Kidung Agung 5
“Putih bersih dan merah cerah kekasihku, menyolok mata di antara selaksa orang”
(Kid. 5:10)
Dan sekarang, coba hitung, hai para istri. Kapan terakhir kalinya kita memuji suami yang telah hidup bersama dengan kita? Melanjutkan renungan yang kemarin, seorang pakar konseling menyebutkan bahwa pasangan kita itu seperti tanaman. Bila gambaran ini benar, maka seorang suami—meski ia laki-laki—juga membutuhkan “perawatan”. Salah satunya adalah dengan memberikan pujian. Aneh? Risih? Kebanyakan istri mungkin berpikir bahwa sang suami tidak memerlukan pujian karena ia terlihat tegar. Istri merasa bahwa semua pria di dunia ini, termasuk suaminya, adalah orang yang kuat dan tabah. Sebab itu, rasanya risih dan aneh bila mendengar bahwa pria membutuhkan pujian.
Padahal, apakah persepsi ini benar? Sekali lagi, seorang pakar konseling menjelaskan bahwa seorang pria adalah seorang yang justru lemah secara emosinya. Dibandingkan dengan seorang perempuan, ia adalah makhluk yang lebih mudah stress. Mungkin karena itulah Allah memberikan seorang penolong bagi seorang suami. Sekarang, bila persepsi ini dapat diterima, maka kita sebagai seorang istri tidak perlu merasa risih dan aneh ketika memuji suami kita. Selain itu, kita juga tidak perlu merasa risih karena mempelai perempuan dalam Kidung Agung pun memberikan pujian kepada suaminya. Bahkan pujiannya lebih heboh lagi.
Dalam Kidung Agung 5:10-16, mempelai perempuan melukiskan rupa kekasihnya kepada semua biduan dengan kata-kata pilihan yang sangat indah. Mungkin kata-kata pujiannya terasa asing bagi kita. Namun bila kita hidup pada zaman Salomo, maka kita tidak akan merasa asing dengan setiap kata pilihannya. Misalnya, kata “tiang-tiang marmar putih” (ay. 15) melambangkan tentang kaki yang sempurna seperti yang dimiliki oleh dewa di wilayah Babilonia. Inti dari semua ini adalah mempelai perempuan pun memuji sang suaminya. Dan, segala pujian yang dikatakannya dengan penuh semangat.
Suami kita memang adalah seorang pria yang terlihat kokoh. Tapi jangan lupa, kekokohannya itu hanyalah bersifat fisik. Secara emosi, ia adalah makhluk yang lemah. Sebab itu, ia tetap membutuhkan dukungan emosi; salah satunya dengan memberikan pujian baginya. Pujilah keberaniannya, kerajinan kerjanya, kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, dan seterusnya. Dan para suami, hargailah pujian itu!
“Putih bersih dan merah cerah kekasihku, menyolok mata di antara selaksa orang”
(Kid. 5:10)
Dan sekarang, coba hitung, hai para istri. Kapan terakhir kalinya kita memuji suami yang telah hidup bersama dengan kita? Melanjutkan renungan yang kemarin, seorang pakar konseling menyebutkan bahwa pasangan kita itu seperti tanaman. Bila gambaran ini benar, maka seorang suami—meski ia laki-laki—juga membutuhkan “perawatan”. Salah satunya adalah dengan memberikan pujian. Aneh? Risih? Kebanyakan istri mungkin berpikir bahwa sang suami tidak memerlukan pujian karena ia terlihat tegar. Istri merasa bahwa semua pria di dunia ini, termasuk suaminya, adalah orang yang kuat dan tabah. Sebab itu, rasanya risih dan aneh bila mendengar bahwa pria membutuhkan pujian.
Padahal, apakah persepsi ini benar? Sekali lagi, seorang pakar konseling menjelaskan bahwa seorang pria adalah seorang yang justru lemah secara emosinya. Dibandingkan dengan seorang perempuan, ia adalah makhluk yang lebih mudah stress. Mungkin karena itulah Allah memberikan seorang penolong bagi seorang suami. Sekarang, bila persepsi ini dapat diterima, maka kita sebagai seorang istri tidak perlu merasa risih dan aneh ketika memuji suami kita. Selain itu, kita juga tidak perlu merasa risih karena mempelai perempuan dalam Kidung Agung pun memberikan pujian kepada suaminya. Bahkan pujiannya lebih heboh lagi.
Dalam Kidung Agung 5:10-16, mempelai perempuan melukiskan rupa kekasihnya kepada semua biduan dengan kata-kata pilihan yang sangat indah. Mungkin kata-kata pujiannya terasa asing bagi kita. Namun bila kita hidup pada zaman Salomo, maka kita tidak akan merasa asing dengan setiap kata pilihannya. Misalnya, kata “tiang-tiang marmar putih” (ay. 15) melambangkan tentang kaki yang sempurna seperti yang dimiliki oleh dewa di wilayah Babilonia. Inti dari semua ini adalah mempelai perempuan pun memuji sang suaminya. Dan, segala pujian yang dikatakannya dengan penuh semangat.
Suami kita memang adalah seorang pria yang terlihat kokoh. Tapi jangan lupa, kekokohannya itu hanyalah bersifat fisik. Secara emosi, ia adalah makhluk yang lemah. Sebab itu, ia tetap membutuhkan dukungan emosi; salah satunya dengan memberikan pujian baginya. Pujilah keberaniannya, kerajinan kerjanya, kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, dan seterusnya. Dan para suami, hargailah pujian itu!
Lebih banyaklah memuji ketimbang mengritiknya!
No comments:
Post a Comment