Thursday, January 29, 2009

Healing Community atau Killing Community

Diterbitkan Solo Pos, Kamis, 29 Januari 2009, hal. 4

Pemilu 2009 kian dekat. Semua partai politik (Parpol) sedang sibuk untuk menyiapkan dan mengusung calon presiden dari partainya. Berbagai kritik pedas terhadap kinerja pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuk Kalla (SBY-JK) pun dialirkan dengan aneka motifnya. Misalnya, kinerja pemerintah yang hanya tebar pesona, atau mungkin yang lebih pedas adalah pemerintah hanya menjadikan rakyat seperti permainan yoyo.

Rakyat mungkin tidak pernah memahami apa motif sesungguhnya dari kritik-kritik tersebut. Tanpa bermaksud membela partai atau tokoh tertentu, kita kembali melihat budaya berpikir dan bertutur negatif kembali terjadi.

Memang telah lama kita hidup dalam budaya berpola pikir negatif. Sebuah pola pikir yang cenderung berfokus pada sisi-sisi buruk seseorang, termasuk diri sendiri. Pola pikir seperti demikianlah yang akhirnya menciptakan sebuah killing community. Anehnya, dari generasi demi generasi hal ini terus terlestarikan. Tidak perlu sulit-sulit mengumpulkan contoh konkretnya.

Dalam kehidupan sehari-hari saja sudah terlihat bagaimana killing community itu terjadi. Misalnya, ketika sang anak mendapatkan nilai baik, orangtua hanya mendiamkan saja. Sepatah kata pujian tidak diberikan. Paling-paling orangtua berkata, “Ah itu biasa, anak-anak lain pun juga mendapatkan nilai yang sama denganmu.”

Tapi bila si anak mendapatkan nilai buruk, orangtua langsung marah layaknya seekor singa yang melihat bayinya diganggu, sikapnya menjadi tidak proporsional bila dibandingkan ketika sang anak mendapatkan nilai baik.

Contoh lainnya, dalam kehidupan bertetangga, gosip sering kali menjadi masalah klasik. Mereka sering kali menggunakan semboyan terkenal dalam media massa: bad news is good news, good news is no news. Berita buruk justru menjadi berita yang menarik untuk disosialisasikan dibandingkan dengan berita baik. Jarang sekali kita mendengarkan gosip yang menceritakan kebaikan dan kesuksesan orang lain. Umumnya gosip berisi tentang berita kegagalan rumah tangga, kebangkrutan usaha, perilaku buruk dan hal-hal negatif lainnya.

Dua contoh di atas sudah cukup menggambarkan kehidupan killing community di sekitar kita. Kehidupan demikianlah yang sering kali mereduksi, bahkan meniadakan, sikap saling memaafkan, saling mengasihi, saling memberi, saling berkorban. Rasa tidak aman dan tidak nyaman terus menghantui.
Tak pelak lagi, kebahagiaan pun makin redup, tak lagi dirasakan oleh orang-orang yang hidup dalam komunitas seperti demikian. Selain itu, Menbudpar Jero Wacik juga pernah mengingatkan bahwa budaya berpikir negatif justru membuat semua orang menjadi tidak produktif, rentan terhadap penyakit dan lebih cepat mati. Sungguh sebuah ironi.

Berpikir positif

Karena itu, kita perlu mengampanyekan budaya berpikir dan bertutur positif. Membangun komunitas atau negara, tidak hanya memperbaiki dari segi ekonomi, keamanan, gizi, dan lainnya. Perbaikan pola pikir juga sangat dibutuhkan. Perbaikan pola pikir tersebut niscaya dapat membangun sebuah healing community yang mana orang-orang hidup di dalamnya dapat merasakan kebahagiaan dan kedamaian batiniah. Kepribadian dan potensi generasi demi generasi makin bertumbuh sehat dan dapat dinikmati semua orang.
Untunglah di dunia ini masih ada teladan-teladan dari orang yang berpola pikir dan bertutur positif. Salah satunya adalah ibu dari Hee Ah Lee. Anak Hee Ah Lee adalah penderita lobster claw syndrome di mana jumlah jarinya hanya empat dan kedua kakinya pun hanya sebatas lutut.

Ketika banyak orangtua di dunia ini menolak kehadiran anak cacat, baik penolakan secara psikologis ataupun dengan membunuh, ibu Hee Ah Lee justru melakukan hal yang berbeda. Ia malah berkata, “Saya melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Wajahnya mirip rembulan. Jemari tangannya yang hanya empat serupa kuncup bunga tulip.”

Oleh karena pola pikir dan tutur kata positif yang terus diberikan orangtuanya, potensi Hee Ah Lee kini berkembang sangat baik. Ia menjadi pemain piano yang terkenal dan pernah bermain dengan Richard Clayderman di Gedung Putih tahun 2005. Pertumbuhan yang sehat terjadi tatkala ada lingkungan positif baginya.

Kita perlu mengubah killing community menjadi healing community. Ini tugas siapa? Tugas kita bersama, apalagi pemimpin negara dan calon-calonnya. Sekali lagi, perbaikan material sangat diperlukan saat ini, khususnya di tengah-tengah krisis keuangan global. Calon-calon pemimpin negara harus berlomba-lomba memikirkan langkah-langkah konkret dan kreatif dalam memajukan bangsa dan negara Indonesia. Tapi jangan pernah lupa, di samping perbaikan material, perbaikan pola pikir (yang nonmaterial) dan tutur kata perlu masuk dalam agenda kerja. Sudah barang tentu hal tersebut harus dimulai dari diri sendiri yang nantinya terus menular pada orang-orang di bawahnya.

Masaru Emoto, seorang peneliti Jepang yang mendapatkan penghargaan dunia internasional, pernah mengadakan penelitian tentang pengaruh tutur kata terhadap formasi kristal air. Penelitian yang dituliskan dalam The Message from Water itu membuktikan dampak tutur kata positif yang dapat membentuk formasi kristal air yang sangat indah. Sebaliknya, jika kepada air diberikan tutur kata negatif, maka formasi kristal air yang terbentuk menjadi jelek. Adapun gambar kristal air yang paling indah terbentuk dari kata “cinta” dan “terima kasih”.

Apabila air saja dapat merespons tutur kata dari pelaku, apalagi manusia. Formasi healing community baru akan terbentuk dengan pola pikir dan tutur kata yang positif. Akhir kata, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Semoga membangun healing community menjadi visi kita bersama! - Oleh : Andrew Abdi Setiawan, Rohaniwan Gereja Kristen Kalam Kudus Solo

No comments: