Wednesday, February 04, 2009

Memaafkan untuk Melapangkan

Senin, 2 Februari 2009 | 23:04 WIB

Konsultasi psikologi dengan psikolog Kristi Poerwandari

Seorang ibu, E (50), yang telah menikah lebih dari 30 tahun dan hidup rukun dengan suami, menulis surat setelah suami selingkuh dengan perempuan lain.

"...Wanita itu curhat masalah-masalah pribadi. Saya katakan kepada suami, 'Hati-hati! Karena awalnya dari curhat, simpati, iba lalu cinta'. Tetapi, suami bilang enggak mungkin terjadi, saya pun percaya 100%. Beberapa bulan kemudian saya menemukan billing tagihan HP suami, dengan nomor yang itu-itu saja. Saya mencoba menelepon. Ternyata nomor HP wanita itu dan suami ada di sana."

Setelah suami pulang, Ny E bertengkar hebat dengan suami,sampai anak-anak yang besar datang segera. "Seperti hilang pikiran dan nuraninya, Bu! Seakan-akan dibela wanita itu dan dijaga perasaannya, Bu! Saya dan anak-anak sangat terpukul. Hati dan perasaan saya hancur luluh, sakit, bagai mimpi buruk di siang bolong." Ny E sangat terluka karena dibohongi (dalam istilahnya) "habis-habisan" oleh suami yang dia banggakan dan cintai.

Akhirnya, "Suami menangis keras-keras sambil mencium ujung kaki saya dengan mengatakan sangat-sangat menyesal, rasa bersalah yang besar, dan minta-minta maaf dan ampunan dari saya dan anak-anak. Anak-anak yang besar meredakan hati saya agar memaafkan ayahnya dengan pertimbangan segala kebaikan dan kelebihan dari ayah mereka."

Menurut Ny E meski hubungan telah membaik, ia masih sulit menghilangkan bayangan perselingkuhan suami.

Yang dirasakan Ny E juga dirasakan I (36). I mengaku selama ini rela berperan lebih besar mencari nafkah karena suami sibuk dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Empat tahun lalu ia mendapati suami menjalin hubungan dekat dengan perempuan lain. Hingga saat ini hal tersebut menghantui, membuat dia curiga dan cepat marah, bahkan sering
berniat berpisah dari suami karena merasa terlalu terluka.

Kemarahan, sakit hati, dan luka yang dalam juga bisa terjadi dalam konteks lain, misalnya pada lembaga dan rekan-rekan kerja.

Berikut cuplikan surat T (29): "Mbak, saya sakit dan kehilangan pekerjaan. Bukan takdir sakit yang saya sesali, tetapi justru di- PHK/dikeluarkan dari kantor yang menyakiti hatiku.

Dulu saat saya masih di kursi roda, bicaraku belum lancar karena terganggu akibat sakit, dan leher belum bisa tegak, saya di-PHK secara lisan oleh wakil kantor tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Saya baru tahu keputusan itu belum diketahui petinggi di kantor.

Akhirnya pimpinan sangat intens menghubungi dan membujukku untuk menerima PHK, tetapi mereka tidak mau membayar uang pesangon. Saya tetap menuntut pesangon karena saya pegawai tetap bukan lagi pegawai kontrak. Akhirnya saya menggugat hukum.

Berapa lama perjuangan saya dari mulai dipecat sampai mendapat pesangon? 15 bulan. Selama proses itu aku sering menangis sendiri, selalu mimpi buruk, dan tidak bisa tidur nyenyak. Saya sangat tersiksa, Mbak. Semenjak itu saya jadi dendam, benci semua orang di sana. Kenapa mereka tega menyiksaku saat saya sakit begitu....

Kalau mereka punya niat baik, pastilah mereka mem-PHK dengan tidak langsung bicara denganku, tetapi bisa lewat keluargaku. Mereka kan tahu gimana kondisi psikologisku karena baru saja ditimpa musibah terserang penyakit berat."

Tahapan "memaafkan"
Semua bertanya, "bagaimana melupakan kebencian dan dapat memaafkan?" Mungkin kita belum mampu memaafkan karena masih merasa sangat terkejut dan terluka, khawatir bila perbuatan diulang, takut terlihat "lemah" dengan memaafkan, atau menganggap memaafkan akan melanggar prinsip keadilan yang selama ini diyakini.

T, misalnya, tak habis pikirmengapa tempat kerjanya yang dikira membawa visi kemanusiaan dan keadilan dapat berlaku sekejam itu kepada dirinya yang sakit parah dan sebelumnya bekerja sangat total. Kita juga lebih sulit memaafkan bila pihak lain tidak merasa bersalah dengan yang dilakukan, atau dirasa tidak tulus dalam menyatakan
penyesalan.

Enright (dalam Mullet dan Girard, 2000) melihat memaafkan sebagai fenomena sosial dalam enam tahapan, satu orang dan yang lainnya mungkin memahami dengan cara berbeda.

(1) "Pemaafan dengan pembalasan" (Saya bersedia memaafkan bila ia memperoleh hukuman yang setara dengan lukaku); (2) "pemaafan restitusional" (Bila saya memperoleh kembali yang diambil dari saya, saya bisa memaafkan); (3) "pemaafan karena
permohonan (Saya dapat memaafkan bila orang lain memohon saya melakukannya); (4) "pemaafan karena tuntutan norma/hukum" (Saya memaafkan karena agama saya menyuruh melakukannya); (5) "pemaafan untuk keselarasan sosial" (Saya memaafkan karena itu perlu untuk mengembangkan kedamaian hubungan); dan (6) "pemaafan sebagai bentuk kasih sayang" (Saya memaafkan karena itu esensi kasih sayang yang sesungguhnya, yang mencegah balas dendam dan membuka rekonsiliasi).

Memaafkan dari hati terdalam tidak dapat dipaksakan. Bila situasinya sangat menyakitkan, mungkin untuk sementara cukup kita melihat memaafkan sebagai murni fenomena internal diri.

Berbagai penelitian (McCullough et al, 2000) menunjukkan, memaafkan mengembangkan keseimbangan dan rasa nyaman, mengurangi tekanan, meningkatkan penerimaan diri, dan mengurangi keluhan kesehatan. Intinya, membantu kita lebih berbahagia.

Kita tidak perlu memaksa diri melakukan rekonsiliasi dengan pihak yang sangat menyakiti kita. Tetapi, bagaimana pun kedamaian diri sangat penting. Semoga pemahaman ini dapat membantu kita "let go" (melepaskan), tidak didera luka hati, dan tersenyum dalam menapaki tahun 2009.

http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/02/02/23042217/memaafkanuntukmelapangkan

No comments: