JAKARTA, SENIN — Perubahan jam masuk sekolah menjadi lebih pagi, terutama bagi para siswa sekolah dasar, harus berhati-hati dan dievaluasi secara periodik. Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu ada kemungkinan berdampak negatif bagi pertumbuhan fisik dan emosional anak dalam jangka panjang.
Menurut Soedjatmiko, dokter spesialis anak konsultan tumbuh kembang pediatri sosial dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, dalam jangka panjang, perubahan jam masuk jadi lebih pagi itu dapat menimbulkan masalah pada interaksi orangtua dan anaknya pada pagi hari.
"Kebijakan itu juga menimbulkan ketegangan dan kecemasan setiap pagi, serta dampak fisik dan emosional pada anaknya," kata Soedjatmiko.
Bagi para orangtua, terutama bila rumahnya jauh, mereka harus menggunakan kendaraan umum sehingga harus bangun lebih pagi, tegang, dan tertekan karena takut anaknya terlambat bangun dan terlambat masuk sekolah, takut anaknya dihukum atau tidak boleh masuk ke kelas. Hal ini bisa diatasi dengan membiasakan tidur tidak larut malam, tidak menonton TV terlalu malam, dan membiasakan memasang alarm jam.
Namun, ada anak yang sulit bangun pagi karena harus tidur larut malam untuk mengerjakan tugas sekolah atau menonton televisi terlalu malam. Hal ini mengakibatkan orangtua bersikap kurang manis terhadap anaknya kalau anaknya susah dibangunkan atau terlambat bangun.
Orangtua makin tegang dan tertekan sehingga cenderung bersikap lebih kasar pada anaknya. Interaksi ini menyebabkan ketidaknyamanan bagi orangtua dan anaknya. Bayangkan kalau tiap pagi hal ini terjadi, secara kumulatif akan menimbulkan masalah, baik pada orangtua maupun anaknya. Anak akan cenderung jengkel, sebal, ketakutan, dan marah. Gangguan emosional dalam jangka panjang tentu menyebabkan hubungan anak dan orangtua jadi kurang manis.
Tidak sarapan
Selain itu, perubahan jam masuk sekolah jadi lebih pagi menyebabkan anak tidak sempat sarapan di rumah. Padahal, sarapan sangat penting karena proses belajar 5-6 jam membutuhkan bahan bakar untuk tubuh, terutama otak. Sarapan juga diperlukan untuk pertumbuhan fisik anak khususnya menjelang remaja usia 9-18 tahun yang pertumbuhannya sangat pesat.
Maka dari itu, para orangtua sebaiknya membawakan bekal yang dapat dimakan selama di jalan atau ketika istirahat. Sarapan dan jajanan ketika istirahat harus bergizi lengkap dan seimbang, ada sumber tenaga berupa roti, kentang, mi, dan roti, serta ada sumber protein berupa telur, baso, tempe, dan ayam. Sarapan juga mengandung bahan makanan sumber lemak, yaitu mentega, ada sumber vitamin mineral berupa jeruk, pisang, apel, dan lebih lengkap lagi bila ditambah susu.
"Pilihan kombinasi disesuaikan dengan selera anak. Sebaiknya porsinya jangan terlalu banyak sehingga tidak terlalu kenyang dan tidak mengantuk ketika belajar. Selain sarapan, sebaiknya anak juga dibekali dengan makanan kecil atau jajanan untuk dimakan sewaktu istirahat sehingga kebutuhan nutrisi tercukupi," kata Soedjatmiko.
Kalau anak tidak sarapan, tetapi malamnya makan dalam jumlah yang cukup dan ketika istirahat makanannya cukup, tentu tidak terlalu riskan. Namun, kalau tidak sarapan sama sekali, dan ketika istirahat tidak makan, tentu kebutuhan otak untuk mencerna pelajaran hari itu akan kalah dibanding teman-temannya yang sarapan dan ditambah makan ketika istirahat.
Di sepanjang jalan yang macet, terutama bila dengan kendaraan umum, anak jadi tegang dan tertekan, takut terlambat sekolah, takut dihukum, tidak boleh masuk, malu diejek temannya sehingga ada beberapa anak memilih tidak masuk sekolah daripada terlambat agar tidak dihukum dan diejek teman-teman. Ini bisa membuat angka membolos meningkat.
"Suasana tegang dan tertekan sejak bangun pagi yang dirasakan setiap hari, secara kumulatif bisa menimbulkan gangguan emosional berupa anak cemas, mudah marah, frustasi, tetapi tidak tahu harus melampiaskan kepada siapa. Akibatnya akan mudah timbul ledakan-ledakan emosional serta prestasi belajar, karena tertekan dan kurangnya asupan makanan, " kata Soedjatmiko.
Asumsi-asumsi itu belum tentu benar, tergantung banyak faktor di antaranya jarak dari rumah ke sekolah, kebiasaan bangun pagi, sikap orangtua, kemudahan transportasi, kelancaran lalu lintas, toleransi sekolah, sosial anak, dan kecerdasan anak, ujarnya. Namun untuk sebagian anak bisa menimbulkan masalah yang terus dialami.
Maka dari itu, Soedjatmiko menyatakan perlu ada kajian psikologis periodik apakah perubahan jam pelajaran ini menguntungkan atau merugikan anak.
"Jangan sampai kebijakan mengatasi masalah transportasi justru menimbulkan dampak yang lebih besar di masa depan, generasi yang emosional dengan tingkat kecerdasan kurang. Mudah-mudahan asumsi ini tidak terbukti," kata dia.
Evy Rachmawati
http://kompas.com/read/xml/2009/01/05/1835065/jam.masuk.lebih.pagi.dampak.terhadap.anak.harus.dipantau
No comments:
Post a Comment