Saturday, February 14, 2009

BIANG KEROK KESURUPAN MASAL

[Sabtu, 14 Februari 2009]
Oleh Reza Indragiri Amriel *

Wabah kerasukan menggejala lagi. Sejumlah sekolah di Jawa Timur sudah mengalaminya. Lazimnya, pihak sekolah langsung melibatkan alim ulama guna mengusir para makhluk halus yang diyakini sebagai biang keladi kesurupan anak-anak didik itu.

Pendekatan spiritual-religius untuk mengatasi kesurupan pantas dihargai. Namun, agar lebih paripurna, pendekatan semacam itu akan sangat baik bila dilengkapi pula dengan pendekatan-pendekatan lain.

Asumsinya, penanganan gangguan yang dilakukan lewat pendekatan holistik akan berpengaruh lebih konstruktif bagi daya tahan individu, termasuk dalam hal ini para siswa.

Dari kacamata psikologi, pandangan tentang fenomena kesurupan (possession) terbelah dua. Pandangan pertama meyakini kesurupan adalah realita supranatural. Unsur budaya menjadi sesuatu yang sentral dalam perspektif itu. Dengan demikian, keterlibatan para ahli supranatural menjadi keharusan saat menangani individu-individu yang bermasalah dengan elemen supranatural tersebut.

Pandangan kedua sangat diwarnai tilikan ala psikologi belajar. Kesurupan selintas memiliki kemiripan gejala dengan gangguan identitas disosiatif (GID, dissociative identity disorder, dulu dikenal dengan istilah gangguan kepribadian ganda).

Tetapi, dalam perspektif tersebut, penjelasan atas kesurupan maupun GID sama sekali tidak menyertakan kepribadian lain (alters) maupun faktor-faktor tak kasatmata lain.

Kesurupan, sesuai prinsip psikologi belajar, ialah bentuk perilaku terencana yang ditampilkan individu untuk mendapatkan insentif tertentu. Anggaplah, kesurupan adalah reaksi terhadap stres. Kesurupan merupakan teknik untuk mengatasi stres. Kesurupan ialah bentuk katarsis, yakni pembersihan diri dari sampah-sampah psikis.

Berdasar pandangan tersebut, kesurupan sesungguhnya menjadi strategi penyesuaian diri terlepas bahwa strategi itu bersifat infantil atau kekanak-kanakan (immature).

Ditarik ke fenomena kesurupan di sekolah, pandangan psikologi belajar memunculkan bahan retrospeksi bagi kalangan pendidik dan orang tua.

Sangat mungkin, kesurupan bertitik awal dari terlalu tingginya beban akademis siswa. Jam pelajaran yang begitu panjang, muatan pelajaran dengan tingkat kesulitan yang tinggi, masa ujian yang menegangkan, gaya mengajar guru, substansi kurikulum yang lebih dominan pada pengolahan daya pikir serta mengesampingkan pentingnya olah rasa, ekspektasi orang tua, serta penambahan jam belajar lewat kursus, dan sejenisnya bisa mempersempit makna aktivitas belajar sebagai sebuah totalitas pengalaman hidup.

Apalagi jika stres di rumah dan lingkungan pergaulan siswa juga dimasukkan, akan semakin dahsyat tekanan psikologis yang harus diatasi para siswa.

Belajar (baca: bersekolah) telah kehilangan sukmanya. Unsur kesenangan yang sejatinya mutlak dalam setiap kegiatan pendidikan pun menguap. Pengaruhnya kontraproduktif bagi anak didik. Motivasi atau antusiasme belajar menurun. Atau, kognisi anak didik makin tajam, namun mereka tak memiliki kekayaan empati. Wujudnya, klasik: tekun tapi angkuh, ''ensiklopedi berjalan'' tapi kaku dalam tindakan, kritis tapi egois, dan pintar tapi korup.

Faktor usia juga tidak bisa dikesampingkan. Karena rata-rata siswa sekolah menengah berada pada tahap usia remaja yang kerap diidentikkan sebagai masa penuh badai dan tekanan (storm and stress), sesungguhnya para siswa sekolah menengah secara psikologis memang tengah berada dalam kondisi rawan.

Kerasukan di sekolah menjadi peristiwa yang semakin menarik untuk ditelaah lebih jauh karena berlangsung secara masal. Dari berita-berita di media massa diketahui bahwa kebanyakan pelajar yang mengalami kesurupan berjenis perempuan. Dugaan itu didukung kenyataan serupa, berdasar penelitian Gaw, Ding, Levine, dan Gaw (1998) di Tiongkok.

Dominannya perempuan pada fenomena kesurupan, kiranya, bisa dijelaskan lewat suggestibility atau kepekaan individu terhadap sugesti. Dengan asumsi perempuan memiliki suggestibility lebih tinggi, mereka pun menjadi lebih mudah tertular kesurupan setelah menyaksikan rekan-rekan mereka yang juga mengalami kesurupan.

Agenda ke Depan

Tiga poin penting yang perlu digarisbawahi dari uraian di atas adalah beban akademik, usia anak didik (remaja), dan suggestibility. Ketiganya patut menjadi perhatian para guru, orang tua, serta otoritas penentu kebijakan pendidikan saat mencoba mengatasi epidemi kesurupan di sekolah-sekolah.

Membangun langgam komunikasi yang asertif dan warna interaksi solutif, ditambah dengan upaya membangun karakter anak didik sebagai insan yang bersikap laku positif, adalah agenda ke depan yang perlu disisipkan ke dalam kurikulum pendidikan.

Tanpa menafikan peran agamawan dan penjelasan-penjelasan agamis tentang fenomena kesurupan, perspektif psikologi menghadirkan sebuah pemahaman lebih rasional sekaligus lebih kompleks bahwa penyebab kesurupan anak-anak didik ternyata tidak harus dicari ke alam gaib.

Biang kerok fenomena kesurupan masal di sekolah ternyata kita-kita juga. Wallahu a'lam.

* Reza Indragiri Amriel, ketua Jurusan Psikologi, Universitas Bina Nusantara, Jakarta

http://jawapos.co.id/

3 comments:

reni dwi astuti said...

Bagus sekali artikelnya Pak, saya ijin copass ya...terima kasih

leaupsoan said...

look what i found find more that site www.dolabuy.ru article source click here now

Anonymous said...

you could try this out get more from this source Recommended Site have a peek at this web-site additional reading