“. . . Sabarlah terhadap semua orang.”
1 Tesalonika 5: 14
Pelajarilah seni sabar.
Disiplinkan pikiranmu saat pikiran-pikiran tak sabar
untuk meraih tujuan.
Tak sabar memicu kegelisahan, ketakutan, keputusasaan,
dan kegagalan.
Sabar menciptakan keyakinan, kepastian,
dan cara berpikir rasional,
bahkan mendatangkan sukses (Bryan Adams)
Setiap kali pergi makan ke KFC, kita pasti melihat patung atau gambar seorang kakek tua dengan jenggot putihnya. Tahukah Andah siapa nama kolonel tersebut? Ia adalah kolonel Sanders. Tidak banyak orang tahu perjalanan berat mencapai kesuksesannya. Sanders baru memulai usaha menggoreng ayam di usia 60 tahun. Lalu ia menawarkan resep ayam gorengnya dari satu restoran ke restoran lainnya. Restoran pertama menolak resep barunya. Restoran kedua, ketiga, keempat, kelima, dan restoran-restoran berikutnya terus menolak resep ayam gorengnya. Sanders tidak patah semangat. Ia terus menawarkan dan menawarkan. Akhirnya, resep ayam gorengnya baru diterima oleh restoran yang ke 108. Ia baru menikmati hasil kerja kerasnya pada usia 90 tahun. Jadi, selama 30 tahun ia berjuang dan terus berjuang. Inilah contoh kesabaran seorang manusia.
Apa artinya sabar? Dalam 1 Tesalonika 5: 14, kata “sabar” berarti “panjang menderita”. Orang yang menderita karena satu penyakit pasti akan ada titik akhirnya. Entah akhirnya sembuh atau meninggal; yang pasti penderitaan itu ada titik akhirnya. Tapi dalam hal ini Paulus tidak berbicara mengenai titik akhir penderitaan; ia justru berbicara mengenai panjangnya penderitaan seseorang. Proses yang menjadi pembicaraan utamanya. Sebab itu, sabar dapat diartikan sebagai: menikmati proses daripada hasil akhirnya.
Kebanyakan kita tidak menikmati sebuah proses. Tuntutan “mana hasilnya” selalu membayangi kehidupan kita. Dunia kerja adalah satu lembaga yang mungkin paling banyak menuntut hasil ketimbang prosesnya. Dunia rumah tangga pun juga tidak kebal dari tuntutan hasil. Seorang wanita merasa sangat sakit hati terhadap mantan suaminya. Mengapa? Ia diceraikan suaminya karena dianggap tidak dapat memberikan keturunan dalam pernikahan yang sudah berjalan selama 2 tahun. Mantan suami dan pihak keluarganya mengatakan bahwa dia mandul. Yang lebih menyakitkan lagi adalah mantan suaminya mengatakan, “Tuh benar kan, kamu yang mandul, buktinya sekarang saya nikah lagi dan langsung memiliki anak.” Ini tuntutan hasil yang terjadi juga dalam dunia rumah tangga. Memang budaya menuntut hasil tampaknya telah mendarah daging dalam kehidupan kita.
Padahal, tahukah Anda bahwa proses sebenarnya jauh lebih penting ketimbang hasilnya? Bayangkan kita sedang menonton pertandingan sepak bola. Manakah yang lebih kita nikmati: melihat proses pertandingan atau mengetahui hasilnya? Mengapa para penggemar sepak bola rela mengorbankan waktu tidur mereka pada malam hari demi menyaksikan pertandingan sepak bola? Bukankah hasil pertandingan dapat mereka lihat keesokan hari melalui surat kabar? Tentu karena, bagi mereka, menikmati proses lebih penting ketimbang hasilnya.
Kesabaran berarti kita menikmati proses daripada hasil akhirnya. Nikmatilah prosesnya, itu yang terpenting. Ketika Paulus mengatakan, “Sabarlah terhadap semua orang,” berarti kita perlu belajar menikmati proses pertumbuhan karakter orang lain. Setiap orang memiliki waktu pertumbuhannya masing-masing. Ada yang pertumbuhan karakternya baru kelihatan setelah 2 tahun menjadi orang Kristen. Ada yang membutuhkan 5 tahun. Ada yang membutuhkan 20 tahun, dan seterusnya. Segala sesuatu ada waktunya.
Untuk menutup renungan ini, saya ingin menceritakan sebuah kisah. Sekitar tahun 300 ada seorang ibu yang sabar mendoakan putranya. Ia hidup dalam kebejatan moral. Pada usianya yang ke 17, putranya sudah hidup bersama dengan seorang wanita di luar nikah. Ibu ini sangat hancur hatinya dan ia hanya bisa berdoa dan berdoa. Akhirnya, setelah mendoakan anaknya selama kurang lebih 15 tahun, baru hasilnya tampak. Di usianya yang ke 32 putra kesayangannya bertobat, mau dibaptis. Malahan di usianya yang semakin dewasa ia menghasilkan karya-karya teologi yang menjadi warna gereja kita pula. Putra itu bernama St. Agustinus dan Ibunya bernama Monica.
Ibu Monica tidak pernah tahu hasil akhir doanya. Tapi ia terus sabar dan sabar dan sabar terhadap proses pertumbuhan anaknya.
Marilah kita sabar terhadap semua orang!
No comments:
Post a Comment