Kidung Agung 2
“Dengarlah! Kekasihku! Lihatlah, ia datang . . .” (Kid. 1:8)
Sambutan merupakan ujung tombak dari sebuah relasi yang baik. Meski ada orang yang tidak suka basa-basi, tapi toh ia membutuhkan sebuah sambutan. Apa sebabnya? Karena setiap orang akan senang bila ia merasa diterima oleh lingkungannya. Dengan adanya sambutan, maka ia akan merasa diterima oleh lingkungan yang menyambutnya. Dan bila ia merasa diterima, maka ia akan merasa aman dan nyaman dalam lingkungan tersebut. Sebab itu, semua orang pasti senang bila dirinya menerima sebuah sambutan.
“Dengarlah! Kekasihku! Lihatlah, ia datang . . .” (Kid. 1:8)
Sambutan merupakan ujung tombak dari sebuah relasi yang baik. Meski ada orang yang tidak suka basa-basi, tapi toh ia membutuhkan sebuah sambutan. Apa sebabnya? Karena setiap orang akan senang bila ia merasa diterima oleh lingkungannya. Dengan adanya sambutan, maka ia akan merasa diterima oleh lingkungan yang menyambutnya. Dan bila ia merasa diterima, maka ia akan merasa aman dan nyaman dalam lingkungan tersebut. Sebab itu, semua orang pasti senang bila dirinya menerima sebuah sambutan.
Tampaknya mempelai perempuan yang dikisahkan dalam Kidung Agung juga paham akan pentingnya sebuah sambutan. Hal ini terlihat dari ekspresi penyambutan yang dilayangkan ketika sang suami itu datang. Saya membayangkan bahwa mempelai perempuan tersebut sedang menanti kedatangan sang suami pujaan hatinya. Ia lalu duduk di pekarangan luar untuk menunggu. Di dalam pikirannya hanya terlukis sebuah wajah suami yang ia rindukan. Tak sabar ia menanti dan melihat wajah aslinya. Sesekali ia berdiri untuk memeriksa kedatangan sang suami dari kejauhan.
Tiba-tiba, bayangan orang mulai terlihat di pandangan matanya. Siapakah dia? Dia adalah sang suami yang ia nanti-nantikan. Tak sabar lagi, ia langsug berteriak-teriak kepada budak-budak perempuannya, “Dengarlah! Kekasihku! Lihatlah, ia datang . . .” Dari ayat 8 dan 9 kita sudah bisa merasakan bagaimana mempelai perempuan itu melayangkan sambutannya kepada sang suami. Sangat antusias, bukan? Sebab itu, sang suami pun turut melonjak kegirangan. Kepada sang istri yang telah menyambutnya, suami itu tersenyum dan berkata, “Bangunlah manisku, jelitaku marilah!” Ah, siapa sih yang tidak suka disambut?
Dalam biduk rumah tangga, sambutan bukanlah sikap yang sudah kadaluwarsa. Ia tetap dibutuhkan. Bahkan, ia justru merupakan ujung tombak dari sebuah relasi pernikahan yang baik. Sebab itu, kita tidak boleh meremehkan hal yang satu ini meski kita sudah menikah dan memiliki anak-anak. Coba kita tingkatkan kembali sikap positif seperti ini. Layangkanlah sambutan itu kepada pasangan kita dengan antusias. Dengan cara apa? Apa saja. Bisa jadi dengan mengucapkan kata-kata manis, membawakan tas pekerjaannya, menyiapkan makanan atau minuman segar, dan seterusnya.
Selama pasangan kita adalah manusia, maka ia pasti butuh sambutan. Kita pun juga!
No comments:
Post a Comment