Kidung Agung 4 dan 6
“Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh cantik engkau!” (Kid. 4:1)
Coba hitung, hai para suami. Berapa kali kita memuji istri dalam sehari? Atau berapa kali kita memuji istri dalam seminggu ini? Atau berapa kali kita memuji istri dalam sebulan ini? Ah kalau terlalu sulit, mari kita ubah pertanyaannya. Kapan terakhir kalinya kita memuji istri kita? Mungkin ketika membaca pertanyaan ini, para suami mulai gelisah karena merasa sikap ini terlalu kekanak-kanakan. Tak mau kalah, suami yang sudah beruban pun merasa bahwa hal itu dibutuhkan hanya untuk orang yang sedang berpacaran atau orang yang baru menikah; kalau sudah tua, maka pujian kepada sang istri diberikan seperlunya saja.
Menanggapi kenyataan umum di atas, seorang pakar konseling pernikahan pernah menuturkan bahwa pasangan kita itu bagaikan sebuah tanaman yang perlu dipelihara, disiram, diberi pupuk, dan diberi sinar matahari. Intinya, sebuah tanaman pasti memerlukan perawatan. Bila tidak dirawat, maka tanaman itu bisa menjadi layu dan akhirnya mati. Demikian pula dengan pasangan. Ia pun perlu “dirawat” agar kasihnya kepada kita makin bertumbuh dengan baik sehingga pernikahan yang sehat akan semakin terwujud. Bagaimana cara “merawat” istri kita? Berikanlah pujian. Itu salah satu caranya.
Coba lihat puisi cinta Kidung Agung 4 dan 6. Bacalah perlahan-lahan. Di sana kita akan menemukan seantero pujian kepada mempelai perempuan. Misalnya, kata-kata “lehermu seperti menara Daud . . . seribu perisai tergantung padanya . . .” (ay. 4: 4). Kata “menara Daud” menunjukkan leher yang tinggi dari mempelai perempuan. Pada waktu itu, seorang wanita yang memiliki leher yang tinggi akan dianggap cantik. Sedangkan, kata “seribu perisai” menunjukkan tentang kalung emas dan mutiara yang mendekorasi leher yang indah itu. Misalnya lagi, kata “gadis Sulam” (ay. 6: 13). Kata “Sulam” dalam ayat itu sebenarnya berarti “orang yang sempurna”. Ini berarti bahwa sang mempelai laki-laki memuji istrinya dengan menganggap bahwa sang istri adalah orang yang sempurna bagi dirinya.
Para suami, belajarlah dari Kidung Agung 4 dan 6. “Rawatlah” istri kita dengan memberikan pujian. Toh, tidak ada ruginya, justru banyak untungnya. Sebab itu, mulai sekarang, berikan pujian padanya setidaknya sehari sekali. Pujilah masakannya, pujilah kecantikannya, pujilah kesetiaannya, pujilah caranya mengasuh anak-anak, pujilah caranya merapikan dan menata rumah, pujilah dan pujilah! Dan para istri, hargailah pujian itu!
“Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh cantik engkau!” (Kid. 4:1)
Coba hitung, hai para suami. Berapa kali kita memuji istri dalam sehari? Atau berapa kali kita memuji istri dalam seminggu ini? Atau berapa kali kita memuji istri dalam sebulan ini? Ah kalau terlalu sulit, mari kita ubah pertanyaannya. Kapan terakhir kalinya kita memuji istri kita? Mungkin ketika membaca pertanyaan ini, para suami mulai gelisah karena merasa sikap ini terlalu kekanak-kanakan. Tak mau kalah, suami yang sudah beruban pun merasa bahwa hal itu dibutuhkan hanya untuk orang yang sedang berpacaran atau orang yang baru menikah; kalau sudah tua, maka pujian kepada sang istri diberikan seperlunya saja.
Menanggapi kenyataan umum di atas, seorang pakar konseling pernikahan pernah menuturkan bahwa pasangan kita itu bagaikan sebuah tanaman yang perlu dipelihara, disiram, diberi pupuk, dan diberi sinar matahari. Intinya, sebuah tanaman pasti memerlukan perawatan. Bila tidak dirawat, maka tanaman itu bisa menjadi layu dan akhirnya mati. Demikian pula dengan pasangan. Ia pun perlu “dirawat” agar kasihnya kepada kita makin bertumbuh dengan baik sehingga pernikahan yang sehat akan semakin terwujud. Bagaimana cara “merawat” istri kita? Berikanlah pujian. Itu salah satu caranya.
Coba lihat puisi cinta Kidung Agung 4 dan 6. Bacalah perlahan-lahan. Di sana kita akan menemukan seantero pujian kepada mempelai perempuan. Misalnya, kata-kata “lehermu seperti menara Daud . . . seribu perisai tergantung padanya . . .” (ay. 4: 4). Kata “menara Daud” menunjukkan leher yang tinggi dari mempelai perempuan. Pada waktu itu, seorang wanita yang memiliki leher yang tinggi akan dianggap cantik. Sedangkan, kata “seribu perisai” menunjukkan tentang kalung emas dan mutiara yang mendekorasi leher yang indah itu. Misalnya lagi, kata “gadis Sulam” (ay. 6: 13). Kata “Sulam” dalam ayat itu sebenarnya berarti “orang yang sempurna”. Ini berarti bahwa sang mempelai laki-laki memuji istrinya dengan menganggap bahwa sang istri adalah orang yang sempurna bagi dirinya.
Para suami, belajarlah dari Kidung Agung 4 dan 6. “Rawatlah” istri kita dengan memberikan pujian. Toh, tidak ada ruginya, justru banyak untungnya. Sebab itu, mulai sekarang, berikan pujian padanya setidaknya sehari sekali. Pujilah masakannya, pujilah kecantikannya, pujilah kesetiaannya, pujilah caranya mengasuh anak-anak, pujilah caranya merapikan dan menata rumah, pujilah dan pujilah! Dan para istri, hargailah pujian itu!
Pujilah dia sekali sehari! Nikmati hasilnya!
No comments:
Post a Comment