Tuesday, October 30, 2007

ANTARA OLAHRAGA DAN KESEHATAN JIWA

Saya penggemar olahraga bulutangkis. Setiap hari Senin saya hampir selalu bermain bulutangkis bersama dengan rekan-rekan hamba Tuhan, karyawan gereja, jemaat, dan kenalan-kenalan di luar gereja. Setiap hari Minggu malam saya senantiasa menanti-nantikan dengan tidak sabar untuk ingin segera memasuki hari Senin.

Melalui aktivitas itu, saya bisa memuaskan apa yang menjadi kegemaran saya. Sejak SMP saya telah menyadari bahwa hobi saya adalah bermain bulutangkis. Mengikuti les bulutangkis adalah salah satu cara untuk saya bisa memaksimalkan hobi ini. Akhir-akhir ini saya sering prihatin dengan para siswa-siswi yang sibuk dengan segala tetek-bengek rutinitas sekolah yang masih ditambah dengan les sana-sini. Dampaknya, mereka sulit untuk menikmati atau bahkan mengembangkan hobinya. Bukankah dampak ini akan merembet pada dampak yang buruk pada psikologi orang tersebut? Stress, depresi, kejenuhan, merasa kesepian adalah beberapa dampak buruk pada psikologi orang yang terperangkap dalam rutinitas kerja/sekolah.

Selain memuaskan apa yang menjadi hobi saya, olahraga yang satu ini ternyata mampu membuat jiwa saya terasa lebih segar dan sehat. Tahukah kenapa? Karena melalui badminton, saya menemukan sarana untuk mengekspresikan diri apa adanya. Di sana saya bisa melepaskan perasaan tegang, stress, ingin marah, dan emosi-emosi lainnya. Berteriak di lapangan bulutangkis seringkali menjadi satu "pelepasan" emosi yang mungkin selama seminggu sudah terpendam. Yah, puji Tuhan, saya masih memiliki sarana untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam hati saya.

Pernah satu ketika seorang rekan bercerita tentang permasalahan hidupnya. Setelah hampir setengah jam kami berbincang-bincang, saya mengusulkan agar ia datang ke tempat bulutangkis untuk bermain dan berteriak. Dia pun setuju karena ia menyadari bahwa bermain bulutangkis bisa menjadi sarana untuk melepaskan apa yang menjadi beban dalam hatinya. Kawan, bila Anda sedang memiliki masalah dan rasanya ingin diekspresikan dengan sebebas mungkin, maka pergilah berolahraga. Rasakan nikmatnya!

Dan manfaat terakhir yang saya bisa rasakan adalah olahraga dapat membantu stamina tubuh. Mungkin hal ini sudah lumrah untuk didengar. Olahraga memang dianggap sebagai aktivitas yang menyehatkan tubuh. Tapi yang saya mau tekankan adalah bahwa dengan stamina tubuh yang prima maka saya lebih mampu mengendalikan emosi. Ketika saya sedang sakit, maka saya cenderung ingin marah. Tetapi ketika saya sehat dan stamina sedang fit, maka saya menjadi tidak mudah marah. Bukankah ini adalah manfaat yang baik bagi kehidupan manusia?

Jadi, saya share hal ini agar para pembaca dapat segera berolahraga. Dan bagi Anda yang memang sudah berolahraga, coba nikmati dan perhatikan bagaimana olahraga itu dapat memengaruhi kesehatan jiwa Anda. Dengan memerhatikan hal ini, maka Anda makin dapat mengembangkan kesehatan jiwa melalui sarana olahraga.

Thursday, October 25, 2007

RADIO

Radio adalah sebuah judul film yang baru saja saya lihat dan perlu Anda tonton. Absolutely! Apa inti cerita dari film tersebut? Film yang diangkat berdasarkan true story ini mengisahkan mengenai seorang pelatih futbol Amerika yang menerima pemuda idiot apa adanya. "Radio" bukanlah nama si pemuda atau si pelatih tersebut. "Radio" adalah satu kata yang untuk pertama kalinya diucapkan pemuda idiot itu kepada Jones, pelatih futbol di SMU Hannah, Amerika. Ketika sebagian siswa SMU Hannah menganggap rendah "Radio", Jones tetap memandangnya seperti orang normal.

Apakah mudah bagi sang pelatih untuk menerima kehadiran "Radio" apa adanya? Sangat tidak mudah! Ada tantangan, ada hambatan. Dikisahkan di sana bahwa ia sempat mendapatkan tekanan dari orangtua, siswa, dan termasuk anggota yayasan/dewan sekolahnya. Tapi visi Jones tetap jelas, yaitu menerima "Radio" apa adanya.

Lalu apa hasilnya? Lambat laun para siswa SMU Hannah mencintai "Radio" dan menerima keberadaannya. Dalam kelas, meski ia berperangai seperti siswa pada umumnya, namun teman-teman kelasnya bisa menerima pemuda ini. Para orangtua pun menerima "Radio" apa adanya. Ada perubahan yang terjadi dalam komunitas SMU tersebut. Mereka belajar bagaimana menerima orang apa adanya. Belajar mengasihi orang bukan karena apa yang dia lakukan, tetapi karena siapa dia-nya; bukan karena fungsinya, tetapi karena pribadinya.

"Radio" akhirnya lulus dari SMU. Tapi siapa yang menyangka bila 26 tahun kemudian "Radio" menjadi pelatih futbol yang paling dicintai di SMU Hannah. Jones benar ketika ia sempat berkata di depan para orangtua murid demi memperjuangkan keberadaan "Radio" di sekolah: "Dia tidak belajar dari kita, tetapi kita belajar dari dia." Bagi Jones, "Radio" adalah seorang pemuda yang sama dengan pemuda-pemuda lainnya, butuh dikasihi dan diterima apa adanya. Apa yang ditabur Jones akhirnya dituai pula. Jones boleh berbesar hati ketika ia melihat "Radio", yang nama aslinya adalah James Robert Kennedy, menjadi pelatih futbol di SMU Hannah.

Coba bayangkan, apabila di komunitas Anda, entah di gereja, di sekolah, atau bahkan di rumah, ada orang yang berperilaku tidak seperti orang lain pada umumnya, maka apa yang akan Anda lakukan? Ketika orang pada umumnya menilai bahwa ia tidak berguna, maka apakah kita juga turut dalam penilaian tersebut? Saya jadi teringat pada apa yang dilakukan Yesus. Bila Ia melihat pada nilai guna atau fungsi kita, maka Ia tidak akan mau turun ke dunia untuk menyelamatkan kita. Tapi oleh karena Ia melihat nilai dalam pribadi kita, maka Ia mau mati bagi kita. Ia melihat kita sebagai biji mata-Nya. Pertanyaannya, mata siapakah yang akan kita pakai untuk melihat orang-orang yang seringkali dianggap tidak berguna oleh masyarakat?

Wednesday, October 24, 2007

BETAPA LUCU TETAPI KENYATAAN

  • Betapa besarnya nilai uang kertas senilai Rp. 100.000 apabila dibawa ke gereja untuk disumbangkan; tetapi betapa kecilnya kalau dibawa ke Mall untuk dibelanjakan.
  • Betapa lamanya melayani Allah selama satu jam; namun betapa singkatnya kalau kita melihat film.
  • Betapa sulitnya untuk mencari kata-kata ketika berdoa (spontan); namun betapa mudahnya kalau mengobrol atau bergosip dengan teman tanpa harus berpikir panjang-panjang.
  • Betapa asyiknya apabila pertandingan basketball diperpanjang waktunya ekstra; namun kita mengeluh ketika khotbah di gereja lebih lama sedikit daripada biasanya.
  • Betapa sulitnya untuk membaca satu perikop dari Kitab Suci; namun betapa mudahnya membaca 100 halaman dari novel yang laris.
  • Betapa getolnya orang untuk duduk di depan dalam pertandingan atau konser namun lebih senang duduk di bangku paling belakang di gereja.
  • Betapa sulitnya untuk menyesuaikan jadwal waktu kita, 2 atau 3 minggu sebelumnya untuk acara gerejawi; namun betapa mudahnya menyesuaikan waktu dalam sekejap pada saat terakhir untuk event yang menyenangkan.
  • Betapa sulitnya untuk mempelajari suatu bab sederhana dari Injil untuk dibagikan dengan orang lain; namun betapa mudahnya untuk mengulang-ngulangi gosip yang sama kepada orang lain itu.
  • Betapa mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran; namun betapa kita meragukan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci.

Monday, October 22, 2007

MELEPASKAN APA YANG KITA KASIHI

1 Samuel 1: 11, 27-28

Kehilangan apa yang kita kasihi adalah satu hal yang sangat menakutkan dan memukul hati kita. Seorang teman SMA saya pernah menangis sejadi-jadinya gara-gara anjing kesayangannya tertabrak kereta api sehingga tubuhnya terbelah menjadi tiga bagian. Istri saya, sewaktu di SAAT, juga pernah menangisi anjing kesayangannya yang raib dan sampai sekarang tidak pernah diketahui keberadaannya. Orang tidak bisa berkata, “Walah, wong anjing saja kok nangis.” Orang itu bisa berkata demikian karena kemungkinan besar binatang anjing yang ditangisi itu bukanlah apa yang dia kasihi. Coba kalau dia kehilangan apa yang dia kasihi, dia juga pasti menangisinya. Jadi, kalau kita kehilangan apa yang kita kasihi tentu akan sangat menyakitkan hati kita. Bukankah ini sangat manusiawi sekali?

Sekarang cobalah untuk diam sejenak. Saya izinkan Anda untuk merenungkan kehilangan apa saja yang Anda takuti selama satu menit. Kita semua pasti punya ketakutan akan kehilangan-kehilangan tertentu. Bisa jadi kehilangan materi, kehilangan binatang kesayangan, kehilangan kesehatan, kehilangan orang, dan seterusnya. Silakan menderet kehilangan-kehilangan yang Anda takuti.

Nah setelah kita menderet kehilangan-kehilangan itu, sekarang coba pikirkan, bila Tuhan bertanya, “Hai _________ (nama Anda), maukah engkau melepaskan satu per satu hal-hal yang ada dalam deretan itu demi Aku?” Bila Tuhan menginginkan agar kita melepaskan apa yang kita kasihi itu, maka apa reaksi atau respons kita?

Hana yang ada dalam kisah 1 Samuel melakukan hal ini. Ia melepaskan apa yang dia kasihi. Apa yang dia kasihi? Yang dia kasihi adalah putera pertama dari anak pertama yang dinamakan Samuel. Hana pasti sangat mengasihi Samuel karena ia adalah anak yang sangat diharap-harapkan sekian lama. Anak yang lahir di tengah-tengah caci maki masyarakat, dan bahkan oleh Penina, istri kedua dari suaminya. Anak yang lahir dengan penuh cucuran air mata dan doa. Sebab itu, saya yakin, ketika Tuhan mengaruniakan Samuel, Hana pasti akan sangat bergembira, hatinya melonjak-lonjak kegirangan, dan ia pasti sangat mengasihi Samuel.

Tapi saya kagum terhadap Hana. Ia tidak lupa akan janjinya kepada Tuhan. Ia pernah berjanji, “Tuhan, kalau Engkau mengaruniakan seorang anak laki-laki, maka aku akan mempersembahkan dia kepada Engkau untuk seumur hidupnya.” Yang saya kagumi di sini adalah bukan karena ia menepati janjinya, tetapi karena ia berani melepaskan apa yang ia kasihi. Hana berkata, “Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku, apa yang kuminta dari pada-Nya. Maka aku pun menyerahkannya kepada Tuhan; seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada Tuhan” (ay. 27-28). Kata-kata “terserahlah ia kiranya kepada Tuhan” jelas-jelas menunjukkan keberaniannya untuk melepaskan apa yang ia kasihi. Keberaniannya untuk melepas apa yang ia kasihi inilah yang membuat saya mengaguminya.

Bila Tuhan menantang kita untuk melepaskan apa yang kita kasihi demi kemuliaan-Nya, maukah kita melepaskannya? Apa yang membuat kita mengalami kesulitan untuk melepaskan apa yang kita kasihi bagi Tuhan? (1) Bisa jadi karena kita berpikir bahwa hal-hal yang kita kasihi itu berasal dari perjuangan kita. Satu ketika ada seorang ayah dikabarkan meninggal secara mendadak. Tahukah penyebabnya? Karena ia baru saja mendengar bahwa perusahaan yang dijalankan anaknya mengalami kebangkrutan sehingga perusahaan itu harus ditutup. Ayah ini mungkin merasa sangat kecewa karena perusahaan yang selama ini dirintis selama masa mudanya akhirnya harus berakhir di tangan anaknya. Bukankah kita bisa menjadi seperti seorang ayah tadi? Mungkin kita pikir bahwa hal-hal yang kita genggam dan kita kasihi itu berasal dari kita. Sebab itu, kita tidak rela melepaskannya untuk Tuhan. (2) Bisa jadi karena pengaruh budaya. Budaya memuaskan pelanggan misalnya. Ketika kita, sebagai pelanggan tidak dipuaskan, maka kita mudah complaint, mudah marah, mudah kecewa. Kita lebih senang untuk mendapatkan servis yang memuaskan. Memang hal ini ada baiknya. Tapi ada pula sisi buruknya. Apa itu? Budaya memuaskan pelanggan akhirnya mengajarkan bahwa kita adalah raja yang perlu dilayani dan mendapatkan banyak hal. Nah itulah sebabnya, ketika Tuhan meminta kita untuk melepaskan apa yang kita kasihi, maka kita akan merasa tidak puas dan akhirnya kita tidak mau melepaskannya. Bukankah budaya-budaya di sekitar kita seringkali memengaruhi hubungan kita dengan Tuhan?

Tapi puji Tuhan, hari ini kita kembali disegarkan agar kita bisa menjadi seperti Hana yang berani melepaskan apa yang ia kasihi. Sering kita mendengar khotbah-khotbah yang mengatakan “persembahkanlah hidupmu”. Ketika kita ingin belajar untuk melakukan persembahan hidup, Tuhan bisa saja berbisik kepada kita, “Anakku, coba lepaskan satu hal yang engkau kasihi itu kepada-Ku?” Mampukah kita berkata, “Ya Tuhan, Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang mengambil?”

Friday, October 19, 2007

MENGATASI KONFLIK RUMAH TANGGA 3

Lantas kalau sudah terjadi konflik, apa yang perlu kita lakukan?
  1. Latihan sadar diri. Menyelesaikan konflik tidak mungkin terlepas dari yang namanya sadar diri. Dengan tingkat kesadaran tinggi yang baik, maka niscaya kita dapat menyelesaikan konflik dengan win-win solution. Latihan sadar diri yang dimaksud di sini adalah kita memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif, seperti: Hal apa yang membuat saya dan pasangan marah, apa yang membuat saya dan pasangan bereaksi sedemikian rupa, darimanakah pola menghadapi konflik selama ini, dan seterusnya.
  2. Cek, apakah harapan kita telah berubah menjadi tuntutan bagi pasangan. Paul Gunadi mengajak kita untuk mempelajari atau menyadari anatomi konflik itu sendiri. Konflik mulai muncul tatkala harapan berubah menjadi tuntutan. Kalau dulu kita berkata, "Saya berharap kamu lakukan ini atau saya pikir kamu perlu melakukan itu." Tapi apabila harapan itu telah berubah menjadi tuntutan, maka kita mulai berkata, "Kamu harus lakukan ini."
  3. Carilah waktu dan situasi yang tepat untuk membicarakan konflik. Seringkali ada dua cara ekstrem yang terjadi dalam menyelesaikan konflik rumah tangga: Pertama, kita langsung "menyerbu" pasangan dengan berondongan pernyataan atau pertanyaan yang mendesaknya sehingga konflik makin memanas. Atau, kedua, kita tidak pernah membahasnya kembali karena takut konflik itu makin memanas. Kedua cara ekstrem itu sama-sama tidak konstruktif dan tidak menyelesaikan akar masalahnya. Kita perlu cara yang lebih bijaksana lagi, yaitu mencari waktu dan situasi yang tepat. Mencari waktu yang tepat artinya bila emosi dari kita dan pasangan sudah mulai reda. Waktu inilah yang dikatakan waktu yang tepat untuk membicarakan dan menyelesaikan konflik. Mencari situasi yang tepat artinya kita perlu mencari tempat atau suasana yang kondusif untuk menyelesaikan konflik. Misalnya, kita dan pasangan dapat pergi ke kamar tidur berdua dan tidak membiarkan pihak ketiga (seperti anak-anak) masuk dalam ruangan itu. Atau kita juga dapat pergi berdua ke suatu tempat favorit dan menyelesaikan konflik itu di sana.

Demikianlah ketiga cara yang dapat dipakai untuk mengatasi konflik-konflik dalam rumah tangga. Semoga sharing ini dapat berguna bagi Anda. Tuhan memberkati.

Monday, October 15, 2007

PENDETA NAIK HAJI, PAK HAJI MEMBAPTIS PENDETA?

Seorang haji bertetangga baik dengan seorang pendeta. Rumah mereka berada di sebuah lembah dan pada musim penghujan sering kebanjiran. Suatu ketika, hujannya cukup deras, sehingga air cukup tinggi. Karena Pak Haji badannya tinggi besar, dalam perjalanan menuju tempat pengungsian, ia menggendong Pak Pendeta agar tidak tenggelam. "Apakah Pak Haji pernah mendengar seorang pendeta naik haji?" tanya Pak Pendeta. "Ah yang benar saja Pak Pendeta, mana ada?" jawab Pak Haji. "Lah yang saya lakukan ini, apa?" kata Pak Pendeta lagi. "Wah kalau berita tentang seorang haji membaptis pendeta, apakah Pak Pendeta sudah pernah melihat?" balas Pak Haji. "Ah yang benar saja, Pak Haji!" "Pak Pendeta tidak percaya? Coba lihat ini!" jawab Pak Haji seraya melepaskan gendongannya.

(Diambil dari Edy Sumartono, Pak Pendeta Buatlah Jemaat Stress!)

Wednesday, October 10, 2007

MENGATASI KONFLIK DALAM RUMAH TANGGA 2

Sebagaimana telah dikatakan pada artikel sebelumnya bahwa setiap calon pasangan nikah membawa kantung-kantung harapan, maka kita perlu bertanya darimanakah datangnya kantung-kantung itu. Paul Gunadi berpendapat bahwa kantung harapan itu muncul dari pembentukan masa lalu yang dipengaruhi oleh orangtuanya. Maksdunya, ia melihat cara hidup orangtuanya. Misalnya, mama begitu sopan dan hormat kepada papa, kalau papa sedang marah mama tidak pernah menjawab. Dari pengalaman melihat hal itu, maka calon pasangan bisa jadi akan membawa pengalamannya dalam pernikahan sebagai sebuah harapan. Harapan-harapan itulah yang akan membuat dirinya berkata, "Seorang suami seharusnya berlaku ini atau seorang istri seharusnya berlaku itu, dan seterusnya."

Untuk istri, saya berharap agar ia sebisa mungkin menemani makan dan mengambilkan nasi beserta lauk-pauknya ke piring saya. Harapan ini berakar dari pengalaman melihat mama yang menemani dan mengambilkan makanan untuk papa. Setiap kali kami makan bersama, kebanyakan mama mengambilkan sendok, garpu, serta nasi untuk suami dan anak-anaknya. Kemungkinan besar dari penglihatan seperti demikianlah akhirnya saya berharap agar istri bisa melakukan hal yang sama dengan mama saya. Dan jujur, ketika istri melakukan itu, maka puaslah hati saya.

Selain dari orangtua, pengaruh media massa juga dapat memengaruhi calon pasangan. Paul Gunadi berpandangan bahwa tayangan-tayangan televisi atau film, tanpa disadari sangat berpengaruh. Misalnya, di dalam film itu peran si pria sangat dominan, semuanya tunduk pada kata-kata si ayah atau suami. Nah dalam pernikahan, si calon pasangan dapat meneruskan pengaruh film itu sebagai harapan dalam pernikahannya. Hal ini memang dapat terjadi. Satu ketika seorang istri berkata pada saya bahwa ia ingin agar pernikahannya seindah seperti film Korea. Dari sini kita melihat bahwa pengaruh media massa dapat membentuk kantung harapan kita.

Saturday, October 06, 2007

Friday, October 05, 2007

MENGATASI KONFLIK DALAM RUMAH TANGGA 1

Siapa sih yang tidak pernah mengalami konflik? Saya kira semua orang yang hidup di dunia ini pasti pernah mengalami konflik. Berbicara tentang mengatasi konflik dalam rumah tangga, sebenarnya bukanlah satu hal yang baru bagi orang yang sudah menikah. Sebelum ia menikah, ia tentu pernah mengalami konflik, entah dengan rekan kantornya, orang tuanya, saudaranya, teman olahraganya, dan yang lain-lain. Tapi bukankah seringkali kita yang sudah menikah merasa konflik rumah tangga lebih menyakitkan dan melelahkan ketimbang konflik di luar rumah tangga?

Melalui Mengatasi Konflik dalam Rumah Tangga yang merupakan buah tangan dari Dr. Paul Gunadi, kita akan melihat apa yang menjadi sumber umum dari konflik rumah tangga. Menurutnya, sumber yang paling umum dari konflik rumah tangga adalah terletak pada masalah harapan. Kita mengalami konflik dengan pasangan kita karena dia tidak memenuhi apa yang kita harapkan. Demikian pula sebaliknya, pasangan kita juga merasa bahwa kita tidak memenuhi harapannya.

Paul Gunadi mempercayai bahwa sewaktu seorang menikah dengan pasangannya, ia sebenarnya sudah membawa suatu kantung yang berisi harapan. Harapan-harapan itulah yang akhirnya ia embankan kepada pasangannya. Sama halnya dengan pasangan lawannya. Nah dari sinilah kita melihat akan pentingnya untuk mengomunikasikan harapan-harapan pasangan sebelum pernikahan itu terjadi sebagai usaha untuk mengurangi tingkat konflik. Sebab itu, Paul Gunadi dengan tepat mengatakan: "Yang berbahaya ialah jika harapan ini tidak pernah dibicarakan, karena ada anggapan ini tidak penting atau itu akan beres dengan sendirinya, kemudian melangsungkan pernikahan."

Tapi darimanakah munculnya kantung harapan itu? Tunggu pembahasan berikutnya!

Thursday, October 04, 2007

KOMIT (KELOMPOK INTI)

Kemarin komit (kelompok inti) dimulai. Sebenarnya program ini bukan barang baru karena sebelumnya gereja telah mengadakan kelompok 40 DOP (Days of Purpose) selama enam kali berturut-turut. Oleh karena kami melihat keefektifan pembinaan dan persekutuan melalui kelompok-kelompok kecil, maka kami sepakat untuk meneruskan kelompok sel menjadi salah satu basis gereja, selain kebaktian mingguan.

By the way, saya pribadi sangat senang dengan adanya komit ini. Banyak keuntungan pribadi yang saya petik dari komit, misalnya: (1) Saya, sebagai hamba Tuhan, dapat lebih mengenali pergumulan jemaat. Di sana saya lebih memahami seluk-beluk jatuh bangunnya jemaat. Pendekatan personal bisa terasa sekali dalam kelompok itu; (2) Saya melihat bahwa menciptakan community of healing (komunitas penyembuh) dapat lebih terealisasikan. Menciptakan komunitas penyembuh akan tampak mustahil bila kita hanya mengkhotbahkannya di mimbar setiap minggu. Itu jelas tidak cukup! Tapi dengan adanya komit, kita dapat perlahan-lahan membentuk komunitas yang saling menyembuhkan; (3) Saya sendiri pun belajar lebih transparan dengan jemaat. Kelompok kecil mendesak saya untuk berbagi pergumulan pribadi. Nah dari situlah saya belajar untuk lebih transparan kepada jemaat. Ada baiknya bila jemaat juga mengenali apa yang menjadi pergumulan seorang hamba Tuhannya sebagai manusia biasa.

Finally, thank to the Lord for giving me a community to heal and to be healed.

Tuesday, October 02, 2007

Rekreasi dengan Karyawan


Senin, tanggal 1 Oktober, kami para hamba Tuhan mengadakan rekreasi bersama dengan para karyawan gereja. Kami pergi ke Yogyakarta dan pantai Kukup di Wonosari. Wah senang sekali rasanya bisa pergi bersama dengan mereka. Gereja kadang lupa bahwa para karyawan memiliki peran yang sangat besar. Mereka adalah orang-orang yang seringkali kurang diakui dan dihargai jemaat karena posisi mereka yang "tak kelihatan" atau kalaupun kelihatan, mereka tampak seperti seorang yang rendah statusnya. Tapi pandangan ini jelas salah. Hamba Tuhan justru membutuhkan mereka. Tanpa mereka, program-program gereja tidak akan berjalan dengan baik. Lagipula, dalam pandangan Tuhan mereka dan para hamba Tuhan adalah sama-sama pelayan-Nya. Tidak kurang dan tidak lebih. Nah melalui rekreasi bersama dengan hamba Tuhan inilah, kami belajar menghargai mereka. Terima kasih atas pelayanan kalian selama ini!