Saturday, December 22, 2007

COUNSELLING: A PROBLEM-SOLVING APPROACH

Dalam kesempatan ini, saya akan membagikan hasil interaksi saya dengan buku Counselling: A Problem-Solving Approach, buah tangan dari Anthony Yeo. Beliau adalah seorang konsultan terapis yang bekerja di Counselling and Care Centre, Singapore, sejak tahun 1972.

Chapter 1: The Problem-Solving Approach (PSA)
Dalam bab ini, Yeo memberikan penjelasan mengenai beberapa karakteristik pendekatan masalah-solusi (problem-solving approach) dalam konseling. Karakteristik-karakteristik itu, antara lain:

1. Berfokus pada klien

PSA tidak berfokus pada pemecahan masalah secara mekanis, melainkan berfokus pada perhatian yang diberikan kepada klien. Pendekatakan yang berfokus pada masalah akan cenderung mengabaikan kebutuhan untuk membangun relasi dengan klien. Bila yang terjadi demikian, maka konselor hanya akan menjadi seorang ahli pemecah masalah dengan keterlibatan minimal di pihak klien.

PSA tidaklah demikian. Dalam PSA, konselor justru secara aktif terlibat dalam proses membantu klien memusatkan perhatian pada masalah-masalahnya dan mencari pemecahan untuk masalah yang dipresentasikannya.

2. Menghindari perhatian yang tidak perlu terhadap masa lalu

Selain terlibat aktif dalam membantu permasalahan klien, PSA juga menghindari perhatian yang tidak diperlukan terhadap masa lalunya klien. Telah cukup lama pelatihan dan sekolah konseling dipengaruhi oleh pendekatan psikodinamik di mana penyelidikan masa lalu dipakai untuk menemukan akar masalah yang dipresentasikan klien. PSA menganggap bahwa pendekatan seperti demikian mungkin sudah tidak lagi berguna baik bagi klien maupun konselornya. Apa sebabnya? Karena masa lalu tidak mungkin dapat diubah dan mengetahui masa lalu tidak secara otomatis dapat dipakai untuk mengubah masalah klien saat ini. Bila perhatian masa lalu terlalu dititikberatkan, maka efek yang mungkin terjadi adalah si klien dapat menyalahkan masa lalunya, seperti orang tuanya, pengalaman traumatik masa kecilnya, dan seterusnya. Yeo berkata, “They [klien] end up with a lot of hostility and spend their time in wishful thinking. . . . [The client] can spend a lot of unproductive time wishing the past had never been, yet he still has to live for today.”[1] Sebab itu, seorang konselor tidak seharusnya memberikan wawasan mengenai masa lalu klien sambil mengharapkan hal itu akan membantu memecahkan masalah kekiniannya. Milton Erickson yang dikutip Yeo mengatakan, “Insight into the past may be somewhat educational, but insight into the past isn’t going to change the past.”

Untuk menyempurnakan penjelasan itu, Yeo memberikan satu kasus: Satu ketika sepasang suami-istri yang sedang konflik datang ke konseling dan berusaha untuk menggali keluhan-keluhan masa lalunya yang sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Usia pernikahan mereka adalah 35 tahun. Mereka ingin menceritakan pada Yeo tentang segala sesuatu yang sudah terjadi sejak mereka berpacaran. Maksud mereka adalah supaya Yeo memahami masalah mereka. Apa yang dilakukan Yeo kemudian? Yeo lalu membimbing mereka untuk kembali berfokus pada masalah kekiniannya mereka. Jika mereka dibiarkan menggali luka-luka masa lalunya, maka hal ini akan semakin menyakitkan, dan itu tidak membantu klien maupun proses konseling. Di sinilah Yeo menghindari perhatian yang tidak perlu terhadap masa lalu klien. Inilah salah satu karakteristik PSA.



[1] Anthony Yeo, Counselling: A Problem-Solving Approach (Singapore: Armour, 1993), 10.

No comments: