Monday, December 24, 2007

COUNSELLING: A PROBLEM-SOLVING APPROACH (2)

3. Berorientasi pada kesehatan

PSA berusaha untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan (resources) dan mencari apa yang baik di dalam apa yang buruk di dalam kehidupan klien. Di tengah-tengah pesimisme dan pandangan negatif klien terhadap masalahnya, konselor dapat terjebak pada perhatian yang terlalu berlebihan pada ketidakberdayaan klien. Yeo berkata, “This can overwhelm both client and counsellors as it can be depressing to talk excessively of things that we cannot change.”[1]

Kadangkala seorang konselor terlalu sibuk dengan memerhatikan diagnosa yang tepat dan melabelkan hasil diagnosa itu kepada klien, seperti skizofrenia, neurosis kompulsif-obsesif, dan seterusnya. Bahkan, menurut Yeo, ada banyak biro konseling yang menghabiskan banyak waktu untuk membicarakan dan memperdebatkan diagnosa tersebut. Hasil diagnosa itu nantinya akan menjadi bahan presentasi dalam pertemuan-pertemuan tahunan. “However, it is not helpful to pay too much attention to diagnostic labels as there is minimal evidence that labelling helps a person solve his problems. In fact, the opposite is probably true. By not labelling a person, it is often easier for change to occur,” demikian komentar Yeo.[2] Hal yang sama pernah diungkapkan oleh Jay Haley, “Any treatment which defines the person as abnormal tends to perpetuate the problem.”[3]

Sebagai seorang konselor, ia harus meyakini bahwa ia dapat membantu seseorang yang sedang membawa permasalahan. Sebab itu, dengan mengadopsi orientasi kesehatan adalah satu langkah maju dalam konseling. Ia akan lebih bersemangat untuk membantu klien bila ia melihat resources dalam setiap permasalahan kliennya. Yeo meyakini bahwa, “There is always health in any kind of “sickness”. The counsellors should try to touch this part.”[4]

4. Menormalisasi situasi yang abnormal

PSA meyakini bahwa semua masalah dapat dinormalisasikan. Atau dengan kata lain, situasi yang abnormal bagi klien dapat dinormalisasikan. Maksudnya, konselor dapat melihat masalah itu sebagai reaksi yang normal pada situasi yang abnormal. Ketika seseorang kehilangan pasangan hidupnya, adalah hal yang normal bila ia marah, stress, depresi, dan mungkin kehilangan arah hidup. Ketika seseorang kehilangan uang dalam jumlah besar, maka adalah hal yang normal bila ia marah, pola makan menjadi terganggu, sulit mengampuni orang yang menghilangkan uangnya, dan seterusnya. Menormalisasikan situasi yang abnormal seharusnya merupakan orientasi seorang konselor. Ia harus belajar untuk menafsirkan masalah klien sebagai reaksi yang wajar. Yeo lalu menyimpulkan bahwa, “Normalising problems in no way minimises their gravity. We take problem seriously. But they are accepted and viewed realistically and positively.”[5]




[1] Counselling, 11-12.

[2] Ibid., 12.

[3] Dikutip oleh Yeo, Counselling, 12.

[4] Ibid., 13.

[5] Ibid., 14.

No comments: