Tuesday, April 10, 2007

DI BAWAH BAYANG-BAYANG TRAUMA (13)

V. MENOLONG ORANG TRAUMATIS
Setelah kita mendapatkan beberapa pemahaman mendasar mengenai pengalaman traumatis, sekarang kita akan memikirkan bagaimana menolong orang untuk melewati pengalaman traumatis itu. Namun, sebelum saya menuju pada penjelasan teknis tentang cara menolong orang traumatis, saya akan terlebih dahulu menjabarkan beberapa kualifikasi seorang penolong. Menurut hemat saya, kita harus memikirkan kualifikasi seorang penolong karena bila hal-hal seperti ini tidak diperhatikan, maka akhirnya seorang penolong tersebut justru dapat menjadi seseorang yang menambah pengalaman trauma bagi orang yang traumatis.

Kualifikasi apa saja yang harus dimiliki oleh seorang penolong? Setidaknya ada dua kualifikasi mendasar yang harus dimiliki oleh seorang penolong, yakni:

1. Ia memiliki kerinduan yang besar untuk menolong orang traumatis
Seorang psikiatris, Elizabeth Kübler-Ross, dalam bukunya On Death and Dying, mengatakan bahwa seorang yang mengalami kesedihan akan melewati beberapa tahap, seperti tahap penolakan, tahap marah, tahap tawar-menawar, tahap depresi, dan tahap paling puncak adalah tahap menerima. Apa yang dikemukakan oleh dia memang dapat terjadi pada sebagian orang, namun ada satu hal yang perlu dipertanyakan: apakah semua orang yang mengalami trauma dapat dipastikan akan menuju pada tahap terakhir, yaitu menerima? Mengenai hal ini, Yeo menjelaskan bahwa tidak semua orang yang mengalami trauma akan mencapai tahap menerima, meski ia sudah bertahun-tahun menghadapinya. Dengan kata lain, ada sebagian orang yang masih berputar-putar dalam tahap-tahap yang lain.

Dari sini kita melihat bahwa kita tidak bisa memperlakukan orang traumatis secara kaku. Maksudnya, kita tidak bisa memprediksi kapan ia akan berhasil melewati masa-masa PTSD (Post-traumatic Stress Disorder). Apa sebabnya? Karena, setiap manusia memiliki keunikannya masing-masing dalam melewati masalah-masalah hidupnya. Satu orang tidak sama dengan orang yang lain dalam hal menghadapi masalahnya. Ada yang membutuhkan waktu sedikit saja meski peristiwa traumatisnya terkesan berat oleh sebagian orang, namun ada pula yang membutuhkan waktu lama sekali meski peristiwa traumatisnya terkesan ringan oleh sebagian orang. Singkatnya, menolong orang yang traumatis itu tidaklah sederhana.

Oleh sebab itu, bila kita ingin menolong seorang yang mengalami trauma, maka kita harus memastikan apakah diri kita memiliki kerinduan yang besar untuk menolongnya. Bila kita tidak memiliki kerinduan yang besar, maka kesetiaan kita untuk menjadi “kawan seperjalanan” bagi orang traumatis akan pudar. Bahayanya, kita dapat mengalami kejenuhan, dan yang paling menakutkan adalah kita dapat berbalik menjadi seorang yang menambahkan pengalaman trauma bagi orang lain dengan apa yang kita katakan dan lakukan. Teman-teman Ayub melakukan hal ini. Pada awalnya mereka memang bijaksana karena mereka ikut berdiam diri bersama dengan Ayub, namun pada akhirnya mereka justru menimbulkan luka baru bagi Ayub dengan perkataan-perkataannya. Jadi, sekali lagi, apakah kita memiliki kerinduan yang besar untuk menolong orang traumatis?

No comments: