Monday, March 03, 2008

SUDAHKAH KITA "TERIKAT"?

Joan merasa sangat frustrasi dengan kehidupan ini. Putus asa, kehilangan harapan, depresi, bercampur aduk di dalam dirinya. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Yang ia tahu hanya satu, “Saya mau bunuh diri.” Dia bertarung, tetapi bukan untuk hidupnya. Dia bertarung untuk memperjuangkan kematiannya. Singkat cerita, usaha bunuh diri itu gagal. Polisi berhasil menghentikan aksi percobaan bunuh diri tersebut. Tentu tidak mudah menghentikan aksi tersebut karena Joan benar-benar bertekad untuk mengkhiri hidupnya. “Tinggalkan aku,” adalah ucapan yang selalu diulangi ketika orang lain berusaha menghentikannya.

Setelah Joan tiba di rumah sakit untuk pemeriksaan kesehatannya, rupanya ada seorang konselor mendatanginya. Ia turut menyaksikan usaha bunuh diri tersebut dan ia tertarik untuk menolong Joan. Lantas apa yang didapatkan dalam konseling tersebut? Dalam minggu-minggu konseling, konselor ini mendapati bahwa Joan ternyata adalah seorang Kristen, pemimpin yang giat di gerejanya, memiliki pekerjaan yang mapan, memiliki empat anak yang cantik-cantik. Tapi mengapa dia ingin mengakhiri hidupnya? Apa yang kurang dalam hidupnya?

Konselor ini mengatakan bahwa Joan gagal untuk belajar bagaimana mengikatkan diri dengan orang lain. Ia tampak punya banyak teman, banyak rekan kerja, namun ia tidak memiliki ikatan dengan mereka.

Apa yang dimaksud dengan ikatan di sini? Ikatan yang dimaksud di sini adalah sebuah kemampuan untuk berelasi dengan orang lain pada tingkatan yang dalam. Sebuah relasi yang bukan basa-basi, sebuah relasi yang bukan pura-pura, atau sebuah relasi yang hanya terlihat baik. Tapi sebaliknya, ikatan yang dimaksud di sini adalah sebuah relasi di mana dua orang atau lebih dapat berbagi pikiran, mimpi, perasaan tanpa ada rasa takut dihakimi atau ditolak oleh orang lain. Sebuah relasi di mana orang-orang di dalamnya dapat bercerita tentang pergumulan diri yang apa adanya. Inilah yang dimaksud dengan ikatan dalam pembahasan kita hari ini.

Tapi tunggu, mungkin di antara kita ada yang mempercayai satu mitos yang terkenal dalam dunia kekristenan. Mitos itu berkata: “Kamu harus bergantung pada Tuhan, jangan pada manusia. Kalau ada masalah, datanglah pada Tuhan, jangan pada manusia.” Sayangnya, mitos ini sering diajarkan oleh para pemimpin rohani. Padahal mitos ini justru akan mendatangkan malapetaka bagi orang-orang Kristen sendiri, dan khususnya bagi orang-orang yang sedang mengalami masalah.

Apakah benar kita ini harus bergantung pada Tuhan dan tidak boleh lagi memiliki ikatan dengan manusia? Apakah bergantung pada Tuhan itu diartikan dalam arti yang sempit sehingga ketika kita memiliki masalah lalu kita hanya boleh berdoa saja? Jelas tidak. Mitos itu benar-benar berbahaya. Apa dasarnya? Saya akan kemukakan dua dasar yang melawan mitos tersebut.

Pertama adalah dasar Alkitab. Siapakah Allah kita? Allah kita adalah Allah Tritunggal. Apa artinya? Artinya, Allah itu tidak sendirian. Allah itu adalah pribadi yang berelasi antar satu dengan lainnya. Allah adalah tiga pribadi dalam satu kesatuan. Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Berulangkali Allah menyatakan diri-Nya sebagai pribadi yang relasional. Contohnya: (1) Dalam konteks penciptaan di Kejadian 1: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” (2) Dalam doa syafaat, Yesus pernah berkata kepada Bapa-Nya, “. . . supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau.” (3) Ketika Yesus berbicara mengenai Gembala yang baik, ia berkata, “Aku dan Bapa adalah satu.” Semua bukti ini menunjukkan bahwa Allah itu adalah Allah yang berelasi antar satu pribadi dengan pribadi yang lainnya.

Nah Alkitab mengatakan bahwa kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Apa artinya? Sederhana. Artinya, bila Allah adalah pribadi yang relasional, maka kita pun pasti memiliki kebutuhan untuk berelasi antara kita dengan orang lain. Sebab itu, kita dikatakan sebagai makhluk sosial. Makhluk yang membutuhkan ikatan dengan orang-orang lain. Ini adalah sebuah kebutuhan yang diciptakan Allah sesuai dengan gambar dan rupa-Nya.

Ketika Yesus hidup sebagai seorang manusia, Ia pun hidup dalam kebutuhan ini. Ia pun membutuhkan relasi dengan manusia lainnya. Bukti yang paling jelas adalah ketika Ia sedang mengalami ketakutan yang luar biasa di Taman Getsemani. Apa yang Yesus lakukan? Ia mengajak Petrus, Yakobus, dan Yohanes untuk berdoa. Yesus masih membutuhkan ketiga sahabat-Nya itu. Artinya, Yesus memiliki ikatan dengan mereka.

Jadi, siapa bilang bahwa bergantung pada Tuhan itu lalu tidak boleh memiliki ikatan dengan orang lain? Itu hanyalah mitos yang mencelakakan kita.

Kedua adalah dasar psikologi. Lantas apa akibatnya bila kebutuhan akan ikatan itu diabaikan? Malapetaka seperti apa yang akan muncul di kemudian hari? Ilmu psikologi akan membantu kita untuk memprediksi malapetaka yang akan terjadi:

1. Depresi

Depresi tidak sama dengan stress, meski seringkali stress dapat menyebabkan depresi. Depresi adalah gangguan kejiwaan yang ditandai dengan kesedihan, kemalasan, kesulitan untuk berkonsentrasi, pola tidur dan pola makan yang serba ekstrim, putus asa, sulit menentukan agenda kerja, dan terkadang memiliki pikiran untuk bunuh diri. Orang yang depresi kehilangan warna dalam hidupnya. Seluruh dunia mereka terlihat kelabu. Sebab itu, banyak orang depresi lebih menyukai cuaca mendung karena hal itu menggambarkan dirinya. Apakah saat ini kita sedang atau hampir mengalami depresi dalam tingkat yang parah?

2. Perasaan tidak berarti

Orang yang terasing biasanya akan memiliki perasaan tidak berarti. Orang ini merasa berusaha/bekerja mati-matian tetapi dia bingung untuk siapa semuanya ini. Selama ini masyarakat selalu berpikir bahwa harta benda yang banyak akan membuat arti dalam hidup seseorang. Tapi itu keliru. Perasaan tidak berarti justru muncul karena ia bekerja tetapi tidak tahu kepada siapa ia dapat share hasil pekerjaannya.

3. Kecanduan

Oleh karena kebutuhan akan ikatan dengan orang lain terabaikan dalam waktu yang lama, maka ia akan merasa tersiksa dalam batinnya. Sebab itu, ia akan berusaha mencari kesibukan atau pelarian agar ia dapat mengurangi rasa siksa batiniah itu. Di sinilah kecanduan itu terjadi. Bisa jadi ia kecanduan minuman beralkohol, obat-obatan terlarang, makanan, seks, judi, pekerjaan, prestasi, aktivitas keagamaan, dan seterusnya. Ia berpikir bahwa dengan melakukan semua kecanduan tersebut maka ia akan memiliki “teman” dalam hidupnya.

4. Paranoia

Paranoia adalah satu gangguan mental yang ditandai oleh kecurigaan yang berlebihan, kecurigaan yang tidak masuk akal, ketidakpercayaan pada orang lain. Orang yang paranoid merasa takut jika orang lain mendekat padanya. Ia memiliki banyak pemikiran negatif tentang orang-orang di sekitarnya. Bila ada orang yang bertanya tentang kabarnya, ia bisa saja berpikir, “Mau apa dia dekat-dekat saya, mau uang saya, mau tubuh saya, mau menyakiti saya, ah dia hanya basa-basi, munafik, dan seterusnya.”

5. Fantasi

Fantasi adalah gambaran-gambaran mental yang tidak nyata. Kenapa bisa muncul fantasi? Oleh karena kebutuhan akan ikatan itu masih tetap ada di dalam orang yang terasing, maka ia tetap memerlukan sahabat. Siapakah sahabatnya? Kalau di dalam dunia nyata ia tidak menemukannya, maka ia akan mencari di dalam dunia yang tidak nyata. Sebab itu, orang seperti ini mudah berkata, “Saya bertemu Tuhan tadi pagi dan kami berbincang-bincang, saya memiliki seorang sahabat yang terbaik di dunia ini dan kami sering bercanda.” Dan sebab itulah, kadangkala orang ini tertawa sendiri, berbicara sendiri, tiba-tiba menangis, atau suka melamun.

Kedua dasar ini menunjukkan satu hal, yaitu kita sangat memerlukan ikatan dengan orang lain. Bergantung pada Tuhan tidak berarti kita tidak boleh terikat dengan orang lain. Bergantung pada Tuhan tidak berarti kita tidak boleh curhat pergumulan, pemikiran, mimpi, perasaan kepada orang lain. Jangan sampai kita termakan oleh mitos yang kelihatan rohani itu.

Nah yang terakhir, bagaimana kita membangun keterikatan? Ada beberapa latihan yang dapat kita lakukan:

  1. Sadari kebutuhan itu

Kita tidak mungkin memulai keterikatan dengan orang lain bila kita sendiri tidak menyadari kebutuhan itu. Mungkin kita dibesarkan di dalam satu keluarga yang kurang menghargai kedekatan, atau mungkin kita pernah dilukai karena sebuah kedekatan di masa lalu. Apakah ini yang menyebabkan kita tidak mau terikat lagi dengan orang lain? Sesulit apapun rasanya, kita perlu berkata dengan jujur kepada diri kita, “Saya masih membutuhkan ikatan. Tanpanya, hidup saya menjadi tidak sempurna.”

  1. Mengevaluasi apa yang kita yakini

Apa yang kita yakini selama ini seringkali menjadi penghambat untuk membangun keterikatan. Contohnya: (1) Kalau saya punya Tuhan, saya tidak memerlukan teman lagi; (2) saya adalah orang yang buruk, miskin, biang masalah, sebab itu saya pasti membuat siapa saja kewalahan dengan saya; (3) saya tidak percaya kepada siapa pun; (4) orang akan selalu meninggalkan saya; (5) orang itu jahat, pura-pura dan suka mengkritik, dan seterusnya. Coba evaluasi dan tantanglah keyakinan yang menghambat itu.

  1. Berani mengambil risiko

Salah satu penghambat untuk terikat dengan orang lain adalah karena kita takut bila orang itu membocorkan rahasia, atau bila orang itu justru menyerang titik lemah kita. Memang ini adalah satu risiko yang tidak nyaman. Tapi kita perlu berani mengambil risiko tersebut demi membangun keterikatan dengan orang lain. Bila kita tidak melakukan hal ini, maka risiko lebih besar yang sudah diungkapkan tadi justru akan menyerang kita.

  1. Berserah kepada Allah

Membangun sebuah ikatan itu bagaikan kita memiliki sebuah tanaman. Ia perlu dipelihara, disinari, dipupuk, disirami. Tapi siapakah yang menentukan pertumbuhan tanaman itu? Apakah kita mampu menumbuhkan tanaman itu? Tuhanlah yang menumbuhkan tanaman itu. Sama halnya dengan membangun ikatan. Kita perlu menyerahkan ikatan kita dengan orang lain di dalam tangan Allah. Bila satu ketika kita terluka karena keterikatan itu, maka kita tidak akan menyerah. Karena, kita tahu bahwa Allah sedang bekerja untuk menumbuhkan ikatan yang semakin dalam dengan orang-orang itu. Itulah bentuk penyerahan diri kepada Allah.

Joan akhirnya membuka diri. Sebelumnya, dia selalu menghindar dari usaha staf yang mencari tahu tentang dirinya, ia selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan kalapun ia keluar kamar ia tidak menceritakan masalahnya. Namun setelah dia mengetahui kegagalannya dalam mengikatkan diri dengan orang lain, maka Joan mulai membangun ikatan demi ikatan dengan orang lain.

Di rumah sakit itu, untuk pertama kalinya Joan mulai membuka kisah kehidupannya. Dia membagikan pergumulannya. Dia menangis. Dan dia heran ketika orang-orang mengasihi dia. Lambat laun Joan pun mengundang teman-teman lamanya untuk mengunjungi dia. Hubungan yang intim mulai terbangun. Depresi yang dialami Joan mulai terangkat. Joan mulai melihat tujuan hidupnya, melihat pengharapan yang timbul dari ikatan-ikatan dengan orang lain. Joan sekarang tidak kesepian. Keberaniannya untuk membangun ikatan dengan orang lain telah membuat hidupnya menjadi lebih baik. Apakah kita juga mau memiliki kehidupan yang lebih baik?

No comments: