Selasa, 19 Mei 2009 | 15:46 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Penilaian terhadap Boediono sebagai Muslim yang lurus dengan pribadi yang jujur, sederhana, dan konsisten diungkapkan secara gamblang oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai alasannya memilih Gubernur BI itu untuk mendampinginya sebagai calon wakil presiden.
Di sisi lain, secara profesional mantan Menko Perekonomian ini pun dikenal sebagai akademisi yang berpikir utuh, loyal, cermat, dan jauh dari keinginan mencari muka. Itulah sederet alasan SBY yang diungkapkannya saat pendeklarasian pasangan SBY Boediono di Sabuga, Bandung, Jumat lalu.
Lantas bagaimana cerita Boediono sendiri? Apa yang terpikirkan olehnya saat pertama kali mendapat tawaran tersebut? Mengapa ia bersedia?
Siang ini (Selasa, 19/5), Boediono bersama rombongan berkunjung ke kantor harian Kompas di kawasan Palmerah, Jakarta. Dalam dialog dengan sang cawapres, antara lain terungkap sekelumit cerita seputar pencalonannya.
Di sini, Boediono mengaku bahwa pendekatan yang dilakukan SBY terhadap dirinya sudah dilakukan tiga atau empat minggu sebelum pendeklarasian. Dan dilanjutkan dengan sejumlah pertemuan sebelum akhirnya Boediono menyanggupi tawaran tersebut.
"Gini ya, kalau saudara-saudara pada suatu saat mungkin dipanggil oleh Presiden, the President of your country, untuk ngomong-ngomong mengenai masalah bangsa, kemudian memberikan ruang bahwa look ini ada ruang, di mana saudara bisa ambil peran ke depan. Kemudian ditawari would you mendampingi saya? Jawabannya gimana sih? Enggak banyak yang bisa kita lakukan kecuali, ya Pak, segera," kata Boediono.
Namun, toh tidak semudah itu. Boediono mengaku sempat meminta waktu cukup lama sebelum memberikan jawabannya. "Saya meminta waktu yang cukup banyak untuk merenung, sebenarnya. Apa iya saya cocok dan sebagainya. Ini saya pikir juga dengan keluarga dan sebagainya. BI bagaimana? Itu masuk dalam pikiran saya sebelum saya memutuskan. Jadi bukan serta-merta waktu itu. Itu makan waktu tiga mingguan, mungkin lebih, dari awalnya. Suatu proses, bukan mendadak, kemudian diputuskan oleh kedua belah pihak," tuturnya lagi.
Yang lebih menarik, pendekatan SBY ternyata diakui Boediono telah dirasakannya jauh sebelum mereka bertemu. Melalui percakapan per telepon yang sudah dilakukan SBY, Boediono sebenarnya sudah menduga mengenai sesuatu hal yang akan diberikan oleh SBY. "Sebelum itu saya sudah bisa merasakan ada sesuatu dari Pak SBY kok. Yang mungkin saya baru diajak ngomong tentang sesuatu. Signal melalui hubungan telepon pun ada. Getarannya bisa ditangkap gitu ya," katanya sambil tertawa.
Namun, ia kembali menegaskan bahwa tawaran resmi dari SBY baru diterimanya sekitar tiga minggu silam. Dan, jawaban kesediaan Boediono baru disampaikan pada sebuah acara di Cikeas hari Minggu sebelum pendeklarasian. "Saya kan tidak bisa mengatakan iya. Karena saya bukan politikus. Kalau politikus seketika bilang iya pasti. Kalau saya mikir dulu. Dengan keluarga dengan macem-macem. Tapi akhirnya baru mungkin syukuran di Cikeas, Minggu malam, malamnya kami ketemu lagi. Jadi belum lama juga ya? Tapi prosesnya panjang. Saya bertekad untuk tidak jadi ban serep. Titik," tegasnya.
Boediono menerima tawaran tersebut karena ia meyakini ada kesempatan baginya untuk memberikan kontribusi lebih besar sesuai kapabilitasnya. "Satu hal yang saya tidak ingin adalah saya jadi ban serep. Itu. Dari awal saya sudah tekad begitu. Dan saya melihat pengalaman saya beberapa waktu dengan Pak SBY ini, beliau itu orangnya terbuka. Mendengarkan, dan kalau itu idenya bagus, akhirnya diterima. Kapasitas untuk mendengarkan itu ada. Ini saya timbang-timbang juga sebagai bahan untuk mengambil, ok yes," ujarnya.
Dengan jujur ia pun mengaku bahwa jaminan finansialnya akan membaik jika pencalonan ini berjalan dengan mulus. Namun, ia menegaskan bukan hal itu yang menjadi perhatiannya. "Kalau dipikir saya ya lebih enak dipilih. Dari berbagai segi, termasuk finansial, saya yakin lebih baik. Tapi bukan itu. Saya tidak mencari itu. Saya kira, kalau sudah mendekati lap atau putaran hidup yang terakhir, ya akhirnya you want something to leave di dunia. Itu saja, there's nothing more than that," katanya lagi.
"Intinya, sebelumnya saya tidak menandatangani apa-apa dengan Presiden. Dengan pengertian itu. Pengertian bahwa saya tidak jadi ban serep. Dan saya percaya itu bisa, tidak harus pakai kontrak-kontrak politik hitam putih. Kalau saya bisa merasakan style beliau, tampaknya ada ruang bagi saya untuk melakukan kontribusi yang lebih baik," demikian Boediono.
http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/05/19/1546498/kenapa.boediono.mau.jadi.cawapresPerkataan yang satu itu kembali mengingatkan saya akan something to leave di dunia ini. Apa yang telah saya tinggalkan dalam dunia ini? Karya dan sumbangsih apa yang dapat dikenang oleh orang banyak? Bukan sebuah narsisme, namun bukankah kita memang perlu menjadi berkat seluas mungkin semasa hidup?
Apakah something to leave itu dari saya? Dan bagaimana mewujudkannya? Biarlah ini menjadi perenungan saya dan Anda, bila berkenan. Tapi jangan lupa, jangan hanya merenung saja, do it as soon as possible sebab kita tidak pernah tahu kapan putaran hidup yang terakhir itu terjadi.
No comments:
Post a Comment