(Presented at Full Gospel Business Men's Fellowship in Pekalongan, July 29, 2008)
SELAMAT DATANG ILMU KONSELING!
Opini bertajuk “Kesehatan Mental yang Merana” yang ditulis oleh Nalini Muhdi dalam Kompas, Rabu 10 Oktober 2007, semestinya membukakan wawasan kita tentang perlunya kehadiran ilmu konseling dalam dunia ini dan gereja. Salah satu yang menarik dari opini tersebut adalah karena sang penulis menantang kita untuk meninjau ulang faktor penyebab dari masalah-masalah fenomenal, seperti kasus terorisme dan kasus bunuh diri. Untuk masalah terorisme, misalnya, kerapkali dipandang dari pendekatan hukum dan keagamaan. Atau dengan kata lain, masalah terorisme bisa dipecahkan dengan kekuatan hukum dan agama. Apakah benar kedua pendekatan itu dapat menyelesaikan masalah terorisme?
Selanjutnya, Muhdi memberikan fakta tentang angka kejadian bunuh diri di negara Pakistan, yang 97 % penduduknya beragama Islam dan dianggap “patuh” menjalankan ajaran agama. Kenyataannya, angka kejadian bunuh diri melonjak dari kisaran ratusan menjadi ribuan per tahun. Fakta ini hanyalah menunjukkan bahwa sebuah masalah tidak dapat dipandang dan diselesaikan dari satu atau dua pendekatan saja. Pendekatan ilmu kesehatan mental bisa dilirik menjadi pendekatan lain yang perlu dipertimbangkan. Bahkan, pendekatan ini seharusnya sudah harus ditindaklanjuti mengingat WHO (World Health Organization) dan Bank Dunia sudah memprediksi bahwa beban utama penyakit di seluruh dunia pada tahun 2020 akan bergeser pada masalah kesehatan mental (terutama depresi).
Apa yang dipaparkan Muhdi sangatlah relevan untuk dibicarakan saat ini. Bila kita melihat kondisi/situasi sosial, politik, ekonomi negara kita, maka berapa besar dampaknya bagi orang-orang di sekitar kita? Coba pikirkan lebih kompleks tentang kehidupan saat ini. Contohnya persoalan harga BBM. Kerapkali kita membicarakan harga BBM yang meroket dengan mengaitkan pada kesulitan pekerjaan, seperti keuntungan yang makin sedikit, pesanan barang yang makin sedikit, dan seterusnya. Tapi pernahkah kita mengaitkan situasi lain yang disebabkan karena meroketnya harga BBM? Misalnya, bila harga BBM naik dan dunia pekerjaan makin sulit, maka nantinya akan ada orang-orang yang mengalami stress, bahkan depresi. Berikutnya, bila banyak orang mengalami stress, maka kemungkinannya akan ada banyak keluarga yang memiliki masalah rumah tangga. Dan, bila banyak keluarga memiliki masalah rumah tangga, maka apa yang bisa dilakukan gereja?
Tentunya, gereja dan orang-orang Kristen di dalamnya perlu tanggap terhadap situasi-situasi seperti ini. Kita tidak boleh hanya berdiam diri. Kita perlu melihat situasi-situasi tersebut sebagai visi atau kebutuhan untuk dijawab dalam zaman ini. Lantas apa yang orang-orang Kristen bisa perbuat untuk menjawab kebutuhan zaman? Salah satu yang bisa dikerjakan adalah menolong orang-orang melalui ilmu konseling.
Namun, saya melihat bahwa kadangkala gereja belum siap menyambut kepentingan ilmu konseling sebagai alat yang dapat dipakai untuk menolong orang dalam kesukaran. Alasannya bisa bermacam-macam. Salah satu alasannya yang mungkin terjadi adalah karena gereja masih menganut pandangan tradisional dalam memandang ilmu konseling/psikologi. Masyarakat pada zaman purba hingga zaman pertengahan menganggap bahwa perilaku abnormal disebabkan karena masalah spiritual, seperti kekuatan roh jahat. Sebab itu, pertolongan untuk orang yang memiliki perilaku abnormal pada zaman purba adalah dengan cara membuat lubang di tengkorak manusia. Sedangkan pada zaman pertengahan cara penanganannya adalah dengan pengusiran roh jahat. Bila gereja masih menggunakan pandangan tradisional ini, maka tidaklah mengherankan bila gereja alergi terhadap kehadiran ilmu konseling/psikologi.
Padahal, sesungguhnya ilmu konseling sangatlah diperlukan dalam pelayanan kristen. Banyak peran yang dapat disumbangkan melaluinya, seperti: (1) Ilmu konseling dapat membantu para pemimpin gereja untuk memahami hal-hal yang merintangi pertumbuhan rohani manusia. Contoh: seorang pemudi datang kepada saya dan menceritakan kesulitannya untuk mengampuni sang ayah. Dalam sesi-sesi konseling, saya melihat bahwa kesulitan untuk mengampuni bukan disebabkan karena masalah spiritual, seperti kurang berdoa, kurang ke gereja, kurang bersaat teduh. Justru sebaliknya, anak ini sangat aktif di gereja, bersaat teduh, dan berdoa. Masalah yang lebih mengakar bagi dia sebenarnya adalah masalah psikologis, bukan masalah spiritual. Akhirnya, melalui penanganan psikologis/konseling, maka dia sudah lebih mampu mengampuni ayahnya.
(2) Ilmu konseling dapat menjadi sarana untuk memberikan dukungan/penghiburan yang lebih mendalam. Tidak jarang saya melihat para pelayan Tuhan yang sangat antusias memotivasi orang yang sedang membawa masalah. Namun kadangkala antusiasme itu justru menambah satu masalah lagi bagi orang yang sudah memiliki masalah. Contoh: Saya pernah menemui seorang pemuda yang sedang berduka karena kehilangan ayahnya secara mendadak dan mengenaskan. Sang ayah meninggal dalam kecelakaan pesawat Lion Air tahun 2004 di kota Solo. Di rumah jenazah, saya melihat dia sedang duduk di samping jenazah ayahnya, sambil ditepuk oleh seorang hamba Tuhan. Oleh karena saya mendekati pemuda itu, saya jadi mendengar apa yang dikatakan oleh si hamba Tuhan itu. “Tenang ya, pokoknya kalau kamu sedih maka kamu harus ingat Tuhan. Ada rencana terbaik dari Tuhan buatmu. Nggak usah sedih ya . . .” demikian kira-kira perkataan yang diulanginya berkali-kali. Saya percaya bahwa motivasi hamba Tuhan ini baik. Tapi caranya mungkin kurang tepat. Apakah penghiburan/perkataan seperti demikianlah yang ia butuhkan? Ternyata tidak. Waktu saya duduk dekatnya, saya bertanya: “Apa yang kamu pikirkan tentang peristiwa ini? Adakah yang ingin kamu katakan?” Pertanyaan itu membuat dia semakin menangis. Tapi akhirnya dalam tangisan itu, ia berkata, “Aku ingin menjadi seperti papa.” Yang ia butuhkan waktu itu adalah ada seseorang yang memahami perasaannya, tangisannya, dan pikirannya. Saya kira waktu itu ia tidak membutuhkan kata-kata “Tuhan itu baik, rencana-Nya baik” dan segala macam perkataan yang kelihatan rohani. Apalagi, pemuda ini adalah seorang aktivis yang baik dan anak seorang hamba Tuhan.
Bila kita mempelajari ilmu konseling, maka kita akan lebih mampu memberikan dukungan/penghiburan yang tidak sembarangan. Di dalam ilmu itu, kita akan diajarkan tentang memahami dan menangani orang secara lebih mendalam dan lebih tepat untuk orang tersebut. Dengan kata lain, ilmu konseling akan membantu kita untuk menjadi penolong, bukan penambah, masalah orang lain.
(3) Ilmu konseling dapat meminimalisasi timbulnya persoalan di masa mendatang. Ilmu konseling tidak hanya digunakan untuk menghibur orang yang susah pasca kejadian, tapi ia dapat menjadi sarana preventif atau pencegah timbulnya sebuah masalah baru. Contohnya konseling pranikah. Gereja seringkali hanya memberikan katekisasi pranikah, tapi bukan konseling pranikah. Padahal, konseling pranikah sangatlah penting bagi masa depan pernikahan calon pasangan. Dalam konseling pranikah, calon pasangan akan mendapatkan gambaran dirinya dan diri pasangan secara lebih dalam, mampu mendeteksi titik-titik rawan pernikahan sebanyak mungkin, mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan pemersatu dalam pernikahan. Dalam hal inilah, ilmu konseling dapat berperan sebagai tindakan preventif.
Selain konseling pranikah, kita dapat mengembangkan tindakan-tindakan preventif lainnya pada masa transisi kehidupan seseorang, seperti kelahiran, kehilangan anak yang terprediksi, dan seterusnya. Contohnya persoalan postpartum depression (depresi pasca kelahiran). Seorang aktris cantik Brooke Shields pernah menuliskan kisah hidupnya berkaitan dengan depresi pasca kelahiran.
(4) Ilmu konseling dapat membantu kita untuk lambat menghakimi. Mengapa Yesus memberi perintah: “Jangan kamu menghakimi supaya kamu tidak dihakimi”? Ada beberapa alasan perintah seperti itu diberikan: (1) Karena kita sendiri adalah orang yang masih memiliki dosa, (2) karena kita bukanlah Tuhan yang mengerti seluruh kompleksitas kehidupan manusia, dan (3) karena kita tidak boleh merampas hak Tuhan untuk menghakimi seseorang.
Dalam ilmu konseling, kita diajarkan untuk memahami dan mendalami persoalan secara lebih mendalam. Persoalan itu bak sebuah gunung es di lautan. Yang tampak di luar seringkali bukanlah persoalan sesungguhnya. Contoh kasus: seorang laki-laki selingkuh dengan seorang pembantu rumahnya. Kerapkali orang mengatakan, “Oh memang dia itu si hidung belang, oh dasar laki-laki tidak tahu diri, apa dia tidak tahu istrinya itu lebih seksi dari pembantunya, wah katanya orang Kristen kok hidupnya kayak gitu,” dan seterusnya. Coba pikir baik-baik. Apakah suami itu benar-benar tidak tahu kalau selingkuh itu dosa? Apakah suami itu benar-benar tidak tahu kalau istrinya lebih seksi dari pembantunya? Saya kira dia tahu. Lantas apa persoalan sesungguhnya?
Ada banyak kemungkinan akar persoalan. Bisa jadi karena istri terlalu banyak bekerja atau terlalu banyak memerhatikan anak sehingga suami mengalami defisit perhatian. Bisa jadi karena istri memberi perhatian yang banyak tapi ternyata itu bukan kebutuhan suaminya. Bisa jadi karena masa lalu suami pernah mengalami pelecehan seksual. Bisa jadi karena masa lalunya sang suami hidup dan dibesarkan oleh ayah yang pernah berselingkuh. Betapa kompleksnya hidup seorang manusia. Dalam hal inilah, ilmu konseling akan mengajak kita untuk tidak memandang sederhana atau remeh sebuah persoalan. Pada akhirnya, kita menjadi orang Kristen yang lambat menghakimi.
Sebenarnya peran ilmu konseling dalam pelayanan kristiani amatlah banyak. Namun dari keempat peran yang ditunjukan tadi, semoga kita bisa dengan lapang dada berkata, “Selamat datang ilmu konseling!”
BERKENALAN DENGAN ILMU KONSELING
Konseling merupakan kegiatan yang tidak dapat dilakukan secara mekanis. Seorang tukang di bengkel memperbaiki motor/mobil yang rusak secara mekanis. Ia tidak perlu memperlakukan motor/mobil sebagai pribadi yang hidup karena memang ia sedang berhadapan dengan benda mati. Tapi berbeda halnya dengan konseling. Kegiatan ini merupakan suatu perjumpaan antar pribadi. Sebab itu, seorang konselor perlu memiliki cara pandang dan perilaku yang memadai terhadap dirinya dan kliennya agar ia tidak memperlakukan klien secara mekanis. Cara pandang konselor inilah yang nantinya akan menentukan keefektifan konseling.
Adapun cara pandang konselor yang perlu dimilikinya dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu:
1. Pandangan tentang dirinya
Ø Memiliki kesadaran diri (self-awareness)
Biasanya, calon konselor yang sedang mendapatkan pelatihan secara formal bersedia menganalisis dirinya sendiri. Ada baiknya bila analisis diri seperti ini dibantu oleh seorang konselor. Dengan kata lain, sebelum ia mengonseling orang lain, ia perlu dikonseling terlebih dahulu. Saya pun pernah menerima konseling seperti demikian. Tujuan dari semua ini adalah untuk membantu kita meningkatkan kesadaran diri tentang masalah-masalah dan kesukaran pribadi, kesulitan masa lalu yang masih berdampak pada masa kini, dan termasuk kemampuan-kemampuan diri yang dapat dikembangkan di masa mendatang. Dengan makin meningkatnya kesadaran diri, maka kita akan memperkecil hambatan-hambatan dalam mengonseling seseorang.
Ø Memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi
Konselor adalah seorang manusia biasa yang tidak kebal terhadap masalah pribadi, seperti masalah rumah tangga, masalah pekerjaan, masalah dengan gereja, dan seterusnya. Namun, seorang konselor dituntut untuk menyelesaikan masalah-masalah pribadinya sehingga tidak mengganggu keprofesionalitasannya. Dengan kata lain, klien tidak boleh menjadi korban pelampiasan emosi bila kita sedang membawa masalah pribadi. Sebab itu, ia harus menemukan cara-cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah pribadinya.
Ø Memiliki kesabaran untuk menyelami masalah orang lain
Klien yang datang pada seorang konselor hampir selalu menceritakan tentang masalahnya. Sebab itu, pelayanan konseling merupakan pelayanan yang membutuhkan kesabaran ekstra untuk mendengarkan dan menyelami masalah klien. Mengapa demikian? Karena, pada umumnya orang lebih senang dan lebih betah mendengar kabar sukacita ketimbang masalahnya orang lain. Di sinilah perjuangan keras untuk bersikap sabar sangatlah diperlukan. Bila kita tidak sabar terhadap klien, maka pertolongan yang kita berikan akan cenderung bersifat superfisial (permukaan) dan mekanis. Bagi seorang klien, perlakuan seperti ini justru dapat menambah masalah klien karena hal ini dirasakan sebagai bentuk peremehan masalahnya.
Ø Memiliki kemampuan berempati
Seperti yang dikatakan tadi bahwa konseling merupakan perjumpaan antar pribadi. Itulah sebabnya kemampuan berempati sangat diperlukan. Apa itu empati? Empati adalah suatu kemampuan untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain. Kita mencoba untuk melihat dunia melalui mata atau kerangka berpikir klien. Dalam bahasa yang lain, kita menyilakan klien menjadi tour guide kita. Apa fungsi empati dalam konseling? Dengan empati, kita tidak lagi melihat permasalahannya secara dangkal. Selain itu, dari sisi konseli, empati dari kita akan membuat rasa aman bagi dirinya. Ketika rasa aman itu terbentuk, maka kemungkinan besar konseli akan semakin menceritakan pergumulan masalah lebih banyak lagi dan akhirnya kita pun makin mengetahui solusi yang paling tepat bagi dirinya.
Ø Memiliki kemampuan teknik mengonseling
Mengonseling memerlukan teknik atau metode tertentu untuk menguraikan masalah dan membantu klien menemukan solusinya. Saya akan membagikan teknik dasar mengonseling dalam lokakarya nanti.
2. Pandangan tentang kliennya
Ø Pribadi yang memiliki kebutuhan (Person in need—PIN)
Klien adalah pribadi yang membutuhkan sesuatu. Ia membutuhkan pertolongan untuk menghadapi masalah-masalah hidupnya. Sejumlah orang mungkin membutuhkan teman curhat atau ingin didengarkan, atau memerlukan bantuan praktis berkaitan dengan kebutuhan material, dan mungkin juga membutuhkan bantuan untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarganya. Fokus kita harus selalu terarah pada kebutuhan pribadinya, bukan pada kebutuhan kita. Klien adalah tour guide-nya kita. Jika tidak demikian, kita terperangkap bahaya menjadi teknisi-teknisi yang berusaha menentukan hidup orang atau bahkan menciptakan kebutuhan tersendiri bagi klien.
Ø Pribadi yang memiliki kehormatan
Sebagai konselor, kita harus melihat klien sebagai pribadi yang memiliki kehormatan. Berapapun usianya seorang klien, ia adalah pribadi yang terhormat. Bersikap sopan kepadanya merupakan satu cara yang baik untuk memperlihatkan penghormatan kita. Dalam konteks Indonesia, mereka yang mencari pertolongan kadangkala berasal dari kalangan masyarakat yang kurang beruntung secara sosial dan ekonomi. Mereka mungkin sudah memandang diri sendiri sebagai orang-orang yang rendah dan malang. Di sinilah konselor ditantang untuk memperlakukan mereka dengan penuh penghormatan sebagai pribadi yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Bila konselor memandang klien dengan cara seperti ini, maka konseling yang efektif akan terjadi.
Ø Pribadi yang unik
Memandang seorang klien sebagai pribadi yang unik berarti kita akan berkata dalam hati kepada sang klien, “Saya melihat Anda sebagai pribadi yang berbeda dan saya akan berusaha menolong dengan cara yang paling tepat untukmu.” Setiap klien yang datang pada kita adalah unik; setiap mereka memiliki cara yang unik dalam merespons dan mengatasi masalahnya. Sebab itu, solusi tertentu yang berhasil pada seorang klien belum tentu berkhasiat bagi klien yang lain. Dengan kata lain, kita tidak boleh memukul rata kondisi setiap klien. Perubahan dapat terjadi dalam banyak cara karena klien adalah pribadi yang unik.
Ø Pribadi yang dinamis
Seorang manusia, termasuk klien, bukanlah pribadi yang ditentukan oleh peristiwa-peristiwa di masa lalu. Kita harus meyakini bahwa klien memiliki kemampuan untuk berubah. Ia berdaya untuk mengubah dirinya dengan sedemikian banyak cara sehingga ia akan mengejutkan orang-orang di sekitarnya. Bila kita tidak meyakini akan hal ini, maka jangan lakukan konseling pada klien tersebut. Melakukan konseling dalam keyakinan yang salah hanya akan membuat klien bertambah frustrasi dan putus asa dengan kondisi dirinya.
Ø Pribadi yang bertanggungjawab
Meyakini klien sebagai pribadi yang bertanggungjawab berarti: (1) kita memperlakukan mereka sebagai pribadi yang memiliki pengendalian atas hidup, situasi dan lingkungan mereka. Ini berarti seorang konselor bertindak untuk menolong kliennya menemukan solusi demi menyelesaikan persoalan hidupnya; bukan sebaliknya, konselor yang memberikan solusi kepada klien. Bila konselor memberikan solusi, maka ia sebenarnya sedang menjadi penanggungjawab atas kehidupan kliennya. (2) Klien memiliki kemampuan untuk memilih apa yang terbaik bagi hidupnya. Klien memiliki kehendak bebas untuk menentukan cara merespons atau mengatasi masalahnya. Sayangnya, kadangkala klien memilih suatu cara yang justru menambah masalah berikutnya. Tugas konselor adalah membantu klien untuk membuat pilihan-pilihan yang lebih baik buat mereka. Namun bila kita telah menyelesaikan tugas sebagai seorang konselor dan ternyata klien tetap memilih cara mengatasi masalah yang tidak sehat, maka kita tidak boleh memaksanya untuk berubah apalagi membencinya. Kita perlu merelakan klien menjadi pribadi yang bertanggungjawab atas pilihan yang dibuatnya.
MASA DEPAN PELAYANAN KONSELING
Bagaimanakah kondisi pelayanan konseling di masa mendatang? Seorang konselor Kristen senior, Gary Collins, mengatakan bahwa akhir-akhir ini pelayanan konseling semakin dipercaya sebagai salah satu alat yang ampuh dalam dunia kekristenan. Menurut pengamatannya, kita sedang berada di tengah revolusi pelayanan konseling. Di setiap benua, perhatian orang terhadap pelayanan konseling semakin bertambah besar, pelatihan konseling semakin berkembang, pusat-pusat konseling semakin bertambah, dan mata kuliah konseling juga semakin diterima ke dalam kurikulum sekolah Alkitab. Semua perkembangan ini tentunya untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan yang telah disinggung di atas.
Bagaimanakah dengan Anda dan gereja Anda? Apakah kita telah melihat kepentingan konseling dalam pelayanan kristen di masa mendatang? Bila kita telah melihat hal ini, maka kita dapat melakukan berbagai macam cara untuk mendukung pelayanan konseling, antara lain: (1) mempersembahkan diri untuk menjadi seorang konselor profesional. Memiliki beban untuk mengonseling orang itu memang baik. Tapi itu belumlah cukup. Beban/kerinduan untuk mengonseling bila tidak dibarengi dengan ilmu yang memadai justru akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Banyak hal yang perlu dipelajari untuk menolong klien. Tentunya hal ini memerlukan waktu, tenaga, biaya, pikiran untuk diperlengkapi dengan ilmu konseling di sekolah / pusat konseling yang menawarkan ilmu tersebut, seperti di Lifespring-Jakarta, SAAT-Malang, STTRII-Jakarta. (2) Mendirikan pusat konseling di kota kita. Pusat konseling memiliki berbagai fungsi, misalnya: memberikan tes psikologis, terapi luka-luka batin, terapi keluarga, terapi anak, konseling karir, tempat “berlindung” bagi orang-orang yang mengalami depresi, tempat rehabilitasi bagi orang-orang yang kecanduan narkoba, dan seterusnya. Contoh-contoh pusat konseling yang dapat kita lihat, misalnya: Pastorium SAAT-Malang, Lifespring-Jakarta, Eunike Counseling Centre-Jakarta, Pondok Pemulihan Doulos-Batu, Abigail-Surabaya. (3) Menjadi konselor awam. Mungkin kita belum bisa menjadi seorang konselor preofesional, dididik dalam sekolah yang formal, karena banyak pertimbangan. Namun kita masih dapat menyediakan diri menjadi seorang konselor awam. Meski tingkatan ilmu yang dipelajari tidak setinggi konselor profesional, namun setidaknya kita dapat meringankan “penderitaan” klien dengan menjadi teman sepergumulannya. Untuk menjadi seperti ini, maka kita dapat mengikuti seminar/pelatihan konseling agar kita memahami teknik dasar mengonseling dan menjadi teman sepergumulan yang efektif.
Tuhan memberkati. Salam konseling!