Friday, March 30, 2007

DI BAWAH BAYANG-BAYANG TRAUMA (7)

III. Di Balik Pertanyaan Teologis

Salah seorang wanita korban pemerkosaan Mei 1998 akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Tapi sebelumnya ia sempat menanyakan sesuatu kepada teman Kristennya, “Di manakah Allah pada waktu itu?” Pertanyaan wanita ini adalah salah satu bentuk dari pertanyaan-pertanyaan tentang Allah yang diajukan oleh seorang yang mengalami trauma. Tidak hanya orang Kristen, bahkan orang non-Kristen pun sangat mungkin menanyakan berbagai pertanyaan tentang Allah. Satu contoh lagi dari seorang bintang film terkenal, Jackie Chan. Saya mendengar kabar bahwa sewaktu Chan ke Aceh untuk menengok korban-korban tsunami, ia berkomentar, “Peristiwa ini telah membuktikan bahwa Allah tidak ada.” Cukup mengejutkan. Namun, saya menduga bahwa komentar Chan dapat mewakili isi hati dari sebagian korban tsunami yang sangat traumatis itu. Mau tidak mau pertanyaan-pertanyaan seperti demikian adalah hal yang cukup sering diajukan oleh orang-orang yang mengalami trauma.


Di mata para teolog Kristen, isu mengenai Allah dan penderitaan manusia (spt. peristiwa traumatis) adalah isu yang cukup sulit untuk dipecahkan. Banyak sekali pandangan yang muncul ke medan perdebetan teologis dari abad ke abad demi menyelesaikan isu tersebut. Seorang teolog John M. Frame akan membantu kita untuk melongok secara sekilas mengenai beberapa pandangan tersebut.[1] Ada beberapa pandangan yang dapat dipelajari dari apa yang telah dijabarkan oleh Frame, antara lain:

1. Kebaikan yang berkurang
Pandangan ini dipegang oleh bapa gereja Agustinus. Ia menganggap bahwa kejahatan tidak berada dalam posisi yang bersebrangan dengan kebaikan. Sebaliknya, kejahatan hanyalah merupakan bentuk dari kurangnya kebaikan. Lantas siapakah yang bertanggungjawab atas kurangnya kebaikan? Manusia itu sendiri. Dengan kata lain, Allah tidak bertanggungjawab atas kurangnya kebaikan itu meski Ia menciptakan semua manusia.

2. Allah yang kurang maha kuasa
Allah tetap berkuasa melakukan banyak hal, namun Ia tidak dapat melakukan semua hal. Contohnya, Ia menciptakan manusia dengan kehendak bebas, namun Ia tidak dapat membatasi kehendak bebas manusia itu. Atau dengan kata lain, sebuah kehendak baru dikatakan bebas bila ia tidak dibatasi oleh apapun, termasuk Allah. Pandangan seperti ini, salah satunya, dipegang oleh Harold Kushner yang tertuang dalam bukunya When Bad Things Happen to Good People (Ketika Hal Buruk Terjadi pada Orang yang Baik). Sebagai catatan, Kushner mengeluarkan buku ini setelah ia kehilangan satu anggota keluarganya.

3. Pembentukan karakter
Pandangan ini menganggap bahwa penderitaan itu ada agar manusia dapat mencapai kedewasaan moral atau rohani. C.S. Lewis, seorang teolog jebolan Cambridge University, kemungkinan besar berada dalam pandangan ini. Ia mengatakan bahwa penderitaan merupakan megafon Allah untuk manusia. Allah seringkali menyampaikan pesan-Nya melalui penderitaan.

4. Penyebab tak langsung
Pandangan ini meyakini bahwa Allah bukanlah penyebab langsung dari kejahatan atau penderitaan manusia. Sebagai contoh: Allah adalah penyebab paling utama sebuah buku, namun Ia bukanlah pengarangnya. Sebab itu, kesalahan yang terjadi dalam buku adalah sepenuhnya tanggungjawab pengarang itu.

Masih banyak lagi pandangan dari para teolog mengenai penderitaan manusia. Dan, setiap pandangan memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Apa yang menjadi pandangan Anda mengenai isu ini? Saya pribadi juga memiliki pandangan. Tapi tunggu tanggal mainnya!

[1] Lih. Apologetics to the Glory of God: An Introduction (New Jersey: P&R, 1994), 155-169.

No comments: