Wacana seputar hukuman mati di bumi Indonesia kembali mencuat semenjak kasus Tibo cs. Untuk kesekian kalinya perdebatan seru pro dan kontra kembali mengapung di permukaan baik menjelang kematian Tibo cs hingga sesudahnya. Setidaknya, pada pasca kematian Tibo cs, Todung Mulya Lubis (Ketua Dewan Pendiri Imparsial) kembali mengapungkannya dalam majalah Tempo edisi 6-12 November 2006. Sejauh mana relevansi hukuman mati di dalam sebuah negara merupakan pertanyaan klasik yang terasa tiada ujungnya. Masalah ini memang pelik. Hal ini pun terlihat dari adanya negara-negara yang masih dan yang tidak lagi menjalankan hukuman mati. Contoh beberapa negara yang masih menjalankan hukuman mati, antara lain: China, Arab Saudi, Singapura, Iran. Sedangkan, beberapa negara yang tidak lagi menjalankan hukuman mati, antara lain: Venezuela, Portugal, dan beberapa negara bagian Amerika Serikat. Dalam wacana kali ini, penulis tidak berminat untuk menyuguhkan kedua argumentasi pro-kontra terhadap isu hukuman mati. Justru, penulis akan mencoba untuk memperkuat kembali argumentasi penolakan hukuman mati.
Berbicara mengenai isu hukuman mati, mungkin pandangan dari pihak pro hukuman mati yang paling sering diajukan dalam laga diskusi adalah teori deterrence. Pandangan ini berasumsi bahwa angka kejahatan akan lebih dapat direduksi karena hukuman mati akan menimbulkan rasa takut pada masyarakat (general deterrence) dan yang pasti si pelaku tidak akan dapat melakukan perbuatan kriminal lagi (spesific deterrence). Pandangan ini semakin diperkuat dengan adanya poling yang diadakan pada tahun 1984 yang kemudian dicatat dalam USA Today. Poling tersebut menyatakan bahwa sebanyak 68% responden setuju jikalau hukuman mati dapat mereduksi angka kejahatan. Hal ini kembali digaris-bawahi oleh seorang gubernur New York dalam peringatan hari Hukuman Mati pada tahun 1996 dengan mengatakan demikian: “Semenjak saya menjadi seorang gubernur, tindak kekerasan kriminal telah menurun menjadi 11 persen, di mana tindak pembunuhanlah yang paling menunjukkan penurunannya, yaitu lebih dari 22 persen. Kami mempercayai bahwa hal yang demikian dapat terjadi sebagian karena pelaksanaan hukuman mati kepada pelaku kriminal dan pembunuh.”
Namun meski teori deterrence bisa jadi merupakan teori yang paling digandrungi oleh pihak pro hukuman mati, hal ini tidak berarti bahwa ia bebas dari masalah. Pasalnya, teori seperti ini ternyata tidak didukung oleh penelitian empiris yang dapat membuktikan adanya korelasi antara hukuman mati dan penurunan angka kriminalitas. Bila hal ini benar, maka pandangan deterrence semestinya tidak dapat menjadi sebuah teori karena ia hanyalah sebuah opini ketimbang fakta. Atau, ada pula pihak lain yang mengatakan bahwa pandangan tersebut hanyalah sebuah hipotesa. Dus, pandangan tersebut dapat senantiasa dipertanyakan kebenarannya.
Tapi mungkin pihak ini masih dapat membantah dengan berdalih bahwa hukuman mati dapat membuat pelaku tidak dapat lagi melakukan kejahatan. Atau dengan kata lain, bila pelaku tersebut sudah meninggal, maka satu angka kejahatan pasti akan berkurang di dunia ini. Menanggapi hal ini, satu sisi memang benar bahwa satu angka kejahatan pasti akan berkurang karena si pelaku telah meninggal. Namun sisi yang lain, kita patut bertanya, apakah hukuman mati merupakan satu-satunya cara untuk mengurangi satu kejahatan tersebut. Pertanyaan ini biasanya diajukan oleh pihak kontra hukuman mati. Pandangan tersebut berkeyakinan bahwa hukuman penjara masih tetap relevan untuk mengurangi satu angka kejahatan dengan mengurung pelakunya. Lebih dari itu, pandangan kontra hukuman mati memperkuat argumentasinya dengan menambahkan sebuah hipotesa yang dikenal dengan nama Brutalization Hypothesis. Dengan hipotesanya, pandangan ini mengatakan bahwa hukuman mati justru akan menelurkan dampak berikutnya, yaitu meningkatnya angka pembunuhan. Apa sebabnya? Karena, hukuman mati yang dilakukan oleh sebuah negara akan membawa sugesti dan model untuk melegitimasi pembunuhan. Meski tampak kurang meyakinkan, namun hipotesa ini toh juga dipakai untuk adu argumentasi melawan pihak pro hukuman mati.
Dalam kesempatan lain, Todung Mulya Lubis pun turut menyembulkan suara kontranya terhadap hukuman mati. Sesuai dengan yang tertulis dalam Tempo edisi 6-12 November 2006, Lubis mengemukakan argumentasi berdasarkan dua sudut pandang. Pertama, dilihat dari sudut hak asasi manusia. Dengan mengatas-namakan the right to life, Lubis kemudian mengingatkan bahwa negara Indonesia semestinya menolak hukuman mati tanpa kecuali. Apalagi, negara Indonesia sendiri telah bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di mana setiap negara anggotanya telah berada di bawah bayang-bayang Universal Declaration of Human Rights. Bukan hanya itu saja. The right to life pun ternyata juga tercantum dalam UUD 1945 kita. Bila demikian, maka konsekuensi logisnya adalah, menurut Lubis, negara Indonesia harus sesegera mungkin mencabut dan menyatakan tak berlaku semua pasal yang mengandung hukuman mati dalam semua produk hukum kita tanpa kecuali.
Kedua, dilihat dari sudut fallibility of the criminal justice system. Di balik terobosan sudut pandang tersebut, Lubis sebenarnya ingin kembali mengingatkan tentang rapuhnya hukum di Indonesia, bahkan mungkin seluruh hukum di dunia ini. Kenapa bisa demikian? Tantangan bias yang menjadi biangnya. Dengan tajam, Lubis berkomentar bahwa proses hukum kita masih belum sepenuhnya mampu membebaskan dirinya dari bias yang datang dari luar, tekanan dan suap yang masih menggoda. Alhasil, putusan peradilan pun menjadi tidak objektif, bahkan mungkin tidak adil. Yang innocent bisa menjadi guilty dan demikian sebaliknya. Bila proses hukum yang fallible itu diterapkan untuk menjustifikasi hukuman mati, maka betapa mengerikannya sistem judisial kita.
Sejatinya, di balik fallibility of the criminal justice system yang disuguhkan oleh Lubis tersirat satu pengakuan jujur terhadap keterbatasan manusia dalam memproduksi dan melaksanakan hukum-hukumnya. Itulah sebabnya, selain pelaksana hukum (spt. hakim, jaksa, pengacara, polisi), hukum itu sendiri pun bisa salah. Namun, menurut penulis, sudut pandang yang disuguhkan ini juga tidak boleh kebablasan. Maksudnya, meski si pelaksana hukum dan hukum itu sendiri bisa salah, tapi ini tidak berarti bahwa keberanian dan kemampuan untuk menghukum seseorang menjadi mandul. Hukuman dalam level tertentu harus tetap dijalankan agar negara tidak mengalami kekacauan (chaos). Bila demikian, maka berarti antara menjaga kestabilan negara dan menyadari akan fallibility of justice system harus terjadi ekuilibrium.
Tapi, seandainya ekuilibrium itu sudah terjadi (meski sulit sekali), masih ada satu lagi sudut pandang yang tidak boleh terlupakan, yaitu dimensi edukasi. Kita harus kembali bertanya: apakah tujuan dari sebuah hukuman itu? Bila dilihat dari dimensi ketatanegaraan, maka tujuan penghukuman adalah agar negara mengalami stabilitas keamanan. Namun beda halnya bila dilihat dari dimensi edukasi. Dari dimensi ini, sebuah hukuman harus bersifat transformatif. Sayangnya, perbincangan mengenai hukuman dari dimensi edukasi agaknya masih nun jauh di sana; seringkali, hukuman dianggap sebagai tindakan preventif ketimbang edukatif. Bagi khalayak umum, hukuman cenderung dilihat sebagai isyarat yang menunjuk pada akibat dari pelanggaran hukum. Dan akhirnya, isyarat itu berfungsi sebagai tindakan preventif dari kejahatan berikutnya. Tapi sebenarnya itu tidak cukup. Seharusnya, sebuah hukuman harus dapat berfungsi lebih jauh dari sekadar tindakan preventif. Fungsi tindakan edukatif itulah yang seharusnya lebih dikedepankan ketimbang tindakan preventif.
Adakah perbedaaan di antara keduanya? Jelas ada! Perbedaan mendasar di antara keduanya antara lain: tindakan preventif hanya berujung pada penundaan kejahatan berikutnya, sedangkan tindakan edukatif berujung pada transformasi seseorang. Tindakan preventif hanya berusaha untuk “menakut-nakuti” seseorang pada akibat pelanggaran hukumnya, sedangkan tindakan edukatif berusaha untuk merubah akhlak orang tersebut. Tindakan preventif hanya membuat seseorang sadar bahwa hukum masih berotoritas, sedangkan tindakan edukatif membuat ia sadar tentang alasan hakiki mengapa seseorang tidak boleh melakukan pelanggaran. Singkatnya, tindakan edukatif merupakan langkah yang lebih jauh dari tindakan preventif, karena di balik tindakan itu terdapat ekspektasi transformasi bagi semua orang.
Sekarang, dengan pemikiran di atas, mari kita kembali memasuki laga diskusi tentang hukuman mati. Apakah hukuman mati itu bersifat edukatif? Saya ragu akan hal itu. Andai teori deterrence mampu membuktikan dirinya secara empiris, maka toh hukuman mati masih dianggap sebagai tindakan preventif, bukan edukatif. Dan andai hukuman mati dapat disosialisasikan kepada masyarakat secara edukatif, namun bukankah pihak masyarakat saja yang mengecap transformasi itu? Bagaimana dengan pihak si pelaku kriminal? Adakah kesempatan transformasi hidup bila nyawanya keburu melayang di tangan regu pencabut nyawa? Mungkin ada, tapi hanya sejengkal waktu selama masa penantian hari eksekusi, bukan seumur hidupnya. Bila demikian, akhirnya, transformasi hidup pelaku tidak lagi menjadi konsentrasi dan ekspektasi dari pelaksana hukum; sebaliknya, dengan mengatasnamakan keadilan, jangan-jangan kematian pelaku itulah yang menjadi konsentrasi dan ekspektasinya. Dus, masih adakah dimensi edukasi dalam hukuman mati?Akhirulkalam, hukuman dalam sebuah negara harus tetap dijalankan demi menyelamatkan negara tersebut. Itu wajib hukumnya. Tapi beda halnya dengan hukuman mati. Negara tidak perlu lagi menjalankan hukuman mati karena hukuman tersebut telah mengabaikan setidaknya unsur the right to life dan unsur edukasi demi transformasi hidup si pelaku. Bila demikian, hukuman mati tidak menyelesaikan masalah; ia justru menambahkan deretan masalah baru. Jadi, apakah hukuman mati itu konstruktif? Atau destruktif? Selamat berpikir!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment