Tancredo Neves, seorang presiden Brasil, dalam kampanyenya ia berkata: “Jika aku mendapatkan 500.000 pemilih dalam pemilihan umum, maka Tuhan tidak akan dapat membatalkan diriku untuk menjadi presiden.” Lantas apa yang terjadi? Memang benar, ia memenangkan suara dalam pemilihan umum. Tapi ironisnya, sehari sebelum ia diangkat menjadi presiden pada tanggal 15 Maret 1985, ia menderita sakit berat yang menyerang bagian perutnya. Dan setelah melewati 7 kali operasi, maka pada tanggal 21 April 1985 ia meninggal. Secara teknis, ia belum menjalankan tugas kepresidenannya. Meski ia memenangkan suara pemilu, Tuhan ternyata masih dapat membatalkan dirinya untuk menjadi presiden yang sesungguhnya.
Satu lagi kisah nyata terakhir yang terjadi baru-baru ini, tahun 2005, dialami oleh seorang gadis bernama Campinas. Satu hari gadis ini dijemput oleh sekawanan temannya yang mabuk. Ibunya yang menemani Campinas sebelum berangkat bersama teman-temannya berkata demikian: “Anakku, ajaklah Tuhan besertamu dan Ia akan melindungimu.” Dengan sinis sang anak membalas: “Hanya jika Ia mau ikut dengan kami di dalam koper ini maka Tuhan bisa ikut. Semuanya telah penuh.” Lantas apa yang terjadi? Beberapa jam kemudian, datanglah kabar bahwa mereka mengalami kecelakaan berat. Semua orang mati. Mobilnya sudah tidak dapat dikenali. Tapi anehnya, koper yang dibawa Campinas utuh. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah sekeranjang telur yang berada di dalam koper itu tidak ada satu pun yang pecah. Seakan-akan Tuhan memang berada di dalam koper itu, dan koper itu selamat, tidak cacat sedikit pun; tetapi, gadis yang memiliki koper itu itu mati dengan tragis.
Tiga kasus di atas menunjukkan betapa manusia itu ingin menjadi Allah. Mereka ingin mengatur hidupnya sendiri, mereka ingin menguasai jalan hidupnya sendiri, dan mereka ingin mengeluarkan Allah dari kehidupan mereka. Seakan-akan mereka berkata, “Aku tidak membutuhkan Engkau. Aku sudah bisa berjalan sendirian.” Sesungguhnya, ketika mereka bersikap demikian, maka mereka menyangkal kekuasaan Allah atas hidupnya. Mereka menyangkal kepemimpinan Allah atas hidupnya. Mereka menyangkal Allah yang bertakhta atas hidupnya. Apakah kita yang sudah percaya dapat melakukan apa yang dilakukan mereka? Apakah kita juga dapat menyangkal kepemimpinan Allah atas hidup kita? Apakah kita juga dapat menyangkal Allah yang bertakhta atas hidup kita? Ternyata bisa.
Seorang penulis Kristen yang bernama Edward Welch pernah menulis sebuah buku berjudul Ketika Manusia Dianggap Besar dan Allah Dianggap Kecil. Dalam buku itu ia berkata bahwa perasaan takut ditolak orang lain adalah salah satu bentuk sikap yang membesarkan manusia dan mengecilkan Allah. Itu berarti bahwa ketika kita merasa takut ditolak manusia, maka saat itu kita telah menyangkal Allah yang bertakhta atas hidup kita. Perasaan takut ditolak manusia adalah bentuk usaha untuk menggeser Allah dari takhta-Nya, dan menempatkan manusia di takhta Allah.
Saya kira raja Saul merupakan tokoh Alkitab yang menjadi contoh yang tepat untuk menggambarkan tentang takut penolakan. Dalam 1 Samuel 15 tercatat bahwa Saul diperintahkan untuk menumpas orang Amalek serta semua yang ada pada mereka. Singkat cerita, Allah menganugerahkan kemenangan kepada tentara Israel. Tetapi sayangnya, Saul tidak menuruti perintah Allah secara total. Saul bersama rakyatnya menyelamatkan raja orang Amalek dan mengambil sebagian hewan ternaknya. Nabi Samuel pun menegur ketidaktaatan Saul. Saul lantas berkata, “Aku telah berdosa, sebab telah kulangkahi titah Tuhan dan perkataanmu; tetapi aku takut kepada rakyat, karena itu aku mengabulkan permintaan mereka.” Di sinilah letak masalahnya mengapa Saul tidak menuruti semua perintah Allah. Saul takut ditolak oleh rakyatnya.
Apakah kita juga memiliki perasaan takut ditolak oleh manusia? Coba kita evaluasi segala kebiasaan yang kita lakukan: (1) Kebiasaan menyenangkan semua orang. Mungkin kita berusaha menyenangkan semua orang. Kita mengucapkan kata-kata yang disukai orang lain. Kita berbuat sesuatu karena orang lain menyukainya. Sebab itu, kalau ada satu orang yang tidak menyukai kita, maka kita akan menjadi sangat terganggu dan merasa gagal menjadi orang yang baik. Selain itu, kita cenderung menyimpan kemarahan dan selalu berkata, “Oh saya nggak apa-apa kok.” Bila ini kebiasaan kita, maka kita perlu bertanya: Apa yang membuat saya ingin menyenangkan orang sebanyak mungkin? Apakah karena saya takut ditolak oleh mereka? (2) Kebiasaan sulit mengambil keputusan. Mungkin kita sering dianggap tidak punya pendirian oleh orang lain. Mungkin kita merasa sulit dan takut untuk mengambil keputusan, kita cenderung berpikir, “Nanti kalau begini aku salah, nanti kalau begitu aku menyakiti dia, dan seterusnya.” Bila ini kebiasaan kita, maka kita perlu bertanya: Apa yang membuat saya sulit mengambil keputusan? Apakah karena saya takut ditolak oleh manusia? (3) Kebiasaan untuk menjadi sempurna. Mungkin kita melakukan sesuatu hal di rumah tangga, mendidik anak, melayani di gereja, atau bekerja dengan satu semboyan, “Saya harus mengerjakannya dengan sempurna.” Akhirnya, kita menuntut diri secara luar biasa agar tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun. Nah sebab itu, ketika satu ketika kita ternyata melakukan kesalahan, maka kita langsung stress, merasa gagal, dan menyalahkan diri sendiri. Bila ini kebiasaan kita, bertanyalah: Apa yang membuat saya berpikir bahwa saya harus sempurna? Apakah karena saya takut ditolak oleh orang-orang tertentu?
Sebagai penutup, mari kita mengarahkan pandangan pada bayi Yesus. Injil Yohanes berkata, “Ia (Yesus) datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh. 1: 11). Apakah Yesus tahu diri-Nya bakal ditolak? Sebagai Allah, Dia sangat tahu bahwa manusia akan menolak-Nya. Dia sangat tahu bahwa manusia akan menyalibkan Dia. Tapi apa yang membuat Yesus tetap datang ke dunia dan tidak takut ditolak manusia? Karena Ia tidak melihat manusianya. Ia melihat Allah yang mengutus-Nya. Ia tahu siapa yang menjadi Allah-Nya. Di sini kita melihat satu teladan yang sempurna tentang bagaimana memperlakukan Allah tepat berada di takhta-Nya. Ia tahu bahwa sebagai manusia Ia tidak mungkin dan tidak boleh menggeser takhta Allah dan menempatkan manusia pada takhta Allah. Sebagai pengikut Yesus, apakah kita juga mau meneladani hal yang sama? Biarlah Allah tetap menjadi Allah dalam kehidupan kita. Selamat merayakan hari Natal 2007!