Wednesday, November 15, 2006
Announcement
I can't update my blog until January 3 due to my vacation to Indonesia. I apologize for this. But if I have a chance to update, I'll do it again. I hope you are doing well and may God bless you. See you again.
Friday, November 10, 2006
HIDUP UNTUK BERJUANG
“. . . apakah engkau mengasihi Aku? . . .”
The life must go on, demikianlah orang Barat mengatakan. Kata-kata tersebut memiliki arti, yakni bahwa hidup harus terus berlanjut. Saya tidak tahu dengan pendapat Anda, tetapi yang pasti saya setuju dengan perkataan yang optimis tersebut. Pasalnya, kita tidak akan mampu bertahan hidup dalam dunia yang “keras” tanpa optimisme tadi. Apapun caranya, kita harus berjuang untuk hidup. Tapi tunggu dulu! Boleh saja kita punya semangat berjuang untuk hidup, namun jangan lupa, ada suatu hal yang jauh lebih mulia daripada sekadar berjuang untuk hidup. Apa itu? Yaitu, HIDUP UNTUK BERJUANG!
Okay, tapi berjuang demi apa? Berjuang demi kemuliaan Kristus, itu maksudnya. Prinsip inilah yang juga diajarkan oleh Yesus kepada Petrus. Agaknya, Yesus sudah mencium gelagat Petrus yang salah arah. Salah arah apanya? Salah arah tujuan hidupnya. Petrus mengarahkan dirinya demi pekerjaannya sebagai penjala ikan (ay. 1-14). Sebab itu, dalam perjumpaan-Nya dengan Petrus, Yesus mengingatkan kembali akan arah perjuangan hidup yang seharusnya. Dengan lembut Yesus mengingatkan Petrus dengan bertanya, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Tepatnya sebanyak tiga kali Yesus mengulangi pertanyaan yang sama (ay. 15-17). Untuk apa? Supaya Petrus kembali tergugah bahwa yang menjadi pusat perhatian bukanlah dirinya, melainkan Yesus. Apapun yang dipikirkan, yang dirasakan, dan yang diperbuat oleh Petrus harus diarahkan demi Kristus. Inilah maksudnya hidup untuk berjuang.
Susah tidak? Jelas susah! Inilah perjuangan! Hidup untuk berjuang demi Kristus tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak godaan yang menawarkan kenikmatan dunia. Banyak tantangan yang menjepit agar kita segera berkawan dengan dunia. Banyak cobaan yang membuat kita berjuang demi keamanan diri. Dan memang benar, banyak orang Kristen sudah terseret dalam lingkaran kenikmatan dunia dan dirinya. Banyak orang Kristen menjadi kompromi dengan dosa; dan celakanya, mereka sudah kehilangan rasa bersalah. Sekarang, bila kita sedang terseret, maka ingatlah bahwa bila kita berjuang hanya untuk hidup, maka apa yang kita dapatkan setelah kita mati? Tetapi bila kita hidup untuk berjuang demi Kristus, maka kelak kita mati sambil menerima mahkota kehidupan.
Kita ada bukan karena kebetulan. Kita ada karena untuk Dia. Mari kita hidup untuk berjuang demi Dia!
KASIH MEMBAWA KEPADA PENGERTIAN
“. . . Aku telah melihat Tuhan! . . .” (Yoh. 20:18)
Pernah seorang pelukis junior membawa karyanya berupa gambar Yesus kepada Dore, pelukis senior, untuk diberikan penilaian. Singkat cerita, akhirnya, Dore memberikan penilaian dalam satu kalimat saja. Kalimatnya berbunyi, “Kau tidak mencintai Dia, kau dapat melukis Dia lebih baik lagi jika kau mencintai-Nya.” Apa maksudnya? Dore hendak menjelaskan bahwa gambar Yesus yang baik harus terlihat kepribadian-Nya pula, bukan asal menggambar wajah-Nya. Ia harus mengerti tentang Yesus. Akan tetapi ia tidak mungkin mengerti tentang Yesus, bila ia tidak mencintai-Nya. Dibutuhkan kasih untuk membawa seseorang kepada pengertian.
Prinsip ini juga berlaku kepada seorang Maria Magdalena. Dalam perikop tersebut, kita melihat bahwa pagi-pagi benar (masih gelap) Maria sudah pergi ke kuburan Yesus. Ini jelas suatu hal yang “abnormal” di kalangan dunia Timur. Betapa tidak! Seorang wanita yang “baik-baik” tidak pantas untuk berjalan sendirian ketika hari masih gelap. Belum lagi, tempat yang Maria kunjungi bukanlah sebuah tempat yang biasa-biasa, tetapi tempat itu adalah kuburan. Aneh bin ajaib, bukan? Kalau begitu, ada apa gerangan? Bila kita cermati ayat 11-18, maka kita akan menemukan jawabannya. Karena Maria sangat mengasihi Yesus, maka Maria melakukan hal yang “abnormal” itu.
Tapi apa hasilnya? Kasihnya kepada Yesus ternyata tidak membuat dia menjadi tidak waras, namun justru membawa dia kepada pengertian yang luar biasa. Pengertian bahwa Yesus telah bangkit (ay. 16-18). Pengertian inilah yang membuat dia semakin mengenal siapa Yesus yang sebenarnya. Dulu ia mengerti tentang Yesus sebagai pribadi yang dapat mati selamanya, tetapi sekarang ia mengerti tentang Yesus sebagai pribadi yang tidak dapat binasa selamanya. Sekarang, kita kembali melihat bahwa kasih kepada Yesus ternyata membawa pengertian yang makin dalam tentang Yesus.
Prinsip ini tidak hanya berlaku kepada Maria saja, tetapi juga kepada kita. Jika kita kurang mengasihi Yesus, maka kita pasti memiliki pengertian tentang Yesus yang dangkal. Kenapa demikian? Karena secara otomatis kita menjadi orang Kristen yang tidak antusias dengan hal-hal rohani (seperti: mendengarkan firman, berdoa, saat teduh, mendengarkan lagu rohani, dan seterusnya). Akibatnya, pengetahuan-pengetahuan tentang Yesus tidak bertambah. Nah, saat itulah pengertian kita tentang Yesus semakin minim. Jadi, bila kita ingin mengerti tentang Yesus lebih dalam, maka benahi dulu kasih kita kepada Yesus.
Kasih yang luar biasa akan membuahkan pengertian yang luar biasa
JANGAN KORBANKAN KEBENARAN DEMI KEAMANAN!
“Akhirnya Pilatus menyerahkan Yesus kepada mereka untuk disalibkan” (Yoh. 19:16a)
Martin Luther, seorang reformis abad 15, pernah berkata: “Lebih baik langit dan bumi bercampur-aduk menjadi satu daripada satu titik kebenaran binasa.” Perkataan yang bernadakan heroik ini tidak sekadar menjadi sebuah kata-kata mutiara saja. Tapi perkataan ini benar-benar dilakukannya. Walaupun ia harus ditekan dari segala pihak, termasuk pihak gereja Katolik, tetapi ia tetap mempertahankan kebenaran yang bersumber dari Alkitab. Luther tidak mengorbankan kebenaran demi keamanan dirinya.
Berbeda halnya dengan Pontius Pilatus, sang gubernur Romawi itu. Pontius Pilatus sedang diperhadapkan dengan kasus persidangan Yesus Kristus. Setelah diinterogasi sekian waktu, sebenarnya Pilatus sudah berani menyimpulkan bahwa Yesus tidak bersalah (Yoh. 18:38b). Bisa jadi Pilatus telah berusaha sekuat mungkin untuk menemukan kesalahan-Nya, tetapi akhirnya Pilatus harus mengaku bahwa Yesus adalah orang yang bersih. Pilatus tahu bahwa Yesus adalah seorang yang tidak melanggar hukum sama sekali.
Namun apa kenyataannya? Ketika diperhadapkan dengan situasi dan kondisi yang mengancam dirinya, maka Pilatus mengkhianati kebenaran yang sudah ia ketahui. Pilatus lebih memilih keamanan bagi dirinya ketimbang menjunjung tinggi sebuah kebenaran. Alkitab mencatat bahwa Pilatus sangat ketakutan menghadapi teriakan-teriakan massa yang mendesak Pilatus untuk membunuh Yesus (ay. 8). Gara-gara ketakutannya, Pilatus membuang kebenaran dalam “sampah”. Ia mengorbankan kebenaran demi keamanan dirinya.
Kita pun sering menjadi para Pilatus dalam dunia ini. Kita sudah tahu kebenaran-kebenaran yang harus dilakukan. Tapi berapa kali kita berani melakukan kebenaran itu? Sedikit, bukan? Hal-hal yang tidak benar justru kita lakukan agar zona keamanan kita tidak terganggu. Kita sering berdalih bahwa semua orang Kristen melakukan hal itu. Atau kita mulai berani berkata, “Kalau aku lakukan dosa yang ini, toh juga Tuhan akan ampuni aku.” Jika kita masih melakukan hal ini, maka satu hal yang peru kita ingat, bahwa Tuhan tidak pernah kompromi dengan ketidakbenaran. Waspadalah!
Lebih baik langit dan bumi bercampur-aduk menjadi satu daripada satu titik kebenaran binasa (Martin Luther)
PEMIMPIN YANG BERKORBAN
“Telah Kukatakan kepadamu, Akulah Dia. Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi” (Yoh. 18:8)
Dalam film King Arthur dikisahkan tentang dua kubu yang sedang bertempur. Kubu raja Arthur mempertahankan bentengnya dari serangan kubu musuhnya. Uniknya, kisah tersebut mengandung sebuah pelajaran penting tentang kepemimpinan. Bagi pihak musuh, seorang pemimpin haruslah berdiri jauh-jauh dari medan pertempuran. Ia harus mengamati sambil mengamankan dirinya. Beda halnya dengan pihak raja Arthur. Baginya, seorang pemimpin haruslah berkorban. Sesudah ia mengamati posisi musuhnya, maka ia pun turun tangan untuk membantu para prajuritnya dalam berperang. Ia turut diserang dan terluka. Tapi inilah yang namanya pengorbanan seorang pemimpin.
Sama halnya dengan Yesus. Ia adalah seorang pemimpin yang berkorban. Ia bukan seorang pemimpin yang mencari keamanan dan kenyamanan bagi diri-Nya saja. Buktinya sangat jelas terlihat ketika Yesus berada di taman Getsemani. Ketika para serdadu melihat gerombolan para murid Yesus, maka mereka langsung mencari Yesus. Lalu apa yang Yesus lakukan? Berkelit? Bersembunyi? Yang Yesus lakukan adalah tampil ke depan mereka dan berkata, “Akulah Dia”. Tapi perkataan-Nya tidak berhenti sampai di situ saja. Ia melanjutkan, “. . . Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka (para murid) ini pergi.” Lho berarti Yesus bakal ditinggal sendirian? Ya benar. Yesus tahu bahwa perkataan-Nya dapat membuat diri-Nya ditinggal sendirian oleh para murid. Tapi itu tak jadi soal asalkan para murid selamat dari tangan serdadu. Inilah pengorbanan dari seorang pemimpin sorga dan pemimpin dunia.
Adakah kita adalah seorang pemimpin? Entah di gereja, di tempat usaha, keluarga. Tapi bukan itu pertanyaan pentingnya. Apakah kita adalah seorang pemimpin yang berkorban?, itu pertanyaan pentingnya. Memang teladan kepimimpinan Yesus kelihatannya nyentrik, masakan seorang pemimpin harus berkorban. Bukankah seorang pembantu yang lebih pantas berkorban? Memang meski terlihat nyentrik, tapi sebenarnya ide ini merupakan sebuah ide kepemimpinan yang cemerlang. Bila tidak percaya, buktikan saja ide yang satu ini!
Buatlah anak buah Anda rela berkorban melalui kepemimpinan Anda yang berkorban
KEPRIHATINAN YESUS ATAS JEMAAT-NYA
“Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu . . . supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita” (Yoh. 17:11)
Agaknya, motto “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” sudah tidak asing lagi bagi kita. Tidak lain dan tidak bukan, motto tersebut merupakan sebuah himbauan agar seluruh anak bangsa Indonesia dapat bersatu padu. Mengapa mesti dihimbau? Salah satunya, karena pemerintahan Indonesia menyadari akan aneka ragam suku, agama, ras, kebudayaan dalam tubuh bangsa Indonesia. Bila mereka tidak dapat dipersatukan, maka bangsa Indonesia dapat mengalami perang saudara. Dan bukankah hal ini sudah dialami oleh bangsa Indonesia? Memprihatinkan!
Keprihatinan ini pulalah yang pernah dialami oleh Yesus. Tapi, buktinya apa? Coba simak baik-baik perkataan apa yang diulangi dalam doa syafaat Yesus! “Aku berdoa . . . supaya mereka menjadi satu,” demikianlah perkataan yang diulangi dalam doa syafaat-Nya. Empat kali kata-kata tersebut terucapkan (ay. 11, 21,22,23). Tidak biasanya Yesus mengulangi kata-kata dalam pengajaran-Nya. Pasti ada sebuah maksud penting yang tidak boleh kita lewatkan. Jadi, ada apa gerangan?
Pengulangan tersebut menunjukkan keprihatinan Yesus kalau-kalau para murid tidak menjadi satu. Rupanya, Yesus sudah mencium akan tanda-tanda yang kurang baik dari para murid-Nya. Sewaktu dalam perjalanan ke Kapernaum, para murid bertikai. Karena apa? Karena mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka (Mrk. 9:33-37). Setelah itu mereka masih belum juga kapok. Tidak lama kemudian terjadi lagi pertikaian untuk memperebutkan posisi untuk duduk di sebelah Yesus (Mrk. 10:35-45). Inilah alasan keprihatinan Yesus yang terungkap dalam doa syafaat-Nya.
Jangan-jangan keprihatinan Yesus tetap terjadi hingga saat ini. Betapa tidak. Di gereja masih terdapat jemaat yang memecah-belah kesatuan gereja, entah disengaja atau tidak. Contohnya, bila ia sakit hati dengan anggota jemaat lain, maka ia mengajak seluruh geng keluarganya untuk bersama-sama memusuhinya. Bisa jadi, ia akan mengajak rekan-rekan lain untuk berpihak padanya. Lalu, sambil mencari teman yang dapat berpihak padanya, ia akan terus mengedarkan gosip. Bukankah ini merupakan usaha untuk memecah-belah kesatuan gereja? Sebab itu, renungkanlah, apakah saat ini kita sedang menambah keprihatinan Yesus?
Yesus menyatukan jemaat dengan kematian-Nya. Jangan kita membubarkannya!
KELUAR SEBAGAI PEMENANG
“Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu. Aku telah mengalahkan dunia” (Yoh. 16:33b)
Pernahkah Anda membayangkan seorang Mike Tyson (petinju kelas berat) menjadi ketakutan setelah melayangkan pukulan perdananya ke lawan? Bila hal ini terjadi, maka mungkin kita akan mengatakan bahwa dirinya adalah pengecut. Tetapi khayalan ini dapat menjadi cermin buat kehidupan kristiani kita. Acapkali dalam “ring pertandingan” kita sudah merasa kalah sebelum berjuang hingga titik darah penghabisan. Bila ada sedikit masalah, maka kita sudah ingin undur dari gereja dan diam mendekam di dalam rumah. Jika ini yang terjadi, maka kapan kita dapat keluar sebagai pemenang?
Pertanyaan di atas akan menggiring kita untuk merenungkan apakah kita mampu keluar sebagai pemenang. Apakah kita mampu keluar sebagai pemenang atas segala macam persoalan hidup? Bila kita bertanya kepada Tuhan mengenai hal ini, maka Ia akan menjawab, “Engkau mampu menang!” Tapi apa yang membuat kita menang? Maka Yesus melanjutkan perkataan-Nya, “Karena Aku telah mengalahkan dunia” (ay. 33). Jawaban inilah yang akan menjadi modal kita untuk menang atas segala macam permasalahan hidup di dunia ini.
Sebenarnya, perkataan “Aku telah mengalahkan dunia” hadir dalam sebuah peristiwa di mana Yesus akan segera disalibkan. Yesus tahu bahwa para murid-Nya akan ketakutan bila Yesus disalibkan. Karena itulah, Yesus meyakinkan akan siapa yang memegang kendali. Niscaya para murid akan melihat bahwa dunia memang dapat berbuat hal yang terburuk terhadap Yesus, namun dunia tidak dapat menaklukan Dia. Seakan-akan Yesus berkata, “Apapun yang terjadi pada-Ku, Aku tetap keluar sebagai pemenang!” Jaminan kemenangan-Nya ini akan menjadi modal kemenangan bagi para murid Yesus. Bila Yesus menang, maka para murid-Nya pun dapat menang.
Persoalan hidup tidak pernah menjadi kata akhir dalam hidup kita. Itulah kenyataan. Kita tidak perlu melarikan diri darinya. Bahkan sebaliknya, kita harus merangkulnya; bukan karena kita pasrah dan menyerah, tetapi justru untuk mengalahkannya! Mengubahnya untuk menjadi kemenangan bersama Yesus! Saya membayangkan bahwa hidup kita bak sinetron dalam layar televisi. Ada kisah di dalamnya. Tapi, akankah kisah itu berakhir dengan indah karena kita keluar sebagai pemenang atau berakhir dengan tragis karena kita mundur sebagai pengecut? Mau pilih mana?
“Tetapi dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita” (Roma 8:37)
JANGAN TAKUT UNTUK DIBENCI
“. . . kamu bukan dari dunia ini . . . sebab itulah dunia membenci kamu” (Yoh. 15:19)
Tahukah Anda mengapa si Cecep (nama samaran) sulit untuk menjadi orang Kristen? Dari sekian banyak alasan, saya kira salah satu alasannya adalah karena ia takut untuk dibenci orang lain. Ya maklum sih, ketika seorang menjadi orang Kristen tulen, maka ia harus berjuang untuk meninggalkan semua kebiasaan lamanya. Hal ini membuat Cecep takut dianggap sok kudus, tidak setia kawan dengan teman-teman lamanya, dan seterusnya. Baginya, adalah sebuah aib bila ia dibenci oleh orang lain, apalagi anggota keluarganya. Itulah mengapa Cecep sulit menjadi orang Kristen.
Sekarang pertanyaannya, apakah memang benar bahwa ketika seseorang menjadi orang Kristen tulen maka orang lain dapat membencinya? Sayangnya, jawabannya “Ya”. Tuhan Yesus pernah menjelaskan kepada para murid-Nya bahwa dunia pasti membenci mereka. Apa sebab? Pertama, karena mereka telah dipisahkan dari kehidupan duniawi, atau dalam bahasa lain, mereka bukan dari dunia lagi. Sebab itu, Tuhan berkata kepada mereka, “Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia . . . sebab itulah dunia membenci kamu” (ay. 19). Inilah kenyataan yang harus dihadapi bila ia mau menjadi orang Kristen tulen.
Sebab kedua, karena dunia telah membenci Kristus. Inilah akar kebencian orang dunia kepada para pengikut Kristus. Hal ini sangatlah masuk akal karena apabila seseorang membenci pemimpin tertentu, maka orang tersebut juga akan membenci para pengikut pemimpin itu. Itulah sebabnya, meski Kristus telah naik ke sorga, para rasul dan jemaat mula-mula tetap mengalami penganiayaan dari pihak-pihak yang membenci Kristus. Karena itu, Yesus mengingatkan kepada para murid-Nya, “Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu” (ay. 20).
Apa pikiran kita sebagai orang Kristen sekarang? Rugi menjadi orang Kristen? Percayalah, orang Kristen yang pesimis pasti akan gentar dan gemetar mendengar kenyataan yang dikatakan oleh Yesus. Tetapi orang Kristen yang optimis pasti akan maju tak gentar karena penjelasaan Yesus tadi telah membuatnya makin siap. Atas nama hidup dan mati bagi Kristus, maka orang Kristen yang optimis akan siap untuk dibenci di lingkungan dagangnya, di lingkungan anggota keluarganya yang belum percaya, di lingkungan masyarakat yang non-Kristen, dan lain-lain. Akhirnya, jangan takut untuk dibenci!
Mahkota kemuliaan pasti akan diberikan kepada barangsiapa yang rela hidup dan mati bagi Kristus, dengan sungguh-sungguh!
DAMAI DALAM KETIDAKDAMAIAN
“Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. . . .”
(Yoh. 14:27)
Pada tanggal 20 Desember 1999 UGM (Universitas Gadjah Mada) mengadakan ceramah yang bertemakan Membangun Kedamaian di Ambon. Ceramah tersebut berangkat dari konflik berdarah yang terjadi di kepulauan Maluku. Konflik tersebut telah menelan korban manusia, harta dan perasaan. Akhirnya, ceramah tersebut ditutup dengan membahas tentang langkah-langkah konkret untuk menciptakan suasana damai di Ambon. Diharapkan semua pendengar ceramah dapat melakukan apa yang menjadi solusinya.
Dari pengadaan ceramah tersebut, saya menyimpulkan bahwa manusia merindukan kedamaian. Bahkan bukan hanya manusia Ambon saja yang merindukan kedamaian, seluruh manusia di muka bumi ini pun merindukan yang namanya kedamaian. Buktinya, dalam dunia ini ada begitu banyak pesan-pesan kedamaian yang ditebarkan, entah melalui lagu atau gerakan-gerakan perjuangan kedamaian. Inilah kerinduan seluruh umat manusia, tak terkecuali orang-orang Kristen. Hanya saja apakah kedamaian itu dapat terjadi?
Terus terang, bila kedamaian diartikan sebagai nihilnya konflik, maka saya pesimis hal itu dapat terjadi. Adalah sebuah mimpi di siang bolong apabila kita mengatakan bahwa konflik dalam dunia dapat dihilangkan secara tuntas. Namun bila kedamaian diartikan sebagai keadaan jiwa yang ayem tentrem, maka saya optimis hal tersebut dapat terjadi. Maksudnya, meski secara jasmani kita tidak mengalami kedamaian, namun secara batin kita bisa mengalami kedamaian. Kok bisa, apa resepnya? Cuma satu resepnya, tinggallah di dalam Yesus! Yesus sendiri pernah berkata, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. . . .” (ay. 27).
Adakah kita sedang memiliki batin yang tidak damai? Mungkin masalah keluarga, masalah anak, masalah bisnis, dan masalah-masalah setumpuk lainnya telah menyebabkan batin kita tidak damai. Tetapi percayalah, Tuhan Yesus masih dapat memberikan kedamaian batin bagi kita yang hidup dalam ketidakdamaian jasmani. Karena itu, kita harus tinggal di dalam Yesus. Kita harus makin mendekat kepada Sang Sumber kedamaian itu. Jadi, jangan sekali-kali tinggalkan Yesus!
Bak batu karang yang kokoh, demikian pula kita dapat berdiri kokoh bila kita sudah memiliki kedamaian batin dalam Yesus
Thursday, November 09, 2006
PERINGATAN YANG TAK DIHIRAUKAN
“Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: ‘Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali” (Yoh. 13:38b)
Tepatnya dua tahun yang lalu saya memeriksakan kesehatan melalui tes darah di kota Surabaya. Alhasil, rapor kesehatan yang diberikan oleh seorang dokter cukup membuat saya terperanjat. Apa sebabnya? Karena dalam raport tersebut saya melihat bahwa kadar kolesterol dalam tubuh saya sangat tinggi. Melihat rapor yang buruk itu, lalu dokter memberikan peringatan-peringatan agar saya mengurangi konsumsi makanan yang mengandung lemak, seperti udang, kepiting, babi, dan lainnya. Semenjak itu, saya memaksa diri untuk mematuhi peringatan dokter tersebut. Dan akhirnya, saya pun menuai hasil yang membaik setelah beberapa bulan kemudian.
Sama halnya dengan kejadian di atas, Tuhan pun juga sering memberikan peringatan-peringatan agar umat-Nya tidak jatuh dalam dosa. Salah satu bukti mengenai hal tersebut telah dicatat dalam Yohanes 13, khususnya mengenai kisah Yudas dan Petrus. Perlu kita tahu bahwa sebelum mereka jatuh dalam dosa pengkhianatan, mereka telah terlebih dahulu diberi peringatan oleh Yesus. Untuk Yudas, Yesus telah memberikan peringatan secara gamblang dalam ayat 21-29 (khususnya ay. 25,26). Sedangkan untuk Petrus, Yesus juga telah memberikan peringatan secara gamblang dalam ayat 38. Kurang apa lagi?
Akan tetapi, entah kenapa, mereka tidak menghiraukan peringatan-peringatan yang diberikan oleh Yesus. Bisa jadi karena mereka tidak konsentrasi pada waktu peringatan itu disampaikan atau bisa jadi karena mereka ingin mengikuti kemauan dirinya. Yang pasti, sekali lagi, mereka tidak menghiraukan peringatan yang diberikan Yesus. Alhasil mereka mengkhianati Yesus. Yudas mengkhianati Yesus dengan cara menjual-Nya kepada para imam orang Yahudi seharga 30 keping perak, sedangkan Petrus mengkhianati Yesus dengan cara menyangkal pengenalannya terhadap Yesus. Perhatikanlah apa yang terjadi! Kejatuhan bermula dari peringatan yang tak dihiraukan.
Hingga sekarang, Tuhan masih memberikan peringatan-peringatan agar kita tidak jatuh dalam dosa. Umumnya, Tuhan memberikan peringatan melalui pengkhotbah, teguran rekan seiman, saat teduh, bahkan termasuk tragedi-tragedi yang kita alami. Celakanya, kita tidak menghiraukan peringatan-peringatan meski kita sudah paham bahwa Tuhan sudah memperingatkan kita. Padahal, ketika kita tak menghiraukan peringatan-Nya, kita makin dapat melakukan banyak kegagalan. Kita tidak boleh mengulangi sejarah kegagalan Yudas dan Petrus. Karena itu, jangan lewatkan lagi peringatan Tuhan!
Buatlah hidup menjadi lebih indah dengan mengindahkan peringatan-Nya
MEMILIKI JIWA YANG MERDEKA
“Lalu imam-imam kepala bermupakat untuk membunuh Lazarus juga” (Yoh. 12:10)
Dalam kehidupan ini agaknya diperlukan yang namanya jiwa yang merdeka. Karena, dalam dunia ini kita tidak mungkin “menutup mata” terhadap keberhasilan orang-orang di sekeliling kita. Sehingga bila kita tidak memiliki jiwa yang merdeka, maka kita akan menjadi manusia yang selalu diselimuti oleh kedengkian. Jiwa yang merdeka dapat membuat kita legawa dengan kesuksesan orang lain atau lebih jauh, kita dapat ikut bersukacita dengan orang lain yang bersukacita. Demikianlah pentingnya jiwa yang merdeka bagi kehidupan kita.
Sayangnya, prinsip yang demikian belum dapat diterapkan oleh sejumlah besar para imam Yahudi pada zaman Yesus (ay. 10). Kitab Yohanes mencatat bahwa para imam kepala berniat untuk membunuh Lazarus, seorang yang baru saja dibangkitkan oleh Yesus dari kematian (bdk. Yoh. 11:43-44). Apa sebabnya? Karena para imam tidak suka dengan dampak dari kebangkitan Lazarus. Dampak yang mengkhawatirkan bagi mereka adalah banyak orang Yahudi menjadi percaya kepada Yesus (ay. 11). Mereka khawatir bila para pengikut setianya beralih kepada Tuhan Yesus. Maka timbullah kedengkian dalam hati mereka. Dan pada akhirnya, muncullah yang dinamakan dengan jiwa yang tidak merdeka yang bermuara pada rencana pembunuhan Lazarus. Sadis, bukan?
Perlu diketahui bahwa penulis kitab ini sengaja menyelipkan berita tentang rencana pembunuhan Lazarus di antara cerita tentang pengurapan Yesus di Betania (ay. 1-8) dan Yesus dielu-elukan di Yerusalem (ay. 12-19). Sehingga, berita selipan ini menghentikan secara sementara (mem-pause) alur cerita sebelumnya. Pertanyaanya, kenapa tiba-tiba muncul berita yang diselipkan itu? Menurut hemat saya, penulis ingin menyedot perhatian pembacanya. Ia ingin agar pembaca mengenali watak para imam kepala yang sangat bejat itu. Dalam bahasa saya, penulis kitab ingin agar pembaca dapat mengenali watak manusia yang tidak memiliki jiwa yang merdeka beserta akibatnya.
Bagaimana dengan keadaan jiwa kita? Bila jiwa kita merdeka, maka kita akan ikut terharu dan senang dengan kesuksesan rekan bisnis. Bila jiwa kita merdeka, maka kita akan turut memuji keberhasilan rekan sepelayanan. Bila jiwa kita merdeka, maka kita akan bangga sewaktu melihat orang yang kita kenal mendapatkan pujian. Jiwa yang merdeka tidak mengenal yang namanya iri hati. Ia juga tidak mengenal yang namanya persaingan yang menjatuhkan. Yang ia kenal adalah perasaan sukacita dengan orang yang bersukacita. Akhirnya, sekali lagi, bagaimana dengan keadaan jiwa kita?
Jiwa yang merdeka akan memerdekakan jiwa kita pula
Wednesday, November 08, 2006
SUPAYA DAPAT BELAJAR PERCAYA
“Tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya. . . .” (Yoh. 11:15)
Pernahkah Anda melihat bagaimana seekor induk singa mendidik anak-anaknya untuk bertarung? Bila sang induk merasa anak-anaknya sudah harus belajar bertahan hidup, maka ia akan mengajak mereka untuk berjalan ke padang belantara. Setibanya di sana, anak-anak singa melihat dari kejauhan beberapa kawanan bison yang sedang bergerombol. Lalu tanpa menunggu terlalu lama, sang induk memberikan isyarat kepada anak-anaknya untuk segera menyerang bison tersebut. Namun apakah sang induk akan pergi begitu saja ketika anak-anaknya belajar bertarung? Tidak! Ia akan memperhatikan anak-anaknya yang sedang bertarung. Ia pasti berada tak jauh dari mereka.
Demikian halnya dengan Allah. Allah pasti dan tak mungkin jauh dari anak-anak-Nya yang sedang bertarung "di dunia belantara ini." Lalu mengapa ketika anak-anak-Nya menjerit minta tolong tetapi Allah terasa sudah pergi begitu jauh? Dengan diilhami dari peristiwa kebangkitan Lazarus, maka jawabannya adalah supaya anak-anak-Nya dapat belajar percaya kepada Allah. Saya yakin, bahwa apabila Allah selalu langsung menolong anak-Nya ketika ia menjerit, maka selamanya ia tidak dapat belajar percaya kepada Allah. Ini pulalah yang pernah dijelaskan oleh Yesus dalam ayat 15.
Yesus sudah mendengar jeritan minta tolong agar Lazarus yang sekarat itu dapat disembuhkan dengan segera. Namun herannya, di kala orang-orang yang dekat dengan Lazarus itu panik, dengan sengaja Yesus tidak mendatangi Lazarus dengan segera. Ia justru menunda kedatangan-Nya (ay. 6). Dan lihatlah apa jadinya? Orang Inggris akan berkata, “Too late”. Ya, nasi sudah menjadi bubur. Lazarus sudah meninggal empat hari lamanya. Singkat cerita, memang akhirnya Lazarus dibangkitkan oleh Yesus. Namun pertanyaannya, mengapa Yesus tidak segera menolong Lazarus? Jawabannya, sekali lagi, adalah supaya mereka dapat belajar percaya kepada Allah.
Sebelum Yesus terangkat ke sorga, Ia mengatakan: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). Ia pasti tak jauh dari para murid-Nya. Hanya saja, jaminan keberadaan-Nya jangan serta-merta ditafsirkan bahwa Ia pasti akan segera menjawab jeritan minta tolong para murid-Nya. Bisa jadi Ia menunda pertolongan-Nya selama dua hari, atau satu minggu, atau satu tahun, dan seterusnya. Yang pasti, bila Ia menunda pertolongan-Nya, maka itu tidak berarti Allah sedang meninggalkan anak-anak-Nya untuk bertarung sendirian di dunia belantara; tetapi, Ia hanya ingin agar anak-anak-Nya dapat belajar percaya kepada Allah. Itu saja!
Bila Allah ingin kita belajar percaya kepada-Nya, maka Ia tidak perlu meninggalkan kita. Ia hanya perlu “bersembunyi” di balik semak-semak yang tak jauh dari kita
Tuesday, November 07, 2006
"ASTEK"
“. . . Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku” (Yoh. 10:28)
Anda pasti sudah pernah mendengar istilah “Astek”. Kata tersebut merupakan singkatan dari Asuransi Sosial Tenaga Kerja. Pemerintah kita sudah mengadakan peraturan untuk memperhatikan jaminan keselamatan bagi karyawan yang bekerja di perusahaan. Bila ada yang mengalami kecelakaan sewaktu bekerja, maka karyawan bisa mendapatkan bantuan biaya pengobatan dari Astek. Jadi, boleh dikatakan, Astek dapat menjadi tumpuan harapan bagi kesejahteraan para tenaga kerja.
Tidak mau kalah, kita, sebagai para tenaga kerja Kristen, juga memiliki “Astek” yang berasal dari Tuhan sendiri. Hanya saja kepanjangan Astek yang dari Tuhan adalah Asuransi Sorgawi Tenaga Kristen. Astek yang satu ini jelas berbeda dengan Astek yang dirancang oleh manusia. Astek yang dari Tuhan dapat menjamin keselamatan kekal dari semua tenaga kerja Kristen. Apa buktinya?
Buktinya dapat kita lihat di dalam Yohanes 10. Asuransi yang diberikan Tuhan digambarkan dengan sebuah ilustrasi yang sangat menarik. Sebuah ilustrasi yang menggambarkan adanya seorang gembala yang baik dan kawanan domba. Beberapa gambaran kebaikan sang gembala, antara lain: 1. Ia hafal setiap nama dombanya (ay. 3); 2. Ia menjadi panglima atas semua dombanya (ay. 4); 3. Pemberi kehidupan bagi dombanya (ay. 9,10); 4. Penjaga yang bertaruh nyawa demi keselamatan tiap domba (ay. 11,15). Inilah gambaran-gambaran kebaikan sang gembala. Lalu apa artinya?
Artinya hanya satu, yakni untuk meyakinkan akan sebuah kepastian jaminan kehidupan kekal bagi setiap orang percaya. Karena itu Yesus berkata, “. . . Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku” (ay. 28). Hebat bukan? Kurang apa lagi? Inilah Astek dari Tuhan kepada setiap orang percaya yang tidak mungkin diberikan oleh asuransi-asuransi dunia.
Karena itu, bagi kita yang sudah mendapat asuransi keselamatan kekal, marilah kita menghargai Tuhan yang sudah memberikan asuransi tersebut. Dengan cara apa? Dengan menjadikan diri kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah. Artinya, jangan kita hidup serupa dengan kebejatan dunia ini. Sedangkan bagi Anda yang belum menerima asuransi dari Tuhan, maka apa lagi yang Anda mau pikirkan sekarang? Jika saya menjadi Anda, maka saya mau untuk mendapatkan asuransi yang satu ini. Caranya? Terimalah Yesus sebagai Gembala dalam hidup Anda. Jangan tunda lagi!
Tuhan adalah gembalaku . . . sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya; sebab Engkau besertaku . . .” (Mzm. 23:1,4)
Monday, November 06, 2006
SOAL UJIAN UNTUK KENAIKAN KELAS
“Jawab Yesus: ‘Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia’” (Yoh. 9:3)
Masing-masing orang memiliki sikap yang berbeda-beda ketika mengalami penderitaan. Ada yang langsung menyerah dengan penderitaan dan berkata, “Ya, memang sudah nasibku.” Ada juga yang malah berbalik menyerang Allah dengan mengatakan, “Di manakah Allah saat aku menderita?” Lalu bagaimana orang Kristen harus bersikap dalam menghadapi penderitaan? Apakah ia harus menyerah atau malah menyerang Allah?
Yohanes 9 menjawab pertanyaan di atas. Dalam pasal tersebut, Yesus terlihat mengajarkan kepada para murid-Nya bahwa penderitaan dapat membuat kerohanian bertumbuh. Pasalnya, Tuhan memakai penderitaan tersebut sebagai soal ujian agar si penderita bisa dinyatakan “naik kelas”. Namun perlu diingat bahwa penderitaan dalam kasus ini (Yoh. 9) bukanlah hasil kesalahan si penderita, sebaliknya penderitaan yang dimaksud di sini merupakan satu hal yang diijinkan Tuhan untuk terjadi demi kemuliaan Allah.
Dengan kajian yang lebih cermat, maka kita akan menemukan bahwa akibat kebutaannya, orang tersebut justru mengalami pertumbuhan kerohanian yang pesat. Memang benar bahwa ia sudah disembuhkan Tuhan, tetapi pengalaman kebutaannya turut membuat pengaruh dalam pertumbuhan kerohaniannya. Dengan pengalaman kebutaannya, ia makin dapat mengenal dan mengalami Tuhan. Jadi, penderitaan yang pernah dia alami sebenarnya merupakan soal ujian untuk membuat dirinya “naik kelas” satu tingkat lagi.
Konsep yang melihat penderitaan sebagai soal ujian mungkin dapat membantu kita untuk menghadapi penderitaan kekinian. Bagaimana tingkat pertumbuhan kerohanian dinyatakan berhasil apabila kita tidak melewati soal ujian terlebih dahulu? Bisa jadi soal ujian itu berupa penyakit-penyakit kita, pengkhianatan pasangan yang selama ini terjadi kepada kita, masalah keuangan yang mencekik, dan masalah-masalah lain yang terjadi bukan karena kesalahan kita. Bila kita melihat penderitaan sebagai soal ujian dari Tuhan, maka kita akan makin tabah dan siap untuk mengatasinya. Akhirnya, semoga kita dinyatakan “naik kelas” oleh Tuhan.
Orang Kristen bagaikan seorang siswa yang sedang belajar di sekolahnya Tuhan.
Ia harus mengerjakan soal-soal ujiannya dengan baik agar naik kelas
Sunday, November 05, 2006
The Pastor as Theologian Model for Challenging the Postmodernism: A Proposal
Postmodernism now becomes our narrative. Like it or not, we have already lived within that such of situation. But how do we define the term postmodernism itself? Unfortunately, it’s hard to find the best definition of the term’s meaning because probably that reflects the term itself. When the term is able to be defined, then the term is not becoming “postmodernism” anymore. Yet, we are still able to capture the core characteristic of postmodernism.
In this regard, a theologian Stanley Grenz assumes that postmodernism is characterized by deconstructionistic approach. The deconstructionist believes that there is no one meaning in a text since meaning emerges only as the interpreter or the reader enters into dialogue with the text. And because the meaning of the text is dependent to the reader, the meaning could be varied.[1] Though actually this theory is derived from literary theory, however, the postmodern philosopher then applied the theory to read the reality in the world. They also insist that every reality in this world is read differently be each reader. Thus, Grenz concludes: “This means that there is no one meaning of the world, no transcendent center to reality as a whole.”[2]
If this so, then it will affect the people to think of the truth itself. They will think that there is no one grand truth, but many truths or little truths. Truth becomes so plural that nobody can assume that he/she has discovered the objective or grand truth. In this regard, Grenz rightly said that, “The central hallmark of postmodern cultural expression is pluralism.”
However, this kind of thought is not just influential in academic life, but also in our cultural life. There are several aspects in our culture that may represent the postmodernism impact:[3] (1) Postmodern architecture. Postmodern architecture emerged in response to certain tendencies in modernist architecture. Instead of the modern ideal of univalence, postmodernist celebrate “multivalence”. The works explores and displays incompatibilities of style, form, and texture; (2) Postmodern art. In the postmodern art, we will see that they seek to challenge the modernist focus on the stylistic integrity of the individual work and undermine what they see as the modernist “cult” of the individual artist. They seek ways to deny the singleness of artistic works; (3) Postmodern fiction. To this aspect, Grenz observes that postmodern literary works focus on contingency and temporality, implicitly denying the modern ideal of a universal truth. Postmodern fiction also heightens the focus on temporality in order to dislodge the reader from his/her attempt to view the world from a vantage point outside.
Several aspects that I mentioned above are just examples to show how postmodernism has been so close to our life and it’s almost impossible to run away from that kind of situation. And what we should bear in mind is that the postmodernism gives particular challenge to the Christianity also. The obvious challenge is while modernism assumed the Christianity as a non-scientific religion, postmodernism now assumes the Christianity as one of many options of religion since the truth in the Christianity is believed as little truth among many truths. If this happen continuously and systemically, then what Roland Chia is worried about will be occurred, namely, the displacement of God.[4]
If we are a pastor, then the question is how we should deal with today’s challenge, so-called postmodernism. There are at least three possibilities of response to this issue: (1) the pastor may escape from this challenge by teaching the congregation that there is no truth in postmodernism at all or even never taught about postmodernism at all. The problem of doing this is that the pastor will produce a naïve thought and faith, and also create an alien community in the midst of postmodern communities; (2) the pastor may absorb all of the postmodernism philosophy uncritically. This is problematic also. As the church is called to be a light and salt, then this response may not be a wise action. The church is called to influence the culture, not vice versa. Thus, to let the church be influenced by the culture will only make the church loses its distinctiveness of her calling; (3) the pastor may discern critically the positive and negative things in postmodernism in order to observe the opportunity to influence the culture by the existence of the church. The church is called to “live in the world, but not of the world.” Here the pastor plays an important role to maintain the tension between “live in the world” and “not of the world”. I think that the third response would be the wisest response to the postmodern phenomenon.
Yet, how does the pastor may discern critically the postmodernism? I propose the model of pastor as theologian to answer the related question. However, by proposing the model, I do not mean that this model is the only one suited model since there are so many models that we should pay attention as well (e.g. pastor as servant, pastor as priest, etc.). Yet, at least, by proposing the model, I intend to highlight the necessity of the model in this postmodern world. Now let’s turn to the deeper question: How do we understand the model? This question will bring us to the next sequence of explanation.
Pastor as Theologian Model: A Biblical Perspective
When the term “pastor as theologian” is raised, there might be some people still presumes a general understanding of what “pastor” and “a theologian” is. For some people, the term “pastor” is understood as a minister that related to all ecclesiastical ministries, such as leading worship service, doing mission, and so on; for other people, the term is almost identical with other non-Christian professional status, such as lawyer, physicians, bankers, and so on.
Meanwhile the term “theologian” is understood as a minister who thinks of high-level and abstract theology. For other, the term is related to a minister who knows a great deal about Christian history, or biblical theology, or philosophical theology. And generally, people think that theologians are suitable in the academic arena, instead of the church.
We may now see that the phenomenon problem above is rooted in the sharp distinction between the task of pastor and theologian. The pastor’s task is assumed to be people and practical oriented, whereas the theologian’s task is assumed to be theoretical and idea-oriented.[5] If this happen continuously, then we can imagine what will the result be in the Christianity. In this regard, Tom Ascol accurately states that, “These tendencies [problem of sharp distinction] have had a spiraling degenerative effect. Theology has become increasingly esoteric and church life has become increasingly a-theological.”[6]
Now how should we then understand the term “pastor as theologian” itself? To this question, I will explain the term from biblical perspective. If we want to understand better on the term, then we should look back at pastor’s calling concept. Perhaps the analogy of the shepherd[7] can be used to enlighten us to understand pastor’s calling. At the biblical epoch, the shepherd was a natural figure to choose for a people whose roots lay in nomadic life and whose greatest leaders, Moses (Is. 63:11) and David (Ps. 78:70-72), had been shepherds. In regard to this analogy, Oden gives us list of what Shepherd does with the sheep:[8]
· The intimacy of the shepherd’s knowledge of the flock. He holds them in his arms.
· The way the shepherd calls each one by its own nature.
· The shepherd does not, like the thief or robber, climb in the pen by some unusual means, but enters properly by the gate, being fully authorized to do so.
· The flock listens to the shepherd’s voice. They distinguish it from all other voices.
· The shepherd leads them out of the protected area into pastures known to be most fitting—feeding them, leading them “out and back in.”
· The shepherd characteristically is “out ahead” of them, not only guiding them, but looking out, by way of anticipation, for their welfare.
· Trusting the shepherd, the sheep are wary of an unproven stranger who might try to lead them abruptly away from the one they have learned to trust, through a history of fidelity. Or in my own words, the shepherd must be trustworthy.
· Jesus is recalled as the incomparably good shepherd who is willing to lay down his life for the sheep.
· The good shepherd is contrasted with the hireling or temporary worker who, having little at stake, may be prone to run away when danger approaches.
· All members of the flock of which Jesus is the shepherd are one, united by listening to his voice.
Now how do we relate the analogy to the pastor’s calling? Among many hints that spread out from the analogy, we want to see that there is one calling that pastor should not escape from it, namely, guide the congregation and anticipate everything for their spiritual welfare, including doctrinal welfare.[9] From this, we may arrive to the postulation that every pastor is called to be a church theologian. Such kind of calling was also underlined by apostle Paul reflected in his massive writings, such as:[10]
· He will be a good minister of Jesus Christ if he teaches his brethren to see through ascetic Gnosticism and he himself continues to carefully feed on good doctrine (1Tim. 4:6)
· He is to give careful attention to doctrine (1Tim. 4:13)
· He is continuously to take heed to himself and the doctrine, with the assurance that by doing so he will save both himself and his hearers (1Tim. 4:16).
· He must be so doctrinally grounded that he can refute false teaching by sound doctrine (Tit. 1:9)
However, one may ask in what level or capacity the pastor should be a church theologian. I would suggest that there are two levels of being a theologian in the church. The first level is learning fundamental theology. I insist that all pastors must know the basic doctrines that will lead the congregation to know God essentially. Here are several examples of basic doctrines: doctrine of the Trinity, prolegomenon (introduction to theology), Christology, Ecclesiology, Eschatology, etc.
Ironically, there are still some pastors from particular denominations who don’t really pay attention to this level of studying theology. Perhaps they think that the criteria of being a pastor is whether he/she has ability to preach dynamically such as revivalist, or whether he/she has completed short courses in the church. Even, some of them think that the pastors should not learn theology because they believe that God will teach them directly. We may see that they are seemingly to be afraid of intellectual matters, including learning doctrines. Thus, Daniel Koh Kah Soon correctly observes that, “There are still sizable anti-intellectual pockets of Christians—even within established denominations—who are caught in a time warp, engaged in an old battle, reciting mindlessly worn-out mantras and throwing labels at their theological opponents, as if that is all to the Christian faith.”[11]
However, we should think that there are several pitfalls if pastors do not want to learn theology in the first level, such as: (1) they tend to preach on practical or moral topics which can make a superficial Christian, (2) they are easily to teach erroneous doctrines, (3) and the worst pitfall is that they can lead themselves and the congregation to be heretics. Therefore, to avoid these pitfalls, the pastor should not escape from learning fundamental theology.
The second level that easily to be forgotten is learning theology in order to anticipate the dangerous things to come for the spiritual welfare of the church. What I mean by this is that the pastors must also learn theology for reading, mapping, and criticizing both the current situation and the things to come in outside the church. There are at least two advantages in accomplishing this level: (1) the congregation will be alert to what’s going on outside the church. We must realize that Christians live in the world that has many systems of thought around them. Generally, they are transferred through the media, such as literature, television program, songs, and so forth. Ironically, there are not many Christians who can think critically on what they hear and see. They are easily receptive to the systems of thought. We may now imagine that if they watch film that visualize about sadistic killing almost everyday, then they probably will see that such kind of killing is enjoyable. There is possibility that sadism would not be something that they should fight against for because sadism has already been a part of their lives. This dangerous phenomenon should be a deep concern for the pastors. The pastors should not only concern on inside the church, but also outside the church. They must help the congregation to be alert to the particular issues from outside. Therefore, it’s important for pastors to learn theology in this second level to help the congregation to think critically to the systems of thought outside the church.
(2) Yet, the congregation will not only learn how to be alert to the systems of thought but also how to be sensitive to their local context. What we should bear in mind is that Christianity is not just an individual matter, but also a social matter. Some pastors think that the congregation needs to hear about how to grow up their relationship with God, how to overcome sins, how to be faithful, how to obey God, and so on. It seems that the pastors tend to concern about the individual matter. Yet, they forget that the church is also called to be a salt and light which means that the existence of the church must have an impact to the local or social context. They are not called to be an exclusive community. By learning theology in this level, the pastors will seek the chance to impact the social context. And this, of course, will teach the congregation how to be sensitive to the social issue.
To conclude this part, I affirm that pastor should not be too practical that he/she may not learn the two levels of learning theology, yet the pastor should not have to be an academic theologian that learns more about abstract and theoretical ideas. Therefore, the pastors need to learn about theology that related to the church’s needs and calling because they are simply a church theologian.
Exploring the Pastor as Theologian Model in the Church History
This model that I proposed actually is not a new model. In the church history, we will find that there are many pastors that applied this model, such as Martin Bucer, Jonathan Edwards, and so forth. However, because of limitation, I will explore briefly two eminent church theologians in the church history; they are Augustine and John Calvin.
Augustine: A Par Excellence Church Theologian
Augustine was born in 354 at Tagaste. He was born into an aspiring lower middle-class family, which sacrificed in order to give him good education that might lead him into a good position in the Roman society. After completing his education, Augustine then became a teacher of rhetoric and deeply involved in philosophical and Manichaean teaching before his conversion. He was also known as a public orator in Milan.
It was at Milan that Augustine met Ambrose; and, it was through Ambrose’s learned preaching that Augustine then had been converted. After that, in 396 he became the bishop at Hippo. Quoting F. van der Meer’s writings, Tidball displays Augustine’s preaching at the day of his consecration which reflects the model I propose:
To rebuke those who stir up strife, to comfort those of little courage, to take the part of the weak; to refute opponents, to be on guard against traps, to teach the ignorant, to shake the indolent awake, to discourage those who want to buy and sell, to put the presumptuous in their place, to mollify the quarrelsome, to help the poor, to liberate the oppressed, to encouraged the good, to suffer the evil and to love all men.[12]
The application of the pastor as theologian model was not just seen in his preaching, but also in his doing. Trevor Rowe notifies that Augustine was a man who is able to offer an understanding of Christian faith derived from the Bible, the Church’s teaching, and also his own experience.[13] In his life, he also wrote a massive well-known writings, The City of God, which sought to integrate between theology and the church. Tidball comments that, “His prolific writing arose out of pastoral needs whether it was the need to reclaim heretics, to convince skeptics or to encourage wavering believers.[14]
Moreover, we also must know that for much of his life Augustine was engaged in controversy against the Manichaeans, Pelagians, and Donatist, Arians, and pagans. These opponents did not raise their challenges in sequence, but they presented a combination of challenges and distractions throughout his episcopacy.[15] Tidball, again, comments that, “Even though his disputes were often polemical, his motivation was always pastoral.”[16]
From the life of Augustine, we may know that he was a church theologian since he applied the pastor as theologian model in his epoch. He was doing theology in and for the church. We can see this obviously from how he struggled with heretics. As a bishop, he has struggled to guard the flocks for their spiritual welfare by his teachings and writings. Moreover, what we should remember is that his excellence theological writings were come out not from the academic life, but from the church. Therefore, I would rather call him, not as a par excellence theologian, but a par excellence church theologian.
John Calvin: A Reformed Church Theologian
John Calvin was born on July 10, 1509 in Noyon, north-east of Paris. Educated at the scholasticism-dominated University of Paris, he subsequently moved to the more humanist school at University of Orléans. Then, in 1532, he achieved his doctorate degree in law at Orléans. According to Alister McGrath, Calvin underwent a conversion experience in his mid-twenties, which led him to be more associated with the reformed movements. Then in 1538 he settled in Geneva as a pastor until his death in 1564.[17]
The model of pastor as theologian in Calvin’s life could be seen in several ways: (1) it’s through his preaching. He saw himself as the architect who reconstructs the church through the use of the Word. He structured fundamental articles of faith that the congregation should hold fast to (such as the doctrine of the Trinity);[18] (2) it’s through the liturgical Sunday worship. Calvin expressed his theology in the context of liturgical worship in the Form of Prayers. Through his order of worship, he helped the congregation genuinely honor and reverence God;[19] (3) it’s through his writings. Among many writings, probably his Institutes of the Christian Religion was the most famous and influential book. His writing has been influencing many theologians, such as Karl Barth. But what we should bear in mind that Calvin’s Institutes was not produced in the academic life, but in the church life. Thus, John H. Leith accurately comments that, “The Institutes represent the effort to state the message of the Bible in a coherent and orderly way in the language of ordinary discourse. Calvin writes as a churchman concerned with organization, preaching, worship, and pastoral care;”[20] (4) it’s through his concern to social-political life. Not only did he concern on the church matter, but also he became involved in political and civil affairs. He desired to change the state and church into a Christian commonwealth. Through this idea, Calvin struggled to remove all boundaries among the citizens since Christ had broken the boundary itself. To put into practice, each individual should find their “sense of worth” and be seen as worthy by others no matter their class.[21]
After exploring his life briefly, we may see now that Calvin applied the model of pastor as theologian at his time. Though he did many pastoral ministries (e.g. visitation), yet he didn’t become too practical or theological. Otherwise, he became a pastor who can give both the pastoral and theological ministry. Thus, since he became a part of the reformation era, then I identify him as a reformed church theologian.
Challenging the Postmodernism: The Application of the Model
After exploring the biblical perspective and looking at how the two early eminent church theologians applied the model, now let’s turn to the application of the model into the postmodernism situation. As I mentioned before that the wisest response to the challenge is to discern critically the challenge. By using the model, the pastor is able to appreciate the positive things and to avoid the negative or dangerous things in the challenge itself. To clarify what I mean, I will present several practical examples in applying the model in this contemporary challenge.
First example, the pastor may think how to read the Bible postmodernly. Postmodernism is severely suspicious to the monologue approach. They think that this approach is identical with colonialism. By using the model of pastor as theologian, he/she will dare to change the modern reading approach to the postmodern by using inductive Bible study. Yet, he/she still maintains the real message from the passage reading. Second, the pastor may rethink the best suited worship liturgy. Postmodernism has automatically produced pluralism. By using the model, the pastor may know that in some extents pluralism could be adopted in the liturgy, without dropping the main thrust of the biblical worship itself. Here the pastor may create the blended worship liturgy critically. Third, the pastor may preach postmodernly. Since postmodernism believes that the identity of people was developed by their own story, they become more attentive to the narrative approach, instead of propositionalistic approach. Thus, if the pastor uses the model, he/she will dare to preach in a story-telling manner, without running from the core message.
From the examples above, I want to demonstrate that only the pastor who uses the model that I proposed can do in such manners. Without the model, the pastor may be too sceptical to everything in postmodernism or may be absorbed postmodernism uncritically—even he/she will become pure postmodernist. However, if the pastor uses the model, then he/she will seek and use the strength in postmodernism, while he/she is able to avoid the dangers in that challenge. Yet above all, what we should keep in mind is that every pastor is called to be a church theologian.
Bibliography
Ascol, Tom. “The Pastor as Theologian,” [http://www.founders.org/ FJ43/editorial_fr.html].
Baumann, John K. “John Calvin as Pastor,” [http://department.monm.edu/classics/ Speel_Festschrift/baumann.htm].
Chia, Roland. “All that is Solid Melts into Air: Some Reflections on Postmodernism, the Church, and Theology,” Trinity Theological Journal 6 (1997), 5-14.
Connor, Steven, ed., The Cambridge Companion to Postmodernism. Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
De Jonge, James J. “Calvin the Liturgist: How ‘Calvinist’ is your Church’s Liturgy?” [http://www.reformedworship.org/magazine/article.cfm?article_id=141].
Grenz, Stanley. A Primer on Postmodernism. Grand Rapids: Eerdmans, 1996.
Knowles, Andrew and Pachomios Penkett, Augustine and His World. Downers Grove: InterVarsity, 2004.
Leith, John H. Introduction to the Reformed Tradition. rev. ed. Atlanta: John Knox, 1981.
McGrath, Alister. Christian Theology: An Introduction, 2nd. ed. Oxford: Blackwell, 1997.
McMahon, C. Matthew. “Calvin as Theologian, Pastor, and Social Reformer,” [http://www.apuritansmind.com/Reformation/McMahonCalvinTheologianPastor.htm].
Oden, Thomas. Pastoral Theology: Essentials of Ministry. San Fransisco: Harper, 1983.
Outler, Albert C. “The Pastor as Theologian,” in The Pastor as Theologian, ed. Earl E. Shelp and Ronald H. Sunderland. New York: Pilgrim, 1988.
Rowe, Trevor. St. Augustine: Pastoral Theologian. London: Epworth, 1974.
Soon, Daniel Koh Kah. “Why Bother with Theology,” bulletin Trumpet (October 2006).
Tidball, Derek J. Skilful Shepherds: Explorations in Pastoral Theology. Leicester: Apollos, 1997.
Footnotes:
[1] See Stanley Grenz, A Primer on Postmodernism (Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 6.
[2] Ibid.
[3] The several aspects that I present is a summary of Grenz’s A Primer on Postmodernism, p. 22-30. For further studies on this issue, please see Steven Connor, ed., The Cambridge Companion to Postmodernism (Cambridge: Cambridge University Press, 2004).
[4] See the writing of Roland Chia, “All that is Solid Melts into Air: Some Reflections on Postmodernism, the Church, and Theology,” Trinity Theological Journal 6 (1997), 5-14.
[5] See Albert C. Outler, “The Pastor as Theologian,” in The Pastor as Theologian, ed. Earl E. Shelp and Ronald H. Sunderland (New York: Pilgrim, 1988), 11-12.
[6] Tom Ascol, “The Pastor as Theologian,” [http://www.founders.org/FJ43/editorial_fr.html].
[7] For Thomas C. Oden, even the analogy of the sheperd is pivotal and still understandable to ordinary modern people. See Pastoral Theology: Essentials of Ministry (San Fransisco: Harper, 1983), 51-53; cf. Derek J. Tidball, Skilful Shepherds: Explorations in Pastoral Theology (Leicester: Apollos, 1997), 45-48.
[8] For the following list that I mention is quoted from Oden, Pastoral Theology, 51-52.
[9] It’s derived from the point above which says that the shepherd characteristically is “out ahead” of them, not only guiding them, but looking out, by way of anticipation, for their welfare.
[10] See Ascol, “The Pastor as Theologian”.
[11] Daniel Koh Kah Soon, “Why Bother with Theology,” bulletin Trumpet (October 2006), 5.
[12] Tidball, Skilful Shepherds, 164-165.
[13] Trevor Rowe, St. Augustine: Pastoral Theologian (London: Epworth, 1974), 3.
[14] Skilful Shepherds, 169.
[15] Andrew Knowles and Pachomios Penkett, Augustine and His World (Downers Grove: InterVarsity, 2004), 105.
[16] Skilful Shepherds, 166.
[17] Alister McGrath, Christian Theology: An Introduction (2nd. ed.; Oxford: Blackwell, 1997), 69.
[18] See John K. Baumann, “John Calvin as Pastor,” [http://department.monm.edu/classics/ Speel_Festschrift/baumann.htm].
[19] See James J. De Jonge, “Calvin the Liturgist: How ‘Calvinist’ is your Church’s Liturgy?” [http://www.reformedworship.org/magazine/article.cfm?article_id=141].
[20] John H. Leith, Introduction to the Reformed Tradition (rev. ed.; Atlanta: John Knox, 1981), 127.
[21] See C. Matthew McMahon, “Calvin as Theologian, Pastor, and Social Reformer,” [http://www.apuritansmind.com/Reformation/McMahonCalvinTheologianPastor.htm].
DENGAN KASIH DAN DISIPLIN
“Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi . . .”
(Yoh. 8:11b)
Saya senang dengan motto Sekolah Kristen Kalam Kudus yang berbunyi, “Dengan kasih dan disiplin meningkatkan prestasi”. Saya senang karena dalam motto tersebut ada perkawinan kedua sifat yang penting, yaitu kasih dan disiplin. Jika hanya sifat kasih saja yang digunakan, maka sekolah akan mencetak siswa yang liar. Dan jika hanya sifat disiplin saja yang digunakan, maka sekolah akan mencetak siswa yang tertekan. Jadi, memang sepantasnyalah antara kasih dan disiplin harus dikawinkan.
Perkawinan kedua sifat ini juga dimiliki oleh Tuhan Yesus. Tidak selamanya Ia menitik-beratkan pada kasih; buktinya, Ia berulangkali memarahi orang-orang Farisi dan pernah memporak-porandakan meja-meja untuk transaksi para pedagang yang ada di Bait Suci. Dan, tidak selamanya Ia menitik-beratkan pada kedisiplinan; buktinya, Ia tidak “dingin” terhadap orang-orang yang terkena penyakit. Atas dorongan welas asih, Yesus mau menyembuhkan mereka. Bagi-Nya, kasih dan disiplin harus dikawinkan.
Simaklah perkawinan kedua sifat itu di dalam Yohanes 8: 1-11. Dikisahkan di sana ada seorang perempuan yang tertangkap basah ketika ia sedang berzinah. Sebenarnya, perempuan berzinah yang disodorkan hanyalah dipakai sebagai kasus ujian untuk Yesus. Bila Yesus menggunakan sisi kasih saja, maka Yesus pasti akan melepaskan perempuan tersebut tanpa peringatan apapun. Sebaliknya, bila Yesus menggunakan sisi disiplin saja, maka Yesus pasti akan melempari perempuan tersebut dengan batu; dan artinya, perempuan itu akan kehilangan kesempatan untuk bertobat. Lalu apa yang dilakukan Yesus dalam menghadapi kasus buah simalakama ini?
Kasus ini diselesaikan oleh Yesus dengan mengawinkan kasih dan disiplin. Perhatikan perkataan Yesus di ayat 11b, “Aku pun tidak menghukum engkau . . .” Sampai di situ sajakah? Apakah kasih yang begitu besar membuat Yesus melepaskan dia begitu saja? Tidak! Masih ada selanjutnya, yaitu: “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Inilah kata-kata disiplin dari Yesus. Akhirnya, Yesus berhasil mengawinkan kedua sifat tersebut dalam kasus ini.
Mari kita meneladani jejak Yesus yang satu ini. Dengan kasih dan disiplin, kita menegur orang yang berbuat dosa. Dengan kasih dan disiplin, kita menyelesaikan permasalahan di kantor. Dengan kasih dan disiplin, kita membina biduk rumah tangga. Dengan kasih dan disiplin, kita mengarahkan anak-anak. Jangan kita ceraikan keduanya ini. Apapun yang kita lakukan, lakukanlah dengan kasih dan disiplin seperti yang diperbuat oleh Tuhan Yesus.
Dengan kasih dan disiplin meningkatkan kedewasaan rohani
Saturday, November 04, 2006
SELALU MERASA HAUS
“Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum!” (Yoh. 7:37)
Hampir setiap bangun pagi saya selalu minum air dalam jumlah yang cukup banyak demi kesehatan. Air menjadi kebutuhan saya setiap bangun pagi. Tetapi percayalah, saya jauh lebih memahami kebutuhan akan air ketika saya kehausan sehabis bermain bulutangkis. Rasanya, tidak perlu diberikan air yang banyak, karena segelas air saja sudah membuat saya benar-benar lega. Intinya, ketika saya dalam kondisi kehausan maka saya jauh lebih mengerti kebutuhan akan air dalam kehidupan ini.
Sama halnya dengan kerohanian seseorang. Ia belum dapat merasakan kebutuhan akan Tuhan bila ia sendiri tidak merasa “haus”. Perhatikanlah dengan kehidupan orang-orang Yahudi pada zaman Yesus. Pada waktu itu (ps. 7:37-44), orang-orang Yahudi sedang mengikuti perayaan Pondok Daun. Sebagai informasi, hari raya Pondok Daun ini diadakan dengan salah satu maksud untuk mengenang mukjizat keluarnya air dari gunung batu di padang gurun (Kel. 17:6). Jadi, ketika orang-orang Yahudi merayakannya, mereka pasti teringat akan pertolongan Tuhan atas bangsanya yang sedang kehausan di padang gurun.
Di dalam suasana peringatan inilah, Yesus berdiri dan berseru kepada mereka, “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum!” Kata “haus” yang dimaksud oleh Yesus adalah haus secara rohani. Yesus tahu bahwa mereka sebenarnya haus rohani dan membutuhkan siraman air rohani pula. Sebab itu, Ia menawarkan diri-Nya untuk menjadi pemuas kehausan rohani mereka. Yesus mau menjadi Air Hidup bagi mereka. Tetapi sayang seribu kali sayang, ada sebagian mereka yang tidak merasa membutuhkan Air Hidup itu. Apa sebabnya? Sebabnya karena mereka tidak pernah merasa haus rohani. Mereka selalu merasa puas, meski sebenarnya rohani mereka kehausan.
Janganlah kita seperti mereka. Memang benar kita sudah menerima Yesus dalam hati, tetapi kita tetap memerlukan dan harus melestarikan rasa haus rohani. Jangan pernah merasa cukup dan puas dengan tingkat kerohanian kita saat ini. Rasa haus akan rohani harus berlangsung seumur hidup kita. Sebab itu, jangan biarkan kita datang beribadah tanpa dibarengi dengan perasaan yang satu ini. Jangan biarkan kita melakukan saat teduh tanpa dibayangi dengan perasaan yang satu ini. Dan akhirnya, jangan biarkan kita mengiring Yesus tanpa dipenuhi dengan perasaan haus rohani!
Peningkatan kerohanian pasti dimulai dari perasaan haus rohani
Friday, November 03, 2006
MELURUSKAN MOTIVASI YANG BENGKOK
Yohanes 6
“. . . Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku . . . karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang” (Yoh. 6: 26)
Tiba-tiba si Embok Sronto terkejut karena melihat pemandangan yang tidak biasanya terjadi. Kali itu, ia terkesima dengan anak laki-lakinya yang sedang menyapu lantai halaman rumah. Belum lagi ditambah dengan mencuci piring. Pokoknya, hari itu dapat dikatakan sebagai hari yang bersejarah bagi Embok Sronto. Namun beberapa jam kemudian, tiba-tiba si anak datang kepada Emboknya dengan muka yang muram. Ia berkata, “Mbok, aku kan sudah bersihkan rumah plus cuci piring, tapi mengapa sampai sekarang aku belum diberi gaji seperti si Poniyem pembantu kita?” Si Embok menjawab dengan sedikit tersenyum, “Oh ternyata kamu melakukan semuanya tadi untuk dapatkan uang toh?”
Ilustrasi di atas dapat menggambarkan akan sebuah motivasi yang bengkok. Nampaknya baik, tapi nyatanya punya maksud yang lain. Sama seperti anak laki-lakinya Embok Sronto, orang banyak yang tercatat dalam Yohanes 6 pun juga melakukan hal yang sama. Orang banyak datang kepada Yesus bukan karena Yesus tetapi karena hal-hal jasmani. Satu sisi, apa yang mereka lakukan dapat dimaklumi. Apa sebab? Karena mereka memiliki keadaan yang serba minim akibat penjajahan bangsa Romawi waktu itu. Dan di tengah-tengah keadaan yang demikian, mereka melihat Yesus yang baru saja membuat mukjizat 5 roti dan 2 ikan (ay. 1-15). Tak pelak lagi, mereka mau datang dan mengikut Yesus agar perut mereka senantiasa kenyang. Inilah motivasi mereka.
Tapi Yesus tidak ingin mereka memiliki motivasi yang demikian. Yesus mengajarkan mereka bahwa perkara rohani jauh lebih penting ketimbang perkara jasmani. Dianggap lebih penting karena perkara rohani bersifat kekal tetapi perkara jasmani bersifat fana. Sebab itu, barangsiapa yang peduli dengan perkara rohani maka ia harus percaya kepada Yesus. Mendengar pengajaran Yesus yang demikian, maka orang banyak yang memiliki motivasi yang bengkok itu mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Yesus (ay. 66).
Motivasi yang bengkok juga dapat menjadi keadaan orang Kristen zaman sekarang. Banyak orang datang ke gereja bukan untuk mencari Tuhan, tapi untuk sekadar mengisi waktu kosong saja. Atau bisa jadi untuk makanan, bisa jadi untuk membuat pengurus Diakonia berbelas-kasihan lalu mengucurkan dana segarnya, bisa jadi untuk menyenangkan pasangan, bisa jadi untuk pelarian dari masalah rumah tangga, dan seterusnya. Adakah motivasi kita demikian? Bila kita kedapatan memiliki motivasi yang bengkok, maka luruskanlah segera!
Datang ke gereja belum tentu membuat Tuhan senang, tetapi datang ke gereja dengan motivasi yang benar pasti membuat Tuhan tersenyum manis
Thursday, November 02, 2006
DILAHIRKAN SEBAGAI SEORANG PELAYAN TUHAN
“. . . sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku” (Yoh. 5:30)
Seorang filsuf yang bernama Plato pernah berkata, “Siapakah yang senang kalau harus melayani orang lain?” Mungkin pendapat Plato yang satu ini dapat mewakili kehidupan orang Kristen, termasuk kita. Adakalanya kita merasa risi jika kita disuruh-suruh untuk melakukan sesuatu di gereja, bahkan bisa tersinggung bila yang menyuruh adalah orang yang lebih muda dari kita. Maklum, kita sudah terbiasa untuk menjadi juragan dalam kehidupan sehari-hari. Ya juragan di toko, ya juragan di rumah. Akhirnya, mentalitas juragan pun ikut terseret dalam dunia pelayanan. Ironis, bukan?
Untuk itu, mari kita bercermin kepada kehidupan Yesus Kristus yang dicatat dalam Yohanes 5. Dikisahkan di sana bahwa Yesus sedang menjelaskan tentang status diri-Nya kepada orang-orang Yahudi yang ingin membunuh Yesus. Dijelaskan oleh-Nya bahwa Ia hadir dan hidup di bumi hanyalah untuk melaksanakan apa yang Bapa mau untuk Ia kerjakan, tidak lebih dan tidak kurang. Sebab itu, apabila Ia disuruh oleh Bapa untuk melakukan sesuatu, maka Ia akan melakukan sesuai dengan permintaan Bapa-Nya.
Dan kali ini, Yesus disuruh Bapa-Nya untuk menyembuhkan orang-orang buta, orang-orang timpang dan orang-orang lumpuh di kolam Betesda. Meski hari itu adalah hari Sabat, Yesus tetap melaksanakan amanat Bapa-Nya tanpa tawar-menawar. Meski ada resiko berat yang akan dihadapi-Nya, Yesus tetap melaksanakan kehendak Bapa-Nya tanpa menunda-nunda. Inilah yang dinamakan dengan mentalitas seorang pelayan. Benarlah apa yang dikatakan-Nya, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku . . .” (Yoh. 4:34).
Seharusnya, kehidupan Yesus menjadi sebuah inspirasi yang membuat kita sadar bahwa ternyata kita dilahirkan untuk menjadi seorang pelayan Tuhan. Bila kita sadar akan hal ini, maka kita tidak perlu murung dan mutung bila tidak diberikan penghargaan ketika melakukan pelayanan di gereja. Bila kita sadar akan hal ini, maka kita juga tidak akan mudah merasa tersinggung karena disuruh-suruh melakukan pelayanan ini dan itu. Ingatlah, bahwa semua orang adalah para pelayan Tuhan. Tidak ada yang menjadi juragan dalam gereja. Sekali lagi, semuanya adalah pelayan Tuhan.
Biarlah Tuhan yang menjadi Juragan dan kita hanyalah para pelayan-Nya, itu saja!