1 Tesalonika 5: 18
“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus, bagi kamu”
Apa untungnya kalau orang itu sering mengucap syukur dalam hidupnya? Pdt. Ayub Yahya dalam bukunya yang berjudul Bersyukur itu Indah mengatakan bahwa hidup yang penuh syukur akan mendatangkan kesehatan, baik batiniah maupun lahiriah. Betapa tepatnya perkataan itu. Orang yang hidupnya penuh dengan ungkapan syukur berarti orang tersebut akan hidup dalam kelegaan. Meski persoalan datang, orang ini tetap tidak kehilangan kelegaan. Meski persoalan datang, orang ini akan tetap semangat dalam menjalani hidupnya. Jadi, meski ada persoalan atau tidak, orang seperti ini akan gembira selalu.
Konon, pernah dilakukan survei terhadap para lansia, baik yang tinggal di panti jompo maupun yang tinggal di rumah bersama keluarga mereka. Menurut survei itu, para lansia yang hidupnya penuh dengan rasa syukur ternyata memiliki kondisi tubuh yang lebih sehat dibandingkan lansia yang suka mengeluh. Selain itu, kehadiran mereka yang hidupnya penuh dengan rasa syukur ternyata membawa kegembiraan bagi orang-orang di sekitarnya. Betapa mengagumkannya hasil dari hidup yang penuh rasa syukur.
Tapi mengucap syukur itu tidaklah gampang. Ketika rasul Paulus berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal,” maka saya berkata bahwa hal itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan kita. Sebab itu, tidak heran kalau kita sering menaikkan doa permohonan kepada Tuhan ketimbang doa syukur. Kita lebih sering menggerutu ketimbang bersyukur. Apalagi, bila kita sedang memiliki masalah, maka omelan demi omelan akan lebih mudah terlontarkan dari lidah bibir kita. Bukankah semuanya ini menunjukkan bahwa mengucap syukur itu tidaklah gampang?
Mungkin kita mulai merasa stress atau merasa putus asa karena merasa diri gagal menjadi orang Kristen yang baik. Kita merasa jengkel dengan diri sendiri, bahkan kita merasa benci dengan diri kita sendiri. Kita merasa mengapa saya kok tidak bisa hidup yang penuh dengan ungkapan syukur. Hari ini saya mau mengatakan bahwa Tuhan itu tidak sekejam orang dunia yang tahunya hanya menuntut hasil. Tuhan itu tidak sekejam orang dunia yang mudah marah bila hasil yang didapat tidak memuaskan. Sebaliknya, seperti kata Mazmur Daud, Tuhan itu tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu yang penuh dengan keterbatasan. Tuhan masih memberikan kesempatan untuk kita mencobanya kembali.
Nah sekarang bagaimana caranya agar kita dapat mengucap syukur dengan lebih mudah, terlebih khusus ketika kita sedang menghadapi masalah? Pertama, tariklah pelajarannya. Sebagai orang Kristen, kita memercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi pada kita pasti ada hikmahnya. Roma 8: 28 jelas-jelas mengatakan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. Sebab itulah, dalam segala sesuatu yang kita alami, cobalah untuk menemukan pelajaran yang diberikan Tuhan bagi kita.
Waktu saya pergi ke retret di SAAT baru-baru ini, saya sempat mengalami masuk angin yang menghantam leher saya. Gara-gara masuk angin, leher saya menjadi tegang dan terasa sakit sekali bila saya menoleh ke kiri. Dengan leher yang tegang itu, saya harus mengendarai mobil bersama dengan rekan-rekan hamba Tuhan. Dalam perjalanan, kalau mobilnya terguncang keras, maka leher saya akan terasa sakit. Sesampainya di kota Solo, saya tiba-tiba merenungkan tentang orang yang terkena stroke di bagian lehernya. Saya membayangkan bahwa leher orang itu sangat tegang dan sulit untuk menoleh kiri atau kanan. Dan kalaupun menoleh, maka ia akan terlihat seperti sebuah robot. Dari perenungan itu, saya belajar berempati kepada orang yang terkena stroke. Saya belajar merasakan penderitaan orang-orang yang terkena stroke di bagian lehernya. Setelah menarik pelajaran tersebut, lalu saya segera menuliskan pelajaran yang indah itu di internet. Kesaksian itu saya beri judul, “Terima Kasih karena Saya Sakit.” Tentu itu tidak berarti bahwa saya senang dengan masalah, tetapi artinya adalah saya berhasil menarik pelajarannya melalui masalah itu. Untuk pelajaran itulah, saya bersyukur kepada Tuhan.
Pada awal krisis moneter yang lalu, seorang bapak menceritakan pengalamannya. Ia berkata, “Selama ini saya sangat sibuk dengan tugas kantor. Boleh dikata, hampir tidak punya waktu buat keluarga. Setiap hari, bahkan kalau lagi ada masalah di kantor, maka terpaksa hari Minggu saya pergi ke kantor pagi-pagi dan pulang larut malam. Sering kalau di rumah pun, saya harus membawa pekerjaan kantor. Nah sekarang ketika krisis moneter terjadi, aktivitas kerja berkurang. Jam kerja saya dipotong. Tetapi justru karena begitu saya jadi punya banyak waktu buat keluarga. Selain itu, kami juga diajar untuk hidup hemat.” Melalui kesaksian bapak tersebut, kita melihat bahwa ia juga telah berhasil menarik pelajaran yang diberikan Tuhan melalui masalah hidupnya. Saya kira inilah kuncinya untuk bersyukur kepada Tuhan.
Apakah Anda sedang berada dalam masalah? Masalah apapun itu, entah masalah keluarga, masalah pekerjaan, masalah sakit-penyakit, dan seterusnya. Cobalah untuk menarik pelajarannya supaya kita lebih mudah untuk bersyukur kepada Tuhan.
Kedua, carilah yang masih ada. Apa yang menyebabkan seseorang mengeluh? Karena ia melihat apa yang tidak ada pada dirinya. Dalam perkunjungan, seorang bapak bercerita panjang lebar tentang keburukan istrinya. Intinya, ia merasa bahwa sang istri sudah tidak menghargai dirinya lagi. Ia mengeluhkan hal itu selama kurang lebih setengah jam. Setelah selesai bercerita, saya lantas bertanya, “Pak, coba Bapak ceritakan tentang hal-hal yang baik dari istri Bapak?” Ia diam sejenak, lalu menjawab, “Wah kebaikannya ya juga banyak sih.” Lantas ia mulai menceritakan kebaikan-kebaikan istrinya. Apa yang saya lakukan terhadap Bapak tadi? Saya mengajaknya untuk melihat hal-hal yang masih ada di dalam kehidupan rumah tangganya. Saya mengajaknya untuk beralih fokus, dari melihat apa yang tidak ada pada dirinya kepada apa yang masih ada pada dirinya.
Masalahnya, kita cenderung seperti bapak tadi. Ketika toko kita sepi, kita terlalu berfokus pada masalah sepi itu. Kita terlalu berfokus pada apa yang tidak ada pada toko kita. Akhirnya, kita dikuasai oleh masalahnya. Ketika kita sakit, kita terlalu berfokus pada penyakit itu sendiri. Kita terlalu berfokus pada ketidakberdayaan kita. Akibatnya, kita dibuat menjadi benar-benar tak berdaya oleh fokus kita sendiri. Bukankah cara pikir kita cenderung seperti demikian?
Dalam surat kepada jemaat di Filipi, rasul Paulus pernah menulis, “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita” (Fil. 1: 3-4). Ungkapan syukur ini lahir bukan dari situasi yang enak bagi Paulus. Sebaliknya, ungkapan syukur ini lahir ketika rasul Paulus sedang berada dalam penjara Romawi. Ia berada dalam situasi yang tidak aman dan tidak nyaman. Tapi apa yang membuat ia dapat mengucapkan syukur? Karena, ia tidak melihat apa yang tidak ada pada dirinya. Ia tidak melihat dirinya yang tidak bisa bergerak bebas, tidak bisa memberitakan injil lagi, tidak bisa makan dengan enak, tidak bisa tidur di ranjang yang empuk, dan seterusnya. Sebaliknya, ia melihat apa yang masih ada dalam kehidupannya. Yaitu, ia melihat pertumbuhan iman dari jemaat Filipi yang pernah ia layani. Pertumbuhan iman mereka itulah yang membuat rasul Paulus bergembira dan bersyukur.
Resep Paulus masih dapat kita pakai sampai hari ini. Kita sama-sama tahu bahwa masalah tidak selalu dapat diatasi dengan selesainya masalah itu sendiri. Adakalanya masalah itu terlalu kompleks dan membutuhkan waktu yang lama untuk diselesaikan, bahkan kadang masalah tersebut harus diterima sebagai duri dalam daging seumur hidupnya. Sebab itu, mengatasi masalah memerlukan cara pikir yang berbeda untuk melihat masalah itu sendiri. Cobalah untuk mencari yang masih ada pada diri kita ketimbang melihat yang tidak ada pada kita.
Tatkala Pdt. Ayub Yahya menuliskan bahwa bersyukur itu indah, maka saya mengamininya. Karena selain gaya hidup yang mengucap syukur itu menjaga kesehatan jasmani dan batin kita, mengucap syukur ternyata merupakan gaya hidup yang dikehendaki Allah kita. Firman Tuhan yang diungkapkan dalam 1 Tesalonika tadi jelas-jelas mengatakan, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah . . .” Jadi, kalau kita berhasil mengucap syukur dalam segala hal, maka kita sehat dan Allah pun senang.