Thursday, April 09, 2009

Perempuan Pemberita Paskah: Maria Magdalena

Yohanes 20: 18


Swargo nunut, neroko katut,” demikian sebuah ucapan dalam bahasa Jawa. Maksudnya, istri harus menurut saja kepada suami. Kalau suami masuk sorga, istri pun ikut. Sebaliknya kalau suami masuk neraka, maka istri pun juga terbawa. Sudah lama perempuan dianggap tidak mampu dan bahkan tidak boleh berdiri sendiri. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa perempuan hanya mengurus 3M saja: Manak, Masak, dan Macak. Tentu dengan semakin gencarnya modernitas yang disertai dengan gerakan kesetaraan perempuan, maka saat ini makin banyak perempuan yang bisa berdikari dengan leluasa. Banyak perempuan yang diperhitungkan dalam kancah pekerjaan, bahkan dalam kancah perpolitikan.

Namun situasi seperti itu tidak dialami dalam masyarakat Yahudi 2000 tahun yang lalu. Perempuan sangat direndahkan derajatnya. Contoh yang mungkin paling menjengkelkan para perempuan adalah kasus perzinahan. Hukuman apa yang diberikan bagi perempuan berzinah? Dirajam batu. Tapi kenapa hanya perempuan yang dirajam batu? Bagaimana dengan laki-laki yang ikut berzinah dengan perempuan tersebut? Wes hewes hewes bablas orange . . . Contoh lainnya adalah dalam hal jabatan. Waktu itu semua jabatan penting, seperti jabatan keagamaan, ada di tangan laki-laki. Tidak pernah ada pengkhotbah/pengajar perempuan saat itu. Soal kehidupan berkeluarga, perempuan pun tidak masuk hitungan. Bila orang Yahudi ditanya berapa jumlah anaknya, maka yang disebut hanyalah anak laki-lakinya saja.

Dalam dunia pengadilan perempuan juga tidak mendapatkan keadilan yang setara dengan pria. Saat itu seorang perempuan tidak boleh memberi kesaksian. Kesaksian perempuan selalu dianggap bohong. Masyarakat Yahudi tidak menerima seorang perempuan sebagai saksi.

Tapi apa yang terjadi pada waktu Paskah? Allah menjungkirbalikkan budaya tersebut. Di tengah masyarakat yang tidak mau menerima perempuan sebagai saksi, Allah justru menjadikan perempuan sebagai saksi kebangkitan Kristus. Saksi atas perkara yang terbesar dalam dunia berdosa ini. Dan hal itu bukan hanya dicatat oleh satu atau dua kitab Injil, melainkan keempat Injil mencatatnya. Para perempuan itu adalah Maria Magdalena, Maria Ibu Yakobus, Salome, Yohana. Mereka adalah para perempuan pemberita Paskah. Lantas apa yang mereka lakukan?

Hari ini kita akan lebih fokus pada salah satu tokoh agar perenungan Paskah kita makin dalam. Satu tokoh tersebut adalah Maria Magdalena.

Siapakah Maria Magdalena? Sayang sekali, nama Maria Magdalena seringkali dihubungkan dengan pelanggaran moral. Orang-orang membicarakan dia sebagai seorang pelacur. Pada tahun 1324 di Napoli, Italia, sebuah rumah penampungan wanita-wanita asusila diberi nama Pondok Maria Magdalena. Nah nama Maria Magdalena akhirnya menjadi bertambah buruk lagi. Tapi sesungguhnya, apakah nama itu sedemikian buruknya sehingga ia tidak patut dijadikan teladan?

Sebelum bertemu dengan Tuhan Yesus, Maria memang adalah seorang perempuan yang patut dikasihani. Ia baru mengerti betapa dahulu ia patut dikasihani ketika melihat orang-orang lain yang dirasuk setan. Markus 16: 9 memberi keterangan bahwa Yesus pernah mengusir 7 setan dari dalam Maria. Biasanya orang-orang yang dirasuk setan waktu itu benar-benar seperti binatang, yang hidupnya berkeliaran di gua-gua, orang-orang gila yang wajahnya tidak karuan, dan matanya sangat liar. Mereka diciptakan Allah tetapi dikuasai Iblis. Tatkala dikuasai Iblis, Maria menjadi tidak berdaya sama sekali. Ia pasti dikucilkan. Betapa malang nasib Maria. Budaya telah merendahkan derajatnya, dan ditambah lagi Iblis merendahkan dirinya. Martabatnya semakin rendah lagi. Sudah jatuh ketimpa tangga.

Namun setelah Tuhan Yesus memerintahkan ketujuh roh jahat itu keluar dari Maria, maka segala sesuatu pada dirinya berubah. Maria yang terbelenggu oleh Iblis, kini dimerdekakan oleh Kristus. Wajahnya pasti berubah menjadi lebih baik lagi. Tatapan matanya pun menjadi teduh. Tapi ingat, Maria tidak hanya berubah secara fisiknya. Hatinya pun berubah. Setelah disembuhkan, ia tidak mau berpisah dengan Yesus. Ada satu kerinduan besar untuk tinggal dekat dengan Yesus. Sebab itu, ia berani meninggalkan Kota Magadan, sebuah kota industri yang sedang berkembang, untuk mengikuti Yesus ke manapun Yesus pergi.

Pelajaran pertama dari keteladanan Maria untuk kita adalah: Apakah setelah Yesus membebaskan kita dari belenggu dosa kita memiliki kerinduan untuk tinggal dekat dengan Yesus? Apakah kita memiliki cinta yang mendalam sampai rasanya berat kalau tidak bertemu Yesus dalam doa dan saat teduh kita?

Satu ketika di persekutuan Lansia kami, ada perayaan ultah pernikahan emas sepasang anggota jemaat. Yang menarik adalah kesaksian dari istrinya tentang suaminya. Ia berkata, “Oom sangat mencintai saya . . . bahkan rasanya dia lebih cinta saya ketimbang saya cinta dia. Kalau saya pergi dan dak pulang-pulang, Oom nungguin terus di rumah. Dan setelah datang, Oom berkata, “Kowe teko endi wae . . . kok sue toh.”

Saya tahu memang tidak semua pasangan memiliki pernikahan seperti mereka. Memang ada pernikahan yang kurang sehat sehingga pasangan saling berkata, “Tek no wae, mulih ora mulih karepe . . .” Jadi berpisah lama dengan pasangan pun tidak masalah.

Tapi bukankah perkataan itu menunjukkan seberapa buruknya pernikahan itu? Demikian pula dalam hubungan kita dengan Tuhan. Apabila kita merasa tidak masalah berpisah lama dengan Tuhan, merasa tidak ada pengaruhnya kalau tidak bersaat teduh dalam waktu lama, maka itu menunjukkan seberapa buruknya hubungan kita dengan Tuhan. Atau malah jangan-jangan kita sendiri belum dibebaskan dari belenggu dosa? Sama seperti Maria Magdalena, seorang yang telah dimerdekakan oleh Yesus, maka dengan sendirinya ia memiliki kerinduan untuk selalu tinggal dekat dengan Yesus.

Kisah Maria Magdalena kembali berlanjut. Kerinduan Maria masih sama. Tetap tinggal dekat dengan Yesus. Ketika Yesus harus menapaki via dolorosa hingga kayu salib, Maria tetap setia mengikuti-Nya. Tapi hebatnya, kasih Maria tidak berhenti pada Yesus pada waktu Yesus mati di atas kayu salib.

Setelah lewat hari Sabat, dan sementara seluruh penduduk kota masih tidur, Maria bersama beberapa perempuan lainnya pergi ke kubur. Pikirannya adalah ia akan mengurapi mayat Yesus dengan minyak rempah-rempah. Tapi pada saat Maria tiba di depan kubur Yesus, ia sangat terkejut karena batu penutup yang besar itu terguling. Maria sangat sedih karena pikirnya mayat Yesus telah dicuri. Tapi singkat cerita, akhirnya Maria berjumpa kembali dengan Yesus dalam tubuh kemuliaan. Lantas ini yang menarik, Alkitab mencatat, “Maria Magdalena pergi dan berkata kepada murid-murid, ‘Aku telah melihat Tuhan!’” Perjumpaan dengan Yesus telah membuat hati Maria berkobar-kobar untuk memberitakan Yesus kepada orang lain. Tadinya Maria merasa sedih, sekarang ia merasa antusias untuk memberitakan Yesus.

Pelajaran kedua dari keteladanan Maria untuk kita adalah: Apakah hati kita berkobar-kobar/antusias untuk memberitakan Yesus? Saya adalah asli arek Suroboyo. Ketika pertama kalinya datang ke kota Solo, saya pesan soto ayam di depot Kirana. Betapa terkejutnya saya ketika melihat soto tersebut. Kuahnya bening. Saya berpikir, apakah saya salah pesan. Mungkin saya memesan sup ayam. Hati saya kecewa karena dalam bayangan saya kuah soto seharusnya berwarna kuning.

Dalam perjalanan waktu tinggal di Solo, saya akhirnya menemukan beberapa depot yang menyajikan makanan Jatim, termasuk soto ayam yang kuning itu. Betapa gembira hati saya. Karena kegembiraan tersebut, maka dengan sangat antusias saya segera woro-woro ke rekan-rekan hamba Tuhan. “Eh ada soto uenak tenan di sana,” demikian kata saya waktu itu. Saya yakin Anda pun punya depot favorit yang menyajikan makanan kesukaan Anda. Dan saya yakin Anda pun antusias memberitahu teman-teman di mana depot tersebut, bukan?

Lalu entah mengapa saya merenungkan, kenapa kita lebih antusias memberitakan soal makanan ketimbang soal Yesus yang bangkit dari kematian itu? Kenapa kita lebih antusias memberitakan soal toko-toko baju yang menawarkan diskon ketimbang soal Yesus yang menawarkan keselamatan manusia? Dan yang lebih celaka lagi, kenapa kita lebih antusias memberitakan kabar buruk orang lain ketimbang kabar baik Injil Yesus Kristus?

Buletin Open Doors edisi November-Desember 2006, memuat berita tentang 3 orang guru Sekolah Minggu, yaitu: Ibu Rebekka, Ibu Eti, dan Ibu Ratna yang dipenjara 3 (tiga) tahun di Penjara Indramayu, Jawa Barat karena dituduh telah memaksa anak-anak Muslim menjadi Kristen melalui program Minggu Ceria. Ketika dikunjungi Tim Open Doors, ketiga ibu ini tidak tampak sedih atau stress, tetapi justru memancarkan ekspresi wajah yang penuh sukacita. Ibu Rebekka malah mengatakan “Kami sungguh bersukacita boleh menikmati penderitaan dalam penjara karena Kristus. Menderita bagi Kristus adalah normal.” Di dalam penjara mereka tetap melayani Tuhan, bahkan dapat memberitakan Injil kepada teman-teman di dalam penjara dan mengadakan ibadah rutin di dalam penjara.

Apa yang kita lihat? Perjumpaan dengan Yesus secara pribadi telah membuat hati mereka antusias memberitakan Injil keselamatan. Antusiasme untuk memberitakan Injil itu terasa sangat kuat sehingga tidak dapat dibatasi dengan jeruji penjara. Sebab itu di dalam penjara pun mereka tetap melayani Tuhan dan mengabarkan Injil kepada teman-teman di penjara.

Apapun status sosial dan ekonominya, kita tetap dapat memberitakan Yesus dengan beragam cara. Istri saya pernah bercerita: Dulu waktu SMP murid-murid sering disuruh untuk menghafalkan ayat-ayat. Agar istri saya dapat belajar dan sekaligus menginjili pembantunya, maka ia meminta pembantunya untuk bedeki. Kreatif, bukan? Masakan kita kalah kreatif dengan anak SMP? Yang terpenting adalah hati kita yang terangkum dalam 5 M: Mau, Mau, Mau, Mau, Mau.

Allah menghargai kaum perempuan. Bukti paling jelas adalah ketika kesempatan menyaksikan kebangkitan Yesus diberikan pertama kalinya kepada para perempuan. Kita patut berbesar hati karena Allah juga berada di pihak kaum perempuan. Tapi kita tidak boleh terlena dengan penghargaan Allah. Ada tugas selanjutnya yang perlu kita kerjakan: Tinggallah dekat dengan Yesus dan beritakanlah Yesus. Selamat Paskah!