Bagaimana prosesnya? Kita dapat mengajak orang traumatis untuk mengingat hal-hal mendetail dari pengalaman traumatis masa lalunya secara faktual. Contohnya: Bila kita menghadapi orang traumatis akibat serangan badai tsunami, maka kita dapat mengajaknya untuk mengingat fakta-fakta, antara lain: kronologis peristiwa, reaksi orang lain ketika melihat air laut yang menyusut dengan drastis, reaksi orang-orang ketika melihat gelombang air yang mulai melaju ke depan dengan cepat, reaksi dirinya sendiri, dan seterusnya. Fakta-fakta inilah yang dapat terlebih dahulu diingat. Perlu kita ketahui sebelumnya, bahwa orang traumatis yang melakukan aktifitas dalam tahap ini mungkin saja mengalami guncangan emosi, seperti menangis, terdiam, marah, dan sebagainya. Dengan kata lain, kita tidak perlu terkejut bila kita menyaksikan ekspresi emosinya.
Setelah membicarakan mengenai peristiwa-peristiwa traumatis secara faktual, maka kita mulai dapat menanyakan tanggapan orang itu atas peristiwa yang terjadi. Tanggapan ini bisa dimulai dari sudut pikiran atau perasaannya. Bila kita ingin memahami tanggapannya dari sudut pikiran, maka kita dapat menanyakan hal-hal seperti: Apa yang Anda pikirkan tentang peristiwa itu, apa pandangan Anda mengenai kejadian tersebut, bagaimana Anda memahami Allah ketika peristiwa itu terjadi, lalu apa yang engkau pikirkan selanjutnya, dan seterusnya.
Selain dari sudut koginitif/pikirannya, kita juga perlu berusaha untuk memahami pengalamannya dari sudut perasaannya. Pertanyaan-pertanyaan yang menuntun pada alam perasaannya, antara lain: Apa yang engkau rasakan ketika pengalaman itu terjadi, apa yang engkau rasakan saat ini ketika pengalaman itu sudah terjadi sekian lama, bagaimana engkau mengatasi perasaan itu, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan pada tahap inilah yang seringkali membuat orang traumatis meneteskan air mata. Lalu apa yang kita lakukan ketika menghadapi ekspresi emosinya? Jawabannya hanya satu: izinkan air mata itu berbicara. Dengan kata lain, kita tidak perlu merasa risih atau memberikan tanggapan lain. Kita hanya perlu membiarkan orang tersebut melepaskan emosinya dengan rasa aman. Menanggapi hal ini, Yeo mengatakan bahwa kesedihan yang mendalam tetap bisa kembali lagi, namun kedalaman kesedihannya akan lebih berkurang.
Dalam aktifitas mengingat ini, kita tentunya juga dapat mengajak orang traumatis untuk mengingat hal-hal yang positif. Contohnya, bila kita menghadapi orang traumatis akibat gelombang tsunami, maka kita dapat mengajaknya untuk mengenang masa-masa di mana ia selamat dari gelombang tersebut, atau masa di mana ia dapat menghargai kehidupan dengan lebih baik lagi.
Di akhir pembahasan bagian ini, kita perlu mengetahui bahwa aktifitas mengingat tidak selalu dilakukan secara verbal antara orang traumatis dan kita. Untuk melakukan hal ini, kita perlu menghargai cara yang paling nyaman baginya untuk melakukan aktifitas mengingat. Ada orang yang lebih nyaman untuk berbicara secara langsung, ada orang yang lebih nyaman untuk menuliskan ingatannya, ada orang yang lebih nyaman untuk menggambar. Tentunya, bila ia mengomunikasikan dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri, maka kita masih perlu menanyakan arti dari bahasa itu sendiri. Contohnya, seorang pemuda bercerita mengenai pengalaman traumatis atas apa yang pernah dilakukan oleh orang tuanya. Ketika saya menanyakan pikiran dan perasaannya, ia hanya menyodorkan gambar yang diwarnai dalam bukunya. Menghadapi hal ini, maka saya pun membiarkan dirinya bercerita melalui gambar dan warna tersebut. Dari sanalah saya baru dapat memahami alam pikiran dan perasaannya.
Setelah membicarakan mengenai peristiwa-peristiwa traumatis secara faktual, maka kita mulai dapat menanyakan tanggapan orang itu atas peristiwa yang terjadi. Tanggapan ini bisa dimulai dari sudut pikiran atau perasaannya. Bila kita ingin memahami tanggapannya dari sudut pikiran, maka kita dapat menanyakan hal-hal seperti: Apa yang Anda pikirkan tentang peristiwa itu, apa pandangan Anda mengenai kejadian tersebut, bagaimana Anda memahami Allah ketika peristiwa itu terjadi, lalu apa yang engkau pikirkan selanjutnya, dan seterusnya.
Selain dari sudut koginitif/pikirannya, kita juga perlu berusaha untuk memahami pengalamannya dari sudut perasaannya. Pertanyaan-pertanyaan yang menuntun pada alam perasaannya, antara lain: Apa yang engkau rasakan ketika pengalaman itu terjadi, apa yang engkau rasakan saat ini ketika pengalaman itu sudah terjadi sekian lama, bagaimana engkau mengatasi perasaan itu, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan pada tahap inilah yang seringkali membuat orang traumatis meneteskan air mata. Lalu apa yang kita lakukan ketika menghadapi ekspresi emosinya? Jawabannya hanya satu: izinkan air mata itu berbicara. Dengan kata lain, kita tidak perlu merasa risih atau memberikan tanggapan lain. Kita hanya perlu membiarkan orang tersebut melepaskan emosinya dengan rasa aman. Menanggapi hal ini, Yeo mengatakan bahwa kesedihan yang mendalam tetap bisa kembali lagi, namun kedalaman kesedihannya akan lebih berkurang.
Dalam aktifitas mengingat ini, kita tentunya juga dapat mengajak orang traumatis untuk mengingat hal-hal yang positif. Contohnya, bila kita menghadapi orang traumatis akibat gelombang tsunami, maka kita dapat mengajaknya untuk mengenang masa-masa di mana ia selamat dari gelombang tersebut, atau masa di mana ia dapat menghargai kehidupan dengan lebih baik lagi.
Di akhir pembahasan bagian ini, kita perlu mengetahui bahwa aktifitas mengingat tidak selalu dilakukan secara verbal antara orang traumatis dan kita. Untuk melakukan hal ini, kita perlu menghargai cara yang paling nyaman baginya untuk melakukan aktifitas mengingat. Ada orang yang lebih nyaman untuk berbicara secara langsung, ada orang yang lebih nyaman untuk menuliskan ingatannya, ada orang yang lebih nyaman untuk menggambar. Tentunya, bila ia mengomunikasikan dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri, maka kita masih perlu menanyakan arti dari bahasa itu sendiri. Contohnya, seorang pemuda bercerita mengenai pengalaman traumatis atas apa yang pernah dilakukan oleh orang tuanya. Ketika saya menanyakan pikiran dan perasaannya, ia hanya menyodorkan gambar yang diwarnai dalam bukunya. Menghadapi hal ini, maka saya pun membiarkan dirinya bercerita melalui gambar dan warna tersebut. Dari sanalah saya baru dapat memahami alam pikiran dan perasaannya.
No comments:
Post a Comment