PENGANTAR KITAB AYUB
Penulis Kitab
Siapakah penulis kitab Ayub? Apakah Ayub sendiri? Bukan. Meski kitab Ayub mencatat sangat banyak mengenai diri Ayub, namun ia sendiri bukanlah penulis kitab ini. Penulis yang tak diketahui namanya ini kemungkinan memiliki sumber-sumber oral atau tertulis yang mana di bawah inspirasi Tuhan ia menyusun sumber-sumber tersebut menjadi kitab yang sekarang ini kita miliki. Mengenai sumber-sumber tersebut, seorang sarjana PL David Atkinson menjelaskan bahwa kemungkinan penulis kitab memakai suatu cerita rakyat yang sejak dahulu diceritakan turun-temurun.
Struktur Kitab
Kitab Ayub dapat dibagi menjadi tiga bagian besar. Bagian pertama, pasal 1-2, berisi prolog yang ditulis dalam bentuk prosa. Kedua pasal ini menggambarkan latar belakang mengenai peristiwa Ayub. Bagian kedua, pasal 3:1-42:6, ditulis dalam bentuk sajak yang sangat panjang. Bagian ini menceritakan mengenai bagaimana Ayub dan sahabat-sahabatnya berdebat untuk mengerti pergumulan Ayub. Bagian ketiga, pasal 42:7-14, berisi epilog yang ditulis dalam bentuk prosa. Bagian ini mengakhir cerita peristiwa Ayub dengan makna khusus.
Tujuan Penulisan
Tujuan kitab Ayub adalah menyelidiki kebijakan perlakuan Allah terhadap orang benar. Iblis menyatakan bahwa kebijakan Allah dalam memberkati orang benar justru telah mengaburkan kebenaran yang sejati. Berkatlah yang menyebabkan orang-orang mau hidup benar. Sebab itu, Iblis menantang Allah agar berkat yang diberikan kepada Ayub dapat dihentikan demi mengetahui kebenaran yang sejati itu. Iblis rupanya meyakini bahwa tidak ada orang yang mau hidup benar tanpa pamrih. Dalam kasus ini, kebijakan Allahlah yang diuji, bukan Ayub.
Tema-tema Utama
1. Hukum Tabur-Tuai
Hukum tabur-tuai yang seringkali digemakan oleh sahabat-sahabat Ayub sangat mendominasi kitab Ayub. Hukum ini berkata bahwa: Jika seorang hidup benar, dia akan makmur. Jika seorang hidup jahat, dia akan menderita. Hukum ini rupanya cukup terkenal pada zaman Ayub. Oleh karena itu, sahabat-sahabat Ayub mempercayai bahwa Ayub yang sedang bernasib malang itu disebabkan karena ia berbuat jahat.
Meski hukum ini sangat populer pada waktu itu, namun hukum tersebut hanyalah salah satu dari kebenaran. Maksudnya, hukum tabur-tuai tidak selalu dapat dipakai untuk menilai kemakmuran atau penderitaan yang dialami seseorang. Tapi meski demikian, ada satu kebenaran yang paling pasti, yakni bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini bergantung pada kedaulatan Allah. Kita seringkali tidak dapat mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan sebuah penderitaan itu terjadi, namun kita dapat terhibur oleh keyakinan bahwa segala sesuatu berada dalam tangan Allah yang berdaulat dan tidak terbatas hikmat-Nya.
2. Kedaulatan Allah
Sifat kedaulatan Allah adalah tema penting yang terdapat dalam kitab Ayub. Dimulai dari pasal 1 dan 2, kedaulatan Allah tampak jelas ketika Iblis mengadakan perundingan dengan Allah mengenai Ayub. Dari kedua pasal tersebut, kita dapat melihat bahwa kekuasaan Iblis dibatasi oleh kedaulatan Allah sehingga ia harus meminta izin kepada Allah untuk mencobai Ayub. Selain itu, kedaulatan Allah kembali dinyatakan pada pasal 38-42. Atas kedaulatan Allah, Ayub dipulihkan dari penderitaannya. Bahkan, ia diberkati oleh Allah dengan berkat yang berkali-kali lipat dari keadaan sebelumnya. Jadi, atas kedaulatan Allahlah, Iblis tidak berhasil mengalahkan iman Ayub.
3. Perantara
Persoalan mengenai seorang perantara yang dapat menolong Ayub muncul beberapa kali dalam kitab ini (5:1; 9:33; 16:18-22; 19:25-27; 33:23). Ayub memohon agar ia dapat dibantu oleh seorang perantara. Ia yakin bahwa seorang perantara akan muncul (19:25-27). Siapakah perantara itu? Pertanyaan ini sulit dijawab dengan pasti. Banyak sarjana masih memperdebatkan setiap jawaban atas pertanyaan sulit ini. Namun yang pasti, Ayub mengharapkan agar perantara itu berperan sebagai pembela dalam “persidangan” antara Ayub dan Allah.
Disadur dari:
- Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survei Perjanjian Lama.
- The NIV Study Bible
- David Atkinson, Ayub.