Ayub 1: 21b
Kehilangan adalah peristiwa yang sebenarnya kita alami selalu. Sejak kecil hingga tua kehilangan itu akan senantiasa ada dalam kehidupan kita. Mungkin kehilangan pertama kalinya dalam kehidupan ini terjadi pada saat kita lahir di dunia ini. Sebelumnya kita merasa aman, nyaman, dan bertumbuh dalam rahim Ibu. Setelah tiba waktunya, kita lahir dan harus kehilangan kenyamanan rahim Ibu. Kita menangis.
Beberapa tahun kemudian, kita memasuki sekolah yang pertama kalinya dalam kehidupan. Saat itu kita kembali mengalami dan merasa kehilangan orangtua untuk sesaat. Sekian jam harus berada di sekolah, terpisah dengan orangtua dan suasana rumah. Itulah sebabnya waktu kecil tidak jarang anak-anak menangis ingin pulang dari sekolah. Bukankah itu juga merupakan pengalaman kehilangan?
Setelah dewasa kita kembali mengalami kehilangan yaitu ketika anak-anak menikah. Selama ini mereka selalu bersama dengan kita, makan bersama, tidur bersama, menonton tv bersama setiap hari. Tapi setelah menikah, tentu mereka memiliki kehidupannya sendiri bersama dengan pasangannya. Mereka tidak bisa lagi memiliki waktu bersama-sama selama 7 hari berturut-turut. Tentu, sebagai orangtua, ini merupakan suatu kehilangan. Tidak heran apabila ada sebagian orangtua dan anak yang sama-sama menangis dalam upacara pernikahan. Mereka sama-sama merasa kehilangan.
Ada begitu banyak kehilangan yang senantiasa kita alami. Tapi tentunya ada satu kehilangan yang seringkali menimbulkan rasa duka yang dalam, yaitu kehilangan seseorang. Mengapa perasaan duka ini begitu dalam? Karena, kalau kehilangan barang atau uang, kita masih bisa menebusnya. Kalau kehilangan anak karena menikah, kita masih dapat sering-sering bermain ke rumahnya. Tapi kalau kehilangan orang yang dikasihi karena meninggal, tentu kita sudah tidak mungkin lagi menengoknya. Dunia kehidupannya sudah berbeda.
Di sinilah kita mengalami perasaan berduka. Apalagi bila orang yang meninggal itu sering melakukan kebajikan atau meninggalkan teladan bagi anggota keluarganya, maka hal itu akan semakin menambah perasaan berduka. Para anggota keluarga mungkin akan merasa eman-eman bila ia meninggal.
Di tengah perasaan berduka saat ini apa yang dapat kita lakukan sebagai orang Kristen? Berangkat dari Ayub 1: 21b, maka ada dua hal yang dapat kita lakukan: Pertama, kita menyadari bahwa orang yang kita kasihi adalah titipan dari Tuhan. Tatkala Ayub mengatakan, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil,” maka Ayub menyadari bahwa seluruh hartanya, pegawainya, dan bahkan anak-anaknya yang hilang itu adalah titipan Tuhan. Apa yang Ayub genggam selama ini bukanlah miliknya.
Pemikiran ini sangat penting untuk kita tanamkan, khususnya di saat kita berduka. Bila kita berpikir bahwa orang yang dikasihi itu adalah milik kita, maka tentu kita akan sangat sulit melepaskan almarhum/ah dengan rela. Tapi bila kita berpikir bahwa ia adalah titipan Tuhan yang pernah hidup bersama dalam satu keluarga, maka kita akan lebih rela melepaskannya. Memang kita merasa kehilangan karena bagaimanapun juga kita pernah saling berbagi hidup, tapi kita masih lebih rela untuk menyerahkannya pada Tuhan. Mari kita sama-sama menyadari bahwa orang yang dikasihi telah berada di tangan Sang Pemiliknya. Terpujilah nama Tuhan!
Hal kedua, kita menyadari bahwa orang yang kita kasihi berada di dalam kendali Tuhan. Renungkan kembali perkataan Ayub, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil.” Kalimatnya bukan berbunyi, “Tuhan yang memberi, Iblis yang mengambil. Atau, Tuhan yang memberi, orang lain yang mengambil.” Tapi dengan sangat jelas, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil.” Ini satu keyakinan bahwa dari awal hingga akhir kehidupan Tuhanlah yang memegang kendali kehidupan dan kematian umat-Nya.
Keyakinan seperti demikian perlu kita pegang erat-erat sampai selamanya. Kita meyakini bahwa almarhum/ah pergi bukan ke satu tempat yang tidak jelas. Ia pergi bukan dituntun oleh sesuatu yang tidak jelas atau sesuatu yang menakutkan. Ia justru pergi ke satu tempat yang jelas karena dituntun oleh tangan Tuhan yang jelas-jelas memegang kehidupan dan kematiannya. Selama alamarhum/ah hidup tangan Tuhan selalu memegang kehidupannya, dan sewaktu ia mati rohnya tetap berada dalam genggaman tangan Tuhan. Ia berada dalam tangan yang tepat, tangan yang memegang kendali umat-Nya. Mari kita sama-sama menyadari bahwa orang yang dikasihi hingga saat ini masih berada di dalam kendali Tuhan. Ia akan aman bersama Tuhan. Terpujilah nama Tuhan!
No comments:
Post a Comment