Wednesday, April 04, 2007

DI BAWAH BAYANG-BAYANG TRAUMA (10)

Sayangnya, kita sebagai penolong acapkali tidak dapat menjadi “kawan seperjalanan” bagi orang traumatis. Tidak percaya? Coba pikirkan kasus ini: Bila Anda didatangi oleh seseorang dan ia berkata seperti demikian: “Saya merasa bosan dengan kehidupan ini. Semua orang sudah tidak lagi peduli kepada saya. Dan, saya yakin Tuhan juga sama dengan orang lain, tidak peduli dengan keadaan saya. Sewaktu suami saya dirawat di rumah sakit, banyak orang datang dan menjenguknya. Para hamba Tuhan dan teman-teman gereja silih berganti menanyakan kabar dan mendoakan suami serta keluarga kami. Tapi setelah suami saya meninggal, tidak ada satu orang pun yang datang menjenguk dan menanyakan keadaan saya. Teman gereja pun tidak. Bertahun-tahun saya harus melewati hidup ini sendirian, sebatang kara. Malahan sekarang, Tuhan membuat saya tidak bisa berjalan. Coba lihat, kedua kaki saya harus diamputasi akibat kecelakaan satu bulan yang lalu. Padahal, saya masih harus bekerja demi kebutuhan anak-anak. Saya masih harus ke pasar untuk belanja. Saya juga harus menjemput dan mengantar anak-anak ke sekolah. Tapi sekarang saya tidak bisa berjalan. Saya tidak bisa apa-apa. Tuhan itu jahat, Tuhan itu tidak lagi peduli kepada saya. Tidak cukup puaskah Ia mengambil suami saya? Kenapa kedua kaki saya juga diambil-Nya? Mengapa Tuhan tega melakukan perbuatan sekejam ini?” Selain mendengar perkataan ini, Anda ternyata juga mengetahui bahwa ia sudah tidak pergi ke gereja lagi sejak suaminya meninggal.

Apa yang akan Anda katakan kepadanya, khususnya mengenai pertanyaan-pertanyaannya seputar Allah? Ada beberapa kemungkinan perkataan yang dapat dikatakan kepadanya: (1) “Ya, seringkali kita memang tidak melihat Tuhan dalam situasi pahit seperti ini. Tapi percayalah, Tuhan sebenarnya selalu hadir untuk kita, termasuk untuk Anda. Tuhan tidak pernah meninggalkan Anda sendirian. Jadi, tetaplah beriman!” (2) “Tenang ya. Tuhan tahu apa yang diperbuat-Nya. Ia tahu apa yang terbaik bagimu, dan Ia selalu memberikan yang terbaik buat dirimu dan keluargamu. Engkau mungkin tidak mengerti alasan di balik situasi pahit ini, tapi percayalah bahwa engkau akan melihat hal yang terbaik dari Allah.” (3) “Aku tahu ini sulit, tapi cobalah untuk melihat apa yang dapat engkau pelajari dari peristiwa ini. Mungkin Tuhan sedang mengingatkan dirimu tentang suatu hal, misalnya engkau diingatkan agar engkau mau ke gereja lagi. Masih untung kan, Tuhan mengingatkanmu melalui situasi seperti ini. Masih banyak orang yang mengalami hal-hal yang lebih parah dari engkau.” (4) “Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Tuhan akan memelihara kehidupan dan masa depanmu, serta seluruh anggota keluargamu.” (5) “Apa yang engkau alami pernah aku alami semua. Dan pada akhirnya, aku menemukan bahwa Tuhan itu tetap Tuhan yang baik. Jadi, engkau salah kalau memandang Tuhan itu jahat, tidak peduli, kejam, dan sebagainya.”

Silakan Anda menilai lima kemungkinan pernyataan di atas. Bagaimana menurut Anda? Saya kira seorang “kawan seperjalanan” tidak terburu-buru berkata demikian. Ia benar-benar akan menemani perjalanan traumatis orang tersebut. Ia seakan-akan menyatu dalam kehidupannya sehingga ia mengerti semua pertanyaannya seputar Allah. Ia tahu apa yang ada di balik pertanyaan-pertanyaan orang traumatis tersebut. Dan, bila ia memahami apa yang ada di balik pertanyaan tersebut, maka cara ia menanggapi pertanyaan itu pun akan berbeda. Ia akan berkata, contohnya: (1) “Saya tahu situasimu sangat sulit. Kalau saya jadi engkau, saya pun mungkin bertanya pertanyaan-pertanyaan yang sama denganmu.” (2) “Semua pertanyaanmu tentang Tuhan sangatlah masuk akal.” (3) “Saya senang dengan kejujuran perasaanmu terhadap Tuhan.” (4) “Saya tidak memiliki jawaban untuk semua pertanyaanmu. Tapi saya mengerti situasimu.” (5) “Pertanyaan-pertanyaanmu sangat sulit dijawab karena hal itu berakar dari kesulitan-kesulitan dalam hidupmu. Tapi saya bersedia untuk menemanimu dalam melewati masa sulit ini.” Dan seterusnya.

Sebagai penutup untuk pembahasan bagian ini, kita harus menyadari satu hal penting, yaitu bahwa pemikiran dan perasaan orang traumatis tentang Allah perlu didengarkan dan dipahami. Kita tidak bisa dan tidak boleh menampik keberadaan segala pikiran dan perasaannya tentang Allah yang ia sembah. Justru, bila kita berusaha menyangkal hal ini, maka sebenarnya kita sedang membuat masalah baru bagi orang yang mengalami trauma. Masalah baru itu antara lain: (1) secara tak sadar, kita sebenarnya sedang mengajarkan mengenai Allah yang tidak berperasaan, Allah yang tidak bisa memahami penderitaan manusia, Allah yang nun jauh di singgasana-Nya. Jangan lupa, berapa banyak orang yang kecewa terhadap Tuhan atau kekristenan karena melihat kelakuan orang Kristen itu sendiri. Apa artinya? Artinya, seringkali orang luar memandang kita sebagai wakil Allah di bumi ini. Sebab itu, bila kita tidak memahami pikiran dan perasaannya tentang Allah, maka orang trauma itu semakin dapat meyakini bahwa Allah memang adalah Allah yang tak berperasaan. (2) Selain itu, kita justru mengajak dirinya untuk menggunakan “topeng” kekristenan. Tidak semua orang yang pergi ke gereja dan menyembah Allah adalah orang yang benar-benar spiritual. Sebagian di antara mereka adalah orang-orang yang pernah mengalami peristiwa traumatis yang sedang memakai “topeng” kekristenan. Mereka menyembunyikan segala kepahitan dan keraguannya tentang Allah dengan cara melakukan banyak kegiatan gereja. Tapi pertanyaannya, apa yang menyebabkan mereka melakukan demikian? Salah satu penyebabnya adalah karena mereka tidak dipahami oleh teman-teman segerejanya. Mereka tahu bahwa ketika sekali mereka mengungkapkan pertanyaan atau keraguannya tentang Allah, maka orang lain segera memandang rendah spiritualitasnya. Mereka tahu bahwa ketika sekali mereka mengungkapkan kejengkelannya kepada Allah, maka orang lain akan menuduh bahwa hal itu adalah dosa di mata Tuhan. Itulah sebabnya, mereka merasa bahwa lebih baik mereka menyembunyikan seluruh pertanyaan atau keraguannya tentang Allah dalam dirinya dan mereka tetap melakukan hal-hal yang dianggap suci, saleh, dan spiritual. Inilah yang saya maksud dengan “topeng” kekristenan.

No comments: