Tuesday, April 03, 2007

DI BAWAH BAYANG-BAYANG TRAUMA (9)

Tapi kita harus berpikir lebih jauh dari sekadar memikirkan pandangan demi pandangan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Maksudnya, kita harus bertanya apakah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang yang mengalami trauma sebenarnya merupakan pertanyaan teologis? Ataukah sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu merupakan pertanyaan psikologis? Saya berpendapat bahwa tidak semua pertanyaan yang tampaknya teologis merupakan pertanyaan teologis dalam arti yang sesungguhnya. Artinya, kadangkala pertanyaan-pertanyaan “teologis” itu muncul sebagai reaksi sesaat atau reaksi psikologis saja.

Untuk memperjelas hal ini, saya akan memberikan contoh sehari-hari. Si Antok (nama samaran) merasa tidak terima dengan perlakuan yang tidak adil dari tukang becak yang baru saja menabrak mobil barunya. Rupanya, sang tukang becak itu menabrak mobil Antok dari belakang dengan cukup keras. Antok pun segera mendatangi tukang becak dan langsung memukulnya sebelum meminta pertanggungjawabannya. Perkelahian pun terjadi. Sang tukang becak balas memukul. Tapi, singkatnya, di antara mereka tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah karena masyarakat segera melerainya. Antok pun pulang dengan babak belur.

Pertanyaan untuk Anda adalah, apakah Antok tidak tahu bahwa ia seharusnya tidak boleh memukul tukang becak itu sebelum meminta penjelasannya? Atau bahkan, apakah Antok tidak tahu bahwa ia tidak perlu menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan perkaranya? Tapi mengapa Antok melakukan perbuatan itu semua? Dari kasus ini, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa Antok tidak tahu teorinya mengenai bagaimana menyelesaikan perkara gara-gara ia memukul tukang becak itu? Tidak bisa, bukan? Kita justru akan mengatakan bahwa Antok khilaf atau ia sedang emosi sesaat. Bila saya kaitkan dengan apa yang sebelumnya saya jelaskan, maka pertanyaan-pertanyaan yang tampaknya teologis terkadang bisa dimengerti sebagai pertanyaan psikologis saja. Mungkin orang yang mengalami trauma itu tahu tentang siapa Allah yang sebenarnya. Mungkin orang itu tahu bahwa Allah tidak pernah meninggalkan dirinya, namun toh ia menanyakan “di manakah Allah?” Mungkin orang itu tahu bahwa Allah itu selalu baik, namun toh ia bisa berkata, “I hate You, Lord!” Hal inilah yang saya maksud dengan pertanyaan psikologis belaka.

Apa yang sebenarnya saya mau katakan sejak tadi? Sebenarnya, saya hanya mengajak kita untuk membedakan terlebih dahulu akan pertanyaan-pertanyaan seputar Allah yang diajukan oleh orang traumatis. Satu ketika kita memang perlu mengevaluasi pandangan-pandangan tentang Allah untuk seseorang yang berada dalam tahap pasca trauma. Namun bila kita ingin menolong orang traumatis, kita mestinya tidak perlu terburu-buru untuk mengumbar pernyataan-peryataan teologis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar Allah dari orang tersebut. Yang perlu kita lakukan adalah kita menjadi “kawan seperjalanannya” yang bisa memahami hal-hal di balik pertanyaan teologisnya.

No comments: