seperjuanganku, tak dipungkiri lagi bahwa kita sedang hidup dalam tekanan-tekanan dari kaum mayoritas. Inilah kenyataan hidup di bumi pertiwi Indonesia. Di luar sana, banyak orang Kristen yang akhirnya berkompromi dengan kaum mayoritas. Namun, bila kita rindu menjadi jemaat percontohan, maka seperti di Tesalonika, kita harus mempertahankan iman, kasih dan ketekunan pada Tuhan. Kita harus pantang menyerah dengan tekanan-tekanan mayoritas.

Contohlah apa yang baik dari jemaat Tesalonika!