I. BERKENALAN DENGAN TRAUMA
Rabu, 7 Maret 2007, Indonesia kembali berduka. Sungguh tak disangka, pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 200 mengalami kecelakaan. Tak disangka karena ada kepercayaan yang dipeluk oleh sebagian besar anak bangsa Indonesia, yaitu: Garuda adalah pesawat paling aman. Tapi kenyataan dan kepercayaan ternyata berlainan; musibah pun terjadi. Sebagian orang meninggal dengan mengenaskan. Mereka terpanggang hidup-hidup dalam kebakaran pesawat yang mencapai 600 derajat celcius. Sisanya memang selamat, meski ada yang sedikit terluka. Namun siapa yang bisa memastikan bahwa mereka yang selamat tidak mengalami trauma? Kapten Marwoto Komar adalah salah satu orang yang mengalami trauma. Ia sangat shock dengan kejadian itu. Beberapa kali dan beberapa hari ia ditanya oleh pihak kepolisian soal peristiwa nahas itu, namun ia tidak dapat menjawab, bahkan kadang ia menangis.
Sekarang pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan trauma itu sendiri? Seorang konselor Kristen, Anthony Yeo, menjelaskan trauma sebagai sebuah pengalaman negatif yang diakibatkan oleh insiden atau peristiwa yang dialami secara tak terduga, sangat kuat, dan tak terkuasai.[1] Dari definisi yang diberikan olehnya, kita dapat menelusuri beberapa sifat dari peristiwa yang menghasilkan trauma pada seseorang. Memahami sifat-sifat tersebut akan membantu kita untuk merespons terhadap pengalaman traumatis, baik yang dialami oleh kita maupun orang di sekitar kita.
Peristiwa yang Tak Terduga
Musibah kecelakaan pesawat Garuda pada tanggal 7 Maret 2007 tidak pernah diduga oleh para penumpang dan bahkan oleh pilotnya sendiri. Ia datang begitu saja, tanpa permisi. Akibatnya, orang yang ditinggal oleh para korban ataupun orang yang selamat yang menyaksikan kecelakaan tersebut dapat mengalami trauma. Demikian pula dengan kecelakaan pesawat Lion Air pada tahun 2004 di kota Surakarta. Siapakah yang pernah menyangka bila pesawat itu nantinya gagal mendarat? Dan siapakah yang pernah berpikir bahwa kecelakaan itu akan merenggut sekian banyak orang? Peristiwa itu datang begitu saja, tanpa permisi. Akibatnya, banyak orang mengalami trauma.
Banyak sekali kita dan orang-orang di sekitar kita yang mengalami peristiwa tak terduga yang mengakibatkan pengalaman trauma bagi orang tersebut. Ada orang tua yang mengalami trauma karena ia pernah mendapatkan hasil keputusan tidak naik kelas bagi sang anaknya. Ada orang yang mengalami trauma karena ia pernah ditabrak kendaraan sewaktu menyebrang jalan. Ada orang yang mengalami trauma karena ia pernah melakukan sesuatu yang mengakibatkan pada kematian seseorang yang ia kasihi. Ada orang yang mengalami trauma karena ia pernah ditipu oleh seseorang. Ada orang yang mengalami trauma karena ia pernah dipecat dari pekerjaannya. Semua kejadian itu bersifat tak terduga bagi orang yang mengalaminya.
Patrick, seorang pemuda berusia 29 tahun, tiba-tiba divonis dokter bahwa ia sedang mengidap penyakit kanker paru-paru yang ganas. Jangka waktu hidupnya sudah tidak lama lagi. Dokter memperkirakan bahwa dua bulan lagi adalah waktu hidupnya yang paling lama. Mendengar hal ini, Patrick sangat terkejut. Ia tidak terima dengan vonis tersebut. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke dokter lain untuk meyakinkan dirinya. Namun semua dokter yang ia kunjungi berkata hal yang sama. Patrick kemudian menjalani hari-hari penantiannya dengan perasaan marah, kecewa terhadap dirinya dan Tuhan, sedih, dan lain-lainnya. Hidupnya pun terganggu. Pola makan menjadi tak menentu. Tidur menjadi tidak nyenyak karena ia selalu teringat kata-kata vonis dari dokternya. Patrick benar-benar trauma dengan vonis tersebut.
Dari kasus yang dialami oleh Patrick, kita kembali melihat bahwa salah satu unsur dalam pengalaman traumatis adalah adanya unsur kejutan atau peristiwa yang tak terduga. Patrick mungkin tahu apa penyebab dari kanker paru-parunya karena ia adalah perokok berat sejak usia dini. Tapi itu tidak berarti bahwa Patrick dapat menduga vonis maut yang dijatuhkan oleh dokternya. Peristiwa vonis yang tak terduga itulah yang membuat pengalaman trauma baginya. Refleksi bagi kita adalah: adakah kita mengalami peristiwa-peristiwa yang tak terduga yang dapat menimbulkan pengalaman trauma? Bila ada, peristiwa-peristiwa apa itu? Identifikasikan dengan jelas dalam pikiran Anda.
Esok kita akan menyentuh pada peristiwa yang bersifat sangat kuat. Apa itu? Lihat saja besok!
[1] Lih. On Wings of Storm (Singapore: Armour, 2006), 10.
Rabu, 7 Maret 2007, Indonesia kembali berduka. Sungguh tak disangka, pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 200 mengalami kecelakaan. Tak disangka karena ada kepercayaan yang dipeluk oleh sebagian besar anak bangsa Indonesia, yaitu: Garuda adalah pesawat paling aman. Tapi kenyataan dan kepercayaan ternyata berlainan; musibah pun terjadi. Sebagian orang meninggal dengan mengenaskan. Mereka terpanggang hidup-hidup dalam kebakaran pesawat yang mencapai 600 derajat celcius. Sisanya memang selamat, meski ada yang sedikit terluka. Namun siapa yang bisa memastikan bahwa mereka yang selamat tidak mengalami trauma? Kapten Marwoto Komar adalah salah satu orang yang mengalami trauma. Ia sangat shock dengan kejadian itu. Beberapa kali dan beberapa hari ia ditanya oleh pihak kepolisian soal peristiwa nahas itu, namun ia tidak dapat menjawab, bahkan kadang ia menangis.
Sekarang pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan trauma itu sendiri? Seorang konselor Kristen, Anthony Yeo, menjelaskan trauma sebagai sebuah pengalaman negatif yang diakibatkan oleh insiden atau peristiwa yang dialami secara tak terduga, sangat kuat, dan tak terkuasai.[1] Dari definisi yang diberikan olehnya, kita dapat menelusuri beberapa sifat dari peristiwa yang menghasilkan trauma pada seseorang. Memahami sifat-sifat tersebut akan membantu kita untuk merespons terhadap pengalaman traumatis, baik yang dialami oleh kita maupun orang di sekitar kita.
Peristiwa yang Tak Terduga
Musibah kecelakaan pesawat Garuda pada tanggal 7 Maret 2007 tidak pernah diduga oleh para penumpang dan bahkan oleh pilotnya sendiri. Ia datang begitu saja, tanpa permisi. Akibatnya, orang yang ditinggal oleh para korban ataupun orang yang selamat yang menyaksikan kecelakaan tersebut dapat mengalami trauma. Demikian pula dengan kecelakaan pesawat Lion Air pada tahun 2004 di kota Surakarta. Siapakah yang pernah menyangka bila pesawat itu nantinya gagal mendarat? Dan siapakah yang pernah berpikir bahwa kecelakaan itu akan merenggut sekian banyak orang? Peristiwa itu datang begitu saja, tanpa permisi. Akibatnya, banyak orang mengalami trauma.
Banyak sekali kita dan orang-orang di sekitar kita yang mengalami peristiwa tak terduga yang mengakibatkan pengalaman trauma bagi orang tersebut. Ada orang tua yang mengalami trauma karena ia pernah mendapatkan hasil keputusan tidak naik kelas bagi sang anaknya. Ada orang yang mengalami trauma karena ia pernah ditabrak kendaraan sewaktu menyebrang jalan. Ada orang yang mengalami trauma karena ia pernah melakukan sesuatu yang mengakibatkan pada kematian seseorang yang ia kasihi. Ada orang yang mengalami trauma karena ia pernah ditipu oleh seseorang. Ada orang yang mengalami trauma karena ia pernah dipecat dari pekerjaannya. Semua kejadian itu bersifat tak terduga bagi orang yang mengalaminya.
Patrick, seorang pemuda berusia 29 tahun, tiba-tiba divonis dokter bahwa ia sedang mengidap penyakit kanker paru-paru yang ganas. Jangka waktu hidupnya sudah tidak lama lagi. Dokter memperkirakan bahwa dua bulan lagi adalah waktu hidupnya yang paling lama. Mendengar hal ini, Patrick sangat terkejut. Ia tidak terima dengan vonis tersebut. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke dokter lain untuk meyakinkan dirinya. Namun semua dokter yang ia kunjungi berkata hal yang sama. Patrick kemudian menjalani hari-hari penantiannya dengan perasaan marah, kecewa terhadap dirinya dan Tuhan, sedih, dan lain-lainnya. Hidupnya pun terganggu. Pola makan menjadi tak menentu. Tidur menjadi tidak nyenyak karena ia selalu teringat kata-kata vonis dari dokternya. Patrick benar-benar trauma dengan vonis tersebut.
Dari kasus yang dialami oleh Patrick, kita kembali melihat bahwa salah satu unsur dalam pengalaman traumatis adalah adanya unsur kejutan atau peristiwa yang tak terduga. Patrick mungkin tahu apa penyebab dari kanker paru-parunya karena ia adalah perokok berat sejak usia dini. Tapi itu tidak berarti bahwa Patrick dapat menduga vonis maut yang dijatuhkan oleh dokternya. Peristiwa vonis yang tak terduga itulah yang membuat pengalaman trauma baginya. Refleksi bagi kita adalah: adakah kita mengalami peristiwa-peristiwa yang tak terduga yang dapat menimbulkan pengalaman trauma? Bila ada, peristiwa-peristiwa apa itu? Identifikasikan dengan jelas dalam pikiran Anda.
Esok kita akan menyentuh pada peristiwa yang bersifat sangat kuat. Apa itu? Lihat saja besok!
[1] Lih. On Wings of Storm (Singapore: Armour, 2006), 10.
No comments:
Post a Comment