Oleh Jacinta F. Rini
Sebelum menikah, saya sudah pacaran cukup lama lho dengan suami/istri saya...Tapi kenapa, ya, kok setelah menikah sepertinya sikapnya berubah dan tuntutannya pun sulit dipahami. Sepertinya, apapun yang saya kerjakan selalu salah dan tidak sesuai dengan keinginannya. Saya bingung...bagaimana sih “standard” atau kriteria yang benar buat dia ?
Pertanyaan tersebut sering muncul dalam sebuah kehidupan perkawinan, tidak memandang usia perkawinan itu baru atau pun lama. Kenapa hal itu bisa terjadi sedangkan masa pacaran seakan dilewati tanpa masalah yang berarti?
Persatuan Dua Pribadi
Menikah dapat diartikan secara sederhana sebagai persatuan dua pribadi yang berbeda. Konsekuensinya, akan banyak terdapat perbedaan yang muncul. Mengapa saat pacaran hal itu tidak menjadi soal? Proses pacaran pada intinya adalah mekanisme untuk mempelajari dan menganalisis kepribadian pasangan serta belajar saling menyesuaikan diri dengan perbedaan tersebut. Dalam pacaran, akan dilihat, apakah perbedaan tersebut masih dapat ditolerir atau tidak. Namun masalahnya, selama masa pacaran orang sering mengabaikan realita sehingga kurang peka terhadap permasalahan atau perbedaan yang ada – bahkan seringkali mereka memasang harapan bahwa semua itu “akan berubah” setelah menikah. Yang sering terjadi, banyak pasangan yang kecewa karena harapan mereka tidak terwujud dan tidak ada perubahan yang terjadi, bahkan setelah bertahun-tahun menikah.
Satu hal yang sering kurang disadari oleh orang yang menikah adalah bahwa bersatunya dua pribadi bukanlah persoalan yang sederhana. Setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri dan punya latar belakang yang seringkali sangat jauh berbeda, entah itu latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal atau pun pengalaman pribadinya selama ini.
Pengaruh Keluarga Asal
Para ahli mengatakan bahwa pola asuh orang tua atau pun kualitas hubungan yang terjalin antara orang tua dengan anak, merupakan faktor penting yang kelak mempengaruhi kualitas perkawinan seseorang, menentukan pemilihan pasangan, mempengaruhi pola interaksi/komunikasi antara suami-istri dan dengan anak, mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap pasangan, dan mempengaruhi persepsi orang tersebut terhadap perannya sendiri. Intinya, hubungan orang tua-anak ikut mempengaruhi seseorang dalam mengarungi kehidupan perkawinan di masa mendatang.
1. Hubungan orang tua-anak
Menurut penelitian Henker (1983), segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Selanjutnya, apa yang sudah tertanam akan termanifestasi kelak dalam hubungan dengan keluarganya sendiri. Jika hubungan dengan orang tuanya dulu memuaskan dan membahagiakan, maka kesan emosi yang positif akan tertanam dalam memori dan terbawa pada kehidupan perkawinannya sendiri. Orang demikian, biasanya tidak mengalami masalah yang berarti dalam kehidupan perkawinannya sendiri. Sebaliknya, dari pengalaman emosional yang kurang menyenangkan bersama orang tua, akan terekam dalam memori dan menimbulkan stress (yang berkepanjangan, baik ringan maupun berat). Berarti, ada the unfinished business dari masa lalu yang terbawa hingga kehidupan berikutnya, termasuk kehidupan perkawinan. Segala emosi negatif dari masa lalu, terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsi/pola pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri, terhadap pasangan dan terhadap makna perkawinan itu sendiri.
2. Sikap penolakan orang tua
Kurangnya perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan perhatian. Anak harus bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan orang tua – namun seringkali orang tua tetap tidak memberikan respon seperti yang diharapkan. Sikap penolakan yang dialami seorang anak pada masa kecilnya, akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan, rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga. Perasaan itu akan terus terbawa hingga dewasa, sehingga mempengaruhi motivasi dan sikapnya dalam menjalin relasi dengan orang lain. Pada saat menikah, bisa jadi seorang istri menikahi suaminya karena merindukan figur ayah yang melindungi dan mencurahkan perhatian dan kasih sayang – seperti yang tidak pernah didapatnya dahulu. Atau, bisa jadi seorang pria mencari wanita yang dapat menjadi substitusi dari ibunya dahulu, yang sangat ia dambakan cinta dan perhatiannya.
Masalahnya, anak yang tumbuh dengan kondisi deprivasi emosional (kurang terpenuhinya kebutuhan emosional), di masa dewasanya, cenderung mentransferkan kebutuhan akan perhatian, cinta, penghargaan, penerimaan dan rasa aman kepada pasangannya. Mereka menuntut pasangannya untuk men-supply kebutuhan emosional mereka yang tidak terpenuhi waktu kecil. Biasanya, orang demikian menjadi sangat demanding, terlalu tergantung pada pasangannya, tidak mandiri, cari perhatian dan sangat manja.
3. Identifikasi figur orang tua
Seringkali tanpa sadar seseorang mencari pasangan yang seperti ibunya atau ayahnya. Mereka mengharapkan agar pasangannya memperlakukan dia seperti perlakuan ayah dan ibu terhadapnya. Harapan tersebut pada dasarnya tidaklah realistis dan sering mendatangkan persoalan yang besar. Ucapan “saya bukanlah ayahmu/ibumu, jadi berhentilah berharap saya akan menjadi seperti dia !”. Pernyataan ini merupakan cermin adanya tuntutan dan keinginan seseorang untuk menjadikan pasangannya seperti ayah/ibunya.
4. Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang tua
Kelekatan yang berlebihan dan tidak sehat terhadap salah satu orang tua (biasanya terhadap orang tua lawan jenis) di masa kanak-kanak, jika tidak berubah/mengalami perkembangan – dan jika setelah menikah masih tetap lengket dengan orang tuanya – maka hal ini akan menimbulkan persoalan besar dengan pasangan. Pasangan akan merasa diabaikan dan disingkirkan, sehingga timbul perasaan marah, kesal, iri, cemburu serta emosi negatif lainnya. Ketergantungan tersebut sering membuat pasangan jengkel karena hal-hal kecil sekali pun ditanyakan kepada orang tua dan tergantung pada respon atau pilihan orang tua. Tentu saja pasangan merasa tidak dihargai karena selalu berada di bawah bayang-bayang mertuanya. Pasangan merasa posisinya hanya sebagai pelengkap yang tidak signifikan dalam menentukan arah kehidupan keluarga.
Pada beberapa kasus, ketergantungan tersebut bersifat dua arah. Artinya, anak menjadi sumber sense of self dari orang tua (karena keberadaan anak membuat dirinya merasa berguna, dibutuhkan, berarti), sehingga orang tua ingin terus berperan sebagai orang tua yang menentukan kehidupan sang anak meskipun sang anak telah dewasa dan berkeluarga. Bisa jadi, orang tua itu pun sejak anaknya masih kecil, menanamkan pengertian dan sikap-sikap yang menstimulasi ketergantungan anak terhadap orang tua. Salah satunya, orang tua yang over-protective dan terlalu dominan, malah menimbulkan rasa kurang percaya diri dan kemandirian pada anak. Anak akan memandang bahwa dirinya tidak dapat berbuat apa-apa tanpa orang tua, dan anak bukan siapa-siapa tanpa orang tuanya.
Kenali Diri Sendiri
Melihat hal-hal di atas, maka amatlah disarankan bagi mereka yang akan menikah, untuk benar-benar mempelajari dinamika yang terjadi pada diri sendiri, kepribadian diri, sifat, karakter, kecenderungan positif maupun negatif, motivasi dalam mencari suami/istri, prioritas dan kebutuhan dalam hidup. Pelajarilah hubungan antara diri sendiri dengan orang tua, dan temukan – manakah dari hubungan dengan orang tua yang tidak ingin diulangi/terulang dalam kehidupan perkawinan di masa mendatang. Pelajari kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang tanpa sadar dilakukan orang tua di masa yang lalu, baik dalam memelihara kehidupan perkawinan, maupun dalam mengasuh dan membesarkan anak. Seringkali orang baru menyadari setelah bertahun-tahun, bahwa ternyata kehidupan perkawinannya hampir sama dengan kehidupan perkawinan orang tuanya. Dan, pasangan yang dipilih, mempunyai kesamaan karakteristik dengan salah satu figur orang tuanya. Jika hal ini berakibat positif – tentunya tidak menjadi masalah. Namun, yang lebih sering terjadi justru yang sebaliknya. Oleh sebab itu, orang merasa hidup dalam “kesusahan dan penderitaan” yang tiada akhir; padahal, semua itu dimulai oleh dirinya serta berdasarkan pilihan dan tindakan dirinya sendiri.
Bagi Anda yang akan maupun sudah menikah: mempelajari dan meneliti diri sendiri, memang lebih sulit dari meneliti orang lain. Namun, jika sudah mampu melihat kenyataan diri, maka orang akan lebih mampu bersikap bijaksana terhadap orang lain, termasuk pada pasangan. Ia akan melihat, mengapa dan bagaimana keadaan internal dalam dirinya bisa berpengaruh terhadap pasangan dan terhadap hubungan antara keduanya. Jadi, jika terjadi masalah, tidak langsung menyalahkan pasangan, melainkan introspeksi ke dalam dulu. Jika seseorang merasa pasangannya kurang memperhatikan, cobalah telaah, apakah keadaan itu riil atau kah cermin dari adanya kebutuhan dan kehausan akan perhatian? Apakah ada bentuk ketergantungan yang bersifat kekanak-kanakan, yang diharapkan dapat dipenuh oleh pasangan? Apakah tuntutan yang ada realistis, atau karena merasa ketakutan dan tidak aman terhadap hubungan itu sendiri (takut pasangan tidak setia, takut ditinggalkan, takut diabaikan, takut tidak diperhatikan). Melalui mekanisme tersebut, maka sebuah perkawinan dapat bertumbuh dengan lebih sehat – karena kedua belah pihak, mau melepaskan diri dari masa lalu dan belajar dari kesalahan untuk membangun kehidupan dan keluarga yang mandiri di masa sekarang ini.
Sebagai penutup, ada satu hal yang tidak kalah pentingnya, seperti yang dikatakan oleh Rice, penulis buku "Intimate Relationship, Marriages and Families" (1990):
After marriage, the primary loyalty of a husband and wife should be to one another, rather than to parents, or else the primary relationship is weakened by conflicting loyalties and by the interference of parents
http://www.e-psikologi.com/keluarga/070602.htm
No comments:
Post a Comment