Thursday, May 10, 2007

EMPAT PERINGKAT KASIH: BERNARD CLAIRVAUX (1090-1153 M.)

Enteng rasanya mengucapkan “aku mengasihimu” sewaktu pacaran. Tapi entah kenapa, kata romantis itu mulai tidak kelihatan “batang hidungnya” sejak memasuki pernikahan. Apalagi, ia akan benar-benar tenggelam ke “dasar laut” kalau usia pernikahannya sudah terbilang tua. Mungkin inilah sifat manusia pada umumnya. Wajarkah? Anda sendiri yang menilainya. Lalu saya bergumam, “Apakah kata ‘aku mengasihi-Mu’ juga akan pudar seiringan dengan usia kekristenan kita yang makin tua?”

Mungkin tidak. Mengapa? Karena di gereja, kita mau tidak mau diajak untuk menyanyikan lagu-lagu rohani yang mengisyaratkan bahwa kita mengasihi Allah. Contohnya: “Aku tresna Yesus njero, njero, njero banget . . .” atau “Aku mengasihi Engkau Yesus, dengan segenap hatiku.” Tapi tidakkah kita khawatir bila semua lagu itu dinyanyikan hanya sebagai lip service saja? Saya sendiri khawatir.

Nah lantas apa sebabnya kita melakukan lip service ketika melantunkan lagu-lagu seperti demikian? Mungkin karena kita belum memahami arti kasih kepada Allah secara penuh. Sebab itu, coba lihat apa kata Bernard dari Clairvaux mengenai hal ini. Tapi sebelumnya siapakah Bernard itu? Ia adalah salah satu seorang pemimpin dan pengkhotbah terkemuka di sepanjang sejarah gereja. Pada usianya yang kedua puluh dua, ia memasuki biara di Cîteaux dan tiga tahun kemudian Bernard diangkat sebagai supervisor sebuah kelompok biarawan yang baru saja didirikan di Clarivaux. Di kota itu pulalah, ia tutup usia.

On the Love of God merupakan buah tangannya yang terkenal hingga saat ini. Dalam buku tersebut, Bernard memberikan perenungan arti kasih kepada Allah dengan menerangkan empat peringkat kasih. Peringkat pertama, kita mengasihi diri sendiri demi diri sendiri (Love of self for self’s sake). Semua manusia memiliki kasih. Ia merupakan bagian dalam hidup manusia dan ia berasal dari Allah yang penuh kasih. Sebab itu, hukum terutama yang Allah berikan untuk kita adalah, “Kasihilah Tuhan Allahmu.” Namun manusia itu lemah, bahkan sangat lemah. Karena itu, ia memberikan kasih yang diberikan Allah kepada dirinya terlebih dahulu. Ya, ia mengasihi dirinya. Bukan itu saja. Ia mengasihi diri sendiri demi diri sendiri pula. Bernard mengatakan bahwa perintah “kasihilah sesamamu manusia” dapat dijadikan alat ukur apakah kita memiliki kasih dalam tingkat pertama ini.

Peringkat kedua, kita mengasihi Allah demi diri sendiri (Love of God for self’s sake). Allah, dalam kebaikan-Nya, memberikan kepada kita segala berkat-Nya. Contohnya, Allah memberkati kita dengan memberikan perlindungan. Tatkala kita dilindungi dari segala hambatan atau malapetaka, maka kita menjadi sangat bahagia. Namun sayangnya, oleh karena kita sombong, maka kita berkata, “it’s because of me.” Karena saya baik, maka saya dilindungi; karena saya bijak, maka saya terhindar dari segala hambatan; karena saya kuat, maka saya tidak mengalami penyakit ini dan itu. It’s because of me! Kita lupa bahwa Allahlah yang membuat semuanya itu terjadi. Tapi bila ternyata kita mengalami hambatan dan kesusahan, maka kita baru mengingat dan mencari Allah. Mencari pertolongan-Nya. Mencari berkat-Nya. Mencari kasih-Nya. Tiba-tiba kita mengetuk pintu sorga dan berkata, “Aku mohon, ya Allah, lepaskanku dari segala beban beratku ini.” Saat itu, kita mulai belajar mengasihi-Nya meski untuk diri kita sendiri. Kita mengasihi Allah karena kita telah belajar bahwa kita tidak dapat melakukan segala perkara dengan-Nya, dan tanpa-Nya kita tidak dapat melakukan apapun. Inilah peringkat kasih yang kedua menurut Bernard dari Clairvaux.

Lantas peringkat ketiga? Tunggu besok. Hari ini kita merenungkan di manakah letak peringkat kasih kita? Peringkat satu atau dua? Selamat merenung.

No comments: