Wednesday, December 06, 2006

DRAMA KEHIDUPAN MARIA IBU YESUS

Lukas 1: 26-38

Ada Maria Magdalena, ada Maria saudara Martha, ada Maria ibu Markus, ada Maria ibu Yakobus, dan ada Maria ibu Yesus. Ada begitu banyak nama Maria dalam Alkitab. Tapi hanya ada satu Maria yang mendapat sederet gelar, antara lain sebagai: Yang Diberkati, Ratu Surga, Ibu-Nya Allah, Ibu kita. Hanya ada satu Maria yang mendapatkan sorotan seantero jagat, baik dari kalangan Katolik, Kristen, dan sekaligus kalangan Islam. Dia adalah Maria Ibu Yesus. Siapakah sebenarnya Maria itu? Hari ini kita akan menyusuri kehidupan Maria Ibu Yesus dengan sedikit bumbu imajinasi.

Babak 1: Bersiap-siap untuk sebuah kejutan
Hari itu langit terlihat cerah. Angin panas berembus kian kemari menyentuh kulit penduduk di kota kecil yang bernama Nazaret. Kota itu benar-benar kota kecil. Betapa tidak. Beberapa arkeolog menduga bahwa kota tersebut hanya berpenduduk kurang lebih 200 orang. Bukan hanya itu saja. Kota Nazaret pun tidak masuk hitungan dalam kitab Perjanjian Lama. Kota itu memang tidak terkenal. Sampai-sampai ada orang yang dengan sinis bertanya, “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?”

Namun, dalam kota yang berpenduduk hanya 200 orang itu ada satu kejadian yang tidak biasanya terjadi. Kali itu, di sebuah rumah ada seorang perawan muda yang sedang melakukan aktifitas sehari-harinya. Mungkin sang perawan muda itu sedang merapikan rumah, menyapu, atau mungkin sedang menyiapkan makanan. Namun, tiba-tiba ada suatu kejadian yang tidak biasanya terjadi pada dirinya.

Ia didatangi sesosok malaikat. Bukan sembarang malaikat. Ia adalah salah satu jendralnya para malaikat di surga. Ia adalah malaikat Gabriel. Ia datang dan bersuara: “Salam, hai engkau yang dikaruniai; Tuhan menyertai engkau” (ay. 28). Sudah barang tentu mendengar dan melihat kehadiran sosok asing akan membuatnya terkejut. Bahkan sangat terkejut sembari diiringi dengan perasaan takut. Pastilah jantung sang perawan muda itu berdegup dengan sangat kencang, matanya terbelalak, dan tidak tahu harus melakukan apa. Tapi dalam kondisi yang demikian, tiba-tiba terdengar suara balasan dari malaikat Gabriel: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah” (ay. 30).

Mungkin perkataan, “Jangan takut” dapat sedikit meneduhkan dirinya. Namun belum kunjung tenang, Maria sudah dikejutkan lagi dengan berita yang disampaikan Malaikat Gabriel. Berita apa itu? Bukan berita bahwa ia akan mendapatkan doorprize yang berlimpah-ruah, bukan berita bahwa ia akan mengikuti tur ke luar negeri, tapi berita yang tidak pernah diharapkan oleh seorang perawan muda; yaitu, berita kehamilan.

Oh ini bukan berita baik. Bagaimana mungkin saya hamil padahal saya belum pernah bersetubuh dengan laki-laki manapun? Bagaimana prosesnya? Apa kata masyarakat tentang saya? Terlebih dari itu, apa kata tunangan saya terhadap diri saya? Apakah dia akan mengerti apa yang aku alami? Apakah dia akan menceraikan aku? Apakah dia masih mau menerima aku? Oh apa yang terjadi dengan diriku? Kira-kira demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak Maria. Sebab itu, Maria melontarkan pertanyaan kepada malaikat Gabriel, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Ia pasti sangat terkejut karena ia tidak pernah bermimpi akan hamil. Apalagi hamil di luar nikah. Babak pertama ini saya akhiri dengan peristiwa keterkejutan Maria ketika mendengar berita dari Allah.

Sekarang, saya ingin menarik satu pelajaran penting dari babak pertama tadi. Pelajaran itu mengatakan bahwa dalam perjalanan hidup kita bersama Allah kita pun juga bisa menerima berita kejutan dari Allah. Coba kita renungkan. Dalam perjalanan hidup kita hingga detik ini, berapa kali kita dibuat terkejut oleh Allah? Mungkin jauh-jauh hari kita sudah merencanakan hari depan dengan rapi, teratur, dan nyaris sempurna. Bisa jadi kita sudah menata masa depan dengan rapi mulai dari soal sekolah, ekonomi rumah tangga, tabungan untuk sekolah anak-anak, pasangan hidup, kesehatan, tempat tinggal, asuransi, termasuk pelayanan gerejawi. Pokoknya, kita sudah memikirkan, mempersiapkan hal-hal yang jauh. Namun, semua hal yang tersusun rapi itu terkadang bisa diobrak-abrik dan dihancur-leburkan oleh Allah bagaikan bangunan megah yang dirobohkan, bahkan mungkin roboh hingga rata dengan tanah. Dan bila hal ini terjadi, maka inilah yang dinamakan dengan berita kejutan dari Allah.

Di Singapura, ada seorang pemuda yang bernama Patrick. Layaknya seorang pemuda, ia memiliki cita-cita jauh ke depan dan berusaha untuk memenuhinya. Akhirnya, memang setahap demi setahap ia dapat merengkuh apa yang dia impikan. Dia menabung sekian tahun sehingga bisa membeli rumah. Lalu dia juga menabung untuk pernikahannya. Namun apa mau dikata, ternyata dalam usianya yang masih muda, Patrick terserang kanker paru-paru. Karena kanker ini sangat ganas, maka dokter sudah angkat tangan dan memberi vonis bahwa Patrick bisa hidup selama dua bulan saja. Berita ini jelas merupakan berita kejutan bagi Patrick. Dunia seakan-akan sudah kiamat. Patrick merasa percuma untuk hidup.

Singkatnya, Patrick lalu datang ke konselor Kristen. Ia berkata kepada konselor itu, “Pak, dokter sudah memvonis saya. Dalam tubuhku ada kanker ganas yang sedang bekerja menggerogoti paru-paruku. Dan kematianku sudah di ambang pintu. Pak, saya tidak takut mati. Tapi saya merasa hancur karena impian saya tidak dapat tercapai. Padahal saya sudah mempersiapkan segala hal dengan baik.” Ini adalah kisah nyata dari seorang yang mendapat berita kejutan dari Allah. Patrick merasa bahwa Allah sedang menghancur-leburkan segala bangunan impiannya selama ini. Rencana masa depan yang tersusun rapi bubar seketika.

Apa yang dialami Patrick juga bisa dialami oleh kita. Lalu apa berarti kita tidak boleh menyusun rencana masa depan kita? Oh jelas boleh karena Allah memang memberikan otak yang berfungsi untuk berencana. Namun yang Allah mau ingatkan untuk kita adalah semua kemapanan dan rencana yang rapi tidak selalu menjadi milik kita seterusnya. Ini berarti kita harus siap terhadap semua kejutan yang Allah lakukan dalam hidup kita. Bila kita siap, maka kita pun akhirnya bisa menyikapi kejutan itu dengan lebih bijaksana.

Babak 2: Mempercayakan diri kepada Allah!
Drama kehidupan Maria kembali lagi. Babak pertama tadi mengisahkan tentang Maria yang terkejut dengan peristiwa kehamilannya. Sedangkan, babak yang kedua dimulai dengan penjelasan dari malaikat Gabriel tentang proses kehamilan Maria. Situasinya tetap sama. Mata Maria masih tetap terbelalak, jantungnya masih berdegup sangat kencang, dan ia hanya bisa berdiri tegang menatap sang malaikat sembari menunggu penjelasan berikutnya. Dan akhirnya, penjelasan itu pun muncul dari bibir malaikat Gabriel. Ia menjelaskan bahwa Roh Kudus akan turun ke atasnya. Kuasa Allah yang maha tinggi akan menaunginya sehingga anak yang dikandungnya akan disebut sebagai Anak Allah yang kudus. Singkatnya, sesuai dengan catatan injil Matius, Maria mengandung dari Roh Kudus.

Pertanyaannya, apakah Maria memahami apa artinya mengandung seorang anak dari Roh Kudus? Apakah Maria memahami misteri kehamilan yang terjadi pada dirinya? Bukan hanya itu saja. Apakah Maria bisa memahami siapa anak yang dikandung sesungguhnya? Akan jadi seperti apa anak ini? Bukan hanya itu saja. Persoalan hidupnya akan lebih pelik lagi karena ia harus membayangkan bagaimana tanggapan masyarakat atas kehamilannya yang di luar nikah itu. Ia juga harus membayangkan apa pikiran tunangannya terhadap dia. Hidup Maria saat ini bagaikan kapal yang sedang terdampar di tengah lautan kebingungan yang sangat luas. Ia bingung dengan apa yang terjadi dan yang akan terjadi di depan. Maklum, Maria adalah orang satu-satunya yang mengalami peristiwa ajaib seperti ini. Sebelumnya, ia tidak pernah mendengar ada orang yang tiba-tiba hamil karena Roh Kudus.

Tapi dalam lautan kebingungannya, lantas apa yang dilakukan Maria? Bagaimana sikap Maria di tengah situasi gelap itu? Injil Lukas mencatat perkataan Maria yang sangat terkenal hingga saat ini. Ia berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (ay. 38). Perkataan ini sungguh luar biasa. Apa sebabnya? Karena perkataan ini mengekspresikan kepercayaan yang menyeluruh kepada Allah. Atau dengan kata lain, Maria mempercayakan dirinya kepada Allah meski ia tidak mampu memahami kehendak Allah yang mengejutkan ini.

Satu lagi kita belajar dari hal ini, yaitu belajar mempercayakan diri kepada Allah. Pelajaran ini kedengarannya sudah tidak asing di telinga setiap kita. Tapi apa kita mengerti apa artinya mempercayakan diri kepada Allah? Kesalahan umum yang justru sering terjadi adalah kita mendikte kinerja Allah dalam bingkai pikiran kita. Maksudnya, yang sering dilakukan adalah kita memang percaya kepada Allah; namun kita percaya bahwa Allah dapat melakukan apapun yang kita mau. Satu kisah akan saya berikan untuk menunjukkan maksud saya.

Di ruang ICU, terlihatlah seorang ibu yang cemas menanti sesuatu. Mukanya lesu dan lusuh. Sinar matanya pun redup. Apa yang terjadi? Ia sedang menanti kesembuhan suaminya. Sudah satu minggu lebih, suaminya tergeletak di atas kasur dan tak bergeming sama sekali; ia sedang koma karena kecelakaan sepeda motor yang hebat. Dalam ruangan itu hanya terdegar napas pasien yang berat dan melodi sebuah monitor jantung. Sewaktu dikunjungi oleh pak pendetanya, dengan isak tangis ibu itu berkata: “Pak, saya sudah berdoa dan berpuasa untuk suami saya setiap hari. Kurang apa lagi? Katanya Allah itu kasih, katanya Allah itu berkuasa, katanya Allah itu mendengar doa anak-anak-Nya, tapi kenapa harapan hidup suami saya masih tetap tipis. Apakah suami saya bisa hidup? Apakah Allah tidak tahu kalau saya tidak siap ditinggal oleh suami saya. Coba Pak Pendeta lihat, anak-anak saya kan masih kecil?”

Mari kita perhatikan kisah tadi. Ada satu kalimat yang terucap: “Kalau Allah itu kasih, berkuasa, mendengar doa-doa, tapi kenapa kok tidak sembuh?” Meski pertanyaan itu sangat manusiawi, namun di balik kalimat itu masih tersembunyi satu usaha untuk mendikte kinerja Allah. Ia pasti ingin agar Allah segera bertindak sesuai dengan agendanya. Ia pasti ingin agar Allah segera memenuhi keinginannya, yaitu agar suaminya sembuh.

Bukankah usaha mendikte semacam ini terkadang kita lakukan? Lantas, apakah kita tidak boleh memanjatkan permohonan, keinginan, cita-cita, kebutuhan kita? Tetap boleh. Bahkan Yesus sendiri pernah berkata, “Mintalah, carilah, ketoklah, maka kamu akan diberi . . .” (Mat. 7:7). Silakan punya keinginan, cita-cita, rencana, asalkan kita jangan takabur dengan cara mendikte kinerja Allah. Jangan jadikan Allah sebagai alat pemuas kebutuhan kita. Kita memang boleh mengutarakan apa yang kita mau, tapi kita tidak boleh menyetir Allah dalam bingkai kemauan kita.

Bila kita mempercayakan diri pada Allah, maka itu berarti terserah maunya Allah. Bila kita mempercayakan diri pada Allah, maka itu berarti kita mengakui bahwa Allah berhak sepenuhnya atas seluruh hidup kita. Sebab itu, bila doa dan permohonan kita tidak dijawab, kita tetap bisa berkata, “Ya Tuhan, aku tetap mempercayai-Mu.” Dan andai kita sakit, bangkrut, gagal dalam hidup ini, mampukah kita berdoa, “Ya Tuhan, aku tetap mempercayai-Mu. Tidak lebih tidak kurang.”

Babak 3: Menaati Allah
Akhirnya sampai pula pada babak yang terakhir. Dalam babak yang kedua tadi, Maria berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (ay. 38). Apakah Maria tahu apa artinya hamba Tuhan? Sebagai orang Israel, Maria tahu artinya hamba Tuhan. Ketika dia mengucapkan kata itu, ia sudah mengerti bahwa hamba adalah seorang yang dimiliki oleh seorang tuan/majikan. Ia harus bekerja untuk keperluan tuannya, untuk melaksanakan kehendak tuannya. Dalam hidup keagamaan Israel, kata “hamba Tuhan” itu dipakai untuk menunjukkan kerendahan hati seseorang di hadapan Allah. Ia dicirikan sebagai orang yang tidak berani memberontak pada atasannya. Dan mungkin satu kalimat yang pas untuk memahami arti hamba Tuhan adalah: ia harus taat pada Tuhan apapun yang Tuhan mau untuk dia kerjakan. Ketaatan adalah kuncinya. Maria sangat paham hal itu.

Namun apakah mudah untuk menjalankan ketaatan di kala ia menjalankan sesuatu yang tidak pernah ia harapkan? Mungkin mudah bila Maria tahu bahwa pada akhirnya ia akan mendapat gelar Ratu Surga, Ibu Allah, atau Yang Diberkati. Tapi tentunya Maria tidak tahu, bukan? Waktu itu Maria masih menjadi seorang perawan yang masih muda. Sedangkan, harga yang harus dibayar demi ketaatan pada Allah adalah dengan mengandung anak di luar nikah. Apakah ini persoalan mudah bagi seorang perawan muda? Maria pasti sudah bermimpi bahwa ia akan menikah dengan seorang pemuda yang bernama Yusuf. Sudah sekian lama mereka bertunangan. Dan tidak menutup kemungkinan bila Maria sudah tahu tanggal pernikahannya.

Tanggal itulah yang ia nanti-nantikan. Sebuah tanggal di mana banyak orang akan hadir dan menyantap jamuan pernikahannya. Sebuah tanggal di mana ia akan menyerahkan dirinya pada sang suami. Tapi bila yang terjadi adalah kehamilan di luar nikah, maka ia bisa merasa cemas bila Yusuf tidak menerimanya? Jelas sangat mungkin dan bahkan sangat manusiawi. Dan memang kita tahu, bahwa Yusuf sudah hampir memutuskan pertunangannya ketika mengetahui bahwa Maria hamil. Jadi, sebenarnya, sangatlah masuk akal bila Maria berpikir bahwa berita kehamilannya merupakan kesuraman yang paling suram bagi dirinya. Namun apa yang Maria lakukan? Melarikan diri? Atau menaati Allah? Ternyata, Maria tidak memilih untuk menolak kehendak Allah bagi dirinya; ia lebih memilih untuk taat pada Allah.

Pertanyaannya untuk kita adalah: seberapa taatkah kita pada Allah? Bila kita taat kepada Allah, maka kita pun juga taat pada segala perintah dan larangan-Nya. Perhatikan kata “segala”, bukan “sebagian” perintah dan larangan-Nya. Masalahnya, orang Kristen ternyata senang memilah dan memilih ayat-ayat Alkitab. Orang Kristen lebih senang menggaris-bawahi ayat-ayat perintah Allah yang ia dapat lakukan. Apalagi kalau ayat-ayat itu berbunyi: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan” (Mat. 7:7).

Tapi kalau perintah Allah itu berbunyi: “Carilah dahulu kerajaan Allah” (Mat. 6:33), kita langsung berlagak bodoh seakan-akan tidak pernah tahu perintah itu. Atau kita berkomentar, “Okay Tuhan, saya akan mencari-Mu kalau aku kepepet, kalau aku sakit, kalau aku butuh, dan kalau aku sedang mood.” Kalau perintah Allah itu berbunyi: “ampunilah kesalahan orang lain” (Mat. 6:12), maka kita berkata, “O ya aku akan memaafkan kalau dia sudah bertobat dan datang minta maaf padaku.” Atau kalau larangan Allah berkata, “Jangan kamu memandang muka!” maka apakah kita sudah mematuhinya? Di dalam gereja, sayangnya, masalah memandang muka masih sering terjadi. Yang kaya senang bergaul dengan yang kaya pula. Sikapnya menjadi berbeda bila ia bersalaman dengan orang yang kurang mampu. Antusiasmenya pun juga berbeda dalam menyambut kehadiran orang yang kurang mampu. Ini salah satu contoh orang Kristen yang belum mematuhi salah satu larangan Allah. Coba amati gereja kita! Apakah hal seperti ini sering terjadi? Dan jangan lupa, amati pula diri kita. Apakah kita pun juga melakukan hal yang sama?

Selain itu, dalam konteks pekerjaan, ketaatan kepada Allah seringkali menjadi masalah besar bagi orang Kristen termasuk kita. Sebagian orang Kristen lebih memilih taat pada manajernya, atau pada bosnya meski ia harus mengkhianati hukum-hukum Allah. Atau sebagian orang Kristen memilih untuk berusaha secara kotor. Memang ketaatan acapkali mengundang dan mengandung dilema serta risiko. Sebab itu, orang Kristen lebih senang untuk memilih posisi mencari aman. Kompromistis menjadi tawaran sikap yang lebih menarik dan digandrungi, ketimbang ketaatan kepada hukum-hukum Allah. Bila demikian, maka ia sedang takut pada manusia daripada kepada Allah yang dapat membunuh jiwa dan raganya. Janganlah kita menjadi orang Kristen yang demikian. Sebaliknya, mari kita menaati Allah, apapun risikonya!

Penutup
Hidup kita ini bagaikan drama yang terus berjalan. Drama itu belum berakhir. Sutradaranya adalah Allah. Lakonnya adalah diri kita sendiri. Sedangkan naskah dramanya adalah Alkitab yang kita pegang saat ini. Melalui naskah drama itu, kita diberitahu peran apa yang harus kita lakoni. Dan, peran itu sangat jelas, yaitu berperan sebagai orang tebusan. Tapi pertanyaannya, apakah dalam kehidupan di dunia ini, kita masih berperan sesuai dengan yang diharapkan dalam naskah itu? Semoga drama kehidupan Maria dapat menolong kita dalam memainkan peran kita dengan lebih sempurna lagi. Amin.